• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian dan Pembentukan Oxisol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian dan Pembentukan Oxisol"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Pembentukan Oxisol

Oxisul adalah tanah mineral yang kaya seskuioksida, telah mengalami pelapukan lanjut dan banyak terdapat di daerah sekitar khatulistiwa. Tanah ini meliputi sebagian besar dari tanah-tanah yang dulu disebut Laterit. Ground Water Laterite (Laterit Air Tanah) dan Latosol (Hardjowigeno, 1993).

Menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1994), yang dimaksud dengan Oxisol adalah tanah yang mempunyai salah satu:

1 . Horison oksik yang batas atasnya berada pada kedalaman 150 cm atau kurang dari permukaan tanah mineral, dan tidak mempunyai horison kandik yang batas atasnya beratla pada kedalaman tersebut, atau

2 . Pada fraksi tanah halus antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm (setelah dicampur) kadar liatnya 40 % atau lebih (berdasar berat) dan horison kandik yang mempunyai mineral mudah lapuk memenuhi sarat horison oksik dan batas atasnya berada pada kedalaman 100 cm atau kurang dari permukaan tanah mineral. Berdasarkan batasan yang telah disebutkan diatas horison penciri tanah Oxisol ialah horison oksi k atau kandik.

Horison oksik proses pembentukannya terutama melalui proses desilikasi dan konsentrasi besi bebas dan kadang-kadang gibsit yang kemudian mempengaruhi jenis mineraI dominan pada tanah tersebut. Proses desilikasi merupakan proses pencucian silika dari profit tanah, dimulai sejak permulaan dekomposisi mineral di permukaan batuan induk, dan terus berlanjut selama proses pembentukan tanah berjalan. Silika dapat tercuci dari tanah karena suhu yang tinggi seperti yang terdapat di daerah tropika dapat meningkatkan daya larut silika. Di samping itu karena curah hujan yang tinggi pencucian berjalan cepat sehingga Iarutan tanah tidak pernah jenuh Si, akibatnya daya larut silika

(2)

temp tinggi (Hardjowigeno, 1993).

Horison kandik adalah horison bawah penciri yang mempunyai kandungan liat lebih tinggi daripada lapisan diatasnya dan mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) 16 cmol (+) atau kurang per kg liat (NH,OAc 1 N pH 7 ) dan KTK efektif 12 cmol

(+)

atau kurang per kg liat (jumlah basa-basa diektrasi dengan NH,OAc 1 N pH 7 ditambah Al diekstraksi dengan KC1 1 N), dan tekstur pasir sangat halus berlempung atau lebih halus (Soil Survey Staff, 1994). Fraksi liatnya didominasi oleh mineral liat tipe 1: 1 terutama kaolinit, dengan sejumlah oksida dan hidroksida besi dan alumunium. Selaput liat dapat ada ataupun tidak ada (SMSS, 1986). Kandungan liat yang lebih tinggi pada horison kandik daripada lapisan atasnya diakibatkan oleh adanya satu atau beberapa proses, yang bekerja baik secara simultan maupun secara bertahap. Proses-proses yang cukup penting adalah : (1). Proses iluviasi dan eluviasi liat. (2). Proses penghancuran (destruksi) Iiat. dan (3). Proses sedimentasi bahan-bahan kasar pada horison permukaan.

Perkembangan tanah menurut Tavernier dan Eswaran (1972) dapat dibedakan menjadi tingkat entik, kambik, argilik dan tingkat oksik, sedangkan Ranst (1987) menambahkan satu tingkat lagi antara argilik dan oksik. yaitu tingkat ultik. Berdasarkan urutan tingkatan perkembangan tanah tersebut, tanah Oxisol termasuk tanah dengan tingkat perkembangan ultik dan oksik (Gambar 1).

Tingkat entik merupakan tahap awal yang ditandai oleh adanya fragmen batuan, fraksi koIoid antara mineral amorf dan kristalin yang biasanya didominasi mineral liat tipe 2: 1. Pada bahan induk basal, haloisit dapat membentuk lebih dari 75 % dari mineral liat kristalin. Pada bahan volkan yang mempunyai potensial pelapukan yang tinggi seperti gelas volkanik sering ditemukan alumunium silikat amorf pada fraksi koloidnya. Pada tingkat kamhik mineral liat tipe 2:l terdapat dalam jumlah banyak sedangkan tipe 1:l sering ditemukan dalam jumlah yang cukup. Pada tanah dari bahan induk basal, kaolinit dan haloisit ditemukan dalam jumlah yang hampir sama, sedangkan montmorilonit sedikit. Besi bebas meningkat jumlahnya tetapi oksida besi kristalin tidak atau hanya sedikit

(3)

Epidon di atas bahan induk yang sedikit melapuk atau sedimen tak teruraikan.

Tergantung asal bahan induk dan drainasr, tahap 2 dapar dibagi menjadi 3 tipe.

A-(B)-C profil : INCEPTISOL

Epidon di stas horison kambik dengan liat

I

TAHAP 2A

I

Epidon di atas horison kambik dengan liat aktivitas tinggi dan Fe dan Al arnorf

TAHAP 3 (ARGILIK)

Epidon diatas horison argilik dengan liat aktivitas tinggi.

