• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Filsafat Hukum dan Islam Oleh: Yasin Baidi *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Filsafat Hukum dan Islam Oleh: Yasin Baidi *"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Filsafat Hukum dan Islam

Oleh: Yasin Baidi*

Abstrak

ٍ

Secara sosiohistoris kultural hukum Islam sudah menjadi the living law di bumi Indonesia. Pelembagaan hukum Islam ternyata selama ini lebih ditentukan oleh political will lembaga-lembaga politik. Pada dataran ini ada tarik ulur yang tidak kunjung selesai yang berimplikasi terhadap munculnya warna dan nuansa hukum Islam yang berbeda-beda pada setiap era politik tertentu sebagai konsekwensi adanya kekhawatiran adanya ‘penodaan’ terhadap pluralisme. Menurut pandangan filsafat hukum maupun Islam sejatinya pelembagaan (formalisasi) hukum Islam di Indonesia tidak ada masalah dan sah secara konstitusional.

Kata kunci: pelembagaan hukum Islam, hukum Islam, filsafat hukum

A. Pendahuluan

Secara demografis, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, guna memahami perilaku umat Islam Indonesia secara komprehensif diperlukan sebuah kajian-kajian serius mengenai lembaga-lembaga Islam yang tumbuh dan berkembang mempe-ngaruhi perilaku dan sikap hidupnya.1 Di sisi lain, banyak ahli yang mengatakan bahwa aspek dalam Islam yang paling implementatif dan mendasar dalam perikehidupan umatnya sepanjang zaman adalah aspek hukum (fiqh). Sistem hukum Islam merupakan sistem hukum yang luar biasa dan secara intelektual sangat mengagumkan dalam sejarah manusia.2 Oleh karenanya pantaslah jika disebut bahwa fiqh merupakan inti, pokok dan poros dari agama Islam.3 Hampir semua dimensi perilaku kehidupan

*

Dosen Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mahasiswa Program Doktor Hukum Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakara.

1M. Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), p.3.

2Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Hakim, cet. 1, (Jakarta: Serambi, 2004), p. 379.

3Misalnya Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1959) dan An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford University Press, 1965); Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Hakim, cet. 1, (Jakarta: Serambi, 2004), p. 1.

(2)

umat Islam selalu bersentuhan dengan hukum. Sedemikian pokoknya, fiqh telah menjadi arena penting --sehingga menjadi puncak prestasi-- dalam mengkaji batasan, dinamika, dan makna hubungan antara sang Khalik dan makhluk-Nya.

Selanjutnya, di era postmodern saat ini tampak adanya kecenderugan meningkatnya kesadaran umat untuk sedapat mungkin kembali kepada ajaran agama yang murni (pure, back to basics) sekaligus keinginan untuk menyelaraskan berbagai segi perikehidupan kontemporer ini dengan keten-tuan-ketentuan hukum Islam. Implikasinya, perhatian terhadap dan studi-studi tentang hukum Islam semakin menunjukkan eskalasi yang positif.

Namun kemudian muncul pertanyaan besar: apakah yang dimaksud dengan hukum Islam itu dan bagaimana mekanisme implementasinya. Apakah cukup dilaksanakan secara orang perorang ataukah diperlukan parti-sipasi negara dalam penegakannya. Tulisan berikut akan mencoba mengela-borasi persoalan ini dari dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang filsafat hukum dan sudut pandang Islam.

B. Hukum Islam: Konseptualisasi dan

Problem of Terminology

Ada beberapa perbedaan konsep antara makna ‘hukum’ dalam paradigma ilmu hukum umum (positif) dan dalam khazanah pemikiran hukum Islam. Meskipun tidak ada satu definisi hukum baku, namun pada umumnya, dalam perspektif ilmu hukum positif, hukum diartikan sebagai peraturan mengenai tigkah laku manusia yang dibuat oleh suatu lembaga yang berwenang, yan bersifat memaksa, dan jika dilanggar akan mendapatkan sanksi.4 Sementara dalam perspektif hukum Islam, antara lain, hukum didefinisikan sebagai:

ﻖﻠﻌﺘﳌﺍ ﷲﺍ ﺏﺎﻄﺧ

ﺎﻌﺿﻭ ﻭﺍ ﺍﲑﻴﲣ ﻭﺍ ﺎﺒﻠﻃ ﲔﻔﻠﻜﳌﺍ ﻝﺎﻌﻓﺄﺑ

5

Sapaan Allah yang berkaitan dengan berbagai perilaku orang mukallaf (cakap ukum), baik berupa tuntutan, pilihan, ataupun, wad’i

Namun secara teknis peristilahan pada umumnya, hukum Islam disebut dengan beberapa istilah. Paling tidak ada empat istilah penting, yakni syari’ah, fiqh, hukum syara’, dan qanun. Syari‘ah biasanya digunakan dalam dua pengertian: luas dan sempit. Dalam arti luas, syari’ah berrarti

4C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. 8, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), p. 37-39.

