• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIBUALAMO Seri Ilmu-ilmu Sosial dan Kependidikan Volume 3, Nomor 1, Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HIBUALAMO Seri Ilmu-ilmu Sosial dan Kependidikan Volume 3, Nomor 1, Tahun"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Online ISSN 2621-0363

http://journal.unhena.ac.id

PROBLEMATIKA PENGAKUAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Reli Jevon Laike

Prodi Hukum, Universitas Hein Namotemo,

Jl Villa Vak I Depan Kantor Bupati Halmahera Utara, Kota Tobelo, Maluku Utara, Kode Po 97762 E-mail:Rely.laike@gmail.com

ABSTRAK

Tulisan ini merupakan hasil penelitian dan analisa dalam perkembangan pembangunan hukum khususnya mengenai pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Problemnya konflik hak-hak masyarakat hukum adat khsusnya mengenai hak ulayat, diaman adanya persyaratan normatif untuk mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Inti permaslaahan yang dikaji adalah pengakuan hak ulayat masayarakat hukum adat melalui penetapan pemerintah. Penulisan ini mengunakan metode penelitian normatif. Dengan menggunakan studi dokumen yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkait dengan fokus permasalahan. Berbagai gagasan untuk mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan tidak mengikis dan mengambil hak-hak masyarakat hukum adat yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dengan mereduksi persayaratan normatif. Hal tersebut justru menimbulakan penyempitan terhadap hak asasi dalam hal ini hak ulayat masyarakat hukum adat. Kesimpulannya negara dalam hal ini terlalu longgar dalam memaknai hak penguasaan terhadap hak-hak ulayat masyarakat hukum adat.

Kata kunci : Pengakuan Hukum, Hak ulayat

ABSTRACT

This is the resul of research and analysis inthe development of legal development, especially regarding the recongnition of customary rights of costomary law communities. The problem is the conflict of rights of indigenous peoples, sepecially regarding customary rights, wherw there are nermative requirements to recognize the exixtence of customary rights of indigenous peoples. Thea core of the problem examined was the recgnition of the customary rights of indigenous peoples goverment. This writing uses normative research methods. Mengan use study documents consisting of primary legal material and secondary legal material related to the focus problem. Various ideas for recognizing the existence of customary rights of indigenous and tribal peoples by not eroding and taking the rights of customary law communities that existed before independent Indonesia by reducing normative requirements. This issue actually caused a narrowing of the customary rights of indigenous peoples. The conculison of the state in this case is that it is too free to exercies control over the customary rights of indigenous peoples.

Keywords : Legal Recognition, Customary Rights.

1. PENDAHULUAN

Hubungan

manusia Indonesia dengan tanah mengandung makna dan karakter tersendiri. Makna hubungan tersebut menunjukan ikatan kebatinan yang sangat ditentukan faktor historis yang panjang dan juga mengandung ketergantungan yang bersifat ekonomis, politis dan sosial. Ketergantungan ekonomis karena tanah di wilayah Indonesia menjadi sumber penghidupan bagi manusia. Dari aspek politis, tanah merupakan tempat, batas, dan letak wilayah yurisdiksi manusia Indonesia. Dari aspek sosial, tanah

merupakan ruang berlangsungnya hubungan antara sesama manusia Indonesia.

Secara hukum hubungan manusia (subjek) Indonesia dengan tanah (objek) telah tersurat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaraia (selanjutnya disingkat UUPA), dimana UUPA tersebut merupakan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) Udang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD NRI Tahun 1945). UUPA tersebut merupakan hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat. Hukum adat sebagai sumber

(2)

hukum tanah nasional ditegaskan dalam Pasal 5 UUPA yang intinya menegaskan bahwa hukum agraria Indonesia berdasarkan hukum adat. Hukum tanah nasional menganut hukum adat, artinya tanah yang tidak dikuasai oleh negara sesungguhnya adalah tanah masyarakat hukum adat yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat masyarakat hukum adat mengandung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan karena hak ulayat tersebut bukan milik perorangan tetapi milik komunal.

