• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL LEPAS

Penyelesaian

Masalah

Anak

yang

Berkonflik dengan Hukum

Husni

1

Correspondence: husni7790@yahoo.co.id 1. Fakultas Hukum Universitas

Malikussaleh

Abstrak

Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai suksesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita – cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Perlindungan yang diberikan terhadap anak harus diberikan secara menyeluruh, jadi masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas. Dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia, masalah perlindungan hukum terhadap anak di atur dalam Undang-undang N0. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak , Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradila Pidana Anak, , dan Undang–undang No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.

Kata Kunci:

(2)

LATAR BELAKANG

Pemerintah berupaya mewu-judkan kesejahteraan masyarakat agar tercipta suasana aman, tentram dan makmur seperti yang tersirat dalam tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia IV yakni mewujudkan masyarakat adil makmur ber-dasarkan Pancasila. Hal tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat baik individu maupun kelompok, baik individu yang sudah dewasa maupun yang masih anak-anak.

Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai suksesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita–cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah

disadari oleh masyarakat

Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.

Berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum maka lahirlah UU No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sebagai hukum pidana khusus yang mencoba melakukan penyimpangan dari ketentuan yang mengatur masalah

anak baik secara materil

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun secara formil dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun dalam perkembangannya undang-undang pengadilan Anak tersebut diganti dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena dinilai memiliki banyak kelemahan dan dianggap

tidak memihak dan tidak

memberikan perlindungan hukum kepada anak yang berkonflik dengan hukum.

Adapun yang dimaksud

dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

(3)

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.

Perlindungan yang diberikan terhadap anak harus diberikan secara menyeluruh, jadi masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas. Dalam berbagai dokumen internasional didapatkan bahwa perlindungan hukum bagi anak dapat mencakup berbagai aspek, anatara lain:

1. perlimdungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak, 2. perlindungan kesejahteraan

anak,

3. perlindungan anak dalam

masalah penahanan,

perampasan kemerdekaan, dan perlindungan anak dalam proses peradilan,

4. perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi, perbudakan,

1 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1998, hal 156

pornografi, perdagangan anak dan pelacuran anak,

5. perlindungan terhadap anak-anak jalanan,

6. perlindungan anak dari akibat konflik bersenjata, dan

7. perlindungan anak dari tindakan kekerasan. 1

Dalam Commentary yang terdapat di bawah Rule 5.1 dari The Beijing Rules,2 juga menunjuk pada

dua tujuan atau sasaran yang sangat penting yaitu:

1. memajukan kesejahteraan

anak,dan

2. prinsip proporsionalitas.3

Dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia, masalah perlindungan hukum terhadap anak di atur dalam Undang-undang N0. 4 Tahun 1979, tentang kesejahteraan anak , Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradila Pidana Anak, dan Undang–undang No. 23

2 Standard Minimum Rules for the administration of Juvenile Justice, 1985

3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: alumni, 1992, hal 112

(4)

Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak,

Dalam Konsideran Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997, Tentang Pengadilan Anak dalam sub b pertimbangannya menyebutkan:

Bahwa untuk menjaga harkat dan

martabatnya, anak berhak

mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan".

Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa dengan

berlakunya Undang-undang sistem peradilan pidana anak, maka tidak ada alasan lagi yang dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan kriminalisasi perbuatan nakal yang dilakukan oleh anak.

Begitu juga seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum tercantum dalam pasal 59 yang yang berbunyi:

Pemerintah dan lembaga negara

lainnya berkewajiban dan ber-tanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi, anak tereksploitasi

secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalah-gunaan narkotika, alkohol,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan per-dagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak

korban perlakuan salah dan

penelantaran.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa anak sebagai bagian dari generasi muda, merupakan potensi dan penerus perjuangan bangsa, yang mempunyai hak dan kewajiban membangun bangsa dan negara di mana memerlukan perlindungan dari berbagai bahaya yang mengganggu perkembangannya.

Kasus-kasus

kejahatan

yang melibatkan anak sebagai

pelaku

tindak

kejahatan

membawa fenomena tersendiri.

Mengingat anak adalah individu

yang masih labil emosinya, maka

penanganan kasus kejahatan

dengan

pelaku

anak

perlu

mendapat

perhatian

khusus.

Perlindungan hukum terhadap

anak yang di dalamnya

menyangkut kepentingan dan

hak-hak anak maka cita-cita

(5)

hukum, gagasan abstrak dan

dokrin-dokrin

tak

dapat

dilepaskan

dari

ketentuan

perundang-undangan

yang

mengatur masalah hak-hak anak

pada umumnya, apalagi Indonesia

telah meratifikasi konvensi

hak-hak anak

(Convention on the

Right of Children) lewat Keppres

No. 36 Tahun 1990. Dengan

meratifikasi

konvensi

ini,

Indonesia memiliki kewajiban

untuk memenuhi hak-hak bagi

semua anak tanpa terkecuali,

salah satu hak anak yang perlu

mendapat

perhatian

dan

perlindungan adalah hak anak

yang berkonflik dengan hukum.

4

Asas-asas

perlindungan

hak-hak anak dan kesejahteraan

anak tidaklah dapat dilepaskan

dari asas-asas dasar perlindungan

hak-hak anak pelaku delinkuen

(juvenile

delinquen)

yang

ditangani

lewat

penerapan

hukum

pidana

anak

yang

4 Lingga Setiawan, Konvensi Hak Anak dan Bangsa Yang Beradab, Kompas, 24 Februari 2006

5 Paulus Hadi Saputro, Stigmatisasi: Faktor Korelasional Kriminogen

penyelenggaraannya lewat sistem

peradilan pidana anak (juvenile

justice system). Asas-asas dasar

itu antara lain yaitu: Pertama,

kepentingan terbaik anak harus

menjadi prioritas utama. Kedua,

hak-hak anak pelaku delekuen

harus tetap diperhatikan dalam

penyelenggaraan sistem

pera-dilan pidana anak, asas praduga

tak bersalah, asas parens patriae,

asas proporsionalitas, asas-asas

yang menyangkut aspek

per-kembangan kejiwaan anak, asas

perlindungan privacy anak, asas

perlindungan anak dari

stigma-tisasi.

5

Asas-asas tersebut di atas,

haruslah terekpresikan dalam

norma-norma

hukum

pidana

anak, baik hukum materiil

maupun hukum formilnya.

Kehadiran berbagai perang-kat hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia seperti UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang kemudian diganti dengan

Perilaku Delikuensi Anak , Makalah DalamSemiloka Nasional Konsep dan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 14 Agustus 2005

(6)

UU No.11 Tahun 2012 Tentang system peradilan pidana anak, UU

N0. 4 Tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak maupun UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, belum membawa perubahan yang signifikan bagi perlindungan anak pada umumnya dan bagi anak pelaku delekuen yang tengah berada dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice

system).

Ketika Undang-undang No. 3 Tahun 1997 belum bisa dilihat sebagai suatu sistem hukum pidana anak, karena undang-undang ini belum mampu memposisikan dirinya sebagai hukum pidana anak materiil, hal ini tampak dari ketentuan substantive yang terkandung di dalamnya, dalam undang-undang ini sama sekali tidak dijumpai

ketentuan tentang tujuan

pemidanaan terhadap anak dan apa yang disebut sebagai kenakalan anakpun masih harus mengacu pada KUHP. Sehingga secara substansial dapat dikatakan bahwa Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak cenderung

dikatagorikan sebagai Hukum Pidana Anak Formil atau Hukum Acara Pidana Anak.

Namun karena perlindungan terhadap anak (termasuk anak yang berhadapan dengan hukum) menjadi suatu keharusan, maka melalui Undang-undang Sistem Peadilan Pidana anak, pemerintah mencoba untuk mengimplementasikan keadil-an restorative melalui diversi dalam menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum.

Sehubungan

dengan

perlindungan hukum terhadap

anak, maka dalam hal ini

penyelenggaraan hukum pidana

anak lewat sistem peradilan

pidana anak masih memerlukan

penetaan managerial

kelem-bagaannya dan penataan lembaga

yang mendukung bekerjanya

ketentuan substantif

Undang-undang No. 11 Tahun 2012.

Ketentuan

substantive

yang

memerlukan dukungan lembaga

seperti; penyidik anak, penuntut

umum anak, hakim anak dan

lembaga

pemasyarakatan/

pembinaan anak, sehingga anak

pelaku

delekuen

tidak

memperoleh

perlakuan

yang

buruk dalam proses peradilan

pidana (juvenile justice proces).

(7)

PERMASALAHAN

Kenyatan-kenyataan

sebagai-mana dikemukakan di atas,

memaksa kita untuk tidak terlalu berharap banyak dari Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system) yang ada, kecuali penderitaan dan efek jangka panjang bagi anak pelaku delekuen. Bertitik tolak dari hal yang demikian,

maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perlindungan

hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum?

2. Bagaimanakah penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum?

PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Dalam Konvensi Hak-hak Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, mencakup perlindungan dari segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses

6 Barda Nawawi Arief, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju,1997, hal 72

peradilan pidana khususnya

dinyatakan dalam Artike1 37 dan 40.6 Sebagai pengimplementasian

secara optimal prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak, pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi hak-hak anak (Convention

on the Right of Children) melalui

Keppres No. 36 Tahun 1990 dan membentuk Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dalam perkembanganya diganti dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini

dilakukan sebagai wujud

perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum atau anak peleku delinkuen.

Dalam Konvensi Hak-hak anak

(Convention of the Right of

Children), hak-hak anak yang

berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 37 ayat b, pasal 37 ayat c dan pasal 40. Dalam pasal 37 ayat

b Konvensi Hak-hak anak

menyatakan :

“Tidak seorang anakpun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang.

(8)

penangkapan, penahanan ataupun penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling pendek”.

Sementara dalam Pasal 37 ayat c Konvensi Hak-hak anak menyatakan bahwa:

“Setiap anak yang dirampas

kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati

martabat kemanusiaanya dan

dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya”.

Sedangkan dalam pasal 40 Konvensi Hak-hak anak menye-butkan, bahwa:

Negara-negara peserta mengakui

hak setiap anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak, yang memperkuat penghargaan anak pada hak-hak azazi manusia dan kebeasan dasar dari orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkatkan penyatuan

kembali/reintegrasi anak dan

peningkatan peran yang konstruktif

dari anak dalam masyarakat”.

Di Indonesia perlindungan

hukum terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum untuk pertama kalinya diatur di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, namun

aturan tersebut tidak member ruang kepada anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan

keadilan restoratif, yaitu

penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dalam hal ini perlakuan selama proses Peradilan Pidana Anak harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai kemanusiaan anak menjadi lebih rendah, begitu juga pemeriksaan terhadap anak harus dalam suasana kekeluargaan, setiap anak berhak didampingi oleh penasehat hukum, tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa, penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh memper-timbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat, hukuman yang diberikan tidak harus dipenjara /ditahanan melainkan bisa berupa hukuman tindakan dengan

(9)

mengembalikan anak keorang tua atau walinya serta pasal-pasal lainnya yang cukup memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Selanjutnya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi manusia (HAM) pada Pasal 66 juga mengatur hak anak yang berkonflik dengan hukum. Demikian juga dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 64 mengatur tentang:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana

merupakan kewajiban dan

tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. Perlakuan atas anak secara

manusiawi dengan martabat dan hak-hak anak.

b. Penyediaan petugas

pendamping khusus anak sejak dini;

c. Penjediaan sarana dan prasarana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk

mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan

g. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. upaya rehabilitasi, baik dalam lenbaga maupun diluar lembaga;

b. upaya perlindungan dari

pemberitaan identitas

melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

(10)

c. pemberian jaminan kesela-matan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan infor-masi mengenai perkem-bangan perkara”.

Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Sebelum berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak, maka upaya penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum masih dilakukan dalam konteks sistem peradilan pidana anak yang konvensional, padahal diketahui bahwa pengadilan konvensional bukun cara terbaik atasi anak pelaku delekuen. Oleh karena itu kehadiran UU No, 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak, mengakomodasikan ketentuan yang memungkinkan adanya diskresi dan diversi (restorative justice) dalam penanganan anak peleku delinkuen, sehingga penghukuman bagi anak bukan salah satu solusi, karena anak

7 Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak.

bukan untuk dihukum melainkan harus diberi bimbingan dan pembinaan, sehingga terwujudnya keadilan yang restorative.

Selanjutnya berkaitan

dengan proses penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang sistem peradilan

pidana anak, dimana dalam

menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum selalu mengutamakan pendekatan keadilan resroratif dan selalu mengupayakan tindakan diversi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.7

Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah:8

a. Mencapai perdamaiaan antara korban dan anak

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan

8 Pasal 6 Undang undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak.

(11)

c. Menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, d. mendorong masyarakat untuk

berpartisipasi, dan

e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Dalam hal melakukan proses diversi, harus berpedoman pada ketentuan pasal 8 Undang undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu dilakukan melalui musyaewarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan orang tua atau walinya.

Menurut Sri Yudha Ningsih,9

proses peradilan pidana anak harus dilakukan secara Restorative

justice. Restorative justice, adalah

bentuk penyelesaian konflik anak

dengan hukum berdasarkan

partisipasi masyarakat. Jadi kasus-nya tidak sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau komunitas di masyarakat dengan jalan kekeluargaan, merupakan salah satu langkah yang tepat bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang

berkonflik dengan hukum,

9 Sri Yudha Ningsih, pengadilan Konvensional Bukan Cara Terbaik Atasi Anak Pelanggar Hukum,

sedangkan diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat, sedangkan keadilan restorative adalah proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang.

Program diversi dapat menjadi bentuk keadilan restoratif jika :

a. mendorong anak untuk

bertanggung jawab atas

perbuatannya;

b. memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;

c. memberikan kesempatan bagi sikorban untuk ikut serta dalam proses;

d. memberikan kesempatan bagi

anak untuk dapat

mempertahankan hubungan

dengan keluarga; dan

diakses dari http// pikiran Rakyat. Com.

(12)

e. memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Konsep restorative justice

telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan

restorative justice sebagai suatu

proses semua pihak yang

berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikir-kan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.

Proses restorative justice

pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah.

Penyelesaian melalui

musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak

membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.

Dengan menggunakan konsep

restorative justice, hasil yang

diharapkan adalah berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma/cap dan

mengembalikan anak menjadi

manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam mengatasi kenakalan anak dan; pengintegrasian kembali anak ke dalam masyarakat.

Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan bila kejadiannya di

(13)

sekolah dapat dilakukan kepala sekolah atau guru.

Restorative justice

merupa-kan upaya alternatif menyelesaimerupa-kan masalah anak yang berkonflik dengan hukum karena tidak melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak, dan upaya ini sudah diakomodasikan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 sebagai hukum acara pidana anak, dan sudah diterapkan dalam menyelesaikan masalah anak yang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan pada kenyataan sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka diperlukan berbagai

langkah guna mendorong

dilakukannya diversi. Dalam rangka mendorong diversi pada tingkat Penyidikan oleh Polisi, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Peningkatan pengetahuan Polisi

khususnya Penyidik Anak tentang ekses-ekses negatif dari SPP anak serta manfaat dari pendekatan non penal terhadap masalah

kenakalan anak. Dengan

demikian diharapkan tumbuhnya keyakinan dikalangan Penyidik Anak bahwa prosedur hukum

bukanlah satu-satunya cara penyelesaian kasus anak.

2. Diperlukan adanya pedoman tentang prosedur penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka anak yang berorientasi pada UU Sistem Piradila Pidana Anak, UU Perlindungan Anak, maupun instrumen-instrumen internasional lainnya.

3. Diperlukan adanya pedoman bagi Penyidik Anak yang berisi kreteria maupun prosedur dalam

menggunakan kewenangan

diskretionernya untuk melakukan diversi.

4. Manajemen Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang

memandang penggunaan

kewenangan diskretioner yang tepat sebagai langkah positip, daripada sebagai langkah yang perlu dimintakan pertanggung-jawaban. Dengan kata lain, diversi hendaknya dipandang sebagai ”kewajaran” dan bukan

sebagai ”pengecualian”

(eksepsional).

5. Diperlukan upaya untuk menjalin kerjasama, baik dengan instansi pemerintah terkait maupun dengan LSM, sebagai bagian dari upaya Polisi dalam melakukan

(14)

diversi. Dalam hal ini perlu dipromosikan dan dikembangkan model restorative justice

(konsep keadilan pemulihan) sebagai solusi.

PENUTUP Kesimpulan

1. Perlindungan hukum yang

diberikan terhadap anak harus secara menyeluruh, jadi masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan , tetapi mencakup spektrum yang sangat luas, karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak lewat Keppres No. 36 Tahun 1990. Perlindungan hukum terhadap anak di atur dalam Undang-undang N0. 4 Tahun 1979, tentang kesejahteraan anak , , tentang Peradilan Anak, dan Undang–undang No. 23

Tahun 2002, tentang

Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun2012 Tentang system Peradilan Pidana Anak.

2. Penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum sudah dilakukan melalui mekanisme

sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 sebagai hukum acara pidana anak yang sudah mengakomodasikan ketentuan yang memungkinkan adanya diskresi dan diversi (Restorative

justice ) yang merupakan Uupaya

alternatif menyelesaikan

masalah anak yang berkonflik dengan hukum.

Saran

1. Perlu peningkatan pengetahuan Penyidik Anak, bahwa anak bukan untuk dihukum sehingga penyelesaian masalah anak melalui sarana Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi alternatif penyelesaian masalah.

2. Perlu adanya upaya untuk menjalin kerjasama yang positip, baik dengan instansi pemerintah maupun maupun masyarakat dengan LSM sebagai bagian dari upaya polisi dalam melakukan diversi. Serte Perlu adanya sosialsisasi kepada masyarakat bahwa dalam penyelesaian masalah anak yang berkonflik

dengan hukum harus

(15)

justice (konsep keadilan pemulihan).

DAFTAR PUSTAKA Buku/Jurnal/Makalah

Arief, Barda Nawawi, Peradilan anak

di Indonesia, Bandung: Mandar

Maju, 1997

---, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1998

---, Bunga Rampai Kebijakan

hukum Pidana, Bandung: Citra

aditya Bhakti, 2002

---, Kapita Selekta Hukum

Pidana, Bandung : Citra Aditya

Bhakti, 2003

Hadi Saputro, Paulus, Stigmatisasi: Faktor Korelasional Kriminogen

Perilaku Delikuensi Anak,

Makalah Semiloka Nasional Konsep dan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 14 Agustus 2005

---, Pembaharuan Hukum

Pidana Anak Di Indonesia,

Makalah Kuliah Umum Fakultas

Hukum Universitas

Muhammadiyah, Yogyakarta, 23 April 2005

Ningsih, Sri Yudha, Pengadilan Konvensional Bukan Cara Terbaik Atasi Pelanggar Hukum,

di Akses dari http// Pikiran Rakyat.Com.

M. Billah, Hak Anak dan Kekerasan

Terhadap Anak, Newsletter,

Jejaring HAM, Edisi No. 1/Thn.II/Januari/2006

Muladi dan Barda Nawawi Arief,

Bunga Rampai Hukum Pidana,

Bandung: Alumni, 1992

Setiawan, Lingga, Konvensi Hak Anak

Dan Bangsa Beradab, Kompas 24

Februari 2006

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Jakarta : Rineka Cipta, 1991

Peraturan Perundang-Undangan

Standard Minimum Rules for the administration of Juvenile Justice, 1985

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 3143

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165

Undang–undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang–undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak.

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan skripsi yang berjudul Sosialisasi Program Kantor Bebas Asap Rokok di PT Kaltim Prima Coal (Analisis Sosialisasi Program Berdasarkan Teori Dramaturgi),

Kemudian alat ukur tersebut dipakai kembali oleh Septiana Constanti mahasiswi psikologi Binus University pada tahun 2012 dengan skripsinya yang berjudul

Selan itu, dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan, sehingga dapat

Menurut penulis teknik tersebut dilakukan oleh seluruh perawat karena dalam mengajarkan pasien cara bernapas pelan-pelan tidak memerlukan media khusus sehingga

Di dalam sistem ini pelanggan dapat mendaftar sebagai pelanggan melalui SMS sesuai dengan format yang telah ditentukan, selain bs mendaftar sebagai pelanggan,

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel minuman probiotik whey keju dengan 5% sari tomat pada saat setelah fermentasi selesai

Clungup Mangrove Conservation yaitu; (1) Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru berperan sebagai pengelola, dalam hal ini yayasan tersebut cukup mengerti terkait semua