Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
SUFISME PERKOTAAN DAN NALAR BERAGAMA INKLUSIF
(Studi atas Peran Majelis Jamuro dalam Upaya Deradikalisasi Gerakan
Keagamaan di Surakarta)
Urban Sufism and the Reason of Inclusive Religion
(Study: The roles of Majlis Jamuro toward religious movement based
deradicalization in Surakarta)
rosIdIN
A
bstrActSocial conflicts rises frequently because of religious crisis that preceded religious truth claims over
the interpretation and strength of religious exclusiveness. This spiritual crisis made uneasy by
religious leaders that led to the various assemblies of dhikr or city Sufism, one panel of Jamaat Muji Prophet (Jamuro). This descriptive qualitative study was conducted using deep interviews, relevant documentations and observation This research aimed to determine (1) how the background standing, (2) public response and (3) the role played by the Assembly Jamaat Muji Prophet (Jamuro) in
de-radicalization efforts of religious movements. This research used qualitative as well as descriptive
approaches. Data was obtained by deep interview, observation, and relevant documentations. The results of this study are: first, Jamuro founded in 2004 in Surakarta by Islamic theologians, kyai, habib, and Islamic figures from Nahdliyin to preserve the tradition of clerical predecessors
in preaching . This movement aimed to continue Islamic propaganda tradition by earlier ulamas. The diversity of the radical movement in Surakarta contributed to the birth of Jamuro in hopes of reviving spirituality in town disappearing and the number of radical Islamic movements. (2) Most
of communities accepted Majlis Jamuro, so that it derived others, like Jimat (Jamaah Iman Manteb
Ati Tentrem) and Tomat (Tobat Maksiat). Expanding its range not only in the former residency of
Surakarta and its surroundings, even Semarang. (3) Jamuro in the context of de-radicalization seen
in its efforts to fortify themselves from the many familiar and radical Islamic movements through Tausyiah which will hopefully prevent jama’ahnya to commit violence in the name of religion. Keywords: Urban Sufism, Religious Movements, Deradicalization, Majlis Jamuro.
A
bstrAkKonflik sosial seringkali muncul karena krisis keagamaan yang diawali klaim kebenaran atas tafsir
dan kuatnya sikap eksklusif dalam beragama. Krisis spiritual ini membuat gelisah para tokoh agama
sehingga memunculkan berbagai majelis dzikir atau sufisme kota, salah satunya majelis Jamaah Muji Rosul (Jamuro). Penelitian kualitatif deskriptif ini dilakukan dengan metode wawancara,
dokumentasi dan observasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimana latar belakang
berdiri, (2) respon masyarakat dan (3) peran yang dimainkan Majelis Jamaah Muji Rosul (Jamuro) dalam upaya deradikalisasi gerakan keagamaan. Hasil penelitian ini adalah: pertama, Jamuro didirikan tahun 2004 di Surakarta oleh para ulama, kyai, habaib, dan tokoh agama dari kalangan Nahdliyin sebagai wadah umat Islam Surakarta untuk melestarikan tradisi ulama pendahulu dalam
dakwahnya. Beragamnya gerakan radikal di Surakarta ikut mendorong lahirnya Jamuro dengan harapan dapat membangkitkan kembali spiritualitas di kota yang makin pudar serta banyaknya
gerakan Islam radikal. Kedua, masyarakat dari berbagai kalangan menyambut baik adanya Jamuro, yang memunculkan rintisan majelis Jamuro kecil, seperti Jimat (Jamaah Iman Manteb Ati Tentrem),
dan Tomat (Tobat Maksiat). Persebarannya makin meluas tidak hanya di eks karesidenan Surakarta
dan sekitarnya, bahkan Semarang. Ketiga, Jamuro dalam konteks deradikalisasi terlihat dalam
upayanya membentengi diri dari banyaknya paham serta gerakan Islam radikal melalui tausyiah yang diharapkan akan mencegah jama’ahnya untuk melakukan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Kata kunci: Sufisme kota, gerakan keagamaan, deradikalisasi, Majlis Jamuro.
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav. 69-70, Bambankerep, Ngaliyan,
Semarang Telp. 7601327 Faks. 024-7611386 e-mail: nazalnifa@yahoo.co.id Naskah diterima: 28 Januari 2014 Naskah direvisi: 19-22 Mei 2014 Naskah disetujui: Juni 2014
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
PendahuLuan
Islam merupakan agama rohmatan lil alamin, yang membawa perdamaian, cinta kasih, kemanusiaan, dan menebarkan keselamatan
bagi insan sekalian alam. Namun, agama
kehilangan sentuhan kemanusiaannya ketika berbagai konflik sosial seringkali muncul akibat krisis keagamaan (Haedari, 2006: 23). Hal ini disebabkan ada kesenjangan yang cukup dalam
antara aspek normativitas dan historisitas
dari agama itu sendiri (Abdullah, 2005: xx).
Artinya, krisis keagamaan ini muncul disebabkan
adanya klaim kebenaran (truth claim) atas tafsir keagamaan yang sepihak serta kuatnya sikap eksklusif dalam beragama. Sikap eksklusif ini berdasarkan pada anggapan (prejudice) bahwa
pemahaman keagamaan mereka―baik kelompok maupun individu yang memiliki pemahaman yang
paling benar. Sehingga orang di luar pemahaman
mereka adalah orang yang salah serta ”harus diselamatkan” dengan jalan mengikuti apa yang
mereka pahami tentang doktrin ajaran agama
tersebut. Dalam gerakannya, kelompok ini
seringkali melakukan dengan jalan radikal atau tindak kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan (Kurtz, 1995: 215).
Pasca gerakan reformasi tahun 1998, terjadi perkembangan yang pesat berbagai kegiatan keagamaan di Indonesia, yang salah satunya adalah munculnya fenomena kebangkitan spiritualitas masyarakat perkotaan (urban sufism). Nama-nama seperti Ustadz Arifin Ilham dengan majelis Dzikir Ad-dzikra-nya, ustadz KH Abdullah Gymnastiar dengan Managemen Qolbu-nya, Ustadz Yusuf Mansyur dengan
konsep keajaiban sodhaqoh-nya, Ustadz Jefri
Al-Bukhari dengan suaranya yang khas dan
Ustadz Haryono dengan dzikir dan pengobatan alternatifnya tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Fenomena kebangkitan gerakan spiritual di masyarakat perkotaan ini disebabkan munculnya radikalisme gerakan keagamaan yang sedang marak. Masyarakat merasakan adanya kekeringan jiwa (split personality) dengan pola keberagamaan yang legalistik, scriptural, dan
kaku. Mereka kemudian berusaha mencari bentuk atau alternatif lain cara beragama lain yang lebih humanis dan toleran (Jamil, 2007: 95).
