• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemampuan Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Kemampuan Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Lampung"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Departemen Pendidikan Nasional

Fakultas Ekonomi Universitas Lampung

Jl. Soematri Brojonegoro No. 1

Gedung Meneng Bandar Lampung

Analisis Kemampuan Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Lampung

( Skripsi )

(2)

Oleh

Nama : Charles Djohan P

NPM : 0311031045

Jurusan : Akutansi

Pembimbing 1 : Saring Suhendro,S.E.,M.Si.

(3)

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

2010     1. PENDAHULUAN

(5)

1.1. Latar Belakang

Organisasi pemerintah merupakan salah satu organisasi non profit yang bertujuan

meningkatkan layanan kepada masyarakat umum yang dapat berupa peningkatan keamanan, peningkatan mutu pendidikan dan peningkatan mutu kesehatan.

Selain itu, organisasi non profit ini merupakan organisasi yang orientasi utamanya bukan untuk mencari laba.

Apabila dibandingkan dengan organisasi lain, organisasi pemerintahan memiliki karakteristik tersendiri yang lebih terkesan sebagai lembaga politik daripada lembaga ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana bentuk bentuk kelembagaan lainnya lembaga atau organisasi pemerintahan juga memiliki aspek sebagai lembaga ekonomi. Di satu sisi, lembaga pemerintahan melakukan berbagai bentuk pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan disisi lain lembaga ini harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh penghasilan guna menutupi seluruh biaya tersebut.

Dalam melakukan semua aktivitas ekonomi, lembaga pemerintah juga membutuhkan jasa akuntansi, baik untuk meningkatkan mutu pengawasannya,

(6)

pengambilan keputusan-keputusan ekonomi.Akan tetapi, karena sifat lembaga pemerintahan berbeda dari sifat perusahaan yang bertujuan mencari laba, maka sifat akuntansi pemerintah berbeda dari sifat akuntansi perusahaan, untuk menjalankan akuntansi pemerintahan maka pemerintah harus mempunyai rencana yang matang untuk suatu tujuan yang dicita-citakan sesuai dengan penerapan akuntansi pemerintahan di Indonesia.

Ditetapkannya UU No.5 tahun 1974 jo UU No.25 tahun 1999 jo UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta UU No.32 tahun1956 jo Undang-Undang No.25 tahun 1999 jo Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan daerah dan pusat secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,

pemerataan dan keadilan sosial.

Menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

(7)

mengenai ketidakpastian daerah di berbagai bidang untuk melaksanakan kedua

Undang-Undang tersebut, otonomi daerah diyakini merupakan jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah, mengantikan sistem pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunan didaerah dan semakin besarnya ketimpangan antar daerah.

Didalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi administrasi dan desentralisasi ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi kewajiban daerah untuk mengelolanya secara efisien dan efektif, sehingga dengan demikian akan terjadi kemampuan/kemandirian suatu daerah untuk melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut adalah desentralisasi fiskal.

Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi pelaksanaan otonomi daerah dan menandai dimulainya babak baru dalam pembangunan daerah, serta mendorong masyarakatnya dalam mengelola sumber daya atau segenap potensi yang dimiliki untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah.

Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan

semakin besar sehingga tanggung jawab yang diemban juga akan bertambah banyak. Implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintah yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah dapat menjadi suatu berkah bagi daerah. Namun disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin bertambah pula urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus disiapkan antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, serta sarana dan

(8)

mengetahui secara nyata kemampuan daerah, yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat mengali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat.

Kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan pelaksanaan tugas pembangunan, serta meningkatkan pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Disisi lain dalam Undang-Undang No.33 tahun 2004 pasal 1 ayat 17 mendefinisikan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah daerah.

Salah satu ciri utama daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya dengan tingkat proporsi ketergantungan kepada pemerintah pusat yang semakin mengecil dan diharapkan bahwa pendapatan asli daerah harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah.

(9)

satu tolak ukur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam arti semakin besar suatu daerah memperoleh dan menghimpun pendapatan asli daerah maka akan semakin besar pula tersedia jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggarakan otonomi daerah.