5 ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, cet. 12, (Kuwait: Dar al-‘Ilm, 1398 H/ 1978 M), p. 100.

(3)

himpunan norma dan/atau petunjuk yang bersumber kepada wahyu Ilahi untuk mengatur seluruh perikehidupan manusia, baik mencakup sistem kepercaya-an maupun semua aspek tingkah laku konkret manusia. Dengan demikian, dalam artinya yang luas ini, syari’ah mencakup dua aspek agama Islam, yaitu aqidah dan amaliyah. Kemudian, aspek amaliyah dari syari’ah dalam arti luas ini sering disebut syari’ah juga namun dalam arti sempit. Syari’ah dalam arti sempit ini berarti himpunan norma yang bersumber kepada wahyu ilahi yang hanya mengatur semua lini tingkah laku konkret manusia saja. Syariah dalam arti sempit inilah yang biasanya disebut hukum Islam.6 Namun demikian, konsep syari’ah dalam arti sempit iini tidaklah persis sama dengan dengan konsep hukum dalam perspektif ‘ilmu hukum umum’ karena ia tidak hanya memuat kaidah-kaidah hukum an sich yang didukung oleh sanksi yang dapat ditegakkan secara paksa namun juga meliputi kaidah-kaidah keagamaan, kesusilaan, dan sosial. Dengan demikian tampak bahwa konsepsi hukum dalam perspektif hukum Islam lebih luas cakupannya daripada dalam pers-pektif ilmu hukum umum.7

Fikih bisanya digunakan dalam dua penertian. Pertama, fikih berarti ilmu hukum (jurisprudence), yakni cabang studi yang mengkaji hal ihwal hukum Islam. Kedua, fikih berarti hukum itu sendiri (law), yakni himpunan norma atau peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik yang berasal langsung dari Al-Qur’an dan al-Hadis maupun yang berasal dari hasil ijtihad para mujtahid. Umumnya, fikih dalam arti yang kedua ini identik dengan syari’ah dalam arti sempit.8

Hukum syara’ diamaksudkan sebagai satuan atau himpunan norma atau kaidah yang pada gilirannya membentuk syari’ah atau fikih. Norma-norma atau kaidah-kaidah ini tidak saja meliputi Norma-norma-Norma-norma taklifi (yakni wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah) namun juga wad‘i (yakni sebab, syarat, dan penghalang).9 Sementara

qanun berarti bagian dari syari’ah yang telah dipositivisasi atau diintegrasikan oleh suatu pemenrintah menjadi hukum negara atau juga berarti peratuan

6Syamsul Anwar, “Pengantar”, dalam Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), p. v-vii. Sebagai tambahan bisa dilihat Yasin Baidi, “Pertautan Dialektis Sosiologis antara Terma Syari‘ah, Fiqh,dan Hukum Islam (Telaah atas Aplikasinya di Indonesia)”, Jurnal SOSIORELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004, p. 225-235.

7Ibid., p. vi. 8Ibid., p. vii.

9Ibid., p. vii. Lebih jelas pembahsan tentang ini, antara lain, dapat dibaca dalam ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, p. 101-127.

(4)

undangan yang dibuat dan dikeluarkan oleh suatu pemerintah di sebuah negeri muslim dalam rangka pelaksanaan syariah atau untuk mengisi kekosongan hukum dan melengkapi syari’ah. Inilah yang disebut sebagai siyasah syar‘iyyah.10 Demikianlah uraian makna hukum Islam dari segi

peristilahan (terminologis) yang tampak jelas masih adanya semacam problem atau masalah, yakni belum ada ‘satu istilah yang baku’ untuk menamakan apa itu hukum Islam.

Namun di sisi lain perlu ditambahkan pula bahwa secara substansi apa sajakah yang menjadi ‘muatan’ hukum Islam itu. Dalam konteks substansi ini, hukum Islam paling tidak terdiri tiga lapisan norma yang bersifat berjenjang,11 yakni (1)

al-qiyam al-asasiyyah (norma-norma dasar), (2) al-usul al-kulliyyah (asas-asas umum), dan (3) al-ahkam al-far‘iyyah (peraturan-peraturan hukum konkret). Jenjang-jenjang elapisan norma tersebut dimaksudkan untuk memilah dan memilih (1) mana norma-norma yang pelaksanaannya cukup diserahkan kepada masing-masing individu, (2) mana norma-norma yang pelaksanaannya tidak cukup diserahkan pada taraf individu namun diperlukan bantuan atau campur tangan masyarakat meskipun tidak memerlukan campur tangan negara, dan (3) mana norma-norma yang pelaksanaannya tidak dapat tidak harus melalui kekuasaan negara.

Masih dalam konteks ini, tradisi pemikiran hukum Islam selalu

concern pada kaidah yang menyatakan bahwa:

ﻻﺍ ﲑﻐﺗ ﺮﻜﻨﻳ ﻻ

ﻝﺍﻮﺣﻻﺍ ﻭ ﺔﻨﻜﻣﻻﺍ ﻭ ﺔﻨﻣﺯﻻﺍ ﲑﻐﺘﺑ ﻡﺎﻜﺣ

“Tidak dipungkiri bahwa hukum itu bisa berubah karena ada perubahan zaman, tempat, dan situasi”.

Namun ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mengantisipasi adanya perubahan hukum itu, yaitu (1) ada tuntutan untuk melakukan perubahan, (2) peraturan tersebut tidak menyangkut masalah substansi

10 Syamsul Anwar, “Pengantar”, p. vii.

11Pelapisan norma ini lebih didasari oleh erat-renggangnya serta banyak-sedikitnya nass yang terkait. Syamsul Anwar, “Legal Drafting terhadap Materi Hukum Islam: Perspektif Hukum Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Legal Drafting Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 November 2006, p. 7-8. Sebagian besar muatan al-ahkam al-far‘iyyah (peraturan-peraturan hukum konkret) adalah merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid pada suatu masa dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum pada masa itu. Jika suatu masa terus maju dan ditemukan berbagai hal, kasus, atau variabel baru yang dulu belum ada maka akan muncul ijtihad baru lagi, dan begitu seterusnya.

(5)

ibadah, dan (3) perubahan baru itu harus tertampung oleh nilai-nilai dan asas-asas syari’ah lainnya.12

C. Hukum Islam di Indonesia:

Setting

Historis Singkat

Secara historis, hukum Islam mulai ada dan diterapkan (exsist and applicable, the living law) di Indonesia (baca: Nusantara) bersamaan dengan datangnya orang (imigran) muslim ke daerah ini.13 Lebih spesifik lagi, misalnya, dapat dibuktikan dengan jelas bahwa ‘hukum nasional’ Indonesia sejak zaman Mataram hingga masa kolonialisme Belanda (melalui VOC) adalah hukum Islam. Pada saat itu buku-buku pegangan

(handbook) untuk para hakim dan para pejabat pemerintahan sudah banyak

yang diterbitkan oleh penguasa Belanda. Antara lain pada 1747 diterbitkan

Mogharrer Code untuk daerah Semarang, Compendium Clootwijck untuk daerah

Sulawesi pada 1759, dan Compendium Freijer pada 1761. Perlu ditambahkan pula bahwa Belanda sendiri --L. W. C. van den Berg-- sendiri mengatakan bahwa bagi orang Islam berlaku dan diberlakukan hukum Islam (receptio in complexu). Baru setelah itu, ketika Belanda merasa dirinya semakin kuat, mulailah politik hukum Belanda menerapkan politik belah bambu,14 yakni sebuah sistem politik yang secara terpadu hendak menyingkirkan hukum Islam dari perilaku masyarakat Indonesia. Kemudian muncullah teori receptie Snouck Hurgronje yang menegaskan bahwa yang disebut hukum Islam ‘asli’ itu tidak ada namun sudah terserap ke dalam hukum adat. Jadi yang ada adalah hukum adat. Berangkat dari sinilah bahwa di Indonesia hingga saat ini terjadi ‘perbenturan’ yang sangat kuat antar tiga sistem hukum (Adat, Islam, dan Barat) yang berdampak pada belum adanya satu hukum nasional dan satu ilmu hukum nasional.15 Jadi jelas bahwa di Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu sumber pengembangan hukum nasional dan oleh karenanya memiliki peluang

12 Syamsul Anwar, “Pengantar”, p. x.

13Tentang perdebatan kapan tepatnya Islam datang ke Indonesia dan dengan cara apa saja bisa dibaca, mialnya, dalam M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993), p.11-32.

14M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), p. 208-240. Untuk dapat memahami makna ‘belah bambu’ ini antara lain bisa dilihat dalam A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

15 Busthanul Arifin, “Membangun Ilmu Hukum Indonesia”, Kata Pengantar dalam Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), p. xvii.

(6)

konstitusional yang jelas.16 Jadi secara singkat sejarah eksistensi hukum Islam di Indonesia hingga saat ini dapat dipilah menjadi empat, yaitu zaman Hindia Belanda, zaman pra-kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa reformasi.

D. Konseptualisasi Pelembagaan Hukum Islam

Membahas hukum Islam di Indonesia, terutama pelembagaannya dalam bingkai sistem dan tata hukum, jelas tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah keberadaannya sejak Islam masuk ke Indonesia hingga saat ini. Namun sebelum lebih jauh membahas hal itu, terlebih dahulu akan dikaji tentang konseptualisasi dari terma ‘pelembagaan’ dan ‘hukum Islam’ itu sendiri baru kemudian diuraikan bagaimana strateginya.

Secara etimologis, lembaga dapat berarti asal sesuatu, acuan (sesuatu yang memberi bentuk kepada sesuatu yang lain, dan badan atau organisasi yang bertujuan melakukan suatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha. Mekipun makna-makna tersebut masih relatif abstrak, namun bisa ditarikmenjadi dua pengertian yaitu (1) pengertian fisik, material, konkret yaitu institute, sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dan (2) pengertian nonfisik, nonmaterial, abstrak yaitu institution: suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih pada pengertian yang kedua itu.17 Pelembagaan yang

dimaksudkan di sini adalah legislasi, positivisasi, formalisasi, atau taqnin (kanunisasi)18 yaitu menjadikan hukum Islam menjadi hukum positif yang diberlakukan secara di sebuah negara karena telah disahkan dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Konkretnya, dengan demikian, hukum Islam yang sebelumnya masih berstatus sebagai ius constituendum dijadikan sebagai ius constitutum.

Berangkat dari pengertian inilah kemudian muncul persoalan bagaima-nakah eksistensi hukum Islam di Indonesia ini, apakah cukup hanya diamal-kan (dilaksanakan) secara personal-mandiri oleh masing-masing individu umatnya an sich ataukan perlu diundangkan oleh negara.

16Syamsul Anwar, “Pengantar”, p. x-xi.

17M. Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pres, 1995), p. 1-5.

18Secara etimologis, qanun berasal dari kata canon (Yunani) yang diserap menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani. Awalnya, canon berarti alat pengukur naun kemudian berkembang maknanya menjadi kaidah, norma, undang-undang, peraturan, atau hukum. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Abru van Hoeve, 1997), V: 1440.

(7)

Apakah implemen-tasi hukum Islam itu cukup merupakan wilayah domestik individual ataukan perlu ada partisipsi dan campurtangan pemerintah dalam mengurusinya.

E. Dasar Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia

Dengan mendasarkan diri pada uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa keberlakuan hukum Islam di Indonesia didasarkan pada [teori] kenyataan, yakni secara empirik hukum Islam sudah secara nyata berlaku di Indonesia. Asumsi ini didukung paling tidak oleh tiga ranah kenyataan. Pertama, kenyataan personal. Artinya, mayoritas warga negara Indonesia adalah muslim yang berimplikasi bahwa secara personal bagi masing-masing individu berlaku hukum Islam sepenuhnya. Kedua, kenyataan sosiologis (baca: sosiohistoris). Artinya, sejak Islam hadisr di Nusantara ini bahkan hingga kini telah banyak aspek-aspek hukum Islam yang diamalkan (the living law) sehingga menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari perikehidupan sosial bangsa Indonesia. Ketiga, kenyataan yuridis konstitusional. Artinya, keberlakuan hukum Islam mendapat jaminan konstitusional dalam beragam peraturan perundang-undangan, antara lain (1) UUD 1945 pasal 29 (1) & (2);19 (2) TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Bab IV Arah Kebijakan, A. Hkum, butir 2, bahwa arah kebijakan mengenai hukum adalah “Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat…”; dan (3) berbagai UU ‘Islam’ misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Jadi jelas bahwa hukum Islam merupakan bagian integral dalam sistem hukum nasional.20

F. Pelembagaan Hukum Islam: Wacana yang Berkembang 1. Perspektif Filsafat Hukum

Berangkat dari asumsi bahwa hukum Islam sudah berlaku sejak lama di Indonesia maka secara filosofos, berdasarkan perspektif hukum ubi societas ubi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum), hukum Islam sangat layak ditegakkan di Indonesia. Artinya, di Indonesia ada masyarakat

19(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(8)

atau komunitas muslim, bahkan mayoritas. Konsekwensinya, mereka berhak untuk menjalankan hukum yang dipeganginya. Di mana ada kaum muslimin, di situ ada hukum yang melingkupinya. Hukum Islam pada dataran ini sudah merupakan ‘kesadaran hukum yang hidup’ (the living law). Ditambah lagi, sebagaimana telah dijelaskan di muka, dengan UUD 1945 pasal 29 dan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 di atas.

Jika dicermati secara saksama, UUD 1945 pasal 29 paling tidak mengandung tiga muatan makna. Pertama, bahwa negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau berbagai kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, bahwa negara berkewajiban membuat peraturan

perundang-undang-an atau kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan. Ketiga, bahwa negara berkewajiban peraturan perundang-undangan yang melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama. Kata ‘menjamin’ dalam ayat (2) jelas bersifat imperatif, yakni negara berkewajiban secara aktif melakukan berbagai upaya untuk menjamin agar penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu, meskipun bukan dalam arti negara mencampuri urusan dan aturan internal ajaran agama.21 Kata

‘beribadat’ berarti dan mencakup pula dalam pengertian melaksanakan syari’at (hukum) masing-masing agamanya. Syari’at Hindu bagi umat Hindu, syari’at Katolik untuk umat katolik, syari’at Islam untuk kaum muslimin, dan begitu seterusnya bila agama tersebut mempunyai syari’at agama bagi penganutnya. Lebih khusus dalam Islam, ibadat tidak saja terbatas pada ibadah mah«ah (‘murni’) saja namun juga mencakup semua kewajiban kepada Allah.22 TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN juga secara tegas telah mengatakan bahwa hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Jadi jelas bahwa secara folosofis yuridis pelembagaan hukum Islam adalah tidak ada masalah, sah dan konstitusional.

2. Perspektif Islam

Di muka telah diuraikan bahwa hukum dalam perspektif Islam adalah sapaan ilahi yang diberikan kepada hamba-Nya guna menuntun perikehidup-annya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia kini

21 Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’a Islam dalam Koneks Keindonesiaan, cet. 1, (Bandung: Mizn, 1997), p. 28-31.

22 Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), p. 75. Rifyal Ka’bah,

(9)

hingga ke akherat kelak. Hukum Islam adalah ‘buatan’ Allah, manusia sebagai hamba hanya tinggal mendengarkan, memahami, dan melaksanakannya. Secara normatif, manusia tidak dibolehkan mencari alternatif hukum lain. Jadi hukum Islam selalu bersifat sarat-nilai-transenden, dunia-akhirat. Untuk itu si hamba dituntut untuk mentaatinya sebagai konsekwensi logis dari klaim dia bertuhankan Allah dan dari fungsi utama diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Pengabdian diri hamba kepada Allah ini harus bersifat kaffah (total), tidak hanya pada bagian-bagian tertentu saja. Pernyataan ini dapat diperjelas dengan ragaan ‘normativitas’ hukum Islam sebagai berikut.

(10)

ﻥﻭﺪﺒﻌﻴﻟ ﻻﺇ ﺲﻧﻹﺍﻭ ﻦﳉﺍ ﺖﻘﻠﺧ ﺎﻣﻭ

23

ﺎﻨﻌﲰ ﺍﻮﻟﺎﻗﻭ

ﺎﻨﻌﻃﺃﻭ

24

ﻮﻨﻣﺍﺀ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃﺎﻳ

ﻢﻠﺴﻟﺍ ﰲ ﺍﻮﻠﺧﺩﺍ ﺍ

ﺔﻓﺎﻛ

25

ﻥﺎﻛ ﺎﻣﻭ

ﻦﻣ ﺓﲑﳋﺍ ﻢﳍ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺃ

ﻢﻫﺮﻣﺃ

26

ﺎﳊﺎﺼﻟﺍ ﺍﻮﻠﻤﻋﻭ ﺍﻮﻨﻣﺍﺀ ﻦﻳﺬﻟﺍ

27

3. Perspektif Sekuler:

Nation State

Eksistensi hukum Islam dan pelembagaannya dalam sistem tata hukum di Indonesia sangat diwarnai oleh perdebatan klasik antara mereka

23 Az-Zariyat (51): 56. 24 Al-Baqarah (2): 285. 25 Al-Baqarah (2): 208. 26 Al-Ahzab (33): 36.

27Ayat yang senada dengan ini banyak sekali, tersebar diberbagai surat. Fungsi utama manusia

adalah ibadah

Tugas: mendengar dan mentaati

Islam secara total (Totalitas Islam)

Tidak boleh ada alternatif hukum lain

Integritas antara Iman & Amal Shaleh

Hukum Islam adalah: Bagian integral ajaran

Islam. Bersifat transenden, teological. Bermuatan dunia-akhirat. Konsekwensinya Dengan cara Konsekwensinya Sebagai konsekwensi Implikasinya

(11)

yang berpaham nasionalis Islam dengan mereka yang nasionalis sekuler.28 Bagi yang pertama memahami Islam lebih formalistis legalistik dan idealisasi ‘negara Islam’ sedangkan yang kedua cenderung substansalis dan berpandangan nation state.

Dalam pandangan nation state,29 Indonesia adalah sebuah negara yang

sarat dengan berbagai pluralisme, tidak tunggal, tidak monolitik. Di antara-nya, di dalamnya muncul pelapisan sosioreligius yang cukup plural dan distingtif. Oleh karena itu, penerapan syari’at dipandang tidak lebih sebagai upaya aktualisasi penciptaan ‘otokhtonitas’ Islam yang mewujud sebagai ‘tatanan asli dan otentik Islam’. Padahal, semestinya, otokhtonitas ini ‘boleh’ hanya pada dataran atau level norma yang mahdah (murni) saja. Oleh kaena itu, dari sudut pandang ini, gagasan penerapan syari’at Islam dalam bentuk formal legalistik menjadi tidak viable dan menodai pluralisme bangsa Indonesia itu sendiri. Formalisasi syari’at Islam sebenarnya tidak lebih sebagai idealisasi normativisme Islam karena, dalam pandangan ini, yang paling penting adalah substansi nilai-nilai Islam itu, bukan bentuk formalnya. Paradigma kelompok ini adalah al-‘ibrah fi al-Isam bi al-jauhar la bi al-mazhar (patokan dasar dalam Islam itu adalah nilai-nilai substansinya, bukan formalisasi simboliknya).

4. Perspektif Filsafat Pancasila:

Religious Nation State

Sebagaimana digagas oleh Mahfud,30 konsepsi prismatik Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik dan cocok dengna nilai-nilai khas sosiokultural Indonesia. Konsepsi prismatik ini paling tidak dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, Pancasila memuat unsur dua pandangan sekaligus yaitu individualisme dan kolektivisme. Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum rechtstaat (yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum) dan konsepsi negara hukum the rule of

28Secara tampak jelas, paling tidak perdebatan dan tarik ulur tersebut telah terjadi selama lima kali. (1) pada sidang BPUPKI-PPKI tahun 1945, (2) pada sidang Majlis Konstituante 1956-1959, (3) pada Sidang Umum MPRS tahun 1966-1968, (4) pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan (5) pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001. Lihat Marzuki Wahid dan Nurrohman, “Syari’a Islam versus Negra-Bangsa: Problem Paradigma Pemikiran Keislaman”, dalam Adnan Mahmud dkk. (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), p. 173.

29Azyumardi Azra, “Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 2005), p. 30-35.

30Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari’ah”, makalah disampaikan dalam Stadium General untuk Pembukaan Kuliah Pascasarjana Ilmu Hukum pada PPS UII Yogyakarta, 11 November 2006, p. 7-10.

(12)

law (yang menekankan pada common law dan rasa keadilan). Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering) sekaligus juga hukum sebagai cerminan rasa kedilan yang hidup dalam masyarakat (the living law). Keempat, Pancasila menganut pahan religious nation state, yakni bahwa negara tidak menganut atau dikendalikan oleh suatu agama tertentu (negara agama, teokrasi) tetapi juga tidak hampa-agama (sekuler) namun negara kebangsaan yang religius yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara dan perikehidupan masyarakatnya. Negara tetap harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi.

Berdasarkan konsepsi prismatik di atas, terutama aspek yang keempat, tampak jelas bahwa pelembagaan hukum yang berbasis Islam untuk orang Islam adalah sah secara konstitusional.

G. Kesimpulan

Demikianlah uraian singkat mengenai pelembagaan hukum Islam dalam perspektif hukum dan Islam. Ada beberapa poin yang penting untuk dicatat dalam mengakhiri uraian ini. Pertama, bahwa secara sosiohistoris kultural hukum Islam sudah menjadi the living law di bumi Indonesia. Kedua, pelembagaan hukum Islam ternyata selama ini lebih ditentukan oleh political will lembaga-lembaga politik. Pada dataran ini ada tarik ulur yang tidak kunjung selesai yang berimplikasi terhadap munculnya warna dan nuansa hukum Islam yang berbeda-beda pada setiap era politik tertentu sebagai konsekwensi adanya kekhawatiran adanya ‘penodaan’ terhadap pluralisme. Ketiga, bahwa menurut pandangan filsafat hukum maupun Islam sejatinya pelemba-gaan (formlisasi) hukum Islam di Indonesia tidak ada masalah dan sah secara konstitusional.

(13)

Daftar Pustaka

Ali, M. Daud, dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Rajawali Press, 1995.

Ali, M. Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, Jakarta: Rajawali Press, 1993.

Anwar, Syamsul, “Legal Drafting terhadap Materi Hukum Islam: Perspektif Hukum Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Legal Drafting Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 November 2006.

_____, “Pengantar”, dalam Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo,

Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, cet. 1,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Arifin, Busthanul, “Membangun Ilmu Hukum Indonesia”, Kata Pengantar dalam Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Azra, Azyumardi, “Syari’at Islam dalam Bingkai Nation State”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Paramadina, 2005.

Baidi, Yasin, “Pertautan Dialektis Sosiologis antara Terma Syari‘ah, Fiqh,dan Hukuim Islam (Telaah atas Aplikasinya di Indonesia)”, Jurnal SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Abru van Hoeve, 1997.

Fadl, Khaled M. Abou el-, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Hakim, cet. 1, Jakarta: Serambi, 2004.

Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Paramadina, 2005.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. 8, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Khallaf, Abdul Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, cet. 12, Kuwait: Dar al-‘Ilm, 1398 H/ 1978 M.

(14)

Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Mahfud, Moh., MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari’ah”, makalah disampaikan dalam Stadium General untuk Pembukaan Kuliah Pascasarjana Ilmu Hukum pada PPS UII Yogyakarta, 11 November 2006.

Mardjono, Hartono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, cet. 1, Bandung: Mizan, 1997.

Mudzhar, M. Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS, 1993.

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University Press, 1965.

_____, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, 1959.

Wahid, Marzuki, dan Nurrohman, “Syari’at Islam versus Negara-Bangsa: Problem Paradigma Pemikiran Keislaman”, dalam Adnan Mahmud dkk. (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman 2,3,4 dan 6 Minggu Setelah Tanam (MST), tingkat kehijauan daun, umur berbunga,

Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini akan membuat sebuah sistem absensi berbasis pengenalan wajah dan hasil dapat langsung diketahui oleh orang tua/wali siswa

Dari hasil analisis data dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain tingkat ketepatan pengetahuan istilah siswa pada materi permainan bola besar sebagian besar

pada kadar air minyak dan FFA tidak efektif untuk memperbaiki kualitas minyak, namun untuk angka peroksida dan angka yodium sedikit menyumbangkan perbaikan dibandingkan

Terdapat perbedaan kadar trigliserida antara kelompok diet standar ad libitum dengan kelompok diet tinggi minyak sawit maupun kelompok diet tinggi minyak sawit +

Kеywords: Mark е ting Strat е gy, TOWS Analysis, STP... Jurnal Administrasi Bisnis

Number of panicles per plant, panicle length, 1000 g of grain weight, percentage of filled grain per panicle, protein content, and grain yield were correlated by