Selanjutnya kalaupun ditelah secara seksama keberadaan hak ulayat yang ditandai dengan adanya masyarakat hukum adat, telah terlebih dahulu ada sebelum negara Indonesia diproklamasikan dan secara faktual telah mendapat pengakuan pada era Pemerintahan Kolonial Belanda. Negarapun sadar akan hal tersebut (hak ulayat), dimana penegasannya termuat dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18b ayat (2), intinya menegaskan bahwa negara menghormati dan mengakui kelompok-kelompok masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Walaupun secara yuridis UUD NRI Tahun 1945 dan UUPA telah menetapkan bahwa sumber hukum tanah nasional secara formal adalah hukum adat, namun dalam praktiknya sangat jauh dari yang dimaksudkan UUPA. Saat ini hak ulayat masyarakat hukum adat tidak jelas statusnya. Banyak hak ulayat masyarakat hukum justru dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan. Sementara anggota masyarakat hukum adat hidup miskin karena tidak lagi memiliki wilayah adat untuk dikelola.

Permasalahan mendasar kemudian muncul hakikat hak ulayat masyarakat hukum adat direduksi dengan penetapan pemerintah yang mengatur tentang hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam penetapan tersebut aspek legalitas hukum menjadi domain. Status hak ulayat masyarakat hukum adat wajib disahkan melalui proses legislasi (proses politik) yang akan melahirkan peraturan daerah tentang pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Menurut hemat penulis hal tersebut sangat merugikan masyarakat hukum adat. Pimpinan daerah akan sangat berkepentingan dengan tanah apakah hal tersebut untuk kepentingan dan kekuasaan secara pribadi atau kepentingan dan kekuasaan politik. Kekuasaan tersebut, maka sangat terbuka status hak ulayat masyarakat hukum adat yang disahkan melalui peraturan daerah akan menjadi sangat bergantung pada pimpinan daerah.

Selanjutnya bahwa banyak sengketa-sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat terjadi disebabkan dari pimpinan daerah. Kekuasaan kepala daerah yang tidak mengesahkan hak ulayat menjadi wilayah adat masyaraka hukum adat, jika dianggap mengganggu kepentingan secara politik. Contoh kasus misalnya yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, sengketa tanah ulayat muncul disebabkan pemerintah tidak untuk membuat peraturan daerah tentang

masyarakat hukum adat di daerah tersebut. Imbasnya saat ini hak ulayat masyarakat hukum adat di daerah tersebut dikuasai oleh para pemilik modal untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.

Bahwa hak ulayat secara sederhana dapat dipahami sebagai wilayah hak masyarak hukum adat yang bersifat komunal untuk menguasai, memanfaatkan dan melestarikan wilayah adatnya beserta sumber daya yang ada di atasnya sesuai dengan nilai hukum adat yang berlaku (bdk RUU Pengakuan Masyarakat Hukum Adat). Sehingga memahami hak ulayat tidak hanya menyangkut tanah saja, tetapi air, tumbu-tumbuhan, binatang yang hidup dalam wilayahnya, pepohonan dan hutan. Keberadaan hak ulayat tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun faktanya bahwa negara saat ini untuk mengakui keberadaan hak ulayat dengan memberikan sayart normatif yang harus dipenuhi, barulah diakui sebagai sebuah subjek hak dan objek hak ulayat masyarakat adat. Sekali lagi regulasi tersebut telah membuat banyak petensi konflik lokal yang terjadi di negara ini. Misalnya sengketa-sengkat yang telah disebutkan di atas. Sengketa tersebut hanyalah satu contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi di republik ini. Banyak sengketa-sengketa lain juga menyebabkan hilangnya hak ulayat masyarakat hukum adat. Sengketa tersebut sengaja penulis uraikan sebagai tambahan argumentasi dalam tulisan ini.

Hal tersebutlah yang menjadi kegelisahan penulis sehingga ide keraguan timbul untuk dilakuakan pengkajian dan mengetahui lebih mendalam dan komprehensif mengenai ide regulasi pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia.

2. METODE PENELITIAN

Penulisan makalah ini mengunakan metode penelitian normatif. Dengan menggunakan studi dokumen yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkait dengan fokus permasalahan yaitu problematika pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamalamanya (Husena Alting, 2010).

Pengertian masyarakat hukum adat menurut Kusumadi Pujosewojo adalah masyarakat yang

(3)

timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar diantara anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya (Maria Sumardjono, 2001). Menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.

Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Husan Alting, 2010).

Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan (Limei Pasaribu: 2011).

Dalam kajian ini, masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat, sebagaimana lazim ditemukan dalam peraturan perundang-undangan (Bdk RUU Pertanahan: 2016).

Istilah masyarakat hukum adat tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA), UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari rechtgemeenschapt, atau oleh sedikit literatur menyebutnya adatrechtgemenschap. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritikakademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan nonhukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional (Taqwaddin, 2010).

UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Kedua pasal tersebut intinya menegaskan bahwa posisi hukum adat beserta hak-hak ulayat masyarakat hukum adat

kedudukannnya sangat strategis dalam UUPA.

4.1.Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat melalui penetapan pemerintah.

Secara yuridis ketika ditelaah secara mendalam bahwa ada berbagai peraturan perundang-undangan yang telah mengatur keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya:

4.1.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Secara konstitusional sebagaimana dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak memberika defenisi masyarakat hukum adat secara langsung. Akan tetapi terdapat pasal yang mengakui aksistensi masyarakat hukum adat. Eksistensi tersebut telah ada sejak amandemen kedua (2) pada tahun 2000, yaitu menambah Pasal 18 dan dimunculkan bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Mengenai keberadaan masyarakat hukum adat pengaturannya ditemukan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Kedua pasal tersebut menegaskan sebagai berikut: Pasal 18B ayat (2) “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Selanjutnya Pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

4.1.2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

UUPA secara tegas menggunakan hukum adat sebagai sumber hukum formal. Lahirnya UUPA ini adalah sebuah kegelisahan negara Indonesia untuk keluar dari konsep hukum Kolonial Belanda yang menyebabkan terjadi dualisme hukum dalam pengaturan hukum tanah nasional, yaitu adanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat dan terdapat tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Oleh sebab itu UUPA hadir sebagai penerobos untuk menghapus dualisme hukum tersebut, sekaligusm UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

4.1.3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Keberadaan masyarakat hukum adat termuat dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan

(4)

menegaskan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur: a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang masih ditaati; e) mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selanjutnya dalam Pasal 67 ayat (2) menetapkan standar normatif untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, yakni melalui penetapan yang termuat dalam peraturan daerah. Dalam kenyataannya pelaksanaan penetapan masyarakat hukum adat (termasuk hak ulayat) mengalami persoalan yang sangkat kompleks. Hal tersebut akan memakan waktu yang lama dan melalui mekanisme yang rumit serta akan terjadi konflik kepentingan yang tidak dipungkiri akan berpengaruh pada kepentingan elit politik baik pusat maupun daerah, yang berakibat pada terabaikannya hak-hak ulayat masyarakat hukum adat.

4.1.4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang Penataan ruang secara tegas menyatakan bahwa hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang; Hak yang dimiliki orang mencakup pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.1.5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

Pengaturan terkait keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya dalam UUPLH menegaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. UUPLH memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

4.1.6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

Undang-undang Perkebunan mengakui keberadaan hak ulayat tetapi dengan krietia yang

dimaksudakn. Dalam Undang-Undang Perkebunan menegaskan bahwa hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur kewenangan secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi seumber kehidupan dan mata pencaharian sehari-hari. Selanjutnya dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat melakukan musyawara dengan pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat untuk mendapatkan persetujuan mengenai penyerahan dan imbalannya.

4.1.7. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

(UU P3). UU P3 menegaskan bahwa masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Undang-Undang Perkebunan menegaskan bahwa dalam hal pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.

4.1.8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa).

UU Desa tidak secara tegas menyatakan keberadaan hak ulayat, akan tetapi dapat dilihat bahwa hanya pada penegasan mengenai keberadaan desa adat beserta hak dan asal-usul tersebut.

Berdasrkan uraian tersebut, maka pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa diwajibkan melalui penetapan pemerintah. Namun perlu untuk dikajih kembali bahwa terkait hak ulayat, UUPA secara tegas berpangkal pada ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 yang menegaskan bahwa hukum agararia mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Penegasan kembali bahwa masyarakat hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersumber pada pandangan yang bersifat religius magis. Hubungan yang bersifat religus magis ini menyebabkan masyarak hukum adat memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum adat atas tanah itu disebut hak pertuanan atau hak ulayat, dan dalam literatur hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht (Bushar Muhammad, 1981).

