• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polusi Udara Kendaraan Bermotor Tidak Berpengaruh Terhadap Penyakit ISPA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Polusi Udara Kendaraan Bermotor Tidak Berpengaruh Terhadap Penyakit ISPA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Page: 697-706 DOI: https://doi.org/10.31964/jkl.v15i2.157

Article history: Received January 17, 2019, Received in revised form January 18, 2019, Accepted November 20, 2019 POLUSI UDARA KENDARAAN BERMOTOR TIDAK BERPENGARUH

TERHADAP PENYAKIT ISPA Sri Sundari

Badan Pusat Statistik Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia E-mail: sundari.sri@bps.go.id

Abstract: Motor Vehicle Pollution Doesn't Affect Against ISPA Disease. Air pollution is a problem that often occurs in the big cities, one of which is in the city of Bandung. Air pollution can cause various diseases from the most important ones namely respiratory, cardiovascular diseases, and to other diseases that attack certain organs. Based on the results of the study, air pollution from the transportation sector reached 60 percents, therefore this study will highlight the impact of motor vehicle air pollution on human’s health in Bandung, especially Acute Respiratory Infections (ARI), because the disease is the 2nd largest of the 20 biggest types of diseases in Community Health Centers / Puskesmas in Bandung. From several air pollutant parameters resulting from vehicle exhaust emissions, SO2 compounds were studied, because SO2 can cause irritation to the respiratory tract. This research using descriptive method, it can be concluded that air pollution caused by vehicle exhaust emission gas doesn’t directly affect the occurrence of Acute Respiratory Infections (ARI) in Bandung. The disease can occur due to other factors not examined in this paper, due to indoor air pollution, cigarette smoke pollution, industrial pollution or the continued use of synthetic chemicals.

Keywords: Air Pollution; Motor Vehicles; Acute Respiratory Tract Infection (ARI)

Abstrak: Polusi Udara Kendaraan Bermotor Tidak Berpengaruh Terhadap Penyakit ISPA. Polusi udara merupakan masalah yang banyak terjadi di kota-kota besar, salah satunya di Kota Bandung. Polusi udara dapat menyebabkan berbagai penyakit, dari yang paling utama yakni penyakit saluran pernapasan, kardiovaskular, hingga penyakit yang menyerang organ tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, polusi udara yang berasal dari sektor transportasi mencapai 60 persen, oleh karena itu penelitian ini akan menyoroti dampak dari polusi udara kendaraan bermotor di Kota Bandung terhadap kesehatan manusia khususnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), karena penyakit tersebut merupakan 2 terbesar dari 20 jenis penyakit terbesar di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Kota Bandung. Dari beberapa parameter polutan udara hasil emisi gas buang kendaraan, yang diteliti adalah senyawa SO2, karena SO2 dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan. Dari penelitian dengan menggunakan metode deskriptif ini dapat disimpulkan bahwa polusi udara yang ditimbulkan dari gas emisi buang kendaraan tidak secara langsung mempengaruhi terjadinya morbiditas Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kota Bandung. Penyakit tersebut bisa terjadi akibat faktor lain yang tidak diteliti dalam tulisan ini, bisa karena faktor polusi udara dalam ruangan, polusi asap rokok, polusi dari industri atau penggunaan bahan kimia sintetis yang terus meningkat.

Kata Kunci: Polusi udara; Kendaraan bermotor; ISPA PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi tinggi

merupakan target pembangunan ekonomi setiap wilayah, demikian pula halnya di

Kota Bandung. Laju Pertumbuhan

Ekonomi Kota Bandung dalam lima tahun terakhir rata-rata diatas 7 persen per

tahun. Tumbuhnya perekonomian

didukung oleh peningkatan seluruh kegiatan ekonomi diantaranya sektor perdagangan dan transportasi.

Sektor perdagangan yang salah satu kegiatan diantaranya adalah perdagangan, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda

(2)

motor, serta transportasi yang salah satu kegiatan diantaranya adalah angkutan darat merupakan kontributor dari tumbuhnya perekonomian Kota Bandung, sementara untuk sektor perdagangan sendiri merupakan sektor dominan tumbuhya perekonomian Kota Bandung sehingga sangat berpengaruh terhadap

peningkatan perekonomian secara

keseluruhan.

Tumbuhnya sektor perdagangan mobil dan sepeda motor mengakibatkan mobilitas kendaraan di jalan raya bertambah. Jumlah kendaraan di Kota Bandung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum sehingga berpotensi besar dalam peningkatan penggunaan bahan bakar kendaraan. Disamping menimbulkan kemacetan ,

penambahan jumlah kendaraaan

bermotor juga berdampak pada

kebisingan dan polusi udara yang diakibatkan oleh gas-gas buang kendaraan yang dihasilkan oleh mesin kendaraan bermotor. Berdasarkan penelitian, polusi

udara yang berasal dari sektor

transportasi mencapai 60 persen,

sedangkan 25 persen berasal dari sektor industri, 10 persen rumah tangga dan 5 persen dari sampah[1].

Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan jumah penduduk pada tahun 2017 mencapai 2.497.938 jiwa tidak terlepas dari masalah

kemacetan. Salah satu penyebab

kemacetan antara lain adalah banyaknya

volume kendaraan yang rata-rata

meningkat 5 persen setiap tahunnya, sementara disisi lain tidak adanya penambahan ruas jalan. Hal ini berdampak

cukup serius terhadap lingkungan

terutama polusi udara yang dikeluarkan dari hasil emisi gas buang kendaraan. Kemacetan yang terjadi disamping membuang jutaan bensin di jalanan juga

akan mempertebal pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor. Menurut catatan, di tahun 1996 diperkirakan tidak kurang dari 9 juta kiloliter bahan bakar habis di jalanan per tahunnya dengan tingkat pertumbuhan mencapai 7 persen per tahun. Atau dapat dikatakan bahwa setiap menit di Indonesia tidak kurang dari 17.000 liter bahan bakar musnah habis terbakar menjadi asap knalpot[2].

Tidak bisa kita pungkiri, polusi udara dapat mengganggu kesehatan

manusia, bahkan mungkin dapat

mengancam keselamatan jiwa. Namun, masih banyak orang yang seolah-olah menyepelekan bahaya polusi udara. Tanpa disadari juga, manusia yang sehari-hari menjadi pengguna kendaraan bermotor, yang menyebarkan polusi udara, secara langsung dan otomatis menjadi korban dari pencemaran tersebut. Penyakit yang dapat timbul akibat pekatnya polusi udara antara lain : Asma (Asthmatic bronchiale), Bronchopneumonia dan COPD, chronicle

obstructive pumonary dieses

(penyempitan saluran pernafasan) , ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas Akut ), paru-paru basah atau pneumonia dan Jantung koroner[3].

Penelitian ini akan menyoroti dampak dari polusi udara kendaraan bermotor terhadap kesehatan manusia khususnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mengingat berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, penyakit ISPA termasuk dua besar dari 20 jenis penyakit terbesar di Puskesmas di Kota Bandung, bahkan pada Tahun 2014-2016 menempati urutan pertama walaupun pada Tahun 2017 bergeser ke urutan kedua setelah penyakit Nasofangiritis akuta (Common Cold) atau

penyakit influenza. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode desktiptif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sedikitnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta meningkatnya pencemaran

udara karena aktivitas penduduk

berkontribusi dalam meningkatkan iklim mikro di Kota Bandung. Aktivitas

pencemar yang tergolong besar adalah dari pertumbuhan jumlah kendaraan. Dalam kurun waktu Tahun 2013-2017 jumlah kendaraan di Kota Bandung rata-rata naik lebih dari 5 persen per tahunnya.

(3)

Tabel 1 menunjukkan jumlah kendaraan dalam kurun waktu lima tahun rata-rata meningkat lebih dari 5 persen. Pertumbuhan jumlah kendaraan tersebut tidak sejalan dengan bertambahnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berfungsi

diantaranya sebagai pengendali

pencemaran udara, memperbaiki iklim mikro dan meningkatkan cadangan

oksigen di perkotaan, dimana RTH pada Tahun 2012 dan 2013 hanya mencapai 12,12 persen dari luas wilayah Kota Bandung. Padahal idealnya sebuah kota memiliki Ruang Terbuka Hijau seluas 30 persen dari total luas kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Tabel 1. Banyaknya kendaraan bermotor di Kota Bandung Tahun 2013, 2015-2017 (Unit)

Jenis Kendaraan 2013 2015 Tahun 2016 2017

1. Roda dua 1.041.421 1.171.288 1.251.080 1.328.783 - Pribadi 1.030.729 1.158.239 1.237.435 1.314.726 - Dinas 10.692 13.049 13.645 14.057 - Umum 0 0 0 0 2. Roda Empat 401.796 445.734 465.618 482.715 - Pribadi 382.385 425.010 444.212 461.177 - Dinas 5.307 5.909 63.221 6.399 - Umum 14.104 14.815 15.084 15.139 Jumlah 1.443.217 1.617.022 1.716.698 1.811.498 - Pribadi 1.413.114 1.583.249 1.681.647 1.775.903 - Dinas 15.999 18.958 19.967 20.456 - Umum 14.104 14.815 15.084 15.139

Dari tabel 1 tampak bahwa jumlah kendaraan di Kota Bandung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila diamati dari jenis kendaraan, populasi kendaraan roda dua mengambil porsi yang cukup besar dibandingkan dengan jumlah seluruh kendaraan yaitu 72,16 persen pada Tahun 2013 dan terus meningkat sampai dengan 73,35 persen di Tahun 2017. Peningkatan jumlah kendaraaan bermotor roda 2 selama dua tahun terakhir mencapai lebih dari 6 persen yaitu 6,81 persen di Tahun 2016 (dari 1.171.288 unit di Tahun 2015 menjadi 1.251.080 unit di Tahun 2016) dan 6,21 persen Tahun 2017 (dari 1.251.080 unit di Tahun 2016 menjadi 1.328.783 unit di

Tahun 2017). Sedangkan jumlah

kendaraan roda empat meningkat 4,46 persen Tahun 2016 (dari 445.734 unit di Tahun 2015 menjadi 465.618 unit di Tahun 2016) dan 3,67 persen Tahun 2017 (dari 465.618 unit di Tahun 2016 menjadi 482.715 unit di Tahun 2017) dengan persentase populasi kendaraan yang menurun yaitu dari 27,84 persen Tahun

2013 menjadi 26,65 persen di Tahun 2017. Kondisi tersebut dapat menggambarkan

sumber polutan bertambah setiap

tahunnya .

Polutan kendaraan bermotor adalah senyawa kimia yang dihasilkan dari emisi gas buang kendaraan bermotor yang menjadi polusi udara. Emisi gas buang kendaraan adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar didalam mesin kendaraan

yang dikeluarkan melalui system

pembuangan mesin, sedangkan proses pembakaran adalah reaksi kimia antara oksigen di dalam udara dengan senyawa hidrokarbon didalam bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Dalam reaksi yang sempurna, sisa hasil pembakaran berupa

gas buang yang mengandung

Karbondioksida (CO2), Uap air (H2O), Oksigen (O2) dan Nitrogen (N2). Pada kenyataanya, pembakaran yang terjadi didalam mesin kendaraan tidak selalu berjalan secara sempurna sehingga didalam gas buang mengandung senyawa berbahaya seperti Karbon monoksida

(4)

(CO), Hidrokarbon (HC) Nitrogeneksida (NOx) dan Partikulat[4].

Emisi gas buang kendaraan

bermotor diukur dalam gram per kendaraan per km dari suatu perjalanan dan terkait dengan beberapa faktor seperti type kendaraan, umur kendaraan, ambang temperatur dan ketinggian. Kendaraan dengan usia dan jenis bahan bakar yang berbeda akan menghasilkan kadar emisi yang berbeda juga[5].

Komposisi emisi gas buang

kendaraan antara lain Karbon monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NO), Sulfurdioksida (SO2), Hidrokarbon (HC), Karbon dioksida (CO2) dan Particulate Matter (PM10)[6]. Penjelasan dari parameter-parameter tersebut antara lain CO (Karbon Monoksida), Karbon monoksida adalah gas yang tidak berwarna dan tidak beraroma, gas ini terjadi bila bahan bakar atau unsur C tidak mendapatkan ikatan yang cukup dengan O2 artinya udara yang masuk ke ruang silinder kurang atau suplai bahan bakar berlebihan. NO (Nitrogen Oksida) adalah gas tidak berwarna dan tidak beraroma, gas ini terjadi akibat panas yang tinggi pada ruang bakar akibat proses pembakaran sehingga kandungan nitrogen pada udara berubah menjadi NOx. HC (Hidro Karbon) yaitu gas dengan warna kehitam-hitaman dan beraroma cukup tajam, gas ini terjadi apabila proses pembakaran pada ruang bakar tidak berlangsung dengan baik atau suplai bahan bakar berlebihan. CO2 (Oksida Belerang) yaitu gas tidak berwarna dan tidak beraroma, gas ini terjadi akibat pembakaran yang sempurna antara bahan bakar dan udara dalam hal ini oksigen[7].

SO2 (Oksida Belerang) dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas sehingga menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan meningkatkan asma dan PM10 (Particulate Matter) adalah debu partikulat yang terutama dihasilkan dari emisi gas buangan kendaraan. Sekitar 50%- 60% dari partikel melayang merupakan debu berdiameter 10 µm. debu PM10 ini bersifat sangat mudah terhirup dan masuk ke dalam paru-paru, sehingga PM10 dikategorikan sebagai Respirable Particulate Matter (RPM). Akibatnya akan

mengganggu system pernafasan bagian atas maupun bagian bawah (alveoli). Pada alveoli terjadi penumpukan partikel kecil sehingga dapat merusak jaringan atau sistem jaringan paru-paru, sedangkan debu yang lebih kecil dari 10 µm, akan menyebabkan iritasi mata.