Salah satu kriteria penting untuk mangetahui secara nyata kemampuan daerah mengatur dan mengurus rumah tangga adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor penting untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dalam melaksanakan otonominya. Disisi lain sangat disadari bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki potensi yang berbeda, karena adanya perbedaan potensi sumber daya alam, tingkat ekonomi dan karakteristik sosial.

Pada tahun 2007 Sangjaya melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah penerapan desentralisasi fiskal pada kota Bandar Lampung. Penelitian tersebut menggunakan derajat desentralisasi sebagai ukuran kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dengan sampel laporan realisasi anggaran Kota Bandar Lampung sebelum dan sesudah penetapan desentralisasi fiskal tahun 1998-2003. Hasil

penelitian tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah penerapan desentralisasi fiskal.

Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :

“ Analisis Kemampuan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi lampung “

(10)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah perbedaan tingkat kemandirian daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten/kota di propinsi lampung yang meliputi :

a) Apakah terdapat perbedaan derajat desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung?

b) Apakah terdapat perbedaan kapasitas fiskal sebelum dan sesudah Otonomi daerah Pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung?

c) Apakah terdapat perbedaan kebutuhan fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di propinsi Lampung?

1.3. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai berikut :

a) Penelitian dilakukan pada pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung selama 14 tahun, yaitu dari tahun 1994 sampai tahun 2007.

(11)

1994-2007.

c) Penelitian dilakukan hanya pada Kabupaten/Kota yang telah berdiri sebelum otonomi daerah yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara dan Kota Bandar Lampung.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

a) Mengetahui derajat desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten / kota di propinsi Lampung.

b) Mengetahui kapasitas fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten / kota di propinsi Lampung.

.c) Mengetahui kebutuhan fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten / kota di propinsi Lampung.

(12)

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

a) Bagi instansi pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung dapat menjadi bahan

masukan bagi perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan pembangunan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan otonomi daerah.

b) Bagi semua elemen masyarakat yang ingin mengetahui kinerja keuangan pemerintah

Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung dapat berperan aktif dengan ikut serta mengawasi kinerja instansi pemerintah daerah sebagai perwujudan otonomi daerah yang demokratis.

c) Bagi penelitian selanjutnya: Dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

penelitian-penelitian sejenis yang telah ada yang dapat dijadikan perbandingan dengan penelitian-penelitian berikutnya.

(13)

(14)

(15)

 

II. LANDASAN TEORI

2.1. ` Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah.

(16)

Reformasi keuangan daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang menggantikan UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok –Pokok Pemerintah Daerah dan UU No 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara dan

Daerah-Daerah yang mengurusi rumah tangganya sendiri. Kemudian pada tahun 2004 UU No 22 tahun 1999 diganti dengan UU No.32 tahun 2004, serta UU No. 25 tahun 1999 diganti dengan UU No.33 tahun 2004.

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut UU No.33 tahun 2004 merupakan suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelanggaraan Desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah serta besaran pendanaan

penyelenggaraan Dekonsetrasi dan Tugas Pembantuan. Dengan adanya UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka Pemerintah

Daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tanggannya sendiri. Menurut Mardiasmo (2002 ),

otonomi daerah merupakan langkah-langkah strategis bangsa Indonesia untuk memperkuat basis perekonomian daerah.

Pada sisi lain, pelaksanaan Desentralisasi sebenarnya menimbulkan masalah, karena daerah tidak mungkin diberi wewenang untuk mengelola urusan yang semula dilakukan oleh

Pemerintah Pusat tanpa ada perhatian dari Pemerintah Pusat berkaitan dengan dananya. Untuk itu pemerintah memberikan dana perimbangan berupa dana bagi hasil pajak dan bukan

(17)

berupa PAD dan lain-lain pendapatan yang sah. Kesemuanya itu ditunjukan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Sudrajat, 2008).

Kebijakan desentralisasi ditunjukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (UU.No 32 tahun 2004). Tuntutan akan mengubah struktur belanja semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah. Daerah- daerah yang kapasitas fiskalnya rendah

,cenderung mengalami tekanan fiskal yang kuat. Rendahnya kapasitas fiskal ini mengindikasikan kemandirian daerah yang rendah.

Daerah dituntut untuk mengoptimalisasi potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya dengan memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sektor-sektor yang produktif. Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik, pergeseran ini ditunjukan untuk meningkatkan investasi modal.