Problemnya adalah dengan berkembangnya negara dari yang bersifat kearifan lokal menuju perkembangan tekhnologi saat ini mempengaruhi juga dalam hal pemberlakuan hukum terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimaan negara secara tegas menempatkan kekuasaan domain dalam penetapan pengakuan hak ulayat. Hak-hak ulayat yang berlaku

(5)

pada pada masyarakat hukum adat terkikis oleh adanya pemberlakuan hukum negara yang tidak jarang mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal tersebut disebabkan karakteristik hukum negara dikenal sebagai the ideology of legal centralism, seperti yang digunanakan oleh Griffiths (Taqwaddin, 2010): “law is and should be the lawof the state,

uniform for all persons, exclusive of all the law, and administered by a single set of state institutions”.

Adanya bentuk regulasi hukum yang seperti ini merupakan pengasingan terhadap pluralisme hukum (hak ulayat) masyarakat hukum adat di dalam pembangunan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari ruang yang diberikan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayatnya dalam hukum nasional menajadi neraca yang pincang. Implikasinya, regulasi hukum negara tidak memberi ruang bagi pengakuai dan penghormatan atas kepentingan masyarakat hukum adat. Secara teoritis, UUPA dikatankan berdasar atas hukum adat, akan tetapi persyaratannya sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan pembangunan nasional.

Eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat sudah lebih dahulu diakui keberadaannya dibandingkan kemerdekaan Indonesi yang lahir kemudian. Penulis berpendapat bahwa wilayah Indonesia merupakan warisan dari masyarakat hukum adat. Dapat dikatakan bahwa kedudukan masyarakat hukum adat adalah sebagai ahli waris, sementara negara merupakan ahli waris dari masyarakat hukum adat. Maria W Sumardjono menyatakan pengakuan hak ulayat adalah wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adatnya telah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia tenggal 17 agustus 1945. Bahwa hak ulayat adalah salah satu bentuk hak-hak asasi yang harus dilindungi dan dihormati, karenanya hak ulayat merupakan hak milik bersama masyarakat hukum adat.

Mengenai hak milik menurut Hegel merupakan karakteristik dari hukum positif. Istilah hak pada dasarnya adalah klaim atau tuntutan, dan suatu kepentingan adalah tuntutan yang dilindungi oleh hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum sedangkan kepentingan adalah tuntutang perorangan atau kelompok yang diharapkan dipenuhi (Sudikno Mertokusumo, 2012). Antara kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok harus terjadi keseimbangan, ketika tidak terjadi keseimbangan keduanya maka akan terjadi konflik. Oleh karena itu manusia membutuhkan perlindungan kepentingan-kepentingannya (Sudikno Mertokusumo, 2011).

Bahwa untuk mengakui adanya keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, negara telah menetapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi barulah dikatan sebagai sebuah hak ulayat. Syarat yang dimaksud adalah :

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri sebagai subjek hak ulayat.

b. Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu c. Adanya pranata hukum adat

d. Adanya struktur adatnya.

Bahwa persyaratan normatif tersebut menentukan untuk diakuinya keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Untuk menentukannya negara telah menetapkan prosedur pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat. Namun faktanya regulasi tersebut justru menambah konflik inkonstitusional. Hal tersebut misalnya, dalam Pasal 62 Undang-Undang Kehutanan menegaskan bahwa pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui peraturan daerah baik itu tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Disisi lain Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Selain itu juga munculnya Putusan Mahkama Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012 yang intinya menegaskan diubahnya beberapa ketentuan hukum dalam UU Kehutanan, yaitu:

a. Pasal 1 angka 6 menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berbeda dengan wilayah masyarakat hukum adat”

b. Pada Pasal 4 ayat (3) menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

c. Pasal 5 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat. d. Pasal 5 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat dan berubah menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Putusan MK tersebut hanya menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Artinya kalau ditelaah secara sekasama MK menolak dengan tegas sepanjang ketentuan hukum yang menyamakan hutan adat dan hutan negara. Namum MK tidak merubah ketentuan hukum tentang pengakuan hutan adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya bahwa masyarakat hukum adat memiliki ciri, yakni pertama, keberadaannya mendahului negara. Sebagai sebuah komunitas yang muncul mendahului negara, maka secara nyata bahwa masyarakat hukum adat terbentuk secara alamia melalui proses-pores interaksi sosial. Kedua memiliki kemampuan memimpin komunitas masyarakat hukum adatnya. Oleh sebab itu menurut hemat penulis bahwa negara harus tampil dengan memperkuat dan menegaskan pengukuhan yang telah ada. Oleh karenanya pemberlakuan regulasi dengan metode

(6)

pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat melalui penetapan oleh pemerintah sangatlah bertentangan dengan sifat dan bentuk hukum adat yang dikenal baik doktrin maupun praktek selama ini yaitu hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis.

Boedi Harsono menegaskan bahwa hukum adat berbeda dengan hukum nomra-norma hukum tertulis, yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum adat sebagai hukum tidak tertulis, adalah rumusan-rumusan parah ahli hukum dan hakim. Rumusan-rumusan tersebut bersumber pada rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkalaku para anggota masyarakat hukum adat dalam menerapkan konsep dan asas-asas hukum, yang merupakan perwujudan kesadaran hukum warga masyarakat hukum adat tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret yang dihadapi (Boedi Harsono, 2008). Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka menurut hemat penulis sangat bertentangan dengan kesadaran akan sifat dan bentuk hukum adat yang tidak tertulis. Hal mana bahwa negara terkesan memaksakan dengan menetapkan norma-norma hukum tertulis dan mereduksi sifat hukum adat yang tidak tertulis.

Bahwa hilangnya atau terjadi perubahan keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, bukannya dikarenakan adanya pengaruh perkembangan dan tekhnologi dan masuknya budaya luar negeri saja, tetapi secara tidak langsung negara justru mau menghilangkan dengan mereduksi persyaratan normatif dalam mengakui keberadaan hak ulayah masyarakat hukum adat. Hal tersebut juga ditegaskan dalam tulisan jurnal studi kultural bahwa Hal ini tidak dapat kita pungkiri akibat dari perubahan-perubahan yang dialami. Masuknya HPH dan PIR Perkebunan cukup memberi kontribusi terhadap perubahan hunian yang terdapat pada masyarakat desa dan kebudayaan masyarakat(Jurnal Studi Kultural, 2018).

Selanjutnya dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan, Negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya adalah dengan menetapkan standar normatif sehingga negara dapat dikatan mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang telah ada sebelum Indonesia merdeka, nota bene tanpa memberikan penghormatan serta memberikan ganti rugi sama sekali. Secara retrospektif dapat dikatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja, dengan adanya standar normtif seluruh kebijakan negara yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak-hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (Bdk UU HAM). Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, menegaskan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,membatasi, dan

atau mencabut hak asasi manusia sesseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bahwa hak ulayat juga mrupakan bagian hak konstitusional yang harus dijamin dan dihormati oleh negara. seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hak ulayat juga bagian dari hak atas tanah sebagaimana dimaksud pulah dalam UUPA yang menempatkan hukum adat sebagai dasar hukum tanah nasional yang menjamin adanya pemberian, pengakuan dan penghormatan teradap hak-hak atas tanah yang telah ada dan kemudian. Menegani hak atas tanah menurut Efendi Perangin (1989), hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan hukum yang konkret. Sehungan dengan hal tersebut, maka berbicara hak atas tanah, menurut pendapat Urip Santoso bahwa hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya (Urip Santoso, 2012). Senada dengan hal tersebut dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa “Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.

Wewenang hak atas tanah yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanahnya, menurut Soedikno Mertokusumo dapat dibagi menjadi dua yaitu (Sudikno Mertokusumo, 1988):

a. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air, dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan perturan yang lebih tinggi. b. Wewenang Khusus

Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/ untuk mendirikan bangunan, wewenang pada tanah hak guna bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada hak guna usaha adalah menggunakan hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian, perikanan, peternakan, dan

(7)

perkebunan.

Perlu ditegaskan di sini bahwa UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi : a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; b) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada.

Hak atas tanah sebagaimana telah dijelaskan dimuka, adalah merupakan wewenang yang melekat pada pemegang hak atas tanah termasuk pulah pemegang hak ulayat dengan tidak diakuinya keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak atas tanah masyarakat hukum adat yang harusnya diakui secara sukarelah oleh negara tanpa menetapkan standar normatif, karena wewenang tersebut sebenarnya telah ada jauh sebelumnya Indonesia merdeka. Wewenang yang melekat pada pemegang hak atas tanah secara normatif telah dilindungi oleh undang-undang. Selanjutnya dalam UUPA telah menegaskan bahwa hierarkhi hak-hak atas tanah di Indonesia menempatkan posisi hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan salah satu rangkaian hak-hak penguasaan atas tanah

(Urip Santoso, 2017). Oleh karenanya menurut Boedi Harsono tidak ada alasan untuk meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum asli golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi suasana kegaamaan (Boedi Harsono, 2008).

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan

Dari hasil pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan adalah untuk diakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat yang dipesyratkan melalu standar normatif dapat dikatakan bahwa negara terlau leluasa memahami kewenangannya dalam pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Selanjutnya pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat melalui penetapan pemeritah terkesan adanya domain negara yang terlalu luas dalam memahami keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Sehingga harusnya bukan lagi pengakuan tetapi pengkuhun untuk mempertegas dan melindungi.

4.2. Saran

Rekomendasi yang dapat diberikan dalam tulisan ini adalah untuk regulasi politik hukum yang akan datang agar menghilangkan standar dan sayart-sayart normatif dalam pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat.

DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono (2008). Hukum Agraria Indonesia

Sejarah Pemebntukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, PT

Djamabata, Jakarta.

Bushar Muhammad (1981), Pokok-Pokok Hukum

Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Husen Alting (2010). Dinamika Hukum dalam

Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah,

Yogyakarta.

Limei Pasaribu (2011). “Keberadaan Hak Ulayat

dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir”, (Tesis, Ilmu Hukum, Program

Studi Magister Kenotariatan,USU).

Maria S.W Sumardjono (2001). Kebijakan Pertanahan,

antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit

Buku Kompas, Jakarta.

Rancangan Undang-Undang Pertanahan, 2016. Rancangan Undang-Undang Pengakuan Masyarakat

(8)

Taqwaddin (2010). “Penguasaan Atas Pengelolaan

Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor

Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara). Jurnal Studi Kultural (2018) Volume IV No.1. Balai

Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat. Radakng sebagai Pusat Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Barat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Uadang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Urip Santoso (2017). Hak Atas Tanah, Hak

Pengelolaan, Dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Pt Kencana, Cimanggis.

Referensi

Dokumen terkait

1. Kecemasan keluarga pedagang pasar terhadap belajar daring di era covid- 19 di Desa arungkeke pallantikang Kab Jeneponto yakni, 1) Kurangnya pemahaman dan minat belajar

Yaitu untuk menghasilkan sistem informasi penjualan tiket Perusahaan Otomotif Aneka Jaya yang berbasis komputer yang dapat membantu proses pembuatan laporan keuangan yang

Hamzah Qatha‟ berupa Hamzah yang selalu diucapkan dengan ber-harkah fathah, dhammah atau kasrah.Tidak gugur pengucapannya baik di awal permulaan kalimat atau ditengah-tengah

Alternatif solusi yang dapat ditempuh dalam mengatasi konflik pada kawasan TNGHS adalah (1) pemberian hak pengelolaan sebagian kawasan konservasi dengan pola HKm untuk

Rusdiyanto (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kinerja dengan Pendekatan Balance Scorecard pada PDAM Kabupaten Semarang” menjelaskan tentang

Berdasarkan penelitian yang diteliti dari 24 item pernyataan kuesioner yaitu variabel budaya organisasi rata-rata sebesar 4,17 kategori tinggi, yang berarti bahwa

Sebagian besar asupan balita picky eater berada dalam kategori cukup pada jenis makanan sayuran, sedangkan pada kelompok makanan dengan kalori tinggi seperti produk

Hasil penerapan pembelajaran fisika berbasis proyek dengan menggunakan media on-line sebagai sarana presentasi menunjukkan beberapa kelebihan yaitu mampu meningkatkan