A-Bt-C ~ r o f i l : ALFISOL

I

TAHAP 4 (ULTIK)

I I

TAHAP 2 C

Epidon di atas horison argiliklkandik Epidon di atas horison kambik

I

TAHAP 5 (OKSIK) Epidon di atas horison oksik

A-Box-C profil : OXISOL dengan liat aktivitas rendah

A-Bt-C profil : ULTISOLlOXISOL

Gambar 1 . Tingkatan Perkembangan Tanah di Daerah Tropika (Tavernier dan Eswaran 1972; Ranst, 1987).

dengan liat aktivitas rendah

(4)

7 ditemukan. Tingkat argilik ditunjukkan oleh dominasi fraksi liat kristalin kaolinit. walaupun krulang-kadang masih ditemukan mineral Iiat tipe 2: 1. Terjadi keseimbangan antara pembentukan liat dan penghancuran liat, meskipun kadang-kadang penghancuran lebih banyak. Kandungan besi bebas mulai tinggi dan mengkristal sebagai goetit, sisanya dalam bentuk amorf. Silika sebagian dicuci dan sebagian lagi mengkristal sebagai kuarsa. Pada tingkat okik-haplik mineral liat tipe 2:1 jarang ditemukan dan salah satu sifat morfologi yang menonjol ialah kehilangan struktur tanah makro. Sejumlah kaolinit mungkin ditemukan dan besi bebas mencapai jumlah maksimum dan bentuk besi kristalin didominasi goetit dan sedikit hematit. Alumunium yang dibebaskan mengkristal menjadi gibsit. Tingkat oksik-akrik rnerupakan tingkat akhir dari pembentukan oksida atau hidroksida, mineral liat alumunium silikat sedikit ditemukan. Kadang-kadang ditemukan muatan posirip s e n . pH-KC1 lebih tinggi dari pH-H,O, besi bebas mendominasi fraksi liat terutama dalam bentuk goetit.

Sifat Mineralogi Oxkot

Dari aspek mineral fraksi pasir, tanah Oxisol tampaknya tidak begitu menonjol, karena hanya terdiri dari mineral sisa yang berupa mineral resisten, sebagai akibat peIapukan yang telah lanjut. Mineral tersebut umumnya kuarsa, zirkon, dan mineral opak. Pada fraksi liat, mineral yang umum dijumpai adalah kaolinit, oksida/hidroksida besi dan alumunium (Juo dan Adams, 1986).

Oksida besi di dalam tanah dapat dibagi menjadi oksida besi yang bersifat amorf dan kristalin. Akan tetapi menurut Schwertmann dan Taylor (1989) oksida besi dalam tanah yang dianggap amorf disebabkan oleh sulit mendeteksinya, karena fase kristalin dan konsentrasinya rendah. Beberapa mineral yang dahulu dianggap amorf seperti ferihidrit sekarang masuk kelompok kristalin setelah adanya metoda analisis yang lebih teliti. Menurut Tan (1991) dan SegaIen (1971) oksida besi yang bersifat kristalin terdiri atas

(5)

8 hidroksida besi, yaitu goetit ( a - FeOOH) dan lepidokrasit (7- FeOOH) dan oksida besi yaitu hematit ( a - Fe,03) dan maghemit (T- Fe,O,). Sedangkan ferihidrit (Fe5H0,.4H,O) merupakan hidroksida besi amorf.

Besi yang terikat dalam struktur mineral silikat, pelepasannya selama proses pelapukan nletalui proses protolisis dan oksidasi (Schwertmann, 1988 dan Schwertmann dan Taylor, 1989). Selanjutnya besi yang dibebaskan melalui protolisis dapat segera teroksidasi bila ada oksigen, atau terangkut sampai mencapai daerah yang mengandung oksigen.

Berncr dan Scot (1982) mengemukakan alternatif lain, yaitu oksidasi besi dapat terjadi di dalam struktur silikat sendiri. Karena perubahan ukuran dan muatan dari fero menjadi feri, maka mineral tersebut menjadi hancur. Jika Fe3+ terlepas, segera terhidrolisis membentuk oksida bila kontak dengan air. Pengangkutan besi lebih mudah dalam keadaan reduktif karena besi fero lebih mudah larut. Ini dapat terjadi kapan saja dan dimanapun pada tempat-tempat yang kekurangan oksigen, misalnya karena aktivitas mikroba. Kemudian besi fero yang terbentuk dapat teroksidasi kembali di tempat tersebut, atau dapat diangkut dan mengalami oksidasi pada lingkungan baru, mungkin membentuk fase mineral baru. Jadi besi dalam suatu oksida dapat mengalami periode mobilisasi dan imobilisasi yang berbeda-beda, yang dapat merupakan siklus dalam waktu yang cukup pendek. Proses ini dapat membawa kepada pencirian dari konsentrasi oksida besi tinggi dan rendah pada berbagai sekala, seperti agregat, horison, profil atau lanskap.

Khusus pada tanah-tanah berliat aktivitas rendah seperti Oxisol, oksida besi yang banyak dijumpai adalah goetit dan hematit (Segalen, 1971 ; van Schuylenborg, 1971; Allen dan Hajek, 1989). Mineral tersebut terbentuk melalui berbagai proses pembentukan tanah, namun memerlukan lingkungan drainase baik atau agak baik. Menurut van Schuylenborgh, (1971) terbentuknya oksida besi dapat melalui proses ferralitisasi atau desilikasi. Pada proses tersebut terjadi pelepasan silika dari mineral silikat dan kuarsa. Disamping itu dilepaskan pula logam-logam alkali dan alkali tanah dan akhirnya unsur-unsur tersebut tercuci.

(6)

9 Menurut Schwertmann (1988) pembentukan goetit dan hematit sangat dipengaruhi o k h temperatur dan kelembaban. Pada daerah dingin dan lembab umumnya tidak dijumpai hematit akan tetapi hanya goetit, sedangkan pada daerah yang lebih panas banyak dijumpai tanah merah dan mengandung banyak hematit.

Schwertmann dan Taylor (1989) menambahkan bahwa pembentukan goetit disokong oleh temperatur relatif rendah, aktivitas H,O yang tinggi dan kandungan bahan organik yang tinggi. Curi dan Franzmeier (1984) yang melakukan penelitian toposekuen Oxisol di Brazil Tengah, menunjukkan bahwa tanah-tanah di bagian lereng atas yang lebih kering berwarna merah dan lebih banyak mengandung hematit, sedangkan tanah-tanah di bagian lereng bawah yang lebih lembab berwana kekuningan dan hanya mengandung goetit. Hasil penelitian pada tanah Oxisol yang dilakukan Karim dan Adams (1984) di Melawai juga mendukung keadaan tersebut.

Mineral lain yang banyak dijumpai pada Oxisol seperti dikemukakan di atas adalah gibsit dan mineral tipe 1 : 1 terutama kaolinit. Gibsit dan berbagai polimorf lain dari oksida dan hidroksida besi biasanya berada sama-sama sebagai produk akhir dari suatu pelapukan yang telah lanjut. Secara umum oksida dan hidroksida besi akan terlihat lebih dulu dan lebih sering dari pada gibsit dalam suatu proses genesis tanah. Banyak horison oksik mengandung goetit dan atau hematit tanpa gibsit, akan tetapi horison oksik yang hanya terdiri dari gibsit saja jarang dijumpai (Hsu, 1982).

Di dalam pernbahasan proses pembentukan gibsit, beberapa peneliti memperkirakan bahwa mineral primer melapuk langsung menjadi gibsit (Young dan Stephen, 1965). Namun beberapa peneliti lain memperkirakan bahwa pembentukan gibsit melalui fase intermedier mineral liat dulu (Hsu, 1982).

Keller (1954) seperti dikutip Hsu (1982) mengemukakan bahwa pembentukan gibsit dan kaolinit merupakan suatu reaksi yang dikontrol oleh pH serta konsentrasi A1 dan Si dalam larutan. Tahap pertama dari pelapukan kimia menyangkut pergantian basa-basa yang terdapat pada kristal mineral primer oleh H+, yang kemudian diikuti oleh pecahnya

(7)

ikatan AI-0-Si dan melepaskan Al dan Si ke dalam lamtan.

Jika konsentrasi Si dalam larutan menjadi sedikit akibat pencucian, maka akan terbentuk gibsit (Bohn et al. 1979) menurut reaksi berikut:

~ 1

+

~3 +H,O

---->

3 H+

+

AI(OH)~

Namun demikian jika air perkolasi bergeraknya lambat, akan terjadi pengumpulan Si dan akan bergabung lagi dengan A1 mernbentuk kaolinit.

A13+

+

Si(OH),

+

$5 H,O

---->

3

Hf

+

'A AI,Si,O,(OH),

Karena itu jika mineral rnelapuk apakah langsung menjadi gibsit atau melalui fase intermedier kaolinit dulu, sangat dipengaruhi oleh intesitas pencucian, dimana secara keseluruhan dipengaruhi oleh curah hujan. temperatur, bahan induk, topografi, muka air tanah, vegetasi dan waktu.

Menurut Bohn et a1 (1979) jika silika pada tanah kaolinitik tercuci, rnengakibatkan konsentrasi Si menjadi rendah, sehingga kaolinit tidak stabil d a n hancur menjadi gibsit dan membebaskan S i yang masih tertinggal.

AI,Si,O,(OH),

+

5 H,O

---->

2 Si(OH),

+

AI(OH),

Pengamatan dari beberapa pustaka (Young d a n Stephen, 1965) menunjukkan adanya bukti yang rnendukung bahwa pembentukan gibsit langsung umumnya terjadi pada kondisi curah hujan dan temperatur tinggi. bahan induk batuan intermedier atau basa dan keadaan drainase baik. Sedangkan adanya fase intermedier kaolinit terjadi pada kondisi drainase agak baik. Harrison (1934) seperti dikutip Hsu (1982) mengemukakan bahwa di daerah iklim tropika basah batuan beku intermedier atau basa melapuk langsung menjadi gibsit, tetapi dari batuan masam melapuk menjadi kaolinit dan kemudian gibsit.

(8)

Sifat Kimia Oxisol

Sifd-siifat Muatan.

Pengetahuan tentang sifat-sifat muatan koloid tanah sangat berguna dalam menginterpretasi data untuk keperluan pengelolaan tanah yang bersangkutan. Berdasarkan asal muatan mineral dibagi kedalam dua golongan besar, yaitu : (1) Mineral dengan muatan tetap dan (2). Mineral dengan rnuatan tidak tetap (muatan variabel). Akan tetapi menurut Uehara clan Gillman (1981) pembagian kedua jenis tersebut tidak mutlak. karena suatu tanah dapat mernpunyai kedua jenis mineral tersebut dan koloid tanah biasanya terdiri dari campuran berbagai mineral.

Muatan temp terjadi karena adanya proses substitusi isomorfik (Tan, 1991: Sakurai, 1989). Sebagai contoh substitusi ion alumunium yang bervalensi tiga oleh ion magnesium yang bervalensi dua, akan menyebabkan kelebihan rnuatan negatip. Muatan tidak temp (variabel) terjadi karena meningkatnya ionisasi gugus-gugus fungsional dari bahan organik dan gugus-gugus OH dari patahan mineral liat atau hidroksida besi dan alumunium akibat naiknya pH (Hardjowigeno, 1993).

Pada rnasa lalu mineral dengan rnuatan tidak temp disebut mineral bermuatan tergantung pH, sebab rnuatannya tergantung pada p H larutan. Akan tetapi karena tidak hanya tergantung pada pH, tetapi juga tergantung pada faktor lain seperti konsentrasi elektrolit dan valensi ion lawan (counter ion) dari larutan kesetimbangan (Kyuma, 1982: Gillman dan Bell, 1976). maka sebutan "muatan variabel" dianggap lebih baik. Muatan variabel merupakan sifat muatan dari tanah liat aktivitas rendah (LAR) seperti Oxisol, yang Iiatnya didominasi mineral liat tipe 1:l dan oksida besi dan alumunium. Menurut Parfitt (1988) tanah-tanah dengan muatan variabel adalah tanah-tanah yang muatan negatipnya meningkat seiring dengan rneningkatnya p H dan muatan positipnya Qika ada) menurun.

(9)

partikel tanah dapat berubah-ubab tergantung pH tanah. Ini menyebabkan perilaku fisika-kimia tanahnya berbeda dengan tanah bermuatan tetap (Uehara dan Gillrnan. 1981; Sakurai, 1989). Nilai pH pada saat terjadinya muatan bersih sama dengan nol, disebut muatan titik no1 (MTN) atau disebut pH,. Pada nilai pH diatas pH,, koloid akan berrnuatan negatif, sedangkan pada nilai pH dibawah pH,, koloid akan berrnuatan positip (Tan, 1991).

Jika pH larutan tanah sama dengan pH, atau pada muatan titik no1

(MTN),

liat berrnuatan variabel mempunyai muatan nol. dan ini artinya liat mempunyai reaktivitas yang terkecil atau rnempunyai stabilitas rnaksimum baik fisik rnaupun kirnia. Karena itu diduga bahwa pada tingkat pelapukan lanjut dimana tanah sudah tidak mengalamai perubahan lagi, tanah akan memiliki nilai pH, sama atau mendekati pH dari tanah itu sendiri (Kyuma, 1982).

Kapasitus Tukar Kation (KTK) dun Kapasitas Tukar Anion (KTA)

Kapasitas tukar kation (KTK) dan kapasitas tukar anion (KTA) adalah merupakan hasil muatarl permukaan dan luas perrnukaan. Muatan permukaan seperti telah dibahas dimuka, sangat tergantung pada pH larutan tanah dan pH,.

Pada kebanyakan tanah-tanah Oxisol, jumlah muatan permanen sangat kecil, sedangkan KTK dan KTA kebanyakan berasal dari muatan variabel pada permukaan mineral-mineraI oksida dan bahan organik. Tinggi rendahnya niIai KTK dan KTA ini tergantung pada pH tanah dan juga luas permukaan dari koloid tanah (Juo dan Adams,

1986).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pH kebanyakan tanah LAR (Ultisol dan Oxisol) adalah antara 4 dan 6 (Gallez, Juo dan Herbillon, 1976: Gillman dan Bell. 1976). sedai~gkan MTN dari oksida besi dan alumunium dan hidroksidanya terjadi pada pH antara 7 dan 9. Dengan dernikian oksida besi dan alumunium hanya akan rnenyumbang jerapan anion. Namun menurut Juo dan Adams (1986) kapasitas tukar anion (KTA)

(10)

13 kurang berguna bagi karakterisasi tanah, karena sebagian besar anion yang dijerap tanah tidak hanya melalui mekanisme pertukaran ion secara sederhana, tetapi juga meialui jerapan spesifik dan pertukaran ligan.

Menurut Juo dan Adams (1986) ada dua komponen anorganik utama yang mempengaruhi KTK dan KTA tanah-tanah LAR, yaitu kaolinit dan oksida besi. Kaolinit umumnya mempunyai luas permukaan kecil (15-30 mz/gr) dan mempunyai muatan temp relatip rendah. Oksida dan hidroksida besi terdapat dalam bentuk partikel dengan ukuran kecil, dengan luas permukaan relatip lebih besar f 150

-

300 m2/gr). Akan tetapi hidroksida besi di dalam fraksi liat sebagian besar dijumpai sebagai selaput pada permukaan mineral silikat. Dengan demikian luas permukaannya berkurang (50 - 100 mz/gr). Meskipun luas permukaannya relatip lebih besar dari kaol init, tetapi pada pH tanah-tanah Oxisol umumnya, yaitu sekitar 4

-

6, muatan negatipnya kecil sekali. Dengan demikian dua komponen anorganik tersebut diatas, sumbangannya sangat kecil terhadap KTK. Sesuai dengan definisi, tanah Oxisol mempunyai KTK (NH,OAc 1 N pH 7) 16 cmol(+) per kg liat atau kurang dan KTK efektif 12 cmol

(+)

per kg liat atau kurang.

Pengaruh oksida alumunium (gibsit) terhadap KTK dan KTA kurang nyata. Gibsit dijumpai pada beberapa tanah Oxisol dalam jumlah yang relatip kecil. Lagi pula gibsit cendemng n~embentuk partikel dengan ukuran yang lebih besar dengan luas permukaan lebih kecii dari pada oksida besi.

Menurut Juo dan Adams (1986) untuk tanah-tanah yang didominasi koloid bermuatan variabel, metoda pengukuran KTK berdasar jumlah kation sering memberikan nilai yang kurang realistik, yaitu KTK lebih besar sebagai hasil perhitungan yang terlalu tinggi dari kemasaman dapat dipertukarkan dengan BaC1,-TEA pada p H 8.2. Penggunaan metoda NH,OAC biasa juga memberikan KTK yang iebih tinggi, sebab diukur pada pH yang lebih tinggi. Metoda pengukuran KTK yang realistik adalah dengan jalan menentukan muatan fistrik dari tanah.

(11)

yang baik antara muatan negatip dan KTK efektif pada tanah-tanah LAR, seperti disajikan pada Tabel 1. Karena itu KTK efektip memberikan nilai yang lebih realistik dan akan mendekati nilai lapang (Karnprath, 1970).

Metoda KTK efektip merupakan metoda yang sudah diakui oleh laboratorium-laboratorium tanah di International Institute for Tropical Agriculture (IITA) dan banyak laboratorium tanah lainnya di negara tropika sebagai metoda standar untuk menentukan KTK tanah-tanah LAR (Juo dan Adams, 1986).

Tabel 1. Muatan Positip dan Negatip' dan Kapasitas Tukar Kation Efektif' beberapa Tanah LAR (Gallez, Juo dan Herbillon, 1976)

Muatan listrik (cmol( +)/kg) Kapasitas Tukar

Tanah Kation Efektip

Positip Negatip (cmol(

+

)/kg)

Paleustal f B2 t 0.6 4.1

Paleustult B2 I t 0.4 1.3 Tropohumul t B2 1 t 2.1 5.7

) Diukur dengan adsorpsi CI' clan Na' NaClO.O1 M pada pH 3

' 3 lumlah basa (NH,OAC 1 N pH 7) ditambah kernasaman dapat dipertukackan (KC1 1 N)

Jerapan Anion.

Tanah-tanah LAR dapat memfiksasi sejumlah anion sepeni silikat dan fosfat pada tempat-tempat yang bermuatan positip dari permukaan oksida besi dan alumunium. Diantara Ordo tanah, Andisol merupakan yang tertinggi dalam jerapan fosfatnya, kemudian Oxisol dan setelah itu Ultisol dan beberapa Inceptisol (Sanchez. 1976)

Menurut Bolt (1976 dalam Tan, 1991) urutan jerapan anion adalah sbb: silikat

>

fosfat

>

sulfat

>

nitrat = chlorida.

(12)

pertama berpengaruh terhadap pengelolaan kesuburan sedangkan silikat sangat berguna dalam menentukan tingkat pelapukan (Gallez, Herbillon dan Juo, 1977). Akibat adanya jerapan fosfat, mengakibatkan fosfat menjadi tidak larut dalam air dan relatif tidak tersedia bagi tanaman. Jerapan ini dapat terjadi antara fosfat dan oksida/hidroksida besi dan alumunium atau antara fosfat dan mineral silikat (Tan, 1991). Mekanismenya secara sederhana digambarkan sbb: OH OH I I AI-OH

+

H,P04- = = = s

>

AI-H,PO, I

I

OH OH Tidak larut

Kapasitas jerapan fosfat diketahui sangat berkorelasi positip dengan sifat-sifat tanah seperti luas permukaan, alumunium dapat ditukar, kadar liat dan kandungan oksida besi dan alumunium total (Syers ez al, 1973; Udo dan Uzu, 1972; Juo dan Fox, 1977). Schwertmann dan Taylor (1989) mengemukakan bahwa oksida besi dan alumunium yang bersifat amorf karena mempunyai luas permukaan yang besar akibat ukuran butirnya kecil, sangat reaktif dan sangat bertanggung jawab terhadap jerapan fosfat dalam tanah. Oksida besi kristalin seperti goetit dan hematit mempunyai kapasitas jerapan fosfat yang kurang dibandingkan dengan yang berbentuk amorf. Hal yang sama berlaku untuk oksida alumunium, dimana gibsit lebih kecil kapasitas jerapannya dari pada oksida alumunium amorf. Penelitian yang dilakukan Sah, Mikkelsen dan Hafer (1989) seperti dikutip Rachim (1994) mendukung pernyataan tersebut. Ternyata bahwa oksida besi amorf berkorelasi paling baik tlengan jerapan fosfat dibandingkan dengan oksida besi terekstrak sitrat ditionit bikarbonat.

Hasil penelitian Juo dan Fox (1977) jerapan fosfat berkorelasi sangat nyata dengan Fe,O, dengan nilai r = 0.77. Sementara itu Bigham er a1 (1978) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian jerapan fosfat pada tanah Oxisol Brazil dan Ultisol USA, jerapan fosfat meningkat seiring dengan meningkatnya nisbah goetit terhadap hematit. Ini antara

(13)

lain disebabkan goetit mempunyai luas permukaan yang lebih besar dari pada hematit. Hal yang sama dijumpai dari hasil penelitian Curi dan Franzmeier (1984) dalam peneiitian toposekuen pada Oxisol Brazil. Jerapan fosfat pada tanah kuning lebih besar dari pada tanah merah. Penyebabnya disamping tanah kuning lebih banyak mengandung goetit, juga alumunium dapat ditukar tinggi. Sedangkan Karim dan Adams (1984) rnendapatkan bahwa fiksasi fosfat sangat berkorelasi dengan goetit dan tidak berkorelasi dengan kaolinit dan hematit.

Bahan organik dapat memblok tempat-tempat pada oksida besi dan alumunium, sehingga mengurangi jerapan fosfat (Hashimoto dan Takayama, 197 1 ; Weir, 1972; Moshi et al, 1974 dalarn Juo dan Adams, 1986). Pengaruh bahan organik di dalam satu profil terhadap jerapan fosfat sangat nyata sekali seperti terlihat pada Tabel 2. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa makin dalam bahan organik makin berkurang dan jerapan fosfat makin meningkat.

Tabel 2. Jerapan Fosfat pada Tanah Rhodustalf (Juo dan Adams, 1986)

PH Karbon Liat FqO3 Jerapan Fosfat' Horison (H2O) Organik (Ditionit) (P pg/ g tanah)

---

(%)

---

*) P yang dijerap tanah pada 0.2 ppm P dalam larutan kesetimbangan.

Dengan adanya jerapan fosfat dilaporkan bahwa KTK meningkat pada tanah-tanah LAR kaya oksida (Mekaru dan Uehara, 1972; Wan dan Uehara, 1978). Hal ini disebabkan karena adanya jerapan fosfat, muatan positip akan berkurang sehingga KTK naik.

(14)

Susunan Kution.

Berdasarkan definisi Oxisol mempunyai kandungan mineral mudah lapuk kurang dari 1 0 %. Keadaan ini mencerminkan bahwa tanah-ranah berpelapukan lanjut seperti Oxisol kurang dapat rnenyediakan unsur-unsur Ca, Mg, K , Na, P dan S (Sanchez dan Logan, 1992). Dengan kata lain tanah Oxisol mempunyai kandungan kation-kation basa yang sangat rendah, sehingga merupakan pembatas bagi penggunaan tanah ini. Fernbatas lain yang umum dijumpai pada tanah berpelapukan lanjut adalah kadar alumunium dan atau besi yang tinggi.

Tabel 3 menyajikan beberapa data susunan kation dan kejenuhan alumunium dari beberapa tanah Oxisol di Indonesia.

Tabel 3. Susunan Kation beberapa Tanah Oxisol di Indonesia

Kation (cmol (+) / kg tanah) Kejenuhan Daerah Horison

...

Aluminium

Ca Mg K Na

(56)

Sitiung 1) A P Bw2 Pelaihari 1) Ap S o 2 Kerinci A 2) A 302 Kerinci B 2) A 302 Sanggauledo 3) A Bo2 Sumber: 1) = Rachirn (1994) 2) = Subagio (1988)

(15)

Sifat Fisik Oxisol

Secara umum sifat fisik yang paling menonjol dari tanah-tanah LAR adalah stabilitas agregatnya yang cukup stabil dan daya menahan air tersedia yang rendah. Tanah-tanah tropika yang didominasi tanah-tanah Oxisol rnempunyai pH mendekati pH,. Ini berarti reaktivitas dari liat rendah, sebab muatan permukaannya rendah, sehingga partikel-partikel cenderung menggumpal dan membentuk agregat, yang selanjutnya diperkuat oleh adanya selaput dan penyemenan oleh oksida besi dan alumunium. Karena itu stabilitas struktur dari tanah-tanah LAB s e p e n i Oxisol umumnya lebih baik dari tanah-tanah liat aktivitas tinggi (LAT) (Kyuma, 1982). Cassel dan Lal (1992) menambahkan bahwapembentukan mikro agregat stabil berhubungan dengan muatan tanah dan jumlah oksida/hidroksida besi dan alumunium.

Ultisol dan Alfisol berbeda dengan Oxisol terutama dalam ha1 adanya kandungan liat yang meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Perbedaan ini menunjukkan adanya suatu fakta bahwa fraksi liat pada Oxisol kurang terdispersi dibandingkan Alfisol dan Ultisol. Penelitian Ahn (1979 dalam La1 dan Greenland, 1986) telah membuktikan ha1 ini. Tidak rnudahnya tanah terdispersi karena mikroagregatnya lebih stabil, akibat adanya selaput dan penyemenan oleh oksida besi.

Agregasi yang stabil pada tanah Oxisol biasanya dijumpai pada seluruh penampang. Pada horiso~l permukaan mikroagregasi diperkuat oleh kehadiran bahan organik, sehingga tanah cenderung mempunyai laju infiltrasi yang baik dan tahan terhadap erosi (La1 dan Greendland, 1986).

Adanya stabilitas stuktur yang tinggi dari tanah-tanah LAR juga diperlihatkan oleh rendahnya tingkat erodibilitas pada tanah-tanah ini jika dibandingkan dengan tanah-tanah LAT (El Swaifi, 1977 dalam La1 dan Greendland, 1986). Erodibilitas tanah-tanah Oxisol yang dikumpulkan dari beberapa negara oleh Cassel dan La1 (1992) lebih rendah jika dibandingkan dengan Ultisol dan Alfisol.

(16)

Hasil penelitian Undang Kurnia dan Soewardjo (1984) pada beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa indeks erodibilitas tanah (K) Oxisol berkisar antara 0.03 - 0.09, yaitu lebih rendah dibandingkan tanah Ultisol yang berkisar berkisar antara 0.10

-

0.32. Romkens et al (1977) menunjukkan pentingnya peranan AI,O, dan Fe,O, dalarn rnempengaruhi niIai K. Dari penelitian mereka terhadap sejumlah tanah didapatkan hubungan sebagai berikut :

K = 0.004

+

0.00023

M

-

0.108 ( % A1,03

+

Fe,O,)

dimana K adalah erodibilitas tanah, dan M adalah ( % debu

+

pasir sangat halus) X (debu

+

pasir).

Akan tetapi adanya stabilitas agregat tanah yang baik, tidak menjamin adanya sifat daya menahan air yang baik. Kebanyakan tanah-tanah LAR dicirikan oleh rendahnya kapasitas menahan air tersedia. Sharrna dan Uehara (1968) mencatat bahwa tanah bertextur berat yang didominasi oleh kaolinit dan oksida berlaku seperti tanah-tanah berpasir dalam ha1 melepas dan menahan air. Sebagian besar air tersedia hilang pada 0.2 bar, sedangkan air yang tersisa hanya hilang pada tekanan tinggi ( > 1 0 0 bar). Karena itu kapasitas menahan air tersedia dari tanah-tanah ini rendah. Moorman dan van Wambeke (1978 dalarn Kyuma, 1982) membandingkan tanah-tanah LAR dan tanah-tanah LAT mengenai KTK dan kapasitas rnenahan air tersedia, yaitu 14.6

*

3.6 cmol(+) per kg dan 16.5

*

6 % untuk tanah-tanah LAR serta 62.8 f 13.5 cmol(+) per kg dan 38.7

*

19.4

% untuk tanah-tanah LAT.

Ciri lain pada tanah-tanah Oxisol yang didominasi oksida besi, dijumpainya plintit dan atau batu besi (Cassel dan Lal, 1992). Plintit adalah bahan tanah yang kaya besi, dan mempunyai tendensi mengeras menjadi batu besi sebagai akibat adanya fluktuasi air tanah dan kondisi kering.

(17)

Taksonod Tanah dan A l i i Teknologi

Taksonorni Tanah.

Sistem klasifikasi Taksonomi Tanah yang diterbitkan oleh USDA tahun 1975 dengan judul "Soil Taxonomy, A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Surveys" merupakan penyempurnaan dari T h e Comprehensive System of Soil Classification

7*

Aprroximation (USDA, 1960). Sistem ini merupakan sistem ke-4 yang digunakan untuk survei tanah di Amerika Serikat dan dipakai sejak tahun 1965.

Pada tahap awalnya rnenurut Hardjowigeno (1993) sistem ini dibuat karena sistem yang lama, yaitu sistem Baldwin, Kellog dan Thorp (1938) yang kemudian diperbaiki oleh Thorp dan Smith (1949) sudah sulit untuk dikembangkan lagi. Salah satu kekurangannya yang utama dari sistem tersebut adalah tidak adanya definisi yang tepat terhadap sifat-sifat tanah daIam masing-masing kategori. Pada tahun 1951 akhirnya diputuskan untuk mengubah seluruh sistem klasifikasi tanah tersebut dengan yang baru.

Penemuan-penemuan baru setelah diterbitkannya Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1975) diterbitkan lagi dalam bentuk 'Keys to Soil Taxonomy' (Soil Survey Staff, 1983, 1987, 1990, 1992 dan 1994).

Prinsip dasar yang dianut dalam Taksonomi Tanah ialah bahwa suatu tanah diklasifikasikan menurut sifat-sifat dirinya sendiri dan tidak didasarkan atas sifat-sifat yang diasumsikan akan terjadi dikemudian hari dan bukan juga atas dasar sifat dari tanah-tanah sekitarnya (Smith, 1986). Didalam Taksonomi Tanah dikenal ada enam kategori, yaitu Ordo, Sub Ordo, Great Group, Sub Group, Famili dan Seri. Faktor pembeda didalam Ordo yaitu ada tidaknya horison penciri serta jenis (sifat) dari horison penciri tersebut. Sub Ordo pembedanya adalah keseragaman genetik, misalnya ada tidaknya sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan pengaruh air, rejim kelembaban, bahan induk utama, pengaruh vegetasi seperti ditunjukkan oleh adanya sifat-sifat tanah tertentu dan tingkat pelapukan bahan organik (untuk tanah-tanah organik).

(18)

Great Group faktor pembedanya adalah kesamaan jenis, tingkat perkembangan dan susunan harison, kejenuhan basa, rejim suhu dan kelembaban, ada tidaknya lapisan lapisan penciri lain seperti plintit, fragipan dan duripan. Faktor pembeda untuk Sub Group terdiri dari sifat-sifat khas dari Great Group, sifat-sifat tanah peralihan ke Great Group

.

Sub Ordo dan Ordo lain atau sifat-sifat tanah peralihan ke bukan tanah.

Faktor pembeda dalam Famili yaitu sifat-sifat tanah yang penting untuk bidang pertanian atau teknik. Sifat-sifat tanah yang sering digunakan sebagai faktor pembeda untuk Famili adalah sebaran besar butir, susunan mineral liat dan rejim temperatur tanah. Sifat lain yang kadang-kadang dipakai sebagai pembeda pada Famili adalah reaksi tanah. kedalaman tanah, Iereng. konsistensi dan kelas retakan. Sedangkan faktor pembeda untuk Seri tanah antara lain jenis dan susunan horison, warna, tektur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masing-masing horison, sifat-sifat kimia dari masing-masing horison dan lain-lain yang dalam kategori yang lebih tinggi belum dipergunakan sebagai pembeda dan berpengaruh terhadap potensi tanah.

Famiti Tanah Sebagai Dasar AIih Teknologi.

Menurut Silva dan Uehara (1985) ada tiga ha1 yang perlu diperhatikan agar suatu alih teknologi dapat berhasil, yaitu (1). Dasar untuk alih teknologi, (2). Bahasa untuk alih teknologi dan (3). Sumber inovasi untuk alih teknologi.

Pada waktu yang lampau alih teknologi sering hanya didasarkan pada pengalaman seseorang. Suatu teknologi yang telah dianggap berhasil disuatu daerah kemudian dialihkan ketempat lain dimana ia kunjungi. Jika lingkungan seperti iklim dan tanah dari daerah asal penemuan dan daerah baru dimana teknologi itu akan diterapkan serupa, maka akan ada harapan alih teknologi itu berhasil. Akan tetapi suatu hal yang mungkin terjadi ialah teknologi yang dialihkan ke tempat baru itu tidak berhasil, jika lingkungannya tidak mempunyai kesamaan dengan daerah asal dimana teknologi itu dihasilkan.

(19)

tanah-tanah yang ada dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk alih teknologi diantara daerah-daer.ah yang mempunyai keadaan lingkungan yang sama (Silva dan Uehara, 1985). Didalam sistem klasifikasi yang menggunakan sistim hirarki seperti pada Taksonomi Tanah, informasi mengenai sesuatu objek akan beriambah banyak dengan semakin rendahnya kategori. Karena itu secara teoritis Seri merupakan kategori yang terbaik dipakai sebagai dasar untuk alih teknologi (Uehara et al, 1985). Akan tetapi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1975 dan 1994) tidak menyediakan aturan untuk menentukan seri tanah. Kategori terendah yang kriteria pembedanya sudah ditentukan adalah Famili tanah. Karena itu sangat mungkin sekali bagi para ahli klasifikasi tanah untuk mengklasifikasikan setiap tanah di dunia kedalam salah satu Famili tanah dalam Taksonomi Tanah.

Seperti halnya di dunia ini tidak ada manusia yang sama betul, maka tanah-tanah dalam satu Familipun tidak ada yang sama betul, tempi hanya serupa. Famili tanah yang sama dapat berbeda satu dengan yang Iainnya dalam sifat-sifat yang dapat membedakannya ke dalam Seri. Demikian juga Famili tanah yang sama dapat berbeda dalam ha1 lereng, batu-batuan, tingkat erosi dan sifat-sifat lain yang dikenal sebagai phase tanah. Karena itu phase dari Famili tanah dapat dipakai sebagai dasar alih teknologi (Uehara et aL. 1985). Hal ini sejalan dengan pendapat Beimoth et a1 (1980) bahwa phase dari Famili tanah akan memberikan respon yang sama terhadap suatu pengelolaan tertentu.

Famili tanah memegang peranan dalam alih teknologi, sebab menggolongkan tanah-tanah di dunia ini kedalam grup yang relatip sempit sifat-sifatnya, serta memadukan informasi lingkungan, seperti iklim yang penting untuk pertumbuhan tanaman dengan sifat-sifat kimia dan fisik yang berpengaruh terhadap pengelolaan (Silva dan Uehara, 1985). Sejumlah informasi tersimpan daIam nama dari Famili tanah. Nama tersebut tidak hanya menyajikan informasi mengenai kendala-kendala lingkungan seperti curah hujan, temperatur, tetapi memungkinkan juga untuk mengantisipasi kendala-kendala yang dapat dirubah atau dihilangkan oleh manusia.

(20)

23 Pada dasarnya menurut Silva dan Uehara (1985) tanah yang termasuk dalam Famili yang sama mempunyai kebutuhan pengelolaan yang hampir sama. respon yang hampir sama dan mempunyai potensi yang juga hampir sama untuk suatu tanaman. Konsekuensinya Famili tanah ini memungkinkan untuk dipakai sebagai dasar alih teknologi. Alih teknologi yang didasarkan atas Famili tanah memungkinkan mengalihkan praktek-praktek pengelolaan untuk suatu Famili tertentu ketempat lain dengan Famili tanah yang sama, sehingga menghemat biaya, waktu dan tenaga.

Gambar

Gambar  1 .   Tingkatan Perkembangan Tanah di Daerah  Tropika  (Tavernier dan Eswaran  1972;  Ranst,  1987)
Tabel  1.  Muatan  Positip dan  Negatip'  dan Kapasitas Tukar Kation  Efektif'  beberapa  Tanah  LAR  (Gallez,  Juo dan Herbillon,  1976)
Tabel  2.  Jerapan  Fosfat pada  Tanah  Rhodustalf  (Juo dan  Adams,  1986)
Tabel  3 menyajikan beberapa  data susunan kation  dan  kejenuhan  alumunium  dari  beberapa  tanah  Oxisol  di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Kurikulum Pendidikan Asas Vokasional digubal dalam bentuk pernyataan Standard Kandungan, Standard Pembelajaran dan Kriteria Pencapaian yang mengandungi elemen pengetahuan, kemahiran

Pedoman pelayanan pada tahap terminal &akhir kehidupan' digunakan kepada semua pasien Rumkit Pelamonia yang menuju akhir kehidupan, dan keluarganya yang berhubungan

Latar Belakang : Industri Indonesia masih banyak menggunakan tenaga manusia dalam hal produksi. Pada penanganan kerja secara manual, manusia dituntut mempunyai kemampuan

dengan masyarakat. 1) Komunikasi level atas ( Rabtah pejabat pemerintah) Kunjungan jemaat Ahmadiyah kepada pejabat pemerintah sebagai level atas dilakukan untuk dua

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak, Norma Moral dan Kebijakan Sunset Policy terhadap Peningkatan

Uji Signifikansi Pengaruh Parsial (Uji-T) Uji T digunakan untuk mengetahui signifikansi dari pengaruh variabel bebas secara individu terhadap variabel respon [12]. Dari

Sedangkan perlakuan J1 (500.000 tanaman per ha) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap variabel pengamatan nisbah luas daun umur 2 BST, Tidak terdapat

Kombinasi pra-perlakuan jamur dan gelombang mikro menyebabkan terjadinya kehilangan berat pada sampel (Gambar 4.1), dengan kehilangan berat pada inokulum 10% lebih