• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

101

PROSPEK DAN KENDALA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN GARUT (Maranta arundinacea L.) DI KABUPATEN SRAGEN

THE PROSPECTS AND CONSTRAINTS IN THE DEVELOPMENT AGRIBUSINESS OF ARROWROOT (Maranta arundinacea L.)

IN SRAGEN DISTRICT Tota Suhendrata

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Bukit Tegalepek, Sidomulyo Ungaran 50501, Telp. (024) 6924965; Fax. (024) 924966; e-mail: suhendrata@yahoo.co.id

ABSTRAK

Garut (Maranta arundinacea L.) adalah salah satu tanaman umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum. Garut selain sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai tanaman biofarmaka karena kandungan indeks glikemik yg rendah sehingga sangat bermanfaat bagi penderita diabetes melitus. Di Kabupaten Sragen, garut dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani dan produktivitas lahan kering di wilayah utara Bengawan Solo. Garut masih dibudidayakan secara konvensional sebagai tanaman sampingan di lahan tegalan/kering dan pekarangan rumah. Usahatani garut dipusatkan di wilayah Kecamatan Gesi, Tangen, Sukodono, Jenar, Mondokan, Miri dan Sumberlawang dengan potensi lahan sekitar 7.828 ha. Pada periode 2005 – 2011, potensi lahan yang ada baru dimanfaatkan antara 706 – 800 ha dengan produksi 2.477 – 2.854 ton umbi dan produktivitas 3,4 – 4,0 t/ha. Kendala dalam peningkatan produksi garut adalah ketersediaan bibit, umumnya tanaman garut hanya sebagai tanaman sampingan, hama dan penyakit. Pada saat ini, terdapat 40 kelompok usaha/pengrajin emping dan tepung garut, salah satu diantaranya sudah mendapatkan sertifikasi dari Sucofindo. Tepung garut dimanfaatkan untuk campuran pembuatan bihun atau mie, bahan pembuatan kue, dan bahan makanan tradisional seperti jenang dan kerupuk garut. Pemasaran emping garut sebagian besar terserap oleh konsumen lokal wilayah Sragen dan dipasarkan ke daerah Ngawi, Madiun, Solo, Semarang dan Yogyakarta. Ditinjau dari potensi lahan, potensi hasil, manfaat, harga dan ketersediaan teknologi budidaya dan pengolahan serta pemasaran, tanaman garut memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis/agroindustri pedesaan dalam rangka

penganekaragaman pangan dan meningkatkan pendapatan petani dan produktivitas lahan kering.

Kata kunci: potensi, prospek, kendala, umbi garut, emping garut, pati garut ABSTRACT

The arrowroot (Maranta arundinacea L.) Is one of tubers functioning as a source of carbohydrate to reduce the dependency of rice and wheat. Besides as the source of carbohydrate, its function is also as a medicinal plant because of its low glycemic index contain, so that it’s totally useful for people with diabetes mellitus disorders. In Sragen district, the arrowroot is developed in order to increase farmers’ income and the productivity of dry land in the northern of Bengawan Solo. This plant is

(2)

102

still conventionally cultivated as a secondary plant in dry lands and in yards. The business of arrowroot is centralized in Gesi, Tangen, Sukodono, Jenar, Mondokan, Miri and Sumberlawang sub-district with the potency of land which’s about 7.828 ha in width. In periode 2005-2011, the land potency is merely utilized between 706-800 ha with 2.477-2.854 ton of tuber production and 3,4-4,0 t/ha of productivity. The constraints in the improvement of arrowroots’ production are seeds availability, the utilization of arrowroot as a secondary plant, pest and disease. Currently, there are 40 groups of arrowroot chip and arrowroot starch business which one of them has been certified from Sucofindo. The arrowroot starch is utilized for the mixture in the production of noodles, the ingredient of cake and traditional food such as porridge and arrowroot crackers. The marketing of arrowroot chip is mainly absorbed by local consumer in Sragen region and distributed to Ngawi, Madiun, Solo, Semarang and Yogyakarta. Observed from the potency of the land and the production, the benefits, the price and the availability of cultivation, management and marketing technology, the arrowroot has very good prospects to be developed as an agribusiness or a rural agro-industry for diversifying foods and enhancing farmers’ income and the productivity of dry lands.

Keywords: prospects, constraints, arrowroot tuber, arrowroot chip, arrowroot starch PENDAHULUAN

Garut (Maranta arundinacea) merupakan salah satu tanaman umbi-umbian

sebagai sumber karbohidrat untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum. Garut merupakan pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas agribisnis/agroindustri. Garut selain sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai tanaman biofarmaka karena kandungan indeks glikemiknya rendah (14) dibanding umbi-umbian lainnya, seperti gembili (90), kimpul (95), ganyong (105) dan ubijalar (179) sehingga bermanfaat bagi penderita diabetes melitus (Marsono, 2002). Indeks glisemik merupakan ukuran yang menyatakan kenaikan gula darah setelah seseorang mengkonsumsi makanan yang bersangkutan. Semakin tinggi indeks glisemik berarti semakin tidak baik makanan tersebut untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes (Truswell, 1992).

Industri makanan rumahan (industri rumah tangga) telah memanfaatkan umbi garut untuk membuat emping garut. Di samping itu, tepung garut dimanfaatkan sebagai bahan industri tekstil, perekat, farmasi, dan kosmetik. Tepung garut juga sangat baik untuk makanan bayi dan penderita gangguan pencernaan. Oleh karena itu, pengembangan tanaman garut memiliki prospek yang sangat baik untuk agribisnis (Djaafar dan Rahayu dalam Djaafar dkk, 2006).

Komoditas garut di Kabupaten Sragen ditetapkan sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Sragen melalui Surat Keputusan Bupati Sragen Nomor: 500/113/03/2003 tentang Produk Unggulan Daerah (PUD). Diharapkan produk garut menjadi ciri khas daerah baik sebagai produk lokal ataupun oleh-oleh Kabupaten Sragen. Komoditas garut di Kabupaten Sragen dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani dan daya guna lahan di wilayah utara sungai

(3)

103

Bengawan Solo yang tanahnya sebagian besar kurang subur, kering, tandus, dan berkapur. Sentra produksi garut terdapat diwilayah Kecamatan Gesi, Tangen, Sukodono dan Jenar. Wilayah potensial untuk pengembangan tanaman garut di Kabupaten Sragen tersebar di 11 kecamatan dari 20 kecamatan (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sragen, 2012). Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui prospek dan kendala dalam pengembangan agribisnis/agroindustri garut dalam rangka penganekaragaman pangan dan meningkatkan pendapatan petani dan produktivitas lahan kering.

PEMBAHASAN 1. Potensi Pengembangan Tanaman Garut

Keunggulan tanaman garut antara lain mampu tumbuh maksimal dibawah tegakan atau ternaungi pohon dengan intensitas naungan 30-70%, tumbuh pada berbagai jenis tanah, tumbuh di berbagai tipe tanah baik subur maupun kritis/tanah miskin hara, tumbuh secara baik mulai dari tepi pantai sampai wilayah pegunungan dengan ketinggian 900 m dpl dan tidak membutuhkan perawatan yang khusus sehingga mudah dibudidayakan dan dipelihara (Arimbi, 1998; Villamayor dan Jukema, 1995). Hasil tanaman garut adalah rimpang/umbi yang dapat langsung dikonsumsi atau diolah menjadi tepung dan emping garut. Tanaman garut dapat dipanen setelah berumur sekitar 10 bulan dengan kandungan pati dapat mencapai sekitar 22%. Hasil panen tergantung pada tajuk, kesuburan tanah dan teknik budidaya. Potensi hasil umbi garut berkisar antara 12,5 ton umbi/ha. Kehilangan hasil dapat mencapai 5-20% tergantung kondisi lingkungan. Budidaya secara intensif akan menghasilkan rata-rata 21 ton umbi/ha. Pada budi daya tanaman garut yang ditanam dengan populasi 20.000 tanaman/ha maka budidaya tanaman garut memiliki potensi hasil lebih dari 20 ton umbi/ha(…). Dilihat dari kemudahan cara budidaya, potensi hasilnya, manfaat dan harga umbi garut basah Rp.1.000 – Rp1.500/kg sehingga cukup potensial untuk menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi sehingga umbi garut cocok untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis pedesaan.

Secara geografis Kabupaten Sragen dibagi menjadi 2 kawasan yang dipisahkan oleh sungai Bengawan Solo, yaitu (1) Kawasan pertanian lahan basah terletak disebelah selatan sungai Bengawan Solo meliputi Kecamatan Masaran, Sidoharjo, Sragen, Karangmalang, Kedawung, Sambirejo, Gondang, Sambungmacan, Ngrampal dan sebagian wilayah Kecamatan Plupuh, dan (2) Kawasan lahan pertanian kering sebagian besar tanahnya kurang subur, kering, tandus, dan berkapur terletak disebelah utara sungai Bengawan Solo meliputi Kecamatan Kalijambe, Gemolong, Miri, Sumberlawang, Tanon, Mondokan, Sukodono, Gesi, Tangen, Jenar dan sebagian wilayah Kecamatan Plupuh. Pada tahun 2011, tanaman garut di Kabupaten Sragen tersebar di 11 kecamatan dari 20 kecamatan yaitu 3 kecamatan disebelah selatan Bengawan Solo tersebar di Kecamatan Masaran, Kedawung dan Sambirejo) dan 8

(4)

104

kecamatan disebelah utara Bengawan Solo tersebar di Kecamatan Kalijambe, Miri, Sumberlawang, Mondokan, Sukodono, Gesi, Tangen dan Jenar (Tabel 1 dan Gambar 1). Tabel 1. Penyebaran, luas tanam dan produksi umbi garut di Kabupaten Sragen tahun

2011

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sragen (2012)

Gambar 1. Penyebaran tanaman garut di Kabupaten Sragen tahun 2011

Perkembangan luas lahan dan produksi umbi garut di Kabupaten Sragen periode 2005 – 2011 menunjukkan terjadi peningkatan yang tidak signifikan yaitu

(5)

masing-105

masing 2,1% untuk luas tanam dan 0,1% untuk produksi (Gambar 2) dengan produktivitas berkisar antara 3,4 - 4,6 t/ha (Gambar 3).

Gambar 2. Luas tanam (ha) dan produksi umbi garut di Kabupaten Sragen periode 2005 – 2011

Rendahnya produktivitas ini dikarenakan tanaman garut umumnya hanya menjadi tanaman sambilan/tanaman sisipan di pinggiran kebun, pingggiran pekarangan rumah atau di tegalan di bawah naungan pohon belum ada kebun khusus dan tidak dibudidayakan secara intensif. Produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui perbaikan teknologi budidaya tanaman garut seperti penggunaan varietas spesifik lokasi, penambahan pupuk organik dan pengaturan jarak tanam dll sesuai dengan rekomendari teknologi budidaya tanaman garut.

(6)

106 2. Pemanfaatan Umbi Garut Untuk Agroindustri

Umbi garut dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan bahan baku industri. Umbi segar yang baru dipanen mengandung pati antara 16 – 18%, dengan kandungan air yang sangat tinggi (Villamayor dan Jukema, 1995). Sedangkan menurut Rukmana (2000) dan Abun (2005) umbi segar mengandung air 69–72%, protein 1,0–2,2%, lemak 0,1%, pati 19,4–21,7%, serat 0,6–1,3% dan abu 1,3–1,4% serta sedikit gula. Umur panen optimum tanaman garut untuk bahan baku pengolahan emping garut adalah 6 - 8 bulan setelah tanam. Sedangkan umur panen optimum tanaman garut untuk bahan baku pati garut adalah 10 bulan setelah tanam (Djaafar dkk, 2006). Umbi garut berpotensi sebagai sumber pangan lokal yang unggul karena dapat diolah menjadi pati/tepung dan emping.

Pati garut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti terigu dalam pengolahan pangan seperti pengolahan kue, cake, roti (Djaafar dkk., 2002) dan pasta ikan (Riyadi dan Darmanto, 2003). Tepung garut adalah bahan industri cukup penting dengan rentang penggunaan yang sangat luas. Sebagai bahan makanan mulai dari untuk bubur, puding sampai ke bahan campuran dalam industri cokelat batangan. Bagi ibu-ibu yang baru menyusui, bubur tepung garut juga berkhasiat untuk memperbanyak air susu. Dalam industri kosmetika tepung garut digunakan sebagai bedak. Sementara industri kertas dan tekstil memanfaatkannya untuk bahan pengisi (filler) (Cahyanto. 2012). Tepung garut juga digunakan untuk industri dekstrin sebagai bahan dasar makanan bagi penyandang autis (Herminiati dan Abbas, 2006). Menurut Kay (1973) pati garut memiliki sifat mudah larut dan mudah dicerna sehingga cocok untuk bahan makanan bayi dan orang sakit. Hasil penelitian Susanty (2002), Puspowati (2003), dan Sitorus (2004) bahwa pati garut dapat dimanfaatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi pada anak-anak usia 6 sampai 36 bulan melalui pembuatan makanan sapihan karena mempunyai sifat mudah dicerna. Kisaran usia ini sama dengan penyandang autis yang biasanya terdeteksi ketika usia 18 sampai 36 bulan (NIMH, 1997), daya cerna yang tinggi dari pati garut dapat membantu pencernaan penyandang autis (Herminiati dan Abbas, 2006).

Diantara tanaman penghasil umbi, garut sangat potensial untuk menjadi substitusi gandum (Tabel 2). Tepung garut diarahkan untuk menjadi pengganti atau substitusi tepung gandum sebagai bahan baku industri makanan seperti pembuatan jenang (dodol), kue dadar, kue semprit, cendol, cantik manis, roti, mie, makanan kecil, kripik dan aneka makanan tradisional. Disamping itu, tepung garut juga dimanfaatkan dalam kesehatan, tata boga, industri perekat, bedak, tekstil dan kertas.

(7)

107

Tabel 2. Perbandingan kandungan gizi tepung terigu dan garut (100 g)

Sumber: Suyatno (2010)

Emping garut dapat digunakan sebagai pengganti emping mlinjo yang saat ini sudah mulai dihindari oleh para manula. Emping garut memiliki keunggulan karena tidak mengandung kolesterol (Djaafar dan Rahayu dalam Djaafar dkk, 2006).

3. Emping dan Pati/Tepung Garut

Tanaman garut merupakan tanaman musiman yang tidak setiap saat bisa dipanen, sehingga bahan baku umbi juga tidak tersedia setiap saat, maka sebagian besar produksi umbi garut diolah menjadi emping, agar mampu disimpan dalam waktu lama. Hal ini untuk menjaga ketersediaan bahan, menjaga harga pasar dan meningkatkan nilai jual produk garut. Pembuatan emping dan tepung garut merupakan salah satu upaya diversifikasi atau penganekaragaman bentuk olahan umbi garut. Selain itu dengan mengolah umbi garut menjadi emping dan tepung dimaksudkan untuk menumbuhkan kegiatan industri rumah tangga di pedesaan dan meningkatkan nilai tambah serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat pedesaan. Pada tahun 2011, di Kabupaten Sragen terdapat 40 pengusaha/kelompok usaha emping garut (BPS Kabupaten Sragen, 2012) yang tersebar di kecamatan Mondokan, Sumberlawang, Sukodono, Miri, Tangen, Jenar dan Gesi sebagai sentra pengembangan tanaman garut Kabupaten Sragen. Kelompok-kelompok usaha tersebut mendapat bimbingan, pendampingan dan bantuan modal dari Pemerintah melalui Instansi-Instansi terkait agar mampu berkembang dan mandiri menjadi industri rumah tangga, mampu menghasilkan produk yang higienis dan bermutu dalam tampilan kemasan yang menarik dan praktis. Salah satu kelompok usaha pengrajin emping garut di Kecamatan Gesi sudah mendapatkan sertifikasi dari Sucofindo. Pemasaran emping garut produksi Kabupaten Sragen sebagian besar terserap oleh konsumen lokal wilayah Sragen dan dipasarkan ke daerah Ngawi, Madiun, Solo, Semarang dan Yogyakarta.

Emping garut dibuat dari umbi garut berumur 6-7 bulan, pada saat kadar air umbi rendah sehingga tidak lengket saat diolah mejadi emping. Emping garut mempunyai keunggulan sebagai pengganti emping melinjo karena tidak mengandung purin yang menyebabkan asam urat tinggi, kandungan serat tinggi, kandungan kolesterol sangat rendah dan harga lebih murah. Teknologi pembuatan emping garut

(8)

108

sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh ibu-ibu di pedesaan, untuk mengisi waktu luang dan sekaligus menambah pendapatan keluarga. Proses pembuatan sebagai berikut (1) Sortasi garut dan kumpulkan yang berdiameter 2-3 cm, (2) Kupas kulitnya dan dicuci, (3) Potong-potong setebal ± 1 cm, (4) Rebus irisan garut dan tambahkan bumbu (1,5% garam dan 2% bawang putih), (5) Setelah masak, angkat dan tiriskan, (6) Cetak dengan cara pipihkan di atas lembaran plastik (seperti pada pembuatan emping melinjo), (7) Proses terakhir adalah proses pengeringan dgn menggunakan sinar matahari, setelah kering emping garut dikemas dan siap untuk dipasarkan.

Secara ekonomi pembuatan emping garut berdampak positif bagi masyarakat tani. Umbi garut yang dibuat emping memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga umbi basah Rp. 1.000 – Rp 1.500/kg dengan dibuat emping memiliki harga jual Rp. 13.000 - Rp. 15.000/kg. Kebutuhan umbi basah per 1 kg emping adalah 5 kg, dengan demikian sangat cocok dikembangkan sebagai industri rumah tangga sebagai upaya pemberdayaan rumah tangga tani. Setiap keluarga tani yang mengusahakan emping garut memiliki kapasitas kerja per hari 15-20 kg umbi basah untuk dibuat emping. Emping yang dihasilkan 3-4 kg (rendemen emping 20%). Nilai jual Rp. 60.000 dengan biaya produksi Rp. 10.000 jadi pendapatan bersih tiap rumah tangga per hari adalah Rp. 50.000. Hal ini dirasa sangat menguntungkan dari pada harus kerja di luar sebagai buruh bangunan atau pekerjaan lainnya (Muryati dan Fajar, 2007).

Tanaman garut mempunyai potensi sebagai penghasil pati/tepung. Tepung garut oleh pengrajin di Kabupaten Sragen biasa dimanfaatkan untuk campuran pembuatan bihun atau mie, juga sebagai bahan pembuatan kue-kue kecil dalam aneka kemasan yang menarik, selain itu juga menjadi bahan makanan tradisional seperti jenang garut dan kerupuk garut.

Pembuatan tepung garut secara sederhana sebagai berikut (1) umbi hasil panen dipilih yang sehat dan utuh kemudian dibersihkan, (2) umbi terpilih kemudian dirajang/dipotong-potong untuk mempermudah penggilingan, (3) Penggilingan dengan menggunakan ”batu giling” seperti halnya untuk menggiling rendaman kedelai bahan baku pembuatan tahu, (4) hasil penggilingan ditambah air hingga membentuk ”bubur” umbi garut, kemudian diperas dan disaring hingga menghasilkan larutan yang berisi ”tepung” dan ampas, (5) larutan hasil saringan kemudian diendapkan, hasil endapan dikeringkan hingga akhirnya menghasilkan tepung garut. Dengan cara ini hasil tepung yang didapatkan antara 15-22%, sedangkan kalau melalui pemarutan antara 10-15%. Ampas umbi garut ternyata sangat baik sebagai campuran pembuatan pakan ternak, khususnya untuk sapi, kambing ataupun sejenisnya (Suriawiria, 2007).

4. Kendala

Kendala peningkatan produksi garut di antaranya adalah sulitnya mendapatkan bibit dalam jumlah relatif banyak serta varietas yang cocok di daerah pengembangan produksi. Bibit yang digunakan umumnya adalah umbi atau anakan dari tanaman. Jumlah anakan tiap rumpun yang dapat dijadikan sebagai bibit relatif sedikit, sehingga akan mengalami kesulitan bila akan membudidayakan tanaman garut dalam skala yang

(9)

109

luas. Jumlah anakan yang dapat digunakan sebagai bibit sekitar 5 anakan tiap rumpun. Di samping itu, bibit tanaman garut berupa anakan harus segera ditanam agar tidak mati. Bibit dari umbi garut dapat langsung ditanam di lahan budidaya, tetapi pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan bibit yang berasal dari anakan (Sutoro, 2012). Budidaya tanaman garut cukup lama yaitu umbi garut dapat dipanen pada umur 8 – 10 bulan sehingga tanaman garut umumnya hanya tanaman sampingan yang ditanam sebagai tanaman sela dipinggir lahan atau dibawah naungan pohon. Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman garut adalah hama ulat penggulung daun dengan ciri-cirinya daun yang terserang menggulung, karena ulat ini menggulung sejumlah daun sehingga dapat menghambat proses asimilasi yang akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan umbi garut dan penyakit akar.

5. Strategi Pengembangan Tanaman Garut

Arah strategi pengembangan garut di Kabupaten Sragen dapat dilaksanakan di lahan kering sebelah utara Bengawan Solo dengan memperhatikan sasaran atau peruntukannya (1) Pekarangan rumah sebagai penyangga ekonomi keluarga melalui pemanfaatannya dengan membangun kawasan sentra produksi suatu komoditas potensial spesifik lokasi sehingga apabila untuk mencukupi kebutuhan sendiri, garut dapat dikembangkan di pekarangan rumah, (2) untuk mencukupi kebutuhan industri rumah tangga dan industri skala sedang, garut dikembangkan sebagai tanaman sela di tegalan atau dibawah naungan tanaman kehutanan/perkebunan, dan (3) untuk mencukupi kebutuhan industri skala menengah dan besar maka tanaman garut dibudidayakan secara intensif di lahan kering/tegalan, (4) pengolahan umbi garut diarahkan untuk menghasilkan emping garut sebagai ciri khas produk lokal Kabupaten Sragen dan tepung garut untuk bahan baku industri.

Pengembangan garut di Kabupaten Sragen perlu ditangani lebih intensif mulai dari budidaya, pascapanen, pengolahan hasil panen, penganekaragaman produk, pengemasan hingga pemasarannya melalui program pembinaan, pendampingan, pinjaman modal usaha dan peralatan.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Ditinjau dari potensi lahan, potensi hasil, manfaat, harga dan ketersediaan teknologi budidaya dan pengolahan umbi garut serta pemasaran, tanaman garut memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis/agroindustri pedesaan dalam rangka penganekaragaman pangan dan meningkatkan pendapatan petani dan produktivitas lahan kering.

2. Strategi pengembangan budidaya tanaman garut sebaiknya disesuaikan dengan peruntukan penggunaan umbinya yaitu (1) untuk mencukupi kebutuhan keluarga, diusahakan dengan pemanfaatan pekarangan rumah, (2) untuk mencukupi kebutuhan industri rumah tangga dan industri sedang, budidaya garut dikembangkan di pekarangan rumah dan sebagai tanaman sela di tegalan, dan (3)

(10)

110

untuk mencukupi kebutuhan industri menengah dan besar maka tanaman garut dibudidayakan secara intensif di lahan kering/tegalan.

3. Pengembangan agribisnis/agroindustri garut sebaiknya ditujukan untuk menumbuhkan kembangkan kegiatan industri rumah tangga di pedesaan dalam mendukung penganekaragaman pangan berbahan baku lokal dan meningkatkan nilai tambah serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abun. 2005. Efek fermentasi ampas umbi garut (Maranta arundinacea Linn.) dengan kapang (Aspergillus niger) terhadap nilai kecernaan ransum ayam pedaging. Artikel ilmiah pada Fakultas Peternakan UNPAD

Arimbi, N.W., 1998. Pengembangan Tanaman Garut (Marantha arundinacea L.) dan Industri Kecil Olahannya Bertumpu pada Prakarsa Petani. Fakultas Pertanian Univ. Wangsa Manggala Yogyakarta.

Biro Pusat statistik (BPS) Kabupaten Sragen, 2012. Sragen dalam angka. Biro Pusat statistik Kabupaten Sragen

Cahyanto. 2012. Penguatan kearifan lokal sebagai solusi permasalahan ketahanan pangan nasional. Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies.

Djaafar T.F, S. Rahayu dan Sarjiman Karakteristik rimpang garut (Marantha arundinacea) pada berbagai umur panen dan produk olahannya. Prosiding Seminar Nasional Iptek Solusi Kemandirian Bangsa, Yogyakarta, 2-3 Agustus

2006. LIPI – BPTP Provinsi DI Yogyakarta – Fakultas Biologi UGM Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sragen, 2012. Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Sragen dalam angka tahun 2012. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sragen.

Herminiati A, dan A. Abbas, 2006. Pemanfaatan dekstrin dari pati garut sebagai bahan dasar makanan bagi penyandang autis. Prosiding Seminar Nasional Iptek Solusi Kemandirian Bangsa, Yogyakarta, 2-3 Agustus 2006. LIPI –

BPTP Provinsi DI Yogyakarta – Fakultas Biologi UGM Kay D.E. 1973. Root Crops, The Tropical Products. London: Institute, Foreign and

Common Wealth Office.

Marsono, Y. 2002. Indeks glisemik umbi-umbian. Agritech Vol 22 No. 1 Tahun 2002. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Marsono, Y., 2002. Indeks glisemik rimpang-rimpangan. Makalah Seminar

(11)

111

Nasional Industri Pangan, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Surabaya 10-11 Oktober 2002.

Muryati dan Fajar, 2007. Membuat Emping Garut. Tabloid Sinar Tani, 3 Oktober 2007 National Institute of Mental Health (NIMH), 1997. Autism. NIMH Publication No.

97-4023.

Puspowati SD. 2003. Analisis formulasi, mikrostruktur, daya cerna dan umur simpan biskuit garut instan untuk makanan sapihan. Tesis. PPs. IPB.

Rukmana R. 2000. Garut : Budidaya dan pasca panen. Yogyakarta : Kanisius.

Sitorus SR. 2004. Pembuatan biskuit untuk makanan sapihan dari pati garut (Maranta arundinaceae L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Suriawiria U, 2007. Tepung garut, alternatif pengganti, tepung terigu. utkampus.net, diakses tanggal 15 Mei 2013.

Susanty R. 2002. Kajian dekstrinasi pati garut dan gelatinisasi tepung terigu untuk pengembangan makanan pendamping air susu ibu dan makanan sapihan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sutoro, 2012. Penyediaan bibit untuk budi daya tanaman garut (Maranta arundinacea L.). Sinar Tani Edisi 3-9 Januari 2012 No.3476 Tahun XLIII.

Suyatno, 2010. Daftar komposisi bahan makanan (DKBM) Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Undip. suyatno.blog.undip.ac.id/2010/04/13/.

Truswell, A.S.,1992.Glycemic index of foods. Eur. J. Clin. Nutr., 46: 91-101.

Villamayor, F.G., and J. Jukema, 1995. Maranta arundinacea L. in Plant Resources of South-East Asia 9. Plants yielding non-seed carbohydrates.

Gambar

Gambar 1.  Penyebaran tanaman garut di Kabupaten Sragen tahun  2011
Gambar 3. Produktivitas umbi garut di Kabupaten Sragen periode 2005 – 2011
Tabel 2.  Perbandingan kandungan gizi tepung terigu dan garut (100 g)

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan persentase kenaikan kemampuan, baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen dapat dilihat dari selisih rata-ratanya. Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa:

Danang

Kondisi pembebanan awal adalah kondisi pembebanan pada saat gaya prategang mulai bekerja (ditransfer pada beton) dimana pada saat tersebut beban beban yang terjadi

Para guru SMA Negeri 1 Talang Kelapa dalam hal ini dituntut untuk tidak terjadi batasan-batasan komunikasi antar paraguru agar dapat memenuhi tujuan yang telah

Capaian sasaran strategis tahun 2013 ditunjukkan oleh capaian IKU dominan, “jumlah Sistem Informasi yang dimanfaatkan secara efektif” yang diukur dengan jumlah

(2) Penerapan fungsi evaluasi terhadap kegiatan dakwah masjid Agung Kendal yaitu dengan mempelajari segala bentuk kegiatan dakwah yang diselenggarakan di Masjid

Jika proses pendataan telah dilakukan maka akan diberikan kepada tim analis untuk mengetahui apakah data peserta tersebut aktif serta rencana dan manfaat yang diajukan dalam

Karakteristik termohidrolika reaktor TRIGA berbahan bakar silinder dan TRIGA Konversi Untuk memberikan ilustrasi mengenai perbedaan karakteristik termohidrolika reaktor