Sumber bahan pencemar udara menentukan jenis bahan pencemarnya. Di daerah perkotaan dan industri, parameter bahan pencemar yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan adalah parameter gas SO2, gas CO , gas NO2 dan partikel debu[8].

Berdasarkan penjelasan tentang

parameter emisi gas buang kendaraan bermotor yang dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas adalah SO2, penyakit yang bisa ditimbulkan karena pencemaran SO2 antara lain penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999, udara ambien nasional adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di wilayah yuridiksi RI yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan

manusia, makhluk hidup, unsur

lingkungan hidup lainnya. Parameter yang terkandung dalam baku mutu udara ambien adalah SO2, CO, NO2, O3, HC, PM10, PM2,5, TSP, Pb dan beberapa parameter lain dengan waktu pengukuran tiap 1 jam, 24 jam ataupun 1 Tahun. Sedangkan baku mutu udara ambien

nasional ditetapkan sebagai batas

maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, sesuai PP no 41 Tahun 1999.

Di Kota Bandung, pengukuran parameter udara dilakukan di beberapa lokasi dipilih yang diperkirakan menerima dampak paling besar yang menghasilkan polusi udara. Lokasi-lokasi tersebut antara lain di terminal, jalan raya dengan mobilitas kendaraan cukup tinggi dan lokasi dekat kawasan industri. Sehingga, walaupun tidak menggambarkan kondisi kualitas udara Kota Bandung secara keseluruhan tapi apabila di lokasi pengukuran tersebut masih memenuhi baku mutu udara maka diasumsikan lokasi lain kondisinya lebih baik. Tabel 2

(5)

parameter SO2 di Kota Bandung (sesuai dengan parameter yang diteliti) di 15 lokasi pada Tahun 2013-2015 (lokasi disesuaikan dengan ketersediaan data

setiap tahunnya supaya dapat

dibandingkan).

Tabel 2. Hasil pengukuran parameter SO2 di Kota Bandung Tahun 2015-2017 (µg/Nm3)

No Lokasi 2015 2016 2017 Baku Mutu 900 1 Terminal Leuwipanjang 42,91 90,61 27,58 2 Terminal Cicaheum 33,94 97,4 26,78 3 Bundaran Cibiru 25,64 63,61 14,67 4 Jl. Elang 25,43 81,43 36,6

5 Pintu Tol Pasteur 19,34 55,85 6,07

6 Jl. Sukarno Hatta (Depan Astra Bizz) 19,64 71,29 37,23

7 Jl. Sukarno Hatta (Depan Aria Graha) 17,95 74,09 19,23

8 Terminal Ledeng 25,83 32,52 15,19

9 Alun-alun (Jl. Asia Afrika) 18,01 65,22 29,62

10 Jl. Ahmad Yani 18,35 26,75 17,5

11 Jl. Tegallega (Depan Pendopo) 18,66 28,72 25,65

12 Djuanda (Saat tidak CFD) 20,37 6,58 12,69

13 Jl. Buah Batu (Saat tidak CFD) 19,64 25,79 20,78

14 Jl. Merdeka/Balaikota <17,15 51,56 35,79

15 Jl. Rumah Sakit 18,95 45,67 20,05

Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum kandungan SO2 di Kota Bandung masih berada di bawah baku mutu nasional, akan tetapi perlu diwaspadai bahwa akumulasi zat pencemaran pada tubuh manusia dalam jangka waktu

panjang berpotensi mengganggu

kesehatan. Apabila diamati lebih detil, secara umum dari lima belas lokasi pengukuran tersebut kandungan SO2 dalam waktu tiga tahun yaitu dari 2015-2017 rata-rata mengalami peningkatan cukup tajam di Tahun 2016 dan mengalami penurunan di Tahun 2017. Dari kelima belas lokasi pemantauan tersebut pola yang berbeda terjadi di Jl. Djuanda dimana pada Tahun 2015 nilai konsentrasi SO2 mencapai 20,37 µg/Nm3, menurun di Tahun 2016 menjadi 6,58 µg/Nm3 dan meningkat lagi di Tahun 2017 menjadi 12,69 µg/Nm3, walaupun demikian angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tiga belas lokasi lainnya. Sedangkan, apabila diambil rata-rata dari 15 lokasi pengukuran tersebut maka nilai konsentrasi parameter SO2 dari Tahun 2015-2017 adalah 21,64 µg/Nm3 Tahun 2015; 54,47 µg/Nm3 Tahun 2016 dan 23,03 µg/Nm3 Tahun 2017, dalam hal

ini terjadi peningkatan rata-rata pada Tahun 2016.

Berdasarkan data hasil pengukuran konsentrasi parameter SO2 dalam kurun

waktu Tahun 2015-2017 dapat

menggambarkan adanya perbaikan

kualitas udara di Kota Bandung terhadap kandungan SO2 . Terkait kondisi tersebut,

menurut Pakar Perkotaan dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi

Sawung mengatakan, data perbaikan

kualitas udara di Indonesia tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Menurutnya fenomena itu muncul bukan karena sumber polutannya berkurang, melainkan karena faktor iklim dan cuaca.

Hal tersebut dikemukakan karena

menurut studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang polusi udara di seluruh dunia yang baru dirilis mencatat kualitas polusi udara di Indonesia secara umum sedikit membaik dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

Seperti telah dikemukakan

sebelumnya bahwa penelitian ini akan menyoroti dampak dari polusi udara kendaraan bermotor terhadap kesehatan manusia khususnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) .

(6)

ISPA adalah infeksi yang mengganggu proses pernafasan seseorang, infeksi ini umumnya disebabkan oleh virus yang

menyerang hidung, trakea (pipa

pernafasan) atau bahkan paru-paru dan penyakit ISPA merupakan penyakit yang

mudah sekali menular[9]. Penyakit ini

dapat timbul karena adanya dampak dari

pencemaran udara terutama SO2.

Parameter SO2 tersebut mempengaruhi

keutuhan lapisan mukosa, peningkatan sekresi mukus, dan menggangu gerak silia. Keadaan ini yang akan memudahkan

mikrobiologi menginfeksi saluran

pernapasan. Menurut Mukono dalam

“Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya

Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan”,

secara umum efek bahan polutan terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas, sehingga benda asing termasuk bakteri atau mikroorganisme tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan[10].

Berdasarkan informasi data

kesakitan (Morbiditas) yang dirilis oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung, terdapat 20 penyakit terbesar yang diperoleh dari layanan kesehatan di Puskesmas di Kota Bandung antara lain: Penyakit ISPA, Nasofaringitis Akuta (Common Cold),

Myalgia, Hipertensi Primer,

Gastroduodenitesis tidak spesifik,

penyakit Pulpa dan jaringan Periapikal, Diaredan Gastroenteritis, faringitis Akuta, gangguan lain pada kulit dan jaringan subkutan yang tidak terklarifikasi, Dermatitis lain (tidak spesifik/eksema), Tukak Lambung, Dispepsia, Demam yang tidak diketahui sebabnya, Konjungtivitis, Gangguan gigi dan penunjang lainnya, Karies gigi, Rematisme (tidak spesifik), Pneumonia, Tonsilitis Akuta dan penyakit lain-lain. Dari 20 penyakit tersebut, pada

Tahun 2014-2016 penyakit ISPA

menempati urutan pertama dan bergeser di urutan kedua pada Tahun 2017 setelah penyakit Nasofangiritis akuta (Common Cold) atau penyakit influenza.

Tabel 3. Jumlah kejadian penyakit ISPA di Puskesmas di Kota Bandung Tahun 2014-2017

Tahun Penyakit ISPA Seluruh Kejadian Kesakitan Jumlah Persentase

2014 141.581 979.863 14,45

2015 139.908 1.027.814 13,61

2016 149.889 1.086.656 13,79

2017 110.893 973.998 11,39

Dari tabel 3 dapat diamati bahwa persentase jumlah penyakit ISPA bila dibandingkan dengan seluruh Morbiditas yang dilayani di Puskesmas dan tempat layanan lainnya di Kota Bandung cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi apabila diamati lebih lanjut, jumlah kejadian penyakit ISPA dari Tahun 2014-2017 berfluktuatif dimana apabila diamati perkembangannya, pada Tahun 2015 mengalami penurunan dengan angka -1,18 persen yaitu dari 141.581 kejadian di Tahun 2014 menjadi 139.908 di Tahun 2015 akan tetapi meningkat cukup tajam di Tahun 2016 mencapai 7,13 persen yaitu dari 139.908 kejadian ISPA di Tahun 2015 menjadi 149.889 di Tahun 2016.

Sedangkan di Tahun 2017 kejadian penyakit ISPA tersebut menurun drastis mencapai -26,02 persen yaitu dari 149.889 di Tahun 2016 menjadi 110.893 di Tahun 2017.

Apabila jumlah kejadian penyakit ISPA dibandingkan dengan rata-rata pengukuran konsentrasi SO2 pada Tahun 2015-2017 akan terlihat pola yang sama yaitu dengan meningkatnya kadar SO2 di

udara pada Tahun 2016 , di tahun yang sama terjadi peningkatan penyakit ISPA yang cukup tajam. Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pencemaran SO2 di udara dapat menimbulkan penyakit ISPA atau dapat dikatakan salah satu penyebab penyakit ISPA tersebut adalah dari adanya pencemaran udara dengan

(7)

parameter SO2. Hal tersebut dapat diamati

gambarannya pada grafik 1.

Grafik 1. Rata-rata hasil pengukuran SO2 (µg/Nm3) dan Kejadian Penyakit ISPA Di Kota Bandung Tahun 2015-2017

Grafik 2. Jumlah Kendaraan dan Kejadian Penyakit ISPA Kota Bandung Tahun 2015-2017

Dari grafik 1 dan 2 tampak bahwa perkembangan penyakit ISPA searah dengan hasil pengukuran kadar SO2 tapi tidak searah dengan perkembangan jumlah kendaraan yang terus meningkat dalam periode Tahun 2015-2017 . Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa bertambahnya jumlah kendaraan tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian penyakit ISPA. Kejadian ISPA bisa terjadi akibat faktor lain yang tidak diteliti dalam tulisan ini, faktor-faktor tersebut bisa dari polusi udara dalam ruangan, polusi asap

rokok, polusi dari industri atau

penggunaan bahan kima sintetis yang terus meningkat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dirgawati M dan Soemirat J

pada Tahun 2008 dikatakan bahwa dari hasil kegiatan pemantauan kualitas udara ambien oleh BPLH Kota Bandung dalam

kurun waktu Tahun 2001-2003

menunjukkan bahwa nilai kadar SO2 yang bersumber dari industri mempunyai nilai tertinggi yaitu sebesar 90,32 µg/Nm3, disusul transportasi sebesar 43,74 µg/Nm3 dan pemukiman sebesar 37,51

µg/Nm3. Dari penelitian tersebut

menggambarkan bahwa kandungan polusi SO2 paling banyak disumbang oleh kegiatan industri sedangkan kegiatan

transportasi menempati urutan

berikutnya.

Kepadatan hunian dan sanitasi rumah juga bisa mempengaruhi terjadinya

139.908 149.889 110.893 21,64 54,47 23,03 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 2015 2016 2017

Penyakit ISPA SO2

139.908 149.889 110.893 1.617.022 1.716.698 1.811.498 1.500.000 1.550.000 1.600.000 1.650.000 1.700.000 1.750.000 1.800.000 1.850.000 0 50.000 100.000 150.000 200.000 2015 2016 2017

(8)

ISPA. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati dan Fitriah pada Tahun 2010 menginformasikan bahwa erat kaitan hubungan antara lingkungan fisik rumah seperti kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis dinding, jenis bahan bakar masak dan keberadaan saluran pembuangan asap dapur dengan kejadian penyakit ISPA. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok, kepadatan hunian didalam rumah, ventilasi kamar balita dan keberadaan hewan peliharaan didalam rumah dengan kejadian ISPA[11].

Disamping hasil penelitian-penelitian tersebut, pada dasarnya faktor cuaca pun sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA apabila daya tahan tubuh sedang menurun.

Disisi lain, menurut informasi yang dirilis Humas Kota Bandung pada tanggal 22 Maret 2018, tanggal 21 Maret telah

ditetapkan sebagai Hari Hutan

Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Nomor 67/200 sejak tahun 2012. Di Indonesia Hari Hutan Internasional baru diperingati secara rutin sejak tahun 2014. Tahun

2018, Hari Hutan Internasional

mengusung tema "Forests and Sustainable Cities" alias "Hutan dan Kota Berkelanjutan". Hutan kota merupakan salah satu komponen Ruang Terbuka Hijau (RTH). Keberadaan hutan kota berfungsi sebagai sistem hidroorologi, menciptakan iklim mikro, menjaga

keseimbangan oksigen (O2) dan

karbon dioksida (CO2), mengurangi

polutan, dan meredam kebisingan.

Terkait Hari Hutan Internasional yang mengusung tema Hutan dan Kota Berkelanjutan, DPKP3 Kota Bandung telah mengaktifkan fungsi hutan kota dengan tidak mengurangi keberagaman flora. Pemerintah Kota Bandung melalui DPKP3 Kota Bandung terus berupaya menjaga eksistensi dan penambahan RTH seperti yang diamanatkan pemerintah UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota. Dalam aturan tersebut diamanatkan, luas minimal RTH 30 persen dari luas wilayah. Ini memang cukup sulit diterapkan di Kota Metropolitan seperti Kota Bandung. Akan tetapi, meskipun demikian dengan bertambahnya taman-taman kota dan pengaktifan hutan kota sedikit menambah Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung pada Tahun 2017 menjadi 12,21 persen, dibandingkan denga Tahun 2013 yang

mencapai 12,12 persen terjadinya

peningkatan sebesar 0,09 persen. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas udara, tidak menutup kemungkinan peningkatan RTH Kota Bandung yang terjadi pada Tahun 2017 mempengaruhi kadar polutan udara di Tahun 2017 sehingga memperbaiki kualitas udara di Kota Bandung.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa polusi udara yang ditimbulkan dari gas emisi

buang kendaraan yang cenderung

bertambah dari tahun ke tahun sejalan dengan bertambahnya volume kendaraan tidak secara langsung mempengaruhi terjadinya morbiditas Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kota Bandung, terutama dari polutan SO2 yang secara senyawa kimia parameter tersebut dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas sehingga menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan meningkatkan asma.

Kejadian ISPA bisa terjadi akibat faktor lain yang tidak diteliti dalam tulisan ini, faktor-faktor tersebut bisa dari polusi udara dalam ruangan, polusi asap rokok, polusi dari industri atau penggunaan bahan kimia sintetis yang terus meningkat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dirgawati M dan Soemirat J pada Tahun 2008 dikatakan bahwa dari hasil kegiatan pemantauan kualitas udara ambien oleh BPLH Kota Bandung dalam kurun waktu Tahun 2001-2003 menunjukkan bahwa nilai kadar SO2 yang bersumber dari industri mempunyai nilai tertinggi yaitu

(9)

transportasi sebesar 43,74 µg/Nm3 dan pemukiman sebesar 37,51 µg/Nm3. Dari

penelitian tersebut menggambarkan

bahwa kandungan polusi SO2 paling banyak disumbang oleh kegiatan industri

sedangkan kegiatan transportasi

menempati urutan berikutnya.

Disamping itu, bertambahnya Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung dari 12,12 persen Tahun 2013 menjadi 12,21 persen Tahun 2017 dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas udara menjadi lebih baik. Hal ini dapat digambarkan dari konsentrasi parameter SO2 yang secara rata-rata mengalami penurunan di Tahun 2017, demikian juga halnya dengan Morbiditas penyakit ISPA yang menurun tajam di Tahun 2017 mencapai -26,02 persen.

KEPUSTAKAAN

1. Saepudin, Aep, Tri Admono, 2005. Kajian Pencemaran Udara Akibat Emisi Kendaraan bermotor di DKI

Jakarta, LIPI: 29-39.

2. Nuraini Santi, Devi, 2001. Pencemaran

Oleh Timbal Serta

Penanggulangannya, FK USU.

3. Gloria Safira taylor, CNN Indonesia, 2017. Lima Penyakit yang Mengintai

dibalik Pekatnya Polusi Udara.

https://www.cnnindonesia.com/gay

a-hidup/lima-penyakit-yang- mengintai-di-balik-pekatnya-polusi-udara. Diakses tanggal 21 Desember 2018.

4. Winarno, Joko,2014. Studi Emisi Gas Buang Kendaraan Bermesin Bensin Pada Berbagai Merk Kendaraan dan

tahun Pembuatan, Universitas

Janabadra. Jogyakarta.

5. Yuliastuti, Ambar, 2008. Estimasi Sebaran Keruangan Emisi Gas Buang

Kendaraan Bermotor Di Kota

Semarang. Universitas Diponegoro.

Semarang

6. Muziansyah, Devianti, Sulistyorini, Rahayu, Sebayang, Syukur, 2015. Model Emisi Gas Buangan Kendaran

Bermotor Akibat Aktivitas

Transportasi (Studi Kasus : Terminal Pasar Bawah Ramayana Kota Bandar

Lampung, Vol 3, No 1: 57-70.

7. Dirgawati, M dan Soemirat, J, 2008. Hubungan dan Analisis Resiko Kualias Udara Ambien Terhadap Mortalitas

dan Morbiditas di Kawasan

Pemukiman, Industri dan Padat Lalu

Lintas Kota Bandung, Lapan. Bandung.

8. Holzworth, G.C & Cormick, R.A, 1976.

Air Pollution. Third edition. Academy

Press, New York : Air Pollution Climatology. In A.C Stren (Eds). Vol. 1. 9. ISPA, diakses tanggal 20 Desember

2018.

https://www.alodokter.com/ispa. 10. Tugaswati, A.T, 2008. Emisi Gas Buang

Kendaraan bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan.

11. Adinda Rudystina : 5 Dampak Polusi

Udara Terhadap Kesehatan. Diakses

tanggal 21 Desember 2018.

https://hellosehat.com/hidup- sehat/tips-sehat/dampak-polusi-udara-terhadap-kesehatan.

12. Walhi : Ketiadaan data akurat

perburuk Polusi di Indonesia. Diakses

tanggal 12 Desember 2018.

http:www.dw.com.

https://www.dw.com/id/walhi- ketiadaan-data-akurat-perburuk-polusi-di-indonesia/a-43620871. 13. Badan Pusat Statistik, 2018. Kota

Bandung Dalam Angka 2018.

Bandung. BPS Kota Bandung.

14. Badan Pusat Statistik, 2017. Kota

Bandung Dalam Angka 2017.

Bandung. BPS Kota Bandung.

15. Badan Pusat Statistik, 2016. Kota

Bandung Dalam Angka 2016.

Bandung. BPS Kota Bandung.

16. Badan Pusat Statistik, 2015. Kota

Bandung Dalam Angka 2015.

Bandung. BPS Kota Bandung.

17. Dinas Kesehatan, 2017. Profil

Kesehatan Kota Bandung Tahun 2017.

Bandung. Dinas Kesehatan Kota Bandung.

18. Dinas Kesehatan, 2016. Profil

Kesehatan Kota Bandung Tahun 2016.

Bandung. Dinas Kesehatan Kota Bandung.

19. Dinas Kesehatan, 2015. Profil

Kesehatan Kota Bandung Tahun 2015.

Bandung. Dinas Kesehatan Kota Bandung.

(10)

20. Dinas Kesehatan, 2014. Profil

Kesehatan Kota Bandung Tahun 2014.

Bandung. Dinas Kesehatan Kota Bandung.

21. Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta.

https://www.cnnindonesia.com/gay a-hidup/lima-penyakit-yang- https://www.alodokter.com/ispa. Adinda Rudystina https://hellosehat.com/hidup- sehat/tips-sehat/dampak-polusi-udara-terhadap-kesehatan. https://www.dw.com/id/walhi- ketiadaan-data-akurat-perburuk-polusi-di-indonesia/a-43620871.

Gambar

Tabel  1  menunjukkan  jumlah  kendaraan dalam kurun waktu lima  tahun  rata-rata  meningkat  lebih  dari  5  persen
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter SO2 di Kota Bandung Tahun 2015-2017 (µg/Nm3)
Tabel 3. Jumlah kejadian penyakit ISPA di Puskesmas di Kota Bandung Tahun 2014-2017  Tahun  Penyakit ISPA  Seluruh Kejadian Kesakitan Jumlah  Persentase
Grafik 1. Rata-rata hasil pengukuran SO2 (µg/Nm3) dan Kejadian Penyakit ISPA  Di Kota Bandung Tahun 2015-2017

Referensi

Dokumen terkait

Setelah berhasil login, maka akan muncul tampilan menu utama biro perencanaan seperti pada. gambar

faktor yang mempengaruhi harga saham diantaranya adalah, proyeksi laba per lembar saham, tingkat resiko dari proyeksi laba, proporsi hutang perusahaan terhadap ekuitas, kebijakan

Guru pamong yang membimbing praktikan selama PPL adalah Suhartini, S. Kualitasnya sangat baik, beliau memberikan bimbingan dan pengarahan. Selain itu, beliau juga memberikan

• Fasilit at or menj elaskan bagaimana sulit nya bagi pendengar unt uk bisa menyimak dan mencer it akan kembali semua inf or masi yang diber ikan penyiar.. Oleh kar ena it u sangat

Tungau karena itu erangan tung t berkemban Daun Ber ntok, (c) K ermukaan masih sedik Minggu keem yang dipan ntara pada satu tanama naman yang minggu keem u biasanya m banyak bu

Salah satu sumber pakan bagi rotifera yang akan dilakukan penelitian yaitu pemberian ikan tongkol dengan kandunga protein yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai

Bahagian ini terbahagi kepada dua untuk memudahkan pengkaji menganalisis secara khusus akan bentuk pengamalan wanita hamil di Bandar Baru Bangi iaitu pengamalan spiritual

Strategi brand communication dalam penguatan brand awareness pada program OLAS KEMBAR “Ojo Lungo Adoh Sak Durunge Kemput Blitar” oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah