• Tidak ada hasil yang ditemukan

Scanned by CamScanner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Scanned by CamScanner"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

MODEL REGRESI MULTIVARIAT ANALISIS TINGKAT

KESEJAHTERAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI

LIMA BERDASARKAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI

DAN KEBIJAKAN PROGRAM

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

Desak Putu Eka Nilakusmawati, S.Si., M.Si., NIDN. 0011067113 Made Susilawati, S.Si., M.Si., NIDN. 0002097101

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)

iii

RINGKASAN

Data BPS Provinsi Bali (2012), menunjukkan sebagian besar penduduk yang bekerja di Provinsi Bali bekerja pada kegiatan informal, yaitu sebanyak 53,05 persen. Hal ini disebabkan karena sektor informal ini tidak menuntut berbagai persyaratan formal dan karenanya tetap menjadi tempat penampungan bagi tenaga kerja yang tidak memenuhi persyaratan formal. Disamping itu dengan kondisi ekonomi saat ini, memungkinkan sektor informal mempunyai peranan yang lebih penting, terutama dalam mengembangkan mekanisme “survival strategy” bagi penduduk miskin di perkotaan.

Sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang umumnya bercirikan pola kegiatan tidak teratur, tidak tersentuh oleh aturan-aturan pemerintah, serta modal dan penghasilan kecil. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan jenis pekerjaan yang termasuk dalam klasifikasi sektor informal. Pemberdayaan PKL merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pada penelitian ini, pemberdayaan yang dimaksud adalah kesempatan pekerja di sektor informal khususnya pedagang kaki lima untuk memperoleh pelatihan ketrampilan dan/atau kesempatan dalam memperoleh permodalan usaha. Tantangan utamanya adalah bagaimana menggabungkan usaha sektor informal yang tidak terdaftar dalam perencanaan perkotaan dengan cara yang akan menjamin keberlanjutan mereka dan melindungi orang-orang dan lingkungannya. Kurangnya penelitian mengenai pekerja sektor informal, khususnya PKL telah menjadikan diremehkannya kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan, sehingga penelitian ini memberikan kontribusi untuk mengisi kesenjangan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model tingkat kesejahteraan PKL, model pemberdayaan PKL, dan model pemberdayaan PKL terhadap tingkat kesejahteraannya dengan menggunakan metode survei dan wawancara mendalam. Temuan yang akan didapatkan dari penelitian ini adalah karakteristik sosial ekonomi, kebijakan program, pemberdayaan pekerja, dan tingkat kesejahteraan PKL; Model pemberdayaan PKL; Model tingkat kesejahteraan PKL; dan Model pemberdayaan PKL terhadap tingkat kesejahteraannya. Berdasarkan model yang diperoleh dapat menjadi sumber informasi bagi pemangku kepentingan untuk evaluasi kebijakan pekerja sektor informal masa lalu yang telah dilakukan dan menjadi acuan dalam revisi kebijakan tentang perberdayaan dan peningkatan kesejahteraan pekerja sektor informal di masa mendatang, khususnya pedagang kaki lima (PKL).

Penelitian ini dilakukan di wilayah perkotaan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, yang memiliki jumlah absolut pekerja sektor informal terbesar dibandingkan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bali. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 150 orang responden dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen meliputi karakteristik sosial ekonomi yang dijabarkan dalam 16 variabel dan kebijakan program yang dijabarkan dalam tiga variabel. Sedangkan variabel terikatnya meliputi pemberdayaan pedagang kaki lima, partisipasi, dan tingkat kesejahteraan pedagang kaki lima yang dijabarkan dalam tujuh variabel. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis multivariate yaitu analisis regresi linier dan analisis regresi logistic.

Hasil penelitian diperoleh bahwa variabel yang signifikan berpengaruh terhadap rata-rata pendapatan pedagang kaki lima adalah tingkat pendidikan, curahan jam kerja, dan jumlah tenaga kerja diluar tenaga kerja keluarga yang ikut membantu. Model terbaik yang dapat menjelaskan rata-rata pendapatan pedagang kaki lima adalah:

Y = -1.982 + 0.654pendidikan + 0.134curahan jam kerja + 0.817Jumlah tenaga kerja non keluarga

(5)

iv

Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap status pekerjaan pedagang kaki lima adalah status perkawinan, sifat layanan dagangan, curahan jam kerja, dan jumlah tenaga kerja diluar tenaga kerja keluarga. Model dugaan yang menjelaskan status pekerjaan pedagang kaki lima ada 3 model, yaitu:

G(x) = -16.308 - 0.519 status kawin + 0,739 sifat layanan + 1,19663 curahan jam kerja - 1,062 Jumlah tenaga kerja non keluarga

G(x) = -15,73 - 0.519 status kawin + 0,739 sifat layanan + 1,19663 curahan jam kerja - 1,062 Jumlah tenaga kerja non keluarga

G(x) = -15,177 - 0.519 status kawin + 0,739 sifat layanan + 1,19663 curahan jam kerja - 1,062 Jumlah tenaga kerja non keluarga

Model pemberdayaan pedagang kaki lima (partisipasi/keikutsertaan) berdasarkan karakteristik sosial ekonomi diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara variabel karakteristik sosial ekonomi pedagang kaki lima dengan variable partisipasi/keikutsertaan dalam program pemberdayaan.

Model pemberdayaan pedagang kaki lima (akses pemodalan usaha) berdasarkan karakteristik sosial ekonomi diperoleh bahwa variabel karakteristik yang signifikan dengan pemberdayaan pedagang kaki lima (akses pemodalan usaha), dengan taraf nyata 7% adalah umur, jumlah tenaga kerja keluarga yang membantu, dan alternative pendapatan. Model terbaik yang diperoleh adalah:

t AlterPendp TJmhTKKlr Umur x gˆ( )0.0930.063 0.779 0.871 (5.5)

Hasil pendugaan model hubungan tingkat kesejahteraan dengan program pemberdayaan, diperoleh bahwa pendapatan dan status pekerjaan tidak signifikan berpengaruh terhadap keikutsertaan pedagang kaki lima pada program pemberdayaan yang dibuat oleh pemerintah.

Kata kunci: Model regresi multivariate, tingkat kesejahteraan, pemberdayaan, pedagang kaki lima, PKL, kebijakan program

(6)

v PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan, karena atas perkenan-Nya penelitian Hibah Unggulan Program Studi dengan judul “Model Regresi Multivariat Analisis Tingkat Kesejahteraan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kebijakan Program” dapat dilaksanakan dan laporan akhir ini dapat disusun sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.

Terlaksananya penelitian ini berkat bantuan, dukungan, dan kerjasama dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng. sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana, atas diadakannya hibah penelitian Hibah Unggulan Program Studi ini..

2. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si., selaku dekan Fakultas MIPA, atas dukungan fakultas dalam pendanaan penelitian ini.

3. Mahasiswa Jurusan Matematika yang turut serta dalam survei, atas kerja kerasnya dalam pengumpulan data di lapangan.

4. Teman-teman sejawat di Fakultas MIPA Universitas Udayana atas sumbang sarannya, serta berbagai pihak yang turut mendukung terlaksananya penelitian ini.

Laporan ini masih memerlukan perbaikan, untuk itu kritik dan saran dari berbagai pihak diterima dengan senang hati, demi perbaikan dimasa mendatang.

Denpasar, 29 November 2016

(7)

vi DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ... ii RINGKASAN ... ... iii PRAKATA ... v DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Keutamaan Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Pedagang Kaki Lima sebagai Pekerja Sektor Informal: Konsep dan Pengertian ... 4

2.2 Permasalahan, Peranan, dan Prospek Pedagang Kaki Lima ... 6

2.3 Studi Pendahuluan ... 9

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 12

3.1 Tujuan Penelitian ... 12

3.2 Manfaat Penelitian ... 12

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 13

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

5.1 Karakteristik Sosial Ekonomi, Pemberdayaan, Kebijakan Program, dan Kesejahteraan Pedagang Kaki Lima ... 17

5.2 Model Kesejahteraan (Rata-rata Pendapatan) Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Pedagang Kaki Lima ... 25

5.3 Model Kesejahteraan (Status Pekerjaan) Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Pedagang Kaki Lima ... 27

5.4 Model Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi ... 29

5.5 Model Antara Variabel Tingkat Kesejahteraan dengan Variabel Program Pemberdayaan ... 32

(8)

vii

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 34

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

6.1 Kesimpulan ... 35

6.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 5.1 Karakteristik Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar dan Kabupaten

Badung ... 18

5.2 Deskriptif Variabel Umur, Curahan Jam Kerja dan Rata-rata Pendapatan (Juta rupiah) ... 19

5.3 Distribusi Responden Menurut Lama Usaha dan Ada/tidaknya Pekerjaan Sampingan ... 21

5.4 Distribusi Responden Menurut Lama Usaha dan Sifat Layanan Usaha ... 21

5.5 Distribusi Responden Menurut Jumlah Tenaga Kerja yang Membantu ... 23

5.6 Distribusi Responden Menurut Sumber pemodalan Usaha ... 24

5.7 Hasil Uji F Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Rata-rata Pendapatan Pedagang Kaki Lima ... 26

5.8 Hasil Uji Parsial Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Rata-rata Pendapatan Pedagang Kaki Lima ... 26

5.9 Hasil Uji Simultan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Status Pekerjaan Pedagang Kaki Lima ... 28

5.10 Hasil Uji Parsial Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Status Pekerjaan Pedagang Kaki Lima ... 29

5.11 Hasil Uji Simultan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Program Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima ... 30

5.12 Hasil Uji Regresi Logistik Biner Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (Partisipasi/Keikutsertaan) ... 30

5.13 Hasil Uji Regresi Logistik Biner Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (Akses Pemodalan Usaha) ... 31

5.14 Hasil Uji Simultan Tingkat Kesejahteraan dengan Program Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima ... 32

(10)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Realisasi Penggunaan Anggaran Penelitian ... 39

2. Kuesioner Penelitian ... 41

3. Personalia Tenaga Peneliti dan Kualifikasinya ... 44

4. Full Paper Seminar Nasional Matematika II Tahun 2016 ... 45

5. Full Paper Seminar Nasional SAINSTEK 2016 ... 55

6. Abstract SENASTEK 2016 ... 63

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia hampir dua pertiga pekerja dari seluruh jumlah pekerja, berada dalam sektor informal (ILO, 2002). Pada kenyataannya, pemerintah sampai saat ini memang belum mampu menyediakan pekerjaan di sektor formal. Hal ini terlihat dari banyaknya ditemukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak (dalam standar ILO) khususnya di sektor informal yang bermunculan ditengah masyarakat. Sektor informal saat ini berperan penting dalam menyediakan lapangan kerja bagi banyak penduduk, yang menjadikan probabilitas mendapatkan pekerjaaan di sektorinformal cukup besar. Namun melihat sifat dan kondisi pekerjaan di sektor informal, maka sektor ini dapat digolongkan kepada usaha yang marginal dan menghadapi beberapa kendala dalam pengembangannya (Sethuraman dalam Soewartoyo, 2010). Hal tersebut disebabkan sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang umumnya bercirikan pola kegiatan tidak teratur, tidak tersentuh oleh aturan-aturan pemerintah, serta modal dan penghasilan kecil.

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan jenis pekerjaan yang termasuk dalam klasifikasi sektor informal. Pekerja sektor informal dalam data sensus penduduk disebut sebagai pekerja yang berusaha sendiri tanpa buruh, bekerja sendiri dengan buruh tak tetap atau keluarga dan pekerja keluarga tak dibayar (Leibo, 2004: 10). Data Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan bahwa 49,9 persen dari seluruh angkatan kerja yang terdapat di daerah perkotaan Provinsi Bali merupakan kelompok sektor informal (BPS, 1996). Sedangkan untuk daerah desa dan kota mencapai 41,1 persen, untuk Indonesia mencapai 64,7 persen dari seluruh angkatan kerja yang ada bekerja di sektor informal (BPS, 2002).

Menurut data BPS Provinsi Bali (2012), pada Agustus 2012 sebanyak 1.065,05 ribu orang (46,95 persen) bekerja pada kegiatan formal dan sebanyak 1.203,66 ribu orang (53,05 persen) bekerja pada kegiatan informal. Hal ini menunjukkan sebagian besar penduduk yang bekerja di Provinsi Bali masih bergantung pada kegiatan informal.

Sektor informal memainkan peranan sangat penting dalam penyerapan angkatan kerja maupun mendukung perekonomian secara keseluruhan. Sektor ini tidak menuntut berbagai persyaratan formal dan karenanya tetap menjadi tempat penampuangan bagi tenaga kerja yang tidak memenuhi persyaratan formal. Berarti bahwa ketidakmampuan sektor modern untuk menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian telah digantikan oleh sektor informal. Kenyataan empiris juga memperlihatkan bahwa sektor formal sangat

(12)

2

diuntungkan dengan keberadaan sektor informal, bahkan terdapat indikasi bahwa sektor informal memberikan subsidi kepada sektor formal.

Banyak sekali ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal seperti diantaranya: hukum dan kerangka kerja lembaga yang menangani tentang ketenagakerjaan yang tidak tepat dan tidak efektif, pengaruh dari krisis ekonomi dan restrukturisasi ekonomi di tingkat nasional dan global, jumlah pekerjaan yang tidak mencukupi, meningkatnya angka kemiskinan khususnya kaum wanita, faktor demografi-termasuk di dalamnya migrasi (ILO, 2006). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa sektor informal di Indonesia merupakan suatu sumber nafkah penting. Disamping itu dengan kondisi ekonomi saat ini, memungkinkan sektor tersebut mempunyai peranan yang lebih penting, terutama dalam mengembangkan mekanisme “survival strategy” bagi penduduk miskin di perkotaan.

1.2 Keutamaan Penelitian

Pemberdayaan pedagang kaki lima merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pada penelitian ini, pemberdayaan yang dimaksud adalah kesempatan pekerja sektor informal dalam hal ini pedagang kaki lima terhadap akses memperoleh pemodalan usaha dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam program pemberdayaan berupa pendidikan/pelatihan keterampilan usaha.

Peningkatan arus migrasi desa-kota memberikan kontribusi pada pertumbuhan penduduk perkotaan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam upaya mereka untuk memastikan kesejahteraan ekonomi dan sosial dari orang yang tinggal di daerah perkotaan. Secara khusus, pemerintah harus memperhitungkan mengubah cara meningkatkan mata pencaharian rumah tangga dan keamanan pangan melalui kegiatan informal. Tantangan utamanya adalah bagaimana menggabungkan usaha sektor informal yang tidak terdaftar dalam perencanaan perkotaan dengan cara yang akan menjamin keberlanjutan mereka dan melindungi orang-orang dan lingkungan. Kurangnya penelitian mengenai pelaku sektor informal, khususnya Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadikan diremehkannya kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini memberikan kontribusi untuk mengisi kesenjangan tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas maka muncul beberapa pertanyaan penelitian, diantaranya adalah: Bagaimanakah gambaran umum karakteristik sosial ekonomi,

(13)

3

kebijakan program, pemberdayaan pekerja, dan kesejahteraan pedagang kaki lima?; Bagaimana model kesejahteraan pedagang kaki lima berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program?; Bagaimana model pemberdayaan pedagang kaki lima berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program?; dan Bagaimana model pemberdayaan pedagang kaki lima terhadap kesejahteraannya?; Apa rekomendasi kebijakan berkelanjutan yang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan pedagang kaki lima, khusunya di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar?

Berdasarkan beberapa pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini menjadi penting dilakukan guna mengkaji peranan sektor informal dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk, khususnya bagi masyarakat miskin perkotaan. Secara mengkhusus, penelitian ini penting untuk mengkaji model kesejahteraan pedagang kaki lima, model pemberdayaan pedagang kaki, dan model pemberdayaan pedagang kaki lima terhadap kesejahteraannya.

(14)

4 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pedagang Kaki Lima Sebagai Pekerja Sektor Informal: Konsep dan Pengertian Menurut Indira (2014), Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah bagian dari ekonomi informal. Di negara maju dan berkembang sektor ini semakin meningkat dari angkatan kerja yang ada. PKL meliputi semua barang-barang atau jasa yang dijual di ruang publik dengan struktur bangunan yang bersifat sementara. Di negara-negara berkembang jutaan orang bergantung pada PKL untuk kebutuhan sehari-hari mereka sebagai penyedia barang yang lebih ekonomis daripada yang tersedia di sektor formal. Sulit untuk memperkirakan jumlah pasti orang yang terlibat sebagai PKL, karena mobilitas tinggi dan variasi musiman yang menjadi ciri dari pekerjaan jenis ini.

Secara global, seiring perkembangan banyaknya tenaga kerja yang bekerja sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL), maka ekonomi informal ini tidak lagi dapat dianggap sebagai fenomena sementara. PKL sebagai bagian dari ekonomi informal merupakan pekerjaan dengan penghasilan yang potensial. Oleh karena itu, cara terbaik untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja, maka sektor informal perlu lebih dipahami baik oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.

Kegiatan di sektor informal diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: bekerja sendiri (self-employed) dan tenaga kerja lepas/gaji (casual (non-permanent) labour

/salaried). Bagian utama dari status bekerja sendiri adalah sebagai PKL. Indira (2014)

memaparkan bahwa lonjakan jumlah PKL setelah krisis keuangan tahun 1998 telah mempengaruhi negara-negara Asia yang memicu kenaikan tajam dalam jumlah PKL (street vendors) di Thailand, Singapura dan Filipina. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pekerja kehilangan pekerjaan di sektor formal dan memilih untuk mencari nafkah sebagi pedagang kaki lima. Bagi kaum miskin perkotaan, pedagang kaki lima menyediakan barang termasuk makanan dengan harga rendah. Dipaparkan pula bahwa salah satu bagian dari kaum miskin perkotaan dalam hal ini PKL mensubsidi keberadaan bagian lain dari kaum miskin kota dengan menyediakan barang-barang murah, termasuk makanan. Kalangan ekonomi menengah juga mendapatkan manfaat dari keberadaan PKL ini karena harga terjangkau yang ditawarkan.

Friedman dan Sullivan (1974), membedakan sektor informal kedalam dua kelompok, yaitu: kelompok pengusaha kecil dan pekerja usaha sendiri atau buruh tidak

(15)

5

tetap. Sedangkan sektor formal diperinci dalam tiga kelompok besar yaitu: 1) Buruh di sektor formal; 2) Pengawas, mandor dan pekerja administrasi; 3) Kelompok pegawai tinggi, professional, manager, pengusaha besar dan sedang (Effendi, 1993).

Terdapat batasan mengenai sektor informal yang beragam tergantung dasar berpijak yang dipakai untuk mendefinisikan sektor informal. Hal ini berarti bahwa ketenagakerjaan di suatu tempat, belum tentu sesuai apabila diterapkan ditempat lain. Keadaan ini dapat terjadi karena keberadaan sektor informal akan dipengaruhi berbagai faktor, seperti kondisi sosial budaya, karakteristik ekonomi suatu daerah bahkan stabilitas politik (pada tingkat mikro), paling tidak sektor informal benar-benar merupakan jalan keluar dari banyak masalah kesempatan kerja.

Pengertian sektor informal menurut Hart (dalam Manning dan Effendi, 1996), memiliki ciri-ciri mudah keluar masuk pekerjaan, mengusahakan bahan baku lokal tanpa berdasarkan hukum formal, unit usaha merupakan keluarga, jangkauan operasionalnya sempit, kegiatannya bersifat padat karya dengan menggunakan teknologi yang masih sederhana (tradisional), pekerja yang terlibat di dalamnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah serta keahlian yang kurang memadai, kondisi pasar sangat bersaing karena menyangkut hubungan antara penjual dan pembeli yang bersifat personal dan keadaanya tidak teratur. Prakarsa dari Hart ini kemudian diteruskan oleh ILO (International Labour Organization) dalam berbagai studinya di negara-negara sedang berkembang (Sjahrir, 1985: 77).

Gambaran pengertian sektor informal di Indonesia menurut Hidayat (1978) mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena unit usaha yang timbul tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal;

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha;

3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja;

4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini;

5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor ke lain sub sektor; 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional;

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil; 8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang

(16)

6

9. Pada umumnya usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga;

10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi;

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Berdasarkan konsep yang telah ada sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi saat ini dan pertimbangan-pertimbangan kemajuan pembangunan yang telah dicapai maka yang digolongkan ke dalam sektor informal dalam penelitian ini adalah: (1) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, pemodalan, maupun penerimaannya; (2) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian; (3) Tidak mempunyai keterkaitan (linkage) dengan usaha lain yang besar; (4) Lokasi usaha ada yang menetap dan ada yang berpindah-pindah; (5) Tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi; (6) Merupakan usaha kegiatan perorangan ataupun unit usaha kecil yang memperkerjakan tenaga kerja yang sedikit (kurang dari 10) dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.

2.2 Permasalahan, Peranan, dan Prospek Pedagang Kaki Lima

Berdasarkan hasil temuan diperoleh bahwa pangsa kerja non pertanian dari tenaga kerja informal adalah 78 persen di Afrika, 57 persen di Amerika Latin dan 45-85 persen di Asia. Telah ditemukan bahwa tenaga kerja berusaha sendiri (self-employment) mempunyai peranan yang lebih besar dari pekerjaan informal dari tenaga kerja dibayar (wage

employment). Penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa meskipun PKL (street vendors)

lazim di semua negara dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian masing-masing pemerintah belum dibingkai hukum formal yang menjadikan sektor ini bebas dari kerumitan (Indira, 2014).

Indira (2004) mengkaji tentang PKL (street vendors) di beberapa negara, dijelaskan bahwa PKL di sebagian wilayah perkotaan Sri Lanka tidak benar-benar ilegal dan PKL dapat melakukan perdagangan mereka di trotoar dengan membayar pajak setiap hari untuk dewan kota. Meskipun mendapatkan beberapa pengakuan hukum, PKL diusir jika dewan kota merasa bahwa mereka menyebabkan masalah untuk masyarakat umum, dalam pelaksanaannya PKL tidak hanya menghadapi penggusuran tetapi juga pemerintah kota membakar kios mereka. Lebih lanjut dipaparkan bahwa meskipun PKL di negara Sri Lanka mendapatkan pengakuan oleh pemerintah kota karena mereka membayar pajak, ini

(17)

7

tidak selalu memberikan mereka keamanan untuk melaksanakan perdagangan mereka. Dalam kebanyakan kasus, penyediaan ruang alternatif tergantung pada seberapa kuat serikat mereka dapat menekan permintaan ini. Masalah utama yang dihadapi PKL adalah ketidakamanan dalam mata pencaharian mereka dan kurangnya akses terhadap kredit. Penjual makanan jalanan negara ini memberikan kontribusi yang signifikan untuk ekonomi negara ini, meskipun mereka menghadapi masalah yang sama seperti PKL lainnya, yaitu, kurangnya keamanan dan kurangnya fasilitas kelembagaan.

Studi tentang PKL di Hanoi, Indira (2014) menjelaskan bahwa pemerintah telah mengadopsi dua praktek untuk memastikan keamanan makanan yang dijual di jalanan, yaitu dengan pemantauan penjual makanan jalanan melalui sistem perizinan, dan memberikan pendidikan dan pelatihan tentang kebersihan. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Urban Sector Group (USG) masalah utama yang dihadapi oleh PKL di Vietnam adalah tidak diakuinya keberadaan sektor ini. PKL tidak memiliki tempat permanen untuk menjual barang-barang mereka. Mereka tidak bisa mempertahankan pelanggan. Mereka sering dilecehkan oleh polisi dan petugas keamanan pasar. Studi USG mencatat tingginya pencari sewa dan satu-satunya cara pedagang bisa tinggal di jalanan adalah dengan membayar suap kepada para pejabat ini.

Studi tentang PKL di tujuh kota yang dilakukan oleh The National Alliance of Street

Vendors of India (NASVI) menunjukkan bahwa kelompok berpenghasilan rendah

menghabiskan proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka dalam melakukan pembelian dari PKL terutama karena barang-barang mereka yang terjangkau. Seandainya tidak ada PKL di kota penderitaan kaum miskin kota akan lebih buruk. PKL perkotaan, membantu bagian lain untuk bertahan hidup. Oleh karena itu meskipun PKL dipandang sebagai masalah bagi pemerintahan perkotaan, mereka sebenarnya solusi untuk beberapa masalah dari kaum miskin perkotaan (Indira, 2014)

Penelitian Njaya (2014) mengkaji sifat dan operasi dari penjual makanan jalanan meliputi fitur sosial ekonomi yang mempengaruhi distribusi spasial penjual makanan jalanan dan dampaknya terhadap lingkungan lokal dan kehidupan perkotaan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa penjual makanan jalanan, jauh dari halangan untuk kemajuan dan pembangunan berkelanjutan, sebenarnya dasar dari alternatif ekonomi jalanan dimana orang ramah dan dengan dukungan kelembagaan dan infrastruktur yang diperlukan bisa menjadi lingkungan-sensitif dan sadar energi. Meskipun penjual makanan jalanan adalah ilegal, secara signifikan membantu

(18)

8

mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan PKL dan sebagai penyedia makanan bagi penduduk perkotaan dengan harga murah dan bervariasi. Pemerintah harus mengakui industri makanan jalanan melalui perundang-undangan dan pengenalan kode praktek untuk penjual makanan jalanan. Ini akan membutuhkan dewan kota untuk membangun tempat penampungan yang layak dan memberikan layanan publik yang penting seperti air minum, listrik, dan toilet umum. Apa yang dibutuhkan untuk memajukan posisi penjual makanan jalanan adalah untuk memperkuat kapasitas dan keterampilan mereka melalui pelatihan, kredit, informasi dan infrastruktur sehingga dapat meningkatkan daya saing mereka dan produktifitas.

Muzaffar, et. al (2009) menyoroti masalah dan mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang positif mempengaruhi pendapatan penjualan PKL dalam hal ini penjual makanan jalanan di kota Dhaka, Bangladesh. Identifikasi masalah utama dilakukan menggunakan analisis faktor. Masalah utama yang diperoleh terkait dengan operasi bisnis, pengetahuan bisnis, pemerasan, dan produk dan produksi. Hasil penelitian ditemukan bahwa pengalaman bisnis, dan modal awal adalah dua faktor utama yang positif mempengaruhi pendapatan penjualan. Pendidikan formal tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja bisnis. Kurangnya keamanan dan masalah dalam penyediaan bahan baku merupakan dua masalah utama yang dirasakan PKL.

Artikel Vargas (2013), menggunakan teori pemberdayaan yang dipertahankan oleh Hernando De Soto, mengkaji apa formalisasi sejauh-dipahami sebagai mendapatkan status hukum dapat berfungsi untuk memberdayakan PKL untuk meningkatkan modal dan pembangunan ekonomi. Berdasarkan 169 wawancara yang dilakukan pada tahun 2012 terhadap PKL di kota Bogota, Kolombia yang bisnisnya yang diformalkan, penelitian ini mampu mengamati perbaikan dalam kondisi kerja PKL dan pendapatan. Namun peningkatan ini bukan karena akses ke kredit formal, seperti yang dinyatakan oleh teori formalisasi melainkan karena kemampuan PKL untuk memperbaiki kondisi kerja dan dilindungi dari cuaca buruk. Hasil menjelaskan bahwa formalisasi lebih dari akses kredit; itu adalah alat untuk meningkatkan otonomi, harga diri, dan pemberdayaan masyarakat miskin.

Terdapat dua pendapat yang bertentangan mengenai prospek sektor informal, yaitu

involutionist dan evolutionist (Hosier, 1987). Pendapat pertama yaitu involutionist sering

dikenal sebagai marginalist melihat bahwa sektor informal akan memiliki prospek yang kurang baik karena cenderung dieksploitasi secara intensif oleh sektor formal. Sektor

(19)

9

tersebut merupakan suatu bentuk yang subordinate dalam mekanisme kapitalis. Pendapat kedua yaitu evolutionist atau developmentalist dapat dilihat dalam karya Sethurahman (1977) dan ILO (1972). Menurut pandangan evolutionist ini sektor informal memiliki kemampuan berkembang yang sama dengan yang dimiliki oleh sektor formal. Sektor ini dapat meningkatkan pendapatan atau dapat membantu memerangi kemiskinan.

Pandangan mengenai peranan dan prospek sektor informal yang masih kontroversial tersebut, menyebabkan kebijakan yang diambil pemerintah juga masih kurang transparan. Beberapa studi empiris telah mengungkapkan peranan penting dari sektor informal sehingga di beberapa daerah perkotaan kegiatan sektor tersebut terus dibina dan dikembangkan oleh aparat pemda setempat. Disisi lain, kenyataan empiris juga menunjukkan bahwa kegiatan sektor tersebut seringkali dilarang bahkan digusur. Hal ini menunjukkan masih bervariasinya persepsi dan sikap di kalangan aparat pemerintah setempat terhadap sektor informal ini.

Besarnya daya serap sektor informal terhadap angkatan kerja di Indonesia, membuktikan bahwa peranan sektor informal memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam kondisi ekonomi saat ini, dimana banyak orang menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang diakibatkan oleh naiknya harga kebutuhan pokok dan situasi usaha yang tidak menentu, memungkinkan sektor informal mempunyai peranan yang lebih penting, terutama dalam mengembangkan mekanisme “survival strategy” bagi penduduk miskin di perkotaan.

2.3 Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan oleh Nilakusmawati (2009) telah dilakukan mengkhususkan pada kajian aktivitas ekonomi pelaku sektor informal, yaitu wanita pedagang canang sari di Kota Denpasar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aktivitas ekonomi wanita pedagang canang di Kota Denpasar, dan mengetahui sejauh mana kontribusi wanita pedagang canang tersebut dalam meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga mereka. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei dan metode wawancara mendalam. Responden adalah wanita pedagang canang, yang dipilih secara purposive, dengan total sampel sebanyak 150 responden. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskritif kualitatif terhadap data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, sedangkan analisis data kuantitatif menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar alasan bekerja sebagai dagang canang sari karena keharusan bekerja untuk membantu mengatasi kesulitan

(20)

10

ekonomi rumah tangga. Rata-rata lama bekerja responden adalah 11,5 tahun, dengan rata-rata curahan jam kerja per minggu adalah 70 jam. Cara mendapatkan lokasi usaha didominasi dengan cara menyewa. Rata-rata pendapatan bersih per hari yang diperoleh responden adalah Rp.25.400, dengan variasi pendapatan bersih yang sangat besar, yaitu Rp. 1.700 sampai Rp. 50.000. Rata-rata persentase kontribusi dari pedagang canang dalam penelitian ini adalah 35,79%, dengan rentangan yang sangat besar, yaitu dari 4,2% sampai 98,33%. Melihat relatif cukup besarnya kontribusi yang diberikan oleh pedagang canang sari, dengan kontribusi rata-rata sebesar 35,79% terhadap pendapatan rumah tangga, mengindikasikan kemandirian dari sifat usaha ini. Rekomendasi yang dikemukakan adalah: 1) perlunya penanganan yang lebih baik terhadap perempuan yang bekerja di sektor informal, sehingga akan menjadikan suatu potensi ekonomi yang tinggi bagi kesejahteraan keluarga, dan (2) diperlukan penanganan dengan kebijakan yang berkelanjutan dan memberikan akses lebih besar terhadap sumber permodalan formal.

Penelitian Carol & Ongori (2013) mengkaji mengenai tantangan yang dihadapi oleh penjual makanan jalanan (street vendors) di beberapa mall yang dipilih di Gaborone, yaitu Kagiso, Afrika dan mall utama. Studi ini menyelidiki pentingnya penjual jalanan sebagai strategi mata pencaharian dan strategi untuk mengurangi tantangan yang dihadapi oleh PKL. Data dikumpulkan dari 97 PKL menggunakan kuesioner dengan 51 item pertanyaan. Temuan dari studi ini menunjukkan bahwa penjual makanan jalanan sebagian besar merupakan sumber pendapatan dan cara menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin perkotaan. Penelitian ini merekomendasikan bahwa PKL penjual makanan jalanan perlu diakui secara hukum. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu memahami secara holistik tantangan yang dihadapi oleh penjual makanan jalanan dan mengembangkan intervensi yang akan memungkinkan penjual makanan jalanan untuk bertahan hidup, tumbuh dan bersaing dalam lingkungan bisnis yang dinamis.

Penelitian Kasmad & Alwi (2014) dengan tujuan untuk memverifikasi model jaringan peningkatan kapasitas organisasi dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar, yang meliputi pengembangan sumber daya manusia terpadu, penguatan organisasi, reformasi kelembagaan yang terpadu dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia terpadu dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar tidak pernah

(21)

11

dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) di Kota Makassar, karena pelatihan kader, insentif, kondisi kerja, dan perekrutan itu tidak dilakukan sesuai mekanisme pemberdayaan. Demikian pula, penguatan organisasi terintegrasi LPM di Kota Makassar tidak terjadi, karena sistem insentif, mekanisme dan sistem pemanfaatan karyawan, kepemimpinan, dan budaya organisasi tidak jelas, kecuali struktur manajemen. Hal yang sama, LPM sebagai organisasi berbasis jaringan yang bekerja menyerupai sistem birokrasi, itu mengakibatkan resistensi terhadap perubahan yang terjadi.

Kasmad & Alwi (2015) menjelaskan akuntabilitas kebijakan demokratis melalui tanggapan para PKL dan harapan untuk implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar; dan menjelaskan akuntabilitas kebijakan demokratis melalui tanggapan dan harapan para pemangku kepentingan untuk implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan teori demokrasi, di mana teori ini berfokus pada kebersamaan dalam membahas solusi untuk berbagai masalah PKL dan dalam pelaksanaan kebijakan. Penelitian ini menggunakan desain dan studi kasus kualitatif strategi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepentingan dan kebutuhan PKL tidak terpenuhi melalui kebijakan pemberdayaan PKL. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya forum yang akuntabilitas sebagai tempat kebersamaan semua pemangku kepentingan pemberdayaan PKL. Kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar dirancang didasarkan pada pendekatan top-down, sehingga mereka dianggap sebagai obyek, yang harus menerima semua program pemerintah yang ditujukan pada mereka.

Studi serupa telah pula dilakukan oleh Soewartoyo (2010) di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kerja sektor informal di perkotaan memiliki berbagai jenis kegiatan, utamanya usaha di sektor perdagangan dan pengolahan. Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki perhatian terhadap penduduknya yang berkiprah dalam sektor ini melalui berbagai bantuan dan pembinaan seperti permodalan maupun bentuk-bentuk pelatihan. Meskipun program kebijakan tersebut belum menyeluruh tetapi usaha kearah perhatian kepada penduduk miskin termasuk keluarga tenaga kerja informal sudah dilakukan. Berbagai kemudahan untuk usaha telah diperhatikan seperti kebijakan bantuan modal bagi usaha kecil dan mikro, penataan pusat-pusat perdagangan kaki lima, kebijakan perpakiran adalah suatu bukti kepedulian terhadap pekerja dan tenaga kerja di sektor tradisional di perkotaan.

(22)

12 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran umum karakteristik sosial ekonomi, kebijakan program, pemberdayaan, dan kesejahteraan pedagang kaki lima;

2. Mengetahui model pemberdayaan pedagang kaki lima berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program;

3. Mengetahui model kesejahteraan pedagang kaki lima berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program;

4. Mengetahui model pemberdayaan pedagang kaki lima terhadap kesejahteraannya.

3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting dilakukan karena dengan diketahuinya karakteristik sosial ekonomi pedagang kaki lima serta model-model yang menjelaskan pengaruh karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program terhadap pemberdayaan pekerja dan kesejahteraannya akan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam rangka perbaikan kebijakan untuk meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan pekerja sektor informal, dalam hal ini pedagang kaki lima.

Temuan yang akan didapatkan dari penelitian ini adalah:

1. Karakteristik sosial ekonomi pedagang kaki lima, kebijakan program, pemberdayaan pekerja, dan kesejahteraan pedagang kaki lima;

2. Model pemberdayaan pedagang kaki lima berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program;

3. Model kesejahteraan pedagang kaki lima berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan kebijakan program;

4. Model pemberdayaan pedagang kaki lima terhadap kesejahteraannya.

Berdasarkan model yang diperoleh dapat menjadi sumber informasi bagi pemangku kebijakan mengenai kebijakan pekerja sektor informal masa lalu yang telah dilakukan dan menjadi acuan dalam revisi kebijakan tentang perberdayaan dan peningkatan kesejahteraan pekerja sektor informal di masa mendatang, khususnya pedagang kaki lima.

(23)

13 BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, yang memiliki jumlah absolut pekerja sektor informal terbesar dibandingkan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bali. Data dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif yang diperoleh dari sumber primer, yaitu diambil secara langsung oleh peneliti menggunakan angket.

Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang kaki lima yang melakukan aktifitas pekerjaannya di perkotaan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Pemilihan lokasi penelitian yang merupakan wilayah perkotaan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Provinsi Bali, mengacu pada klasifikasi perdesaan dan perkotaan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Tahun 2010 (Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010). Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara purposive

sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana pemilihan sampel dilakukan dengan

pertimbangan subjektif tertentu berdasarkan beberapa ciri/karakteristik yang dimiliki sampel tersebut, yang dipandang berhubungan erat dengan ciri/karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Sugiyono, 2008). Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan responden yaitu responden yang bekerja sebagai PKL (pedagang kaki lima jarang tersentuh program pemberdayaan pemerintah). Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 156 orangresponden.

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: X1 = Umur (tahun)

X2 = Jenis kelamin: Laki-laki, Perempuan

X3 = Status perkawinan, dikelompokkan: belum kawin; kawin, cerai hidup; cerai mati.

X4 = Tingkat pendidikan terakhir, dikelompokan: tidak sekolah; SD; SMP; SMA; Perguruan Tinggi.

X5 = Status migrasi, dikelompokkan: recent; seumur hidup

X6 = Tipe rumah, dikelompokan: milik sendiri, menyewa, dan lainnya

X7 = Sifat layanan pedagang kaki lima, dikelompokan: berpindah-pindah, semi-menetap, dan menetap

X8 = Waktu berdagang: dari jam….. s.d jam………….

(24)

14

X10 = Jumlah tenaga kerja/karyawan diluar tenaga kerja keluarga yang membantu menjalankan usaha, dikelompokkan menjadi: Tidak ada, 1 orang, 2 orang, >2 orang.

X11 = Jumlah tenaga kerja keluarga yang membantu menjalankan usaha, dikelompokkan menjadi: Tidak ada, 1 orang, 2 orang, >2 orang. X12 = Ketersediaan buku untuk pembukuan kegiatan usaha: Ada, Tidak X13 = Status Registrasi Usaha, dikelompokkan: Terdaftar, Tidak terdaftar X14 = Jenis dagangan, dikelompokan: makanan/minuman, pakaian/tekstil/

kelontong/mainan anak, buah-buahan, rokok/obat-obatan, barang cetakan/koran/majalah/buku, Jasa perorangan/tukang kunci/reparasi jam/tambal ban/gravier/stempel/cap,dll, dan jenis dagangan lainnya X15 = Sarana fisik pedagang kaki lima, dikelompokkan: Keranjang/pikulan,

Gelaran/alas, meja, gerobak/kereta dorong, warung semi permanen, dan kios X16 = Alternatif sumber pendapatan di luar pekerjaan sebagai pedagang kaki lima,

dikelompokkan: Ada, Tidak

2. Kebijakan program yang dijabarkan dalam variabel: program-program pemberdayaan, meliputi: X17 = pelaksana program,

X18 = jenis program

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah:

1. Pemberdayaan pedagang kaki lima, dijabarkan dalam variabel: Y1 = Akses, kesempatan memperoleh pemodalan usaha: Ada; Tidak

Y2 = Partisipasi/Keikutsertaan dalam program, dikelompokkan dalam: tidak ikut program pemberdayaan; ikut program pemberdayaan 2. Tingkat Kesejahteraan, dijabarkan dalam variabel:

Y3 = Pendapatan responden (rupiah)

Y4 = Status Pekerjaan, dikelompokkan dalam: pekerja berusaha sendiri; berusaha sendiri dibantu oleh pekerja sementara/tidak dibayar; berusaha sendiri dibantu oleh pekerja permanen/dibayar; Karyawan/ Pekerja; Pekerja tidak dibayar.

Teknik analisis data dalam penelitian ini, akan mengikuti langkah-langkah berikut: 1. Melakukan analisis deskriptif untuk mendapatkan gambaran karakteristik sosial

ekonomi pedagang kaki lima, kebijakan program, tingkat kesejahteraan, dan pemberdayaan pekerja dengan menentukan persentase variabel secara univariat.

(25)

15

2. Melakukan teknik analisis multivariate menggunakan analisis regresi linier dan analisis regresi logistic. Regresi merupakan metode statistika yang memanfaatkan hubungan antara dua atau lebih variabel kuantitatif sehingga satu variabel bisa diramalkan dari variabel-variabel lainnya (Neter, 1997). Secara umum model regresi linear dapat dituliskan sebagai berikut:

(1) dengan:

Yi merupakan nilai variabel respon dalam amatan ke-i menyatakan parameter

adalah konstanta yang diketahui, yaitu nilai variabel bebas dari amatan ke-i adalah suku galat yang bersifat acak dengan rataan { } dan ragam { } Dalam penggunaan metode regresi linear terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi seperti kehomogenan ragam dan kenormalan sisaan.

Analisis regresi logistik menurut Hosmer dan Lemeshow (2000) merupakan metode regresi dengan variabel respon Y merupakan kategorik atau dikotomi, sedangkan variabel bebasnya merupakan variabel kategorik dan atau kontinu.

Model regresinya adalah x x pxp

x x x g               0 1 1 2 2  ) ( 1 ) ( ln ) ( (2)

dengan: β = parameter regresi; x = variabel bebas

Semua data diedit, dikumpulkan, dan dianalisis menggunakan bantuan program statistik SPSS 19.0 dan MINITAB 17.

Analisis regresi linier dilakukan untuk mencari model antara variabel karakteristik sosial ekonomi dengan variabel kesejahteraan (Y3 = Pendapatan responden). Sedangkan analisis regresi logistik dilakukan untuk mencari model antara variabel karakteristik sosial ekonomi dengan variabel pemberdayaan pekerja (Y1 = Akses, kesempatan memperoleh pemodalan usaha; Y2 = Partisipasi/Keikutsertaan dalam program); dan model antara variabel karakteristik sosial ekonomi dengan variabel kesejahteraan (Y4 = Status Pekerjaan).

(26)

16

(27)

17 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Sosial Ekonomi, Pemberdayaan, Kebijakan Program, dan Kesejahteraan Pedagang Kaki Lima

Gambaran umum karakteristik sosial ekonomi Pedagang Kaki Lima (PKL), berdasarkan hasil analisis data diperoleh rata-rata umur PKL yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 39 tahun, jenis kelamin didominasi oleh pekerja laki-laki, yaitu 63,4 persen dari total 156 responden. Pola yang terlihat bahwa pedagang kaki lima ini didominasi oleh mereka yang berstatus kawin. Status kawin responden menunjukkan hanya 10,3 persen yang berstatus belum kawin, 3,2 persen dengan status cerai, dan sebagian besar (86,5 persen) berstatus kawin. Gambaran karakteristik umur, jenis kelamin, dan status kawin ini sesuai dengan karakteristik pelaku sektor informal pada umumnya. Manning dan Effendi (1996) menjelaskan bahwa sektor informal banyak dilakukan oleh penduduk pada usia menengah atau prime age (30–49 tahun) dalam angkatan kerja. Hidayat (1978) mengamati ciri lain yang terkait dengan umur, dijelaskan bahwa pelaku sektor informal pada umumnya berpendidikan rendah dan berumah tangga. Karakteristik tersebut teramati dari penelitian ini, PKL yang menjadi responden penelitian ini sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan SD (30,1 persen), SMP (32,7 persen), dan SMA (23,7 persen), sedangkan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi hanya dimiliki oleh 3,8 persen dari total responden.

Karakteristik umur reponden mengindikasikan bahwa pelaku sektor informal khususnya PKL merupakan kelompok penduduk usia menengah (prime age), dengan rata-rata umur 39 tahun. Namun apabila dilihat dari rentangan umur responden, terlihat rentangan umur yang sangat lebar antara umur termuda dengan umur tertua, yaitu 20 tahun dan 65 tahun. Berkaitan dengan rentangan umur ini, Hidayat (1978) mengemukakan bahwa dua hal penting. Pertama, dengan sifat sektor informal yang mudah dimasuki, sektor ini mampu menampung tenaga kerja dari segala usia. Sifat fleksibel ini menyebabkan sektor informal seringkali menjadi kesempatan kerja alternatif bagi tenaga kerja yang tidak bisa masuk ke sektor formal. Kedua, berkaitan dengan sektor ini mampu menampung tenaga kerja usia tua, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa sektor ini akan menjadi penampung bagi lansia yang masih produktif di masa yang akan datang.

Berkaitan dengan tenaga kerja usia tua, penelitian Susilawati, Nilakusmawati, dan Rimbawan (2014) meneliti tentang model dari status pekerjaan lansia dan faktor-faktor

(28)

18

yang memengaruhinya. Penelitian dilakukan di 8 kabupaten di Provinsi Bali, dengan total sampel 358 responden. Variabel-variabel yang digunakan meliputi karakteristik sosial ekonomi, dan status pekerjaan lansia. Hasil penelitian diperoleh sebagian besar lansia mempunyai status bekerja, yaitu sebanyak 65,6% dan 34,5% tidak bekerja. Berdasarkan analisis regresi logistik biner diperoleh variabel-variabel yang berpengaruh pada status bekerja lansia, yaitu: umur, ada/tidaknya tunjangan hari tua, dan besarnya pendapatan keluarga.

Table 5.1 Karakteristik Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung

Variabel Kategori Frekuensi Persentase

1. Jenis Kelamin 1. Laki-laki 99 63,4

2. Perempuan 57 36,6

2. Status Perkawinan 1. Belum kawin 16 10,3

2. Kawin 135 86,5

3. Cerai hidup 2 1,3

4. Cerai mati 3 1,9

3. Pendidikan 1. Tidak Sekolah 15 9,6

2. SD 47 30,1

3. SMP 51 32,7

4. SMA 37 23,7

5. PT 6 3,8

4. Status Migrasi 1. Risen 107 68,6

2. Seumur Hidup 49 31,4

5. Sifat Layanan Dagangan 1. Berpindah-pindah 49 31,4

2. Semi menetap 37 23,8

3. Menetap 70 44,8

6. Tipe Rumah 1. Milik Sendiri 28 17,9

2. Menyewa 123 78,9

3. Lainnya 5 3,2

7. Lama Usaha 1. < 1 Tahun 25 16

2. 1 - 3 Tahun 29 18,6

3. > 3 tahun 102 65,4

8. Jumlah Tenaga Kerja non Keluarga 1. Tidak Ada 139 89,1 2. 1 Orang 10 6,4 3. 2 Orang 4 2,6 4. > 2 Orang 3 1,9

9. Jumlah Tenaga Kerja Keluarga 1. Tidak Ada 86 55,1

2. 1 Orang 53 34

3. 2 Orang 11 7,1

4. > 2 Orang 6 3,8

10. Pembukuan 1. Ada 25 16

(29)

19

11. Registrasi Usaha 1. Terdaftar 15 9,6

2. Tidak Terdaftar 141 90,4

12. Jenis Dagangan 1. Makanan/Minuman 139 89,1

2. Pakaian 7 4,5

3. Jenis Lainnya 10 6,4

13. Sarana Fisik 1. Keranjang 12 7,7

2. Gelaran 5 3,2

3. Meja 23 14,7

4. Gerobak 97 62,2

5. Warung Semi Permanen 13 8,3

6. Kios 6 3,8

14. Alternatif Pendapatan 1. Ada 32 20,5

2. Tidak Ada 124 79,5

15. Status Pekerjaan 1. Berusaha Sendiri 137 87,8

2. Berusaha sendiri dgn pekerja

Sementara/tidak dibayar 6 3,8

3.Berusaha sendiri dgn pekerja

dibayar 5 3,2 4.Karyawan/Pekerja 8 5,2 16. Keikutsertaan Program Pemberdayaan 1.Ikut 6 3,8 2.Tidak Ikut 150 96,2

Sumber: Data Primer (2016)

Tabel 5.2 Analisis Deskriptif Variabel Umur, Curahan Jam Kerja dan Rata-rata Pendapatan (Juta rupiah)

Statistics

Umur Curahan Jam

Kerja per hari

Rata-rata Pendapatan per bulan N Valid 156 156 156 Missing 0 0 0 Mean 39.102564 7.9776 2.9987 Std. Deviation 10.3538551 2.98779 2.94625 Minimum 20.0000 2.00 .50 Maximum 65.0000 17.00 25.00

Sumber: Data Diolah (2016)

Karakteristik status migrasi dari PKL yang menjadi responden penelitian menunjukkan sebagian besar (68,6 persen) berstatus sebagai migran risen, sedangkan 31,4 persen berstatus sebagai migran permanen. Berkaitan dengan status migrasi, status rumah yang ditempati PKL sebagian besar dengan menyewa (78,9 persen), milik sendiri hanya sebesar 17,9 persen. Sejalan dengan hasil penelitian Njaya (2014) di Perkotaan Harare, Zimbabwe menjelaskan bahwa 75 persen dari penjual makanan jalanan menempati rumah dengan status kontrakan. Sekitar 90 persen dari mereka hanya mengandalkan pendapatan hanya dari menjual makanan

(30)

20

sebagai sumber nafkah utama. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan sebagai PKL ini telah membantu mengurangi pengangguran dan meningkatkan penghidupan sebagian besar rumah tangga perkotaan.

Karakteristik ekonomi pedagang kaki lima meliputi sifat layanan, jenis dagangan, sarana fisik, curahan jam kerja, lama menjalankan usaha, jumlah tenaga kerja, ketersediaan pembukuan kegiatan usaha, status registrasi usaha, dan alternatif sumber pendapatan di luar pekerjaan sebagai pedagang kaki lima. Hasil pengumpulan data karakteristik ekonomi PKL ini diperoleh bahwa sifat layanan PKL di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung memiliki persentase yang berimbang diantara ketiga jenis layanan, yaitu berpindah-pindah 31,4 persen, semi menetap 23,8 persen, dan menetap sebesar 44,8 persen.

Lama menjalankan usaha sebagai PKL merupakan hal penting yang perlu dikaji. Lama menjalankan usaha dapat menunjukkan seberapa banyak tenaga kerja yang baru masuk ke sektor informal dan siapa saja yang sudah menjalankan usaha dalam waktu yang relatif lama. Disamping itu lama usaha juga berpengaruh terhadap keterampilan berusaha dan berdampak pada pendapatan.

Karakteristik responden penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar PKL mempunyai lama usaha > 3 tahun (65,4 persen), sedangkan 16 persen merupakan pendatang baru ( < 1 tahun), dan 18,6 persen menjalankan usaha 1-3 tahun. Data distribusi respoden yang bekerja sebagai PKL didominasi oleh mereka dengan lama usaha lebih dari 3 tahun. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan responden menekuni usaha ini dalam jangka waktu yang lama, meliputi: 1) kondisi terpaksa bekerja sebagai PKL karena tidak ada pilihan pekerjaan lainnya; 2) pekerjaan ini ternyata memberikan jaminan ekonomi yang cukup baik sehingga mereka tidak mau keluar dari pekerjaan ini.

Analisis tabulasi silang antara lama menjalankan usaha dengan ada/tidaknya alternatif sumber pendapatan diluar pekerjaan sebagai pedagang kaki lima disajikan pada Tabel 5.3. Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan didominasi oleh PKL dengan lama menekuni usaha lebih dari 3 tahun, yaitu sebesar 68,5 persen (85 responden dari 124 orang responden) yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar responden yang memiliki lama usaha lebih dari 3 tahun hanya mempunyai pekerjaan utama sebagai PKL. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang ditekuni saat ini sebagai PKL merupakan sumber nafkah utama, yang mengindikasikan bahwa keterlibatan mereka sebagai PKL lebih berkaitan dengan alasan yang pertama, yaitu tidak ada alternatif lain bagi mereka untuk mencari sumber nafkah tambahan.

(31)

21

Tabel 5.3. Distribusi Responden Menurut Lama Usaha dan Ada/Tidak Pekerjaan Sampingan

Lama Usaha Ada/Tidak Pekerjaan Sampingan Jumlah

Ada Tidak N % < 1 Tahun 7(21.9%) 18(14.5%) 25 16.0% 1 - 3 Tahun 18(25.0%) 21(16.9%) 29 18.6% > 3 tahun 17(53.1%) 85(68.5%) 102 65.4% Total (N) 32 124 156 100 % 20,5 79,5

Sumber: Data Primer (2016)

Sifat layanan pedagang kaki lima, dikelompokan: berpindah-pindah, semi-menetap, dan menetap. Data hasil penelitian menunjukkan sebagian besar didominasi oleh PKL dengan sifat layanan menetap, yaitu 44,8 persen, berpindah-pindah 31,4%, dan semi menetap sebesar 23,8 persen dari 156 responden.

Sebagian besar responden penelitian, yaitu 66,1 persen mempunyai lama usaha lebih dari 3 tahun. Tabulasi silang antara lama menjalankan usaha dengan sifat layanan menunjukkan bahwa PKL dengan lama usaha lebih dari 3 tahun tersebut terdapat 46,6% dengan sifat layanan menetap, 31,06 persen berpindah, dan sisanya 22,33 persen semi-menetap. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara lama menjalankan usaha dengan sifat layanan, untuk studi PKL di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar ini, menunjukkan adanya indikasi PKL dengan lama usaha lebih dari 3 tahun cenderung mempunyai sifat layanan menetap.

Tabel 5.4. Distribusi Responden Menurut Lama Usaha dan Sifat Layanan Usaha

Lama Usaha Sifat Layanan PKL Jumlah

Berpindah Semi-menetap Menetap N %

< 1 Tahun 7 (28,00%) 3 (12,00%) 15 (60,0%) 25 16,0

1 - 3 Tahun 10 (35,71%) 11 (39,28%) 7 (25,0%) 28 17,9

> 3 tahun 32 (31,06%) 23 (22,33%) 48 (46,6%) 103 66,1

Total (N) 49 37 70 156 100,0

% 31,4 23,8 44,8

Sumber: Data Primer (2016)

Curahan jam kerja dalam penelitian ini adalah sejumlah waktu yang dicurahkan atau dihabiskan untuk menjalankan pekerjaan berdagang. Rata-rata curahan jam kerja per hari responden penelitian adalah 7,97 jam (8 jam) dengan rentangan jam curahan jam kerja minimum per hari adalah 2 jam dan maksimum 17 jam. PKL dengan curahan jam kerja ≤ 8 jam sebagian besar menggunakan waktu berdagang sekitar sore sampai malam hari (18.00-24.00 WITA), atau pagi sampai dengan sore hari (10.00-17.00 WITA), sedangkan PKL dengan jam kerja > 8 jam sebagian besar menggunakan jam kerja untuk berdagang dari pagi hingga malam hari, yaitu berkisar antara 08.00-22.00 WITA. Mereka yang

(32)

22

termasuk golongan yang terakhir ini merupakan PKL dengan lama usaha > 3 tahun dan sifat layanan menetap.

Sebagian besar PKL yang menjadi responden penelitian adalah penjual makanan/minuman, yaitu 89,1 persen dan sisanya 10,9 persen merupakan penjual pakaian dan lainnya. Proporsi yang besar dari PKL dengan jenis dagangan berupa makanan/minuman adalah fenomena yang sedang marak di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saat penelitian ini dilakukan.

Sarana fisik yang dipergunakan oleh PKL dalam berjualan terdiri dari Keranjang/pikulan, Gelaran/alas, meja, gerobak/kereta dorong, warung semi permanen, dan kios. Karakteristik sarana fisik yang dipergunakan oleh responden penelitian sebagian besar menggunakan gerobak/kereta dorong yaitu 62,2 persen dan diikuti oleh sarana meja sebanyak 14,7 persen, warung semi-permanen 8,3 persen, keranjang 7,7 persen, dan sisanya menggunakan gelaran (3,2 persen) dan kios (3,8 persen).

Berkaitan dengan sifat layanan, jenis dagangan, dan sarana fisik yang dipergunakan oleh PKL dalam berjualan, sebagian besar PKL dalam penelitian ini adalah penjual makanan/minuman dengan sifat layanan menetap dan memanfaatkan sarana fisik gerobak/kereta dorong. Kelompok ini merupakan PKL yang memanfaatkan emperan toko sebagai tempat usaha, merupakan penjual makanan dengan waktu beroperasi dari sore sampai malam hari.

Mramba (2015) menjelaskan bahwa modus operasi dari bisnis penjual jalanan (Street

Vending Bussines) berbeda dari satu penjual dengan penjual lainnya, tergantung pada jenis

produk yang dijual. Dijelaskan bahwa struktur yang paling umum digunakan untuk membawa produk dengan menggelar meja, gerobak, sepeda, keranjang, dan lainnya membawa produk mereka di tangan, bahu, atau dengan menggunakan papan khusus yang dibangun oleh kotak bekas dan tas goni.

Wirosarjono (1985) menjelaskan salah satu ciri sektor informal umumnya mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau daerah yang sama. Karakteristik PKL penelitian ini, mengenai jumlah tenaga kerja keluarga yang membantu menjalankan usaha, didominasi oleh 55,1 persen (86 orang) responden dengan tanpa dibantu tenaga kerja keluarga, sedangkan 44,9 persen (70 orang) menggunakan tenaga kerja keluarga. Responden dengan dibantu tenaga kerja keluarga sebagian besar menggunakan tenaga kerja keluarga sebanyak 1 orang (Tabel 5.1).

(33)

23

Jumlah tenaga kerja diluar tenaga kerja keluarga yang digunakan, sebagian besar responden menyatakan tidak menggunakan tenaga kerja non keluarga, yaitu 89,1 persen, dan 10,9 persen menggunakan tenaga kerja non keluarga/karyawan (casual

(non-permanent) labour /salaried), dengan sebagian besar menggunakan 1 orang tenaga kerja

yang diupah. Proporsi 89,1 persen (139 orang responden) terdiri dari 69 PKL yang mengerjakan sendiri usahanya tanpa adanya bantuan dari tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja yang diupah (self-employed) dan sebanyak 70 PKL dengan hanya dibantu oleh bantuan tenaga kerja keluarga. Karakteristik PKL berdasarkan tenaga kerja yang membantu menjalankan usaha disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tenaga Kerja yang Membantu

Sumber: Data Primer (2016)

Banyaknya persentase responden yang mengerjakan sendiri usahanya

(self-employed) yaitu 44,23 persen (69 orang), serta persentase responden yang dibantu oleh

tenaga kerja keluarga sebesar 44,86 persen (70 orang) menguatkan pandangan mengenai sifat usaha di sektor informal yang pada umumnya termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau menggunakan tenaga kerja maka tenaga kerja tersebut berasal dari keluarga. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Njaya (2014) menjelaskan bahwa mayoritas (55 persen) dari penjual makanan jalanan merupakan usaha skala kecil dengan mengerjakan sendiri usahanya atau dengan bantuan anggota keluarga yang tidak dibayar.

Karakteristik kegiatan usaha PKL pada penelitian ini, diperoleh bahwa sebagian besar responden tidak melakukan pembukuan untuk kegiatan usaha mereka, yaitu 84 persen (131 responden) dan hanya 16 persen yang melakukan pembukuan untuk kegiatan usaha mereka. Demikian pula halnya untuk registrasi usaha, sebagian besar responden (90,4 persen) tidak mempunyai ijin usaha, dan hanya sebagian kecil saja (9,6 persen) melakukan registrasi.

Jenis Tenaga Kerja yang Membantu

Jumlah Tenaga Kerja Jumlah

N %

Mengerjakan Sendiri 0 69 44,23

Tenaga Kerja Keluarga 1 orang 53 33,97

2 orang 11 7,05

> 2 orang 6 3,84

Tenaga Kerja Diupah 1 orang 10 6,41

2 orang 4 2,56

> 2 orang 3 1,92

(34)

24

Variabel pemberdayaan dalam penelitian ini dijabarkan dalam variabel: (1) Akses, yaitu kesempatan memperoleh pemodalan usaha dan (2) Partisipasi/Keikutsertaan dalam program pemberdayaan. Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh hanya 6 orang responden (3,84 persen) dari 156 PKL yang ikut dalam program pemberdayaan. Program pemberdayaan yang diikuti sebagian besar adalah program yang dilaksanakan oleh pemerintah (5 orang responden) dan program pemberdayaan oleh pihak swasta diikuti oleh 1 orang responden. Jenis program pemberdayaan yang diikuti berupa pelatihan keterampilan usaha.

Akses PKL dalam memperoleh pemodalan usaha, dari 156 responden sebagian besar menyatakan tidak mempunyai akses, yaitu 62,8 persen (98 orang) dan hanya 37,2 persen (58 orang) menyatakan memperoleh akses dalam pemodalan usaha. Responden yang tidak mempunyai akses dalam pemodalan usaha tersebut menggunakan sumber keuangan sendiri sebagai sumber pemodalan usaha, sedangkan responden yang mempunyai akses menggunakan sumber pemodalan dari pihak Bank, LPD, Koperasi, dan pihak pemodalan formal lainnya. Rincian mengenai sumber pemodalan usaha disajikan dalam Tabel 5.6. Masih rendahnya persentase responden yang memperoleh akses terhadap pemodalan usaha ini sejalan dengan hasil penelitian Falla di Bogota, Colombia (Mraba, 2015) bahwa selain dihadapkan pada terbatasnya akses terhadap modal, pedagang jalanan juga dihadapkan pada keamanan yang tidak stabil, kebijakan pembangunan perkotaan yang tidak direncanakan, pelecehan dari pemilik bisnis formal, dan rendahnya tingkat keterampilan bisnis.

Tabel 5.6. Distribusi Responden Menurut Sumber Pemodalan Usaha

Sumber: Data Primer (2016)

Perihal permasalahan akses terhadap pemodalan usaha, penelitian Nilakusmawati (2009) terhadap pedagang canang sari di Kota Denpasar, juga merekomendasikan perlunya penanganan dengan kebijakan yang berkelanjutan dan pemberian akses lebih besar terhadap sumber permodalan formal terhadap pelaku sektor informal.

Sumber Pemodalan Jumlah

N % Modal Sendiri 98 62,82 Bank 18 11,54 LPD 13 8,33 Koperasi 18 11,54 Sumber lainnya 9 5,77 Total 156 100,00

(35)

25

Hasil penelitian Muzaffar, et.al (2009) menyoroti masalah dan mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang positif mempengaruhi pendapatan penjualan PKL dalam hal ini penjual makanan jalanan di kota Dhaka, Bangladesh. Identifikasi masalah utama dilakukan menggunakan analisis faktor. Masalah utama yang diperoleh terkait dengan operasi bisnis, pengetahuan bisnis, pemerasan, produk dan produksi. Hasil penelitian ditemukan bahwa pengalaman bisnis, dan modal awal adalah dua faktor utama yang positif mempengaruhi pendapatan penjualan.

5.2 Model Kesejahteraan (Rata-rata Pendapatan) Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Pedagang Kaki Lima

Kesejahteraan dalam penelitian ini dijabarkan dalam variabel Pendapatan dan Status Pekerjaan responden. Karakteristik responden berdasarkan Tabel 5.2, rata-rata pendapatan responden per bulan adalah 2.998.700 dengan variasi pendapatan yang sangat besar. Rentangan pendapatan antara responden yang satu dengan lainnya, terlihat rentangan yang begitu tajam yaitu pendapatan rata-rata minimum per bulan adalah 500.000 dan tertinggi adalah 25.000.000.

Kesejahteraan pedagang kaki lima dapat diukur salah satunya dengan rata-rata pendapatannya. Faktor-faktor apa saja memengaruhi tingkat pendapatan ini bila dilihat dari karakteristik sosial ekonomi, untuk itu dilakukan analisis regresi linier. Pengujian hipotesis pertama dilakukan secara simultan atau keseluruhan variabel bebas terhadap variabel dependennya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variabel karakteristik sosial ekonomi, dan variabel dependennya adalah rata-rata pendapatan dari pedagang kaki lima. Hipotesis disusun sebagai berikut:

Ho : tidak ada hubungan linier antara variabel karakteristik sosial ekonomi dengan variabel rata-rata pendapatan dari pedagang kaki lima

Hi : Ada hubungan linier antara variabel karakteristik sosial ekonomi dengan variabel rata-rata pendapatan dari pedagang kaki lima

Uji statistik yang digunakan dalam pengujian hipotesis secara simultan ini adalah uji F yang disusun dalan sebuah table analisys of varians (ANOVA) seperti pada Tabel 5.7. Hasil uji F dengan taraf nyata 5% dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak atau Hi diterima, ini terlihat dari nilai signifikan 0,007 yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Artinya ada hubungan linier antara variabel karakteristik sosial ekonomi dengan variabel rata-rata pendapatan dari pedagang kaki lima.

(36)

26

Tabel 5.7 Hasil Uji F Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Rata-Rata Pendapatan Pedagang Kaki Lima

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 175.390 8 21.924 2.754 .007a

Residual 1170.075 147 7.960

Total 1345.465 155

a. Predictors: (Constant), Jenis dagangan, Umur, Sifat Layanan Dagangan, Waktu Dagang, Jumlah Buruh Non Keluarga, Status Imigrasi, Lama Usaha, Pendidikan

b. Dependent Variable: Rata2Pendpt

Analisis selanjutnya adalah melakukan pengujian parsial untuk mengetahui variabel bebas mana yang signifikan berpengaruh tarhadap rata-rata pendapatan dari pedagang kaki lima. Hipotesis yang diuji adalah:

Ho : βj = 0 Hi : βj ≠ 0

Uji yang digunakan adalah uji t. Hasil uji t disajikan pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Hasil Uji Parsial Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Rata-Rata Pendapatan dari Pedagang Kaki Lima

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics B Std.

Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) -1.982 1.712 -1.158 .249

Umur .016 .025 .057 .660 .510 .784 1.276

Pendidikan .654 .244 .228 2.678 .008 .818 1.222

Status migrasi .338 .507 .053 .666 .506 .923 1.084

Curahan jam kerja .134 .078 .136 1.709 .048 .938 1.067

Lama Usaha -.244 .320 -.063 -.763 .447 .875 1.143

Jumlah tenaga kerja non keluarga .817 .426 .155 1.916 .050 .906 1.104 Sifat layanan dagangan .371 .245 .119 1.516 .132 .957 1.045 Jenis dagangan -.128 .232 -.043 -.550 .583 .968 1.033

a. Dependent Variable: Rata2Pendpt

Ada delapan variabel karakteristik sosial ekonomi pedagang kaki lima yang diduga dapat menjelaskan rata-rata pendapatan pedagang kaki lima. Variabel yang signifikan berpengaruh terhadap rata-rata pendapatan pedagang kaki lima adalah tingkat pendidikan, curahan jam kerja, dan jumlah tenaga kerja dari luar keluarga (non keluarga) yang ikut membantu.

Gambar

Table 5.1  Karakteristik Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
Tabel 5.2  Analisis Deskriptif Variabel Umur,  Curahan Jam Kerja  dan Rata-rata Pendapatan                    (Juta rupiah)
Tabel 5.4.  Distribusi Responden Menurut Lama Usaha dan Sifat Layanan Usaha
Tabel 5.5.  Distribusi Responden Menurut Jumlah Tenaga Kerja yang Membantu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagian ini untuk mengukur kinerja Bapak/ Ibu Dalam menjawab pertanyaan bagian ini, Bapak/ Ibu diminta untuk menyesuaikan jawabannya dengan luas kewenangan dan

pembelajaran, pendampingan, maupun guru yang diberi tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah) yang dinilai kemudian direkap dalam format laporan kendali kinerja

Pada hari ini Selasa tanggal Empat Belas bulan Februari tahun dua ribu sebelas (14-02- 2012) bertempat di Kantor Dinas Perkebunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, Panitia Pengadaan

477.235.000,- (Empat ratus tujuh puluh tujuh juta dua ratus tiga puluh lima ribu Rupiah).

• Instalasi Sistem Informasi tidak hanya untuk software saja, namun termasuk database, software tambahan, plug-in, software aplikasi server, driver, serta berbagai pengaturan

Berdasarkan Berita Acara Evaluasi Penawaran harga dengan nomor : NO.

Jobs merupakan salah satu orang yang pertama kali menyadari potensi untuk mengomersialkan antarmuka pengguna grafis (graphical user interface) dan mouse yang dikembangkan

[r]