Gerakan keagamaan dengan model sufisme
tersebut menunjukan adanya gejala kebangkitan gerakan keagamaan pada masyarakat modern.
Menurut Lester Kurz, fenomena kebangkitan ini
merupakan bentuk kebangkitan keagamaan pada era modern, ketika komunitas agama dihadapkan pada modernitas (Kurt, 1995: 167-168). Fenomena
sufisme kota ini tidak hanya terbatas pada kota
besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung saja, akan tetapi juga telah merebak keberbagai kota lain seperti kota Surakarta.
Salah satu majelis dzikir dan pengajian yang fenomenal di kota Surakarta adalah majelis
Jamaah Muji Rasul (Jamuro). Majelis yang diasuh oleh KH Abdul Karim Al-Hafidz, pengasuh Pondok Pesantren Al-Qurani Mangkuyudan Surakarta dan KH Ibrahim Asfari kini telah
memiliki lebih dari 6.000 jamaah, yang tersebar di kota Surakarta dan sekitarnya. Jamuro juga merepresentasikan kebersamaan berbagai kalangan yang memiliki faham Ahlusunnah wal Jama’ah. Komunitas dari kalangan Nahdhiyin,
kalangan abangan, kalangan habaib, keturunan
Arab, keturunan Banjar, dan keturunan Sampang
Madura melebur menjadi satu dalam majelis Jamuro (Mulyadi, 1999: 237). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan, yaitu: (1) bagaimana latar belakang berdirinya majelis
Jamaah Muji Rasul (Jamuro); (2) bagaimana respon masyarakat terhadap keberadaan majelis
Jamuro; dan (3) bagaimana peran majelis Jamuro dalam upaya deradikalisasi gerakan keagamaan di Surakarta.
KerangKa teorI
Muhsin Jamil mengelompokan gejala
kebangkitan sufisme kota sebagai bentuk
kebangkitan agama baru. Secara umum ia mengelompokan kebangkitan agama dalam tiga bentuk, yaitu: (1) gerakan spiritualitas pencarian, sebagaimana yang terlihat dalam gerakan
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
(2) Revitalisasi tradisionalisme seperti yangtercermin dalam gerakan sufisme kota maupun radikalisme Islam. (3) Revivalisme agama lokal
sebagaimana yang terlihat dalam kebangkitan
agama lokal Sunda Wiwitan, SUBUD, dan Samin
(Jamil, 2007: 92). Dari tipologi tersebut terlihat,
di samping gerakan new religious movements
(NRMs) dan kebangkitan agama lokal yang
menjadi fenomena keberagamaan kontemporer
di Indonesia adalah gejala sufisme kota (urban sufism). Sedangkan Lester Kurt, dalam merespon
modernitas, komunitas agama memiliki lima
bentuk, yaitu; gerakan modernisasi, gerakan
anti modernisasi, gerakan teologi pembebasan, gerakan-gerakan agama baru, dan sinkritisme agama (Kurt, 1995: 167).
Radikalisme merupakan pemikiran, sikap,
dan tindakan keagamaan yang cenderung mengedepankan teks-teks secara skriptual dalam memahami agama. Sikap radikalisme keagamaan ini muncul dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal, di antara sistem pendidikan dan pola pemahaman agama yang bersifat ’amali yang akan menjadikan agama sebagai sebuah sistem dogma yang absolut dan sebuah kebenaran yang mutlak. Kedua, faktor eksternal, baik faktor politis karena adanya dominasi, sosiologis disebabkan sikap peminggiran terhadap umat Islam, kultural maupun keagamaan (Muin, dkk., 2007: vi). Pada dasarnya, radikal ditandai dengan empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain.
(2) Sikap fanatik, selalu merasa benar sendiri serta
menganggap orang lain salah. (3) Sikap eksklusif, membedakan diri dari kebiasaan masyarakat
kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yang
cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan (Abegebriel, dkk., 2004: vii). Apapun bentuknya, baik radikalisme,
fundamentalisme, maupun terorisme dari gerakan keagamaan hanya akan membuat agama, akan jauh dari watak aslinya sebagai agama rahamatal lil ’alamin serta membuat agama kehilangan tujuannya yang hakiki. Syariat Islam dengan berbagai perangkatnya diturunkan
kepada manusia sebagai fondasi kehidupan (maqashid as-syariah) melindungi seluruh dimensi kemanusiaan serta memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya dengan cinta damai, jauh dari sikap fundamentalisme, radikalisme maupun terorisme.
Studi mengenai deradikalisasi gerakan
keagamaan ditinjau dari kebangkitan sufisme kota belum banyak dilakukan oleh para pakar. Namun
ada beberapa pakar yang sedikit banyak telah membicarakan hal tersebut antara lain Jalaluddin
Rahmat dengan buku Psikologi Agama, Said Aqil
Siradj dengan Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Muchsin Jamil dalam penelitiannya
Agama-Agama Baru di Indonesia, dan lainnya. Sedangkan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan radikalisme, gerakan keagamaan, dan
dialektika Islam tradisional versus Islam puritan, diantaranya: Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism In Solo: A Study of The Proliferation of Radical Islamism in a Town in Central Java; Fuadudin dalam penelitiannya yang berjudul Melacak Nalar Radikal; Kasus Pesantren Al Mukmin Ngruki; Noorhaidi Hasan
dengan penelitiannya yang berjudul Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia.; Zainudin Fanani dalam penelitiannya “Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial di Surakarta; dan Abdullah Faishol dalam penelitianya: Tuntutan Penerapan Syariat Islam Kelompok-Kelompok Islam Radikal di Surakarta”.
M
etodeP
eneLItIanPenelitian ini menggunakan pendekatannya
sosiologi agama (Connolly, 2002: 267) dengan
metode kualitatif-deskriptif, artinya peneliti mencari deskripsi yang menyeluruh, mendalam, dan cermat tentang corak keberagamaan Jamuro. Sedangkan penyampaian secara deskriptif diharapkan mampu menggambarkan peran Jamuro dalam upaya deradikalisasi gerakan
keagamaan di Surakarta (Saidi, 2006: 45).
Fokus penelitian pada Majelis Jamuro, yang
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
2013, dengan teknik pengumpulan data melaluitiga cara, yaitu: wawancara mendalam, observasi
terlibat, dan teknik dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif yang meliputi tiga tahapan, mulai dari reduksi data, penyampaian data, dan
penarikan kesimpulan (Suprayogo, 2003: 192-196). Selanjutnya, peneliti melakukan uji validitas
data dengan dua cara yaitu triangulasi data dan
dengan review informan.
h
asILdanP
eMbahasanPeta Sosial-Keagamaan Masyarakat Surakarta
Surakarta dengan tagline: “spirit of Java”,
merupakan kota multikultur, karena dihuni oleh berbagai etnis, diataranya etnis Jawa sebagai etnis yang paling dominan, Banjar, Madura, Cina,
Eropa, dan Arab. Sejak pemerintahan kolonial
Belanda, telah muncul kebijakan politik yang menciptakan segregasi keruangan yang mengatur tempat tinggal berdasarkan etnis, dan cara ini dilakukan untuk kepentingan dan keamanan
pemerintah Belanda. Perkampungan etnis Eropa di Loji Wetan (sekitar Beteng Keraton), etnis
Cina di sekitar Pasar Gedhe (Kampung Pecinan),
etnis Arab sekitar Pasar Kliwon (kampung Encik), dan etnis Jawa terpencar di berbagai
wilayah di luar ketiga wilayah tersebut, terutama
di wilayah Laweyan yang di dominasi pedagang batik pribumi. Dari fakta tersebut terlihat bahwa
Surakarta sejak dahulu merupakan daerah yang sangat heterogen, sehingga akan menyebabkan
terjadinya konflik sosial keagamaan.
Surakarta yang juga dikenal dengan nama Kota Solo, merupakan pusat kebudayaan Jawa,
terutama di Jawa Tengah. Luas wilayah Surakarta adalah 44.040.06 Km2. Secara administrative,
Surakarta terdiri dari 5 kecamatan dan 51
kelurahan dengan 601 rukun warga (RW) dan 2.709 rukun tetangga (RT) dengan 146.860 KK, rata-rata ada 54 KK setiap RT (BPS & Bappeda Kota Surakarta, 2013: 42). Sedangkan Surakarta mempunyai jumlah penduduk 582.063 jiwa
yang tersebar di 5 kecamatan, dengan jumlah penduduk tertinggi pada Kecamatan Banjarsari sebanyak 173.145 jiwa yang tersebar di 13
Kelurahan (BPS & Bappeda Kota Surakarta,
2013: 31). Dengan penduduk yang heterogen,
tentu akan berpengaruh terhadap keyakinan yang dianutnya, sehingga jika digambarkan dalam tabel akan tampak sebagai berikut:
Tabel 2.1. Agama Jumlah Tempat Ibadah
dan Pemeluknya
AGAMA TEMPAT IBADAH UNIT PEMELUK
Islam Masjid 554 442.654 Musholla 18 Kristen Gereja 180 83.519 Kapel 12 Katolik Gereja 5 73.275 Hindu Pura 4 1.283 Budha Vihara 6 3.610 Konghuchu Kelenteng 3 500 Lainnya 9
Sumber : Penamas-Pekapontren 2012, Gara Kristen, Katolik, Hindu-Budha-Makin
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa
potret keberagamaan di Kota Surakarta cukup beragam dalam menganut kepercayaan, bahkan semua agama yang diakui oleh negara dianut oleh penduduk Solo. Kondisi ini dapat dijadikan miniatur kerukunan umat beragama di Indonesia.
Namun, pada sisi lain, besar pula potensi konflik
di kota ini apabila tidak dijaga dan dipelihara secara bersama-sama di antara masyarakat yang mempunyai kepentingan.
Ragam Gerakan Sosial Keagamaan di Surakarta
Sejauh ini, Surakarta dianggap sebagai pusat sekaligus ladang yang subur bagi tumbuh berkembangnya ormas, kelompok keagamaan, dan aliran, baik moderat mapun radikal, tidak mengherankan jika kota ini mendapat sterotype
sebagai “kota teroris”. Di samping ormas-ormas yang sudah dikenal secara luas seperti NU, Muhammadiyah, DDI, LDII, Al Irsyad, PKS
(selain sebagai partai politik, PKS juga aktif bergerak dalam bidang dakwah dan sosial), di Solo juga terdapat kelompok Hidayatullah, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Tauhid). Selain itu, juga terdapat
kelompok-kelompok Salafi, MTA (Majelis Tafsir Al Quran), FPI (Front Pembela Islam), LUIS (Laskar Umat
Islam Surakarta), FPIS (Front Pembela Islam
Surakarta), Laskar Sunan Bonang, Laskar
Jundullah, Hawariyyun, Brigade Hizbullah,
Barisan Bismillah, Al Islah, Gerakan Pemuda
Ka’bah (GPK), serta kelompok-kelompok keagamaan lainnya, semisal Jama’ah Gumuk, kelompok para Habib Pasar Kliwon, Jamuro
(Jamaah Muji Rosul). Jamuro didirikan sebagai
respon sekaligus counter wacana terhadap kelompok-kelompok Islam puritan, semisal
MTA, yang cenderung “membunuh” tradisi dan
budaya lokal. Tetapi, sejauh ini Jamuro tidak mengklaim diri sebagai ormas, sebab sebagian
besar massanya adalah warga NU (nahdliyin), kalangan pesantren tradisional, serta sebagian dari warga Muhammadiyah, Islam Kejawen, dan sebagainya.
Surakarta sangat bervariatif dalam aspek
organisasi keagamaan, dan berbagai kelompok dan ormas keagamaan tersebut saling bersaing dan berebut pengaruh dalam kontestasi sebagai cara untuk memberikan warna dominan pada
ruang publik di Surakarta. Namun, persaingan
dan polarisasi jamaah paling menonjol terdapat
pada MTA dan Jamuro, dimana MTA sebagai representasi kalangan puritan Wahhabisme
dan Jamuro, sebagai wakil dari kaum Islam
tradisional Ahl Sunnah wal Jamaah. Dalam
pengajian kedua kelompok massa tersebut sering terjadi perdebatan, kontestasi, dan persaingan, dimana keduanya seringkali mengorganisasi
jamaaah pengajian dalam jumlah ribuan (Asif, 2012: 23). Dari kalangan Islam “tradisional”
munculnya Jamuro merupakan suatu respon tersendiri terhadap gerakan berpaham radikal.
Ini lantaran kalangan Islam “tradisional” merasa
praktek-praktek yang selama ini mereka lakukan
seperti shalawat, maulid Nabi, yasinan, tahlilan,
digugat dan bahkan dalam taraf-taraf tertentu dilecehkan. Sejak kemunculannya, setiap bulan
Rabi’ul Awal dalam satu bulan penuh biasanya
Jamuro mengadakan serangkaian pengajian akbar di berbagai tempat di sekitar eks-karesidenan
Surakarta. Dalam taraf tertentu hal ini bisa
dianggap sebagai respon terhadap kalangan
puritan, terutama MTA (Asif, 2012: 52). Beragam
dan banyaknya gerakan keagamaan di Surakarta ini, menurut Kepala Kemenag Surakarta, bahwa
“banyak gerakan keagamaan di Kota Surakarta
ini, tetapi tidak semua berada di Surakarta. Hanya saja kalau ada peristiwa biasanya Solo
yang terekam (Wawancara dengan Nasirin,
Kakemenag Kota Surakarta, tgl 23/8/2013)
Latar Belakang Berdirinya Jamuro Surakarta
Kemunculan Majelis Jamaah Muji Rosul
(Jamuro) dilatarbelakangi berbagai kegelisahan dari para tokoh-tokoh masyarakat dan agama
karena ada kelompok agama lain, seperti MTA dan sempalan Wahabi lainnya, yang membid’ahkan
kegiatan yang dilakukan kalangan Islam
tradisional, seperti NU (Wawancara Ma’ruf Nur, Jamaah Jamuro, 3/09/2013). Sedangkan menurut
KH Idris Shafawi, ketua Jamuro, membantah anggapan bahwa keberadaan Jamuro karena
adanya MTA, akan tetapi amaliah Jamuro, seperti pembacaan maulid Al Barzanji sudah ada sejak Walisongo. Sedangkan MTA baru ada belakangan. Maksudnya, bahwa pembacaan Al Barzanji sudah dilakukan sejak lama sedangkan pendirian MTA baru setelahnya (Wawancara KH Idris Shafawi, tgl 5-09-2013). Kenyataan menunjukkan counter
wacana terhadap gerakan radikal terutama yang dianggap mengganggu keberadaan shalawat sangat terlihat saat tausyiah. Sindiran menjadi bumbu-bumbu sedap dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan oleh Jamuro.
Awalnya, majelis Jamuro ini dari
berkumpulnya sekitar 10 orang mengadakan
pembacaan sholawat Al Barzanji, pada bulan Maulid selama 12 hari pada tahun 2004. Pengajian
dilakukan secara berpindah-pindah dari rumah satu ke rumah lain, dari kampung ke kampung. Setiap ada yang ngunduh (menjadi tuan rumah) jamaah selalu bertambah, lama-lama menjadi banyak. Saat itu belum ada nama perkumpulan ini, sehingga teman-teman menanyakan
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Akhirnya mereka bersepakat untuk memberinama, itu terjadi setahun dari berjalannya
kegiatan perkumpulan (Wawancara dengan Dedi Anwar, 01/09/ 2013, KH Idris Shafawi dan Ahmad Fatkhin, 05/09/ 2013). Ada perbedaan
pandangan antara Islam tradisional dan Islam
radikal. Dari pendapat itu dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya secara perorangan tidak ada
persoalan sampai pada level tertentu. Namun,
secara ideologi tetap tidak dapat disatukan. Hal ini dikarenakan yang satu melesatrikan dzikir dan shalawat sedangkan pihak lain menganggap itu bid’ah. Inilah yang membutuhkan kearifan dari semua pihak agar kehidupan keagamaan tetap menjadi tentram dan tenang tanpa saling menghalangi.
Pengajian Jamuro rutin dilaksanakan saat
memperingati kelahiran Rasulullah Saw, bulan
Maulud selama 12 hari berturut-turut dan
saat memperingati wafatnya Rasulullah Saw,
malam Senin Pon setiap 35 hari (selapanan).
Pada perkembangannya orang-orang yang
merindukan sholawatan, khususnya di daerah Surakarta ini banyak, dan ini beda dengan
daerah pesisir yang sudah banyak majelis-majelis
sholawat seperti ini. Awal Jamuro, pertama yang ngunduh saya, dan yang hadir sekitar 325 orang, sedangkan instansi pemerintah pertama
kali yang ngunduh di Poltabes dihadiri ribuan
orang, kemudian Pak Jokowi (wali kota, pen.) di
Loji Gandrung, rumah dinas walikota Surakarta,
dan yang hadir sampai sekitar 6.000 orang jamaah (KH Idris Shafawi, tgl 05-09-2013).
Pemerintah Kota Surakarta yang ikut ambil bagian dalam pengajiaan ini sangat membesarkan hati para jamaah Jamuro khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sehingga Jamuro hadir di berbagai tempat, baik di hotel berbintang, instansi pemerintah, maupun tokoh-tokoh pemerintahan atau tokoh-tokoh agama Islam. Kesuksesan Jamuro dalam merebut simpati umat, terbukti setiap tampil selalu dihadiri oleh ribuan jamaah, tidak lepas dari peran aktif seluruh komponen Jamuro yang dengan penuh ketekunan, keuletan, dan kerja keras berjuang untuk membesarkan nama Jamuro. Komponen tersebut antara laian: para pengurus, para
panitia pelaksana, para vokalis, para pengiring
vocal (hadrah), para pengisi pengajian, para
pengunduh, para relawan, para donatur, dan juga
Radio Al Hidayah FM yang tidak henti-hentinya
menyiarkan secara langsung (live) setiap Jamuro tampil dimanapun.
Pada acara tausyiah inilah waktu-waktu pencerahan bagi jamaah, sehingga sangat menentukan militansi jamaah dalam mengikuti pengajian. Penceramah juga mengajak untuk selalu meneguhkan sunah-suanah dalam
kehidupan sehari-hari. Apa yang dilakukan
sekarang ini adalah warisan para ulama terdahulu
termasuk para Walisanga, yaitu sebagai bentuk
uri-uri tradisi yang telah dilakukan ulama terdahulu. Sehingga tidak meragukan apa yang
dilakukan. Anjuran berbuat baik serta mentaati
umara dalam kehidupan sehari-hari. Kadang di sela-sela materi juga diselipkan sindiran terhadap kelompok paham lain yang menganggap bid’ah
kegiatan ini. (Observasi pengajian Jamuro, di Masjid Miftahul Janah Mojolaban, 01/09/2013). Dapat dipahami bahwa kehadiran Jamuro bukan
sebagai reaksi terhadap gerakan fundamentalis, teroris, dan kekerasan yang mengastasnaman agama, akan tetapi Jamuro sebagai majelis keagamaan yang bertujuan menjaga dan uri-uri
budaya Islam Jawa yang adiluhung dan bemuatan nilai-nilai moralitas yang tinggi.
Hubungan Jamuro dengan Majelis Shalawat Lainnya di Surakarta
Majelis dzikir dan sholawat yang muncul di Surakarta dan sekitarnya sangat banyak,
tidak mengherankan jika Walikota Surakarta, FX Rudiyatmo, mencanangkan secara lantang
saat memberikan sambutan pada acara Solo
Bershalawat di Benteng Vasten Burg bahwa Solo dijadikan sebagai “Kota Shalawat” (Observasi Solo Bersholawat, di Benteng Vastenberg, 30/08/2013). Namun tidak semua
majelis shalawat dan dzikir tersebut muncul ke
permukaan. Yang sudah mempunyai jamaah besar tercatat Majelis Sholawat Ahbabul Mustofa pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, Majelis Khotmil Qur’an Al Hidayah pimpinan Ustadz Soni Parsono, Majelis Mujahadah Ar
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Raudah pimpinan Habib Novel Al Alidrus,Forum Silaturrahim Minggu Legi (FOSMIL)
pimpinan Habib Husein, dan Jamuro yang diasuh Gus Karim. Hampir tidak ada perbedaan dan sekat-sekatnya di antara majelis tersebut, hal ini dikarenakan semua majelis tersebut masih
dalam satu ideologi atau paham yaitu Ahl Sunnah
wal Jamaah. Selain itu, tokoh-tokohnya juga
warga Nadhiyin, sehingga hampir sama metode,
pendekatan, dan bentuknya. Ini diperkuat dengan pendapat jamaahnya bahwa semuanya sama,
Habib Syech Ahbabul Musthofa dan Gus Karim
Jamuro, pernah saling tukar silang hadir untuk mengisi acara masing-masing majelis tersebut
(wawancara dengan Dedi Anwar, jamaah Jamuro dari Karanganyar, 01/09/2013).
Pernyataan ini dapat dipertegas dengan
hadirnya jamaah Ahbabul Musthofa pimpinan
Habib Syech pada pengajian yang diadakan
oleh Remaja Masjid Miftahul Jannah Mojolaban Sukoharjo (Observasi pengajian Halal Bi Halal Remaja Masjid Miftahul Jannah bersama Jamuro, 01/09/2013). Begitu juga pada
majelis-majelis lain, juga jamaah hadir karena memang dipersilahkan oleh pengasuhnya masing-masing.
Artinya, hubungan yang dibangun antara Jamuro
dengan majelis dzikir dan shalawat lainnya bersifat simbiosis mutualisme, semua berusaha membentuk insan yang memiliki spiritualitas, moralitas, dan akhlak yang baik sehingga akan menumbuhkan toleransi dalam beragama di Surakarta.
Pandangan Masyarakat terhadap Berdirinya Jamuro
Surakarta merupakan kota yang majemuk dengan segala aspeknya, etnis, agama, budaya, kelompok masyarakat, ragam ideologi, dan lainnya, sehingga tidak mengherankan jika di kota ini terjadi kontestasi di ruang publik.
Dengan keterbukaannya, masyarakat Surakarta
akan lebih bisa menerima semua kelompok keagamaan dengan ragam ideologinya, baik moderat maupun radikal. Kehadiran Jamuro di ruang publik Surakarta telah memberikan warna baru dalam hal pengalaman keberagamaan
(religious experiences), terutama dengan cara
penataan kesadaran inklusivitas-multikultural
para jamaahnya. Misalnya dari sisi ekonomi, Jamuro secara tidak langsung meningkatkan perekonomian para jamaahnya, tentu mereka akan banyak membutuhkan kopiah, pakaian putih, kerudung, surban, alat rebana, hadrah, dan lainnya, bisa laku keras ketika Jamuro menggelar
pengajian. Realitas di aras memberikan gambaran
jelas bahwa keberadaan Jamurto sudah diterima masyarakat, instansi pemerintah, dan kelompok
keagamaan lainnya di Surakarta (Wawancara dengan Ahmad Fathin, bendahara Jamuro, 05/09/2013). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
pedagang saat pelaksanaan pengajian. Tidak hanya perlengkapan ibadah atau busana muslim, tetapi
buku-buku dan CD hasil pengajian sebelumnya.
Banyaknya majelis–majelis shalawat termasuk Jamuro ini dapat membantu pemerintah agar masyarakat selalu mengikuti kegiatan yang tidak mengarah pada paham yang menyimpang
ataupun radikal (Wawancara dengan Ahmad Fatkhin, 05/09/ 2013).
Para ulama dari kalangan Nadhiyin (NU)
berkeyakinan bahwa kota atau wilayah yang banyak dibacakan shalawat akan menjadi berkah.
Adanya shalawat yang marak di kota Solo dan
sekitarnya paling tidak ada dua hal penting yang dapat dicatat. Pertama, label shalawat akan menjad antitesis bahwa Surakarta bukanlah basis penganut Islam garis keras (ekstrem) sebagaimana wacana yang berkembang selama ini. Kedua, dalam hal budaya, Surakarta akan menjadi rujukan shalawat, tidak hanya di Surakarta raya tetapi di Indonesia bahkan dunia. Shalawat yang diusung oleh Jamuro rutin diadakan di Surakarta, yang pada dasarnya mempertemukan masyarakat (jamaah) dengan pemimpin (umara) dan tokoh agama (ulama). Komunikasi tiga arah ini diharapkan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang lebih
guyup dan rukun. Dengan adanya komunikasi
yang saling mengerti antar kelompok keagamaan di Surakarta dan banyaknya kegiatan keagamaan yang bersifat santun, akan menjadikan masyarakat
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
sejahtera lahir dan batin (Observasi Solobershlawat, Benteng Vastenberg, 30/08/2013). Jamuro merupakan upaya para ulama Nadhiyin (NU) untuk melakukan counter wacana dan gerakan terhadap Islam yang berpaham radikal. Hal tersebut terlihat dari berbagai tindakan baik langsung maupun melalui media yang dilakukan oleh majelis Jamuro dalam upaya deradikalisasi keagamaan atas berbagai kelompok Islam yang mempunyai kecenderungan fundamentalisme. Jamuro, dalam upaya deradikalisasi di Surakarta menawarkan pendekatan baru (new approach),
yaitu pendekatan metafisis-sufistik, dengan cara
menekankan pada penataan dimensi esoteris dan moralitas manusia agar menjadi insan kamil.
Peran Jamuro dan Upaya Deradikalisasi Gerakan Keagamaan di Surakarta
Pasca gerakan reformasi 1998, di Surakarta banyak menjamur kelompok, komunitas, laskar, atau ormas Islam yang mengusung pola dan
gerakan radikal, dengan slogan “kembali kepada Alquran dan Hadits” serta adanya keinginan
untuk menegakkan syariat Islam secara
kaffah. Secara umum, gerakan mereka dilatar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain faktor sosial, kultural, kemajuan iptek dan sains serta perkembangan ekonomi. Melalui khitah
purifikasi dan menegakkan ajaran Islam secara
total, maka berbagai ormas Islam tersebut oleh sebagian kalangan masyarakat dimasukan ke dalam kelompok salafi haraki. Artinya, ormas
Islam yang ada di Surakarta dengan gerakan-gerakannya menyerukan kembali kepada Islam yang murni (kaffah), karena bagi mereka, Islam yang ada sekarang ini telah tercampur dengan
bid’ah, khurafat dan takhayul (TBC). Selain itu, ormas Islam ini juga mengajak masyarakat Muslim Surakarta untuk melakukan penerapan syariat Islam secara kafa’ah dalam kehidupan sebagaimana yang dicontohkan pada masa
Nabi Muhammad Saw, misalnya dengan model
pakaian, life style, dan menginginkan kembali ke zaman salaf as shalih karena dinilai sebagai masa yang ideal (ideal time) (Rahardjo, 1998: vii).
Gerakan pemurnian dan seruan untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni sebagaimana
kehidupan pada masa Nabi dan shalaf as shalih
bagi ormas Islam di Surakarta dirasakan sebagai tawaran solutif bagi umat Islam di tengah berbagai persoalan yang dihadapi kaum muslimin. Pertama, krisis nilai (thevalue crisis) yang melanda dunia pada umumnya termasuk Indonesia, terutama Surakarta, yang mengakibatkan pudarnya nilai-nilai moral agama dan norma budaya serta tidak berlakunya hukum secara adil (Tholkhah,
2002: 24). Kedua, keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan Iptek yang disebabkan oleh pelayanan pendidikan yang diterima oleh umat Islam, dan akibatnya, umat Islam secara sosial, politik, dan ekonomi terpinggirkan (Effendi, 1998: 125). Ketiga, institusi pendidikan Islam
sudah menerapkan sistem pendidikan sekuler, sehingga lulusannya dipandang merusak nilai-nilai Islam dari dalam, akibatnya, umat Islam menjadi lemah dan tertinggal dari laju perubahan zaman. Keempat, kurangnya sarana dan prasana pendidikan agama yang memadai, mulai dari tingkat dasar sampai pada tingkat atas, sehingga lembaga pendidikan Islam akan semakin sulit untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya (Ma’ruf, 1998: 9).
Selain tantangan di atas, umat Islam di Surakarta dihadapkannya pada persoalan budaya lokal (local culture) yang dipandang kalangan
Salafism ”tidak sejalan” dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Adanya budaya sinkritik,
dimana tradisi Islam mengalami akulturasi, reabsorsi atau tersubsordinasikan dengan budaya kesaharian kehidupan masyarakat Jawa sehingga menghasilkan budaya baru. Seperti tradisi maleman, mitoni, peringatan kematian, cara pandang terhadap nilai-nilai syariat, dan berbagai ritual lainnya yang lebih cenderung jatuh pada bid’ah. Ormas Islam radikal di Surakarta menginginkan terciptanya masyarakat Islami, yaitu masyarakat yang benar-benar melaksanakan tuntunan doktrin Islam secara
kaffah dan bersifat Illahiyah (Mahendra, 1996:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
beragama masyarakat di Surakarta, yang lebih bersifat kaku, formal, absolutely absolute, dan ini akan menjadikan agama semakin kering dari sentuhan budaya, karena hanya mengedepankan nash keagamaan an sich.
Stigma yang melekat pada Surakarta adalah
sebagai “kota teroris”, kota yang sekarang ini dipimpin oleh FX Rudiyatmo berusaha mengubah
image dengan mengedepankan sebagai “kota shalawat”. Kehadiran Jamuro dengan membawa
pola keberagamaan yang bersifat spiritual,
sufistik, humanis di tengah gelombang radikalisasi
membawa nuansa baru dalam kehidupan keagamaan di Surakarta. Jamuro sebagai gerakan deradikalisasi pada prinsipnya menawarkan pola beragama yang sejuk, tawazun, tasamuh, multikulturalisme, dan moderasi, yang semua akan diarahkan pada dimensi antropomorpisme-transendental. Jamuro sebagai bentuk urban sufism mengembangkan tasawuf dengan perangkat nilai moralitas didalamnya, yang
merupakan tradisi Islam yang paling universal
dan merupakan puncak esensi spiritual Islam, maka dapat diibaratkan sebagai jiwa yang akan menghidupkan tubuh. Jamuro sebagai gerakan
sufisme perkotaan merupakan bentuk kehidupan
spiritual yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam, dan akar ajarannya akan
mudah ditemukan pada Alquran serta Hadits.
Penempatan Jamuro pada pola deradikalisasi keagamaan pada dasarnya adalah dengan mematikan nafsu ke-diri-an secara berangsur-angsur, dan dengan pola itu akan manusia
menjadi diri yang sebenarnya. Artinya, jamaah
Jamuro akan membuang jauh-jauh tabiat jelek, radikal, fundamental, iri, permusuhan, dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, dimana para jamaahnya akan selalu merasakan kehadiran Tuhan, melepaskan diri dari jeratan-jeratan dunia, dan tidak berpuas diri semata-mata
dengan lahir. Menurut Hossein Nasr, pentingnya ajaran sufistik dikarenakan bahwa secara prinsip, keingkaran kepada Tuhan terjadi pada level
psikis atau inward, dan bukan lahir, karena itu jiwa harus dilatih dan didisiplinkan sedemikian
mungkin (Nasr, 1983: 221). Seluruh metode dan
praktik kehidupan Jamuro tidak memisahkan antara kehidupan kontemplatif dan kehidupan aktif, dan akan selalu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat plural, sebagaimana
Surakarta. Dapat dipahami bahwa, menjalani
syariah tanpa kehidupan thariqah adalah sesuatu yang mustahil, seperti tubuh tanpa jiwa, dan thariqah tanpa syariat dapat diumpakan sebagai jiwa tanpa bentuk lahiriah, dan tidak akan mampu bertahan serta memanifestasikan dirinya dalam dunia. Pandangan ini sejalan dengan ungkapan Imam Malik, man tafaqqah wa lam yatasawwaf, faqad tafassaq, wa man tasawwaf wa lam yatafaqqah faqad tazandaq, wa man jama’a bainahuma faqad tahaqqaq (Nasr, 1968: 125).
Praktik keberagamaan Jamuro diarahkan pada upaya untuk menuju insan kamil, yang tidak manusia yang hanya menekankan pada nafsu keduniaan an sich, tetapi menjadi makhluk yang memiliki berbagai tingkat wujud, sehingga ia mampu menjadi cermin bagi nama dan
sifat-sifatNya. Lebih jauh, Jamuro berusaha membentuk
manusia yang seutuhnya dan suci dalam dirinya
tercakup pribadi manusia universal, dimana para
jamaahnya akan selalu menghidupkan Tuhan dalam segala kehidupan di tengah masyarakat (living sufism). Dengan shalawat, Jamuro secara
prinsipil ingin menampilkan Islam dengan wajah yang teduh, sejuk, harmonis, cinta kasih
universal, humanis, dan menjauhkan nalar
radikal, fundamental, dan melakukan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Jamuro sebagai
gerakan sufistik untuk deradikalisasi dipahami
sebagai upaya untuk membentuk karakter inkulsif, toleran, dan moderat pada jamaahnya
dengan cara refleksi diri dan melakukan penataan
hati melalui shalawat dan dzikir.
Menurut Yusuf Qardlawi, bahwa pola
pembentukan karakter yang toleran, humanis, dan inklusif sebagai solusi untuk menghadapi bentuk radikalisme, dan hal ini sejalan dengan prinsip yang dibangun oleh Jamuro, (1) menghormati aspirasi kalangan Islam radikal melalui
cara-Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
cara radikal yang dialogis dan demokratis, (2)memperlakukan mereka secara manusiawi dengan penuh persaudaraan, (3) melawan sikap ekstrim dan radikal dengan pola moderat dan toleran, (4) memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berpikir secara sehat dan dialogis, serta melakukan kritik terhadap prilaku radikal mereka dengan jalan yang konstruktif. (5)
tidak melakukan bentuk pengkafiran terhadap
sifat kalangan radikal, meskipun mereka
melakukan pengkafiran, (6) mengkaji agama
secara benar dan menjadi muslim yang bijaksana, (7) tidak memahami Islam secara parsial reduktif sebagaimana kalangan fundamental radikal yang
hanya menekankan aspek normativitas eksetorik
semata, akan tetapi juga mempelajari esesnsi tujuan syariat (maqashid syariah), (8) tidak memaksakan kehendak, keinginan, dan ideologi mereka, mengingat umat Islam mempunyai nilai lokal dan keragaman yang berbeda, (9) kalangan radikal fundamental seharusnya tidak hanya menekankan pada aspek simbolik dan masalah yang bersifat sekunder, akan tetapi melalaikan ruang primer yang menjadi permasalah mendasar dari umat Islam sendiri, (10) beragama ormas Islam, termasuk kalangan radikal seharusnya memahami bahwa perbedaan yang ada merupakan perbedaan masalah ijtihad, dan sedapatnya menjauhkan diri dari sikap klaim kebenaran (truth claim) (Hanafi, 2000: 13).
Jamuro menginginkan wajah Islam di Surakarta adalah humanis yang akan melepaskan pola keberagamaan dari nuansa
fanatisme dan ekskluvisme, yang menjadi salah
satu pemicu radikalisme. Maka keberadaan
Jamuro sebagai alternatif sufistik berupa praktik
keberagamaan yang insklusif, damai, toleran, dan menekankan adanya keterbukaan (openly), dimana deradikalisasi membutuhkan pandangan multikulturalisme (al daaim al fikriyah fi fiqh al ihktilafi), yang mengedepankan beberapa prinsip: (1) perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang tidak akan bisa dipungkiri, sebab teks agama
bersifat multitafsir; (2) perbedaan pemikiran
yang ada adalah khazanah dalam Islam, maka seharusnya bisa memilih yang moderat, dan
menjauhi pola yang fanatisme, radikalisme, dan
fundamentalisme; dan (3) Saling menghormati
dan bersikap toleransi yang keragaman yang ada, karena hal ini sejalan dengan prinsip ushul
fiqh bahwa kemungkinan adanya kebenaran
yang lebih dari satu (imkan ta’adud al shawab) (Qardlawi, 1406 H: 59).
Implementasi praktik keberagamaan yang diusung Jamuro dengan basis pada wacana multikulturalisme, akan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran saling menghargai dan toleransi sehingga bisa menghindari adanya
konflik dan ancaman disintegrasi di tengah
masyarakat Surakarta. Praktik keberagamaan Jamuro yang multikuralismesangat menekankan pentingnya pembentukan karakter jamaahnya yang diharapkan memiliki sikap empati terhadap kelompok lain, dan ini sejalan dengan prinsip
maqashid al syariah itu sendiri. Jamuro, pada titik ini menjadi media yang efektik untuk menanamkan pendidikan multikulturalisme dalam menciptakan kehidupan yang seimbang antar elemen dan ormas yang berbeda di Kota Surakarta. Praktik keagamaan dengan corak
sufistik ala Jamuro diarahkan pada pendidikan
toleran dan inklusif akan memberikan landasan karakter bagi para jamaahnya yang mengedepankan kerendahan hati, keramahan, dan kesopnan dalam menghargai elemen ormas lain yang berbeda. Sedangkan gerakan
ekstrim radikalisme yang diusung oleh Salafism Wahhabism di Surakarta lebih menekankan
pada karakter dengan wajah keagamaan yang doktriner, intoleran, dan mengdepankan kekerasan, hal ini dipahami sebagai bentuk keangkuhan dalam beragama. Jamuro dalam hal ini menamankan sikap hidup yang toleran dan inklusif karena ini merupakan hasil dari sikap hidup yang sederhana, yaitu mereka yang mau mengkritik akan diri sendiri (self critical) atas keterbatasan pemahaman dan pengalaman keagamaan mereka.
Sikap keberagamaan yang toleran dan inklusif yang dibangun dengan pendekatan
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
proses yang mendorong individu untuk bersediamelihat perbedaan yang ada sebagai sesuatu yang layak untuk dihormati dan dihargai. Maka, siraman rohani (tausiyah) yang diberikan kepada jamaah pada waktu rutinitas Jamuro merupakan peningkatan keluasan wawasan yang komparatif, dan hal ini akan menjadi hal yang penting bagi jamaah sebagai tangga yang menuntun mereka mencapai sikap inklusif serta toleran. Melalui Jamuro, ada nilai-nilai keagamaan yang bersifat
sufistik yang hendak disampaikan melalui gerakan
keagamaan ini, diantaranya adalah sebagai ikhtiyar dalam membentuk akhlak mulia para jamaahnya yang terejawantahkan dalam kualitas dan keimanannya sebagai bentuk penguatan nilai dasar agama itu sendiri, kesantunan, dan cintai damai.
Dengan wacana yang dikembangkan oleh
Jamuro tersebut, paling tidak akan dapat meminimalisir beberapa tindak kekerasan
atau radikal, baik yang berupa aktivitas non violence (terror of mind) maupun wujud
aktivitas kekerasan (violence activity). Gagasan deradikalisasi agama yang selama ini ditempuh dengan cara militer atau represif, proses hukum, penangkapan, eksekusi, dan lainnya, dirasa hal tersebut kurang menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Kekerasan dibalas dengan kekerasan, yang pada akhirnya akan melahirkan kekerasan baru (new violence), dan metode, pendekatan, dan cara deradikalisasi yang seperti ini seharusnya sudah dihentikan.
Deradikalisi merupakan suatu keharusan dalam
rangka mengikis atau meminimalisir tindakan radikal atas nama agama, salah satunya lewat ormas seperti Jamuro.
PenutuP
Majelis Jamuro merupakan salah satu gerakan urban sufism yang berbasis di Surakarta, dengan memfokuskan kegiatan dalam upaya melestarikan ritual budaya yang disampaikan oleh
para ulama terdahulu. Doktrin utama Jamuro adalah menghidupkan/uri-uri Sunnah sebagai tradisi Islam dengan santun sesuai budaya bangsa Indonesia. Sebagai gerakan yang mempertahankan
tradisi lokal untuk sarana dakwah, Jamuro berusaha mengimbangi dan melakukan counter
gerakan lain yang secara terang-terangan menuduh bahwa apa yang dilakukan oleh Islam tradisional adalah bid’ah. Pertama, berdirinya Jamuro dilatarbelakangi munculnya berbagai kelompok kegamaan radikal serta kegelisahan dari para tokoh agama dan masyarakat karena
pihak Salafi Wahhabism membid’ahkan kegiatan yang mereka laksanakan. Kedua, jamaah yang hadir dalam majelis Jamuro beragam.
Dari mengikuti Jamuro yang secara berkala
dilakukan, maka para jamaah dapat membatasi diri dari banyaknya paham atau gerakan Islam radikal, baik dilihat dari pemahaman maupun tindakan. Ketiga, kehadiran Jamuro disambut masyarakat Surakarta luas secara positif. Hal ini dapat terlihat dari statistik kehadiran jamaah dalam jumlah ribuan, dan persebaran Jamuro di luar Surakarta mendorong lahirnya majelis
“Jamuro kecil” di daerah, seperti Jimat (Jamaah
Iman mantep ati tentrem) dan Tomat (Tobat Maksiat). Sebagai upaya deradikalisasi, Jamuro dengan berbagai ritualnya, akan memberikan bekal moralitas, pendidikan akhlak, karakter, dan prinsip kemanusiaan yang pada akhirnya akan membentuk pribadi Islam yang kaffah dengan jalan melestarikan tradisi yang telah dibangun umat terdahulu.
daftar PustaKa
Abegebriel, Agus Maftuh. 2004. Negara Tuhan. The Thematic Encyclopedia.Yogyakarta:
SR-Ins Publishing.
Asif, Moh. 2012. Tesis Penafsiran Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Terhadap Ayat-Ayat Teologi. Surakarta : Program Study Qur’an
Pasca Sarjana IAIN Surakarta.
BPS & BAPPEDA. 2013. Kota Surakarta Dalam Angka 2012. Surakarta : BPS & BAPPEDA
Kota Surakarta.
Connolly, Peter. 2002. Approaches to The Study of Religion. Yogyakarta: LKiS.
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara,Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Hanafi, Hasan, 2000: 13).
Hanafi, Hasan, 2003. Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta:
Islamica.
Jamil, Muhsin. 2007. Agama-Agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kurt, Lester. 1995. God In the global Village.
California: Pine Forge Press
Abdullah, M. Amin. 2005. “Kesadaran
Multikultural Sebagai Gerakan Interest Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial”, dalam Kata Pengantar, Pendidikan Multikultural. Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.Yogyakarta:
Pilar Media.
Haedari, M. 2006. “Agama dan Tantangan Kemanusiaan Kontemporer”, dalam Jurnal Al-Qalam Vol. 23 No. 2, Agustus 2006,
Banten : Pusat Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat (P3M) IAIN Sultan Maulana
Hasanudin
Ma’ruf, Farid. 1998.“Kata Selamat Datang”, dalam Buku Panduan Pesantren Ngruki: Sekilas Mengenal Pesantren Ngruki Sukoharjo, Surakarta.
Mahendra, Yusril Ihza. 1996. “Fundamentalisme, Faktor dan Masa Depannya”, dalam
Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,
Muhammad Wahyuni Nafis (ed.). Jakarta:
Paramadina
Muin M, Abd. dkk. 2007. Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme. Jakarta: CV.
Prasasti.
Mulyadi, Hari. 1999. Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit (Studi Mobilisasi Sosial Masyarakat Solo Dan Kerusuhan Mei 1998 Di Surakarta Surakarta: LPTP.
Nasr, Sayyid Hossein. 1968. Science and Civilication In Islam, New York: New American Library.
Nasr, Sayyid Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyudin,
Bandung: Pustaka.
Qardlawi, Yusuf. 1406H. Al Shawab al Islamiyyah bayn al Ikhtilaf al Mayru wa al Tafaruq al Madzmum: Dirasah fi al Fiqh al Ikhtilaf fi Dhau’ al Nusus wa al amqashid wa
al maqashid, Bank Taqwa.
Rahardjo, Dawam. 1998. “Islam Faktual: Antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil,” dalam M.
Bambang Pranowo, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Saidi, Anas. 2006. Bahan Workshop Pengembangan Penelitian Non-Positivistik Bagi Dosen-Dosen Ptai Se-Indonesia,
Wisma Haji Armina Donohudan Boyolali, P3M STAIN Surakarta-Ditjen Binbaga Islam Depag RI
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama Bandung : Remaja Rosdakarya
Tholkhah, Imam. 2002. “Krisis Sosial dan Kebangkiatan Gerakan Radikalisme Keagamaan Era Reformasi di Indonesia”,
dalam Jurnal Dialog No. 54 Tahun xxv, Desember 2002.