Semakin tinggi investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap

pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD ( Mardiasmo, 2002).

Kesinambungan pembangunan daerah relatif lebih terjamin ketika publik memberikan tingkat dukungan yang tinggi. Perubahan alokasi belanja ini juga ditunjukan untuk pembangunan berbagai aktifitas modal. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas ini akan berujung pada peningkatan kemandirian daerah.

(18)

Setelah diberlakukannya UU No.33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu tentang penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan mengali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan

keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah serta antar propinsi dan kabupaten/kota yang

merupakan prasyarat sistem pemerintahan daerah.

2.2. APBD Sebelum Pemberlakuan Otonomi Daerah

Sejalan dengan semakin derasnya pemintaan daerah untuk pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, pemerintah mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 serta UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerinah Pusat dan Daerah sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 1956. Dalam UU tersebut dijelaskan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan di daerah. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25 tahun 1999. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah.

Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU No. 25 tahun 1999 terdiri dari:

(19)

2.2.1. Pendapatan Asli Daerah

PAD menurut UU No. 25 Tahun 1999 adalah penerimaan yang diterima daerah dari

sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah menurut UU No. 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1. Hasil pajak daerah. 2. Hasil retribusi daerah.

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yag dipisahkan.

4. Lain-lain pendapatan yang sah.

2.2.1.1 Pajak Daerah

Berdasarkan UU.No 34 tahun 2000 yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Adapun jenis-jenis pajak daerah menurut UU No. 34 tahun 2000 adalah sebagai berikut :

a. Jenis Pajak Daerah yang menjadi kewenangan Propinsi

(20)

Tabel 1. Jenis Pajak yang menjadi kewenangan propinsi beserta tarif tertinggi No Jenis Pajak Tarif Tertinggi 1.

Pajak Kendaraan Bermotor 5% 2.

Pajak BBN Kendaraan Bermotor

10%

(21)

Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor

5%

Sumber : UU No. 34 Tahun 2000 Pasal 3 ayat 1

b. Jenis Pajak Daerah yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota

Tabel 2. Jenis Pajak yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota beserta tarif tertinggi No Jenis Pajak Tarif Tertinggi 1.

Pajak Hotel dan Restoran

10%

(22)

2. Pajak Hiburan 35% 3. Pajak Reklame 25% 4.

Pajak Penerangan jalan 10% 5.

(23)

20%

6.

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C 20% 7. Pajak Parkir 20%

Sumber : UU No.34 Tahun 2000 Pasal 3 ayat 1

2.2.1.2 Retribusi Daerah

Berdasarkan UU No. 34 tahun 2000, Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau perizinan tertentu yang khusus disediakan dan diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

(24)

Retribusi terbagi atas tiga golongan besar :

a. Retribusi jasa umum

Retribusi jasa umum yaitu jasa yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh pribadi atau badan. Contoh : Retribusi pelayanan kesehatan, Retribusi pasar, dll.

b. Retribusi jasa usaha

Retribusi jasa usaha yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. C ontoh : Retribusi terminal, Retribusi penyedot kakus, Retribusi pengolahan limbah cair.

c. Retribusi perizinan tertentu

Yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawan kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, saran, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umm dan menjaga kelestarian lingkungan.

Contoh : Retribusi izin mendirikan bangunan, Retribusi izin proyek, dll.

(25)

2.2.1.3 Perusahaan Daerah dan Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya Yang Dipisahkan

Dalam usaha menggali sumber pendapatan daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Salah satu sumber pendapatan asli daerah yang penting dan perlu mendapatkan perhatian khusus adalah perusahaan daerah. Perusahaan daerah apabila dikelola dengan profesional dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah yang dapat diandalkan di masa yang akan datang.

2.2.1.4 Lain-lain PAD yang sah

Pendapatan asli daerah tidak sepenuhnya memiliki kesamaan, Terdapat pula sumber-sumber pendapatan lainnya. Yang termasuk dalam jenis lain-lain PAD yang sah antara lain :

1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan 2. Jasa Giro

3. Pendapatan bunga

4. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

5. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang / jasa oleh daerah.

2.2.2. Dana Perimbangan

Dana perimbangan menurut UU No.25 tahun 1999 adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBD yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

(26)

Dana perimbangan menurut UU tersebut terdiri dari :

1. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.

2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi Khusus

2.2.2.1. Bagian Daerah Dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, dan

Penerimaan Dari Sumber Daya Alam

Pemerintah mendapat bagian dari pendapatan Negara dari pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan atas tanah dan bangunan sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1999. Besaran proporsi tersebut sebagaimana terdapat dalam tabel berikut :

(27)

No Jenis Proporsi Daerah Proporsi Pusat 1.

Pajak Bumi dan Bangunan 90% 10% 2.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(28)

20%

Sumber : UU No. 24 tahun 1999 pasal 6 ayat 2 & 3

Pendapatan yang diperoleh pemerintah pusat dari hasil bagi pajak bumi dan bangunan

selanjutnya dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota. Selain itu pemerintah daerah juga mendapat proporsi dan eksplorasi sumber daya alam.

Besaran proporsi tersebut yaitu :

Tabel 4. Proporsi dari eksplorasi sumber daya alam

No.

Jenis Sumber Daya Alam

Proporsi Daerah

Proporsi Pusat

(29)

1.

Hutan, Pertambangan Umum dan Perikanan 80% 20% 2. Minyak Bumi 15% 85% 3. Gas alam 30%

(30)

70%

Sumber : UU No. 25 Tahun 1999 Pasal 6 ayat 5 & 6

2.2.2.2 Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Pasal 1 ayat 18 UU No. 25 Tahun 1999). Menurut UU No. 25 Tahun 1999 Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari

penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dari 25% tersebut 10% dialokasikan untuk daerah propinsi dan 90% dialokasikan untuk daerah kabupaten/kota. Besarnya alokasi untuk masing-masing daerah ditetapkan berdasarkan :

1. Kebutuhan wilayah otonomi daerah 2. Potensi ekonomi daerah

2.2.2.3 Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yag berasal dari APBD, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Kebutuhan tertentu yang dimaksud adalah :

(31)

2.2.3. Pinjaman Daerah

Untuk membiayai sebagian anggarannya pemerintah daerah melakukan pinjaman daerah ke dalam negeri dan sumber lainnya. Namun, tidak diiizinkan melakukan pinjaman langsung ke luar negeri, pinjaman luar negeri yang dilakukan daerah harus melalui persetujuan pemerintah pusat. Pinjaman jangka panjang dapat pula dilakukan guna membiayai pembangunan

prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali, serta menghasilkan manfaat bagi masyarakat. Sedangkan pinjaman jangka pendek dilakukan untuk pengeturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah

2.2.4. Lain-lain Pendapatan Daerah

Dalam pembiayaan pembangunan selain menggunakan dana desentralisasi, pemerintah daerah juga mendapat bantuan pembiayaan dari pusat.

Jenis-jenis pembayaran itu antara lain :

a. Pembiayaan dari dana dekonsentrasi.

b. Pembiayaan dari dana tugas pembantuan.

(32)

Menurut undang-undang Republik Indonesia Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

menjelaskan untuk menyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah serta antar propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat sistem pemerintah daerah. PAD merupakan suatu pendapatan yang digali murni dari masing-masing daerah, sebagai sumber keuangan daerah yang digunakan untuk membiayai pengadaan pembelian dan pemeliharaan sarana dan

prasarana pembangunan daerah yang tercermin dalam anggaran pembangunan. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan

Pemerintah Daerah Pasal 5 penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri dari atas pendapatan daerah dan pembiayaan, dimana sumber pendapatan daerah dalam

pelaksanaan desentralisasi adalah : 1. PAD. 2. Dana Perimbangan. 3. Pendapatan lain-lain.

Sedangkan sumber pembiayaan terdiri dari :

1. Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). 2. Penerimaan pinjaman daerah.

3. Dana cadangan daerah.

4. Hasil Penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(33)

PAD adalah salah satu sumber yang harus selalu dan terus menerus dipacu pertumbuhannya, karena PAD merupakan indikator penting untuk memenuhi tingkat kemandirian pemerintah di bidang keuangan. Semakin tinggi peranan PAD terhadap APBD maka semakin berhasil usaha pemerintah daerah dalam membiayai penyelanggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. PAD menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa sumber PAD terdiri atas :

2.3.1.1. Pajak daerah

Menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 1 ayat 6 adalah pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak terdiri dari :

a) Jenis pajak propinsi

1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.

2. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.

3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.

(34)

4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan.

Tabel 5. Jenis pajak yang menjadi kewenangan propinsi beserta tarif tertinggi No. Jenis Pajak Tarif Tertinggi 1.

Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air 5% 2.

Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air

(35)

3.

Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5% 4.

Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah

20%

Sumber : UU No. 34 tahun 2000.

b) Jenis pajak kabupaten/kota

1. Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel.

2. Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan restoran.

3. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.

(36)

4. Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.

5. Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah tersebut tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh

pemerintah daerah.

6. Pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

7. Pajak perpakiran adalah pajak yang dikenakan atas penyelanggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.

Tabel 6. Jenis pajak yang menjadi kewenangan kabupaten/kota beserta tarif tertinggi. No. Jenis Pajak Tarif Tertinggi

(37)

1. Pajak hotel 10% 2. Pajak restoran 10% 3. Pajak hiburan 35% 4. Pajak reklame

(38)

25%

5.

Pajak penerangan jalan 10% 6.

Pajak pengambilan bahan galian golongan C 20% 7. Pajak perpakiran 20%

(39)

2.3.1.2. Retribusi daerah

Jenis-jenis retribusi daerah menurut UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, dapat dikelompokan menjadi tiga jenis retribusi daerah yaitu :

a) Retribusi jasa umum adalah retribusi atau jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis-jenis retribusi jasa umum terdiri dari :

1. Retribusi pelayanan kesehatan.

2. Retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan.

3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil.

4. Retribusi pelayanan pemakaman dan panguburan mayat.

5. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum.

6. Retribusi pelayanan pasar.

(40)

7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor.

8. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran.

9. Retribusi penggantian biaya cetak peta.

10. Retribusi pengujian kapal perikanan.

b) Retribusi jasa usaha adalah retribusi jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh swasta.

Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah sebagai berikut :

1. Retribusi pemakaian kekayaan daerah.

2. Retribusi pasar grosir dan pertokoan.

3. Retribusi tempat pelanggan.

4. Retribusi terminal.

5. Retribusi tempat khusus parkir.

(41)

7. Retribusi penyedotan kakus.

8. Retribusi rumah potong hewan.

9. Retribusi pelayanan pelabuhan kapal.

10. Retribusi tempat rekreasi dan olahraga.

11. Retribusi pengolahan limbah cair.

12. Retribusi penjualan produksi usaha daerah.

c) Retribusi perizinan tertentu adalah retibusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan. Pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atau kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi

kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari :

1. Retribusi izin mendirikan bangunan.

2. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol.

3. Retribusi izin gangguan.

(42)

 

2.3.1.3.Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah

Bagian laba badan usaha milik daerah ialah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah (BUMD), sedangkan perusahaan derah ialah perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.

2.3.1.4. Lain-lain PAD yang sah

Lain-lain PAD yang sah adalah penerimaan selain yag disebutkan di atas tetapi sah menurut hukum perundang-undangan. Penerimaan ini mencakup hasil penjulan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan, penerimaan sewarumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik daerah, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, dan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang atau jasa oleh daerah, serta penerimaan lain-lain yang sah menurut undang-undang.

2.3.2. Dana perimbangan

Terdapat tiga fungsi utama pemerintah dalam pembangunan yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Lahirnya UU otonomi daerah merupakan perwujudan dari peranan pemerintah dala

(43)

administrasi pemerintahan dan pembangunan (Halim,2004). Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yag dialokasikan kepada daerah untuk menandai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari :

2.3.2.1. Dana Bagi Hasil

Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk menandai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi, dana bagi hasil terdiri dari :

a) Dana bagi hasil pajak (BHP), yang meliputi bagi hasil PBB, bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB), PPh pasal 25 dan 29 wajib pajak orang ribadi dalam negeri dan PPh pasal 21.

Tabel 7. Proporsi bagi hasil PBB dan BPHTB No. Proporsi PBB

(44)

BPHTB 1. 2. Pusat Daerah 1. Provinsi 2. Kabupaten/Kota penghasil 3. Seluruh Kabupaten/Kota 10% 90% 16,2% 64,8%

(45)

10% 20% 80% 16% 64%   20%   d. biaya pemungutan 9%

(46)

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004

Tabel 8. Proporsi bagi hasil dari penerimaan PPh pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21

No. Proporsi PPh pasal 21 PPh pasal 25 PPh pasal 29 1. Pusat

(47)

80% 80% 80% 2. Daerah 1. Provinsi 2. Kabupaten/Kota 20% 40% 60% 20% 40% 60%

(48)

20% 40% 60%

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004

   

b) Bagi hasil sumber daya alam, yang meliputi sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas alam, dan panas bumi.

No. Proporsi Sektor

(49)

Pertam-banganumum Perikan-an Minyak Bumi Gas Alam Panas Bumi   1. Pusat

(50)

20% 20% 20% 84,5% 69,5% 20%   2. Daerah:    

(51)

        3. a. Provinsi 16% 16% 3% 6%

(52)

16%   4. b. Kabupaten /Kota penghasil c. Seluruh kabupaten/Kota 64% 64%

(53)

80% 6% 6% 12%

(54)

12% 32% 32%   5. Anggaran Pendidikan

(55)

0,5% 0,5%  

Sumber : UU No. 33 tahun 2004

   

2.3.2.2. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai pengeluarannya dalam rangka desentralisasi. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN.

 

(56)

2.3.2.3. Dana Alokasi khusus (DAK)

Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan

khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK.

 

2.3.3. Lain-lain pendapatan yang sah

Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah pasal 164 ayat 1, lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dan darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah.

Menurut UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah selain sumber-sumber pendapatan daerah diatas, penerimaan daerah dalam pelaksaan desentralisasi juga terdiri dari sumber-sumber pembiayaan daerah.

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi :

(57)

SILPA adalah selisih lebih antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode laporan

2.3.5. Penerimaan pinjaman daerah

Pinjaman atau kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yag penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah.

2.3.6. Pencairan dana cadangan daerah

Dana cadangan adalah dana yang disisihkan umtuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pencairan dana cadangan dimaksudkan untuk menutup defisit anggaran pemerintah daerah.

2.3.7. Hasil Penjualan kekayaan daerah yag dipisahkan.

Estimasi penerimaan penjualan aset yang dipisahkan adalah perkiraan untuk membukukan anggaran penerimaan pembiayaan yang berasal dari penjualan aset daerah yang dipisahkan, misalnya penyertaan modal pemerintah dan hasil privatisasi perusahaan daerah, yang akan digunakan untuk menutup defisit anggaran selama tahun periode berjalan sesuai dengan peraturan daerah APBD.

(58)

2.4. Hipotesis

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan menganalisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Hasil analisis ini digunakan untuk tolok ukur antara lain :

a) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

b) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

c) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

d) Mengukur kontribusi masing masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

e) Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.

f) Mengukur derajat fiskal dan derajat kemandirian daerah dalam upaya fiskal suatu daerah.

 

(59)

transparan, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntasian dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Halim, 2002:127-130).

 

Analisis rasio keuangan APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan pemerintah daerah lain yang terdekat, ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

 

Kinerja atau kemampuan keuangan pemerintah daerah di dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat analisis kinerja keuangan daerah yang didasarkan pada konsep Hikmah dalam Halim (2004), dimana di dalam pengukurannya digunakan alat analisis diantaranya derajat desentralisasi fiskal, kapasitas fiskal, dan kebutuhan fiskal.

 

Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

Ha.1 : Terdapat perbedaan derajat desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten dan kota di propinsi Lampung.

Ha.2 : terdapat perbedaan kapasitas fiskal daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten dan kota di propinsi Lampung.

(60)

Ha.3 : Terdapat perbedaan kebutuhan fiskal daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah pada kabupaten dan kota di propinsi lampung

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Dalam usaha mendapatkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder dimana data yang digunakan adalah Laporan Realisasi APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung. Propinsi Lampung pada saat sebelum otonomi daerah yaitu sampai dengan tahun 2000 memiliki 5 kabupaten/kota yang memiliki laporan APBD dari tahun 1994 yaitu Kota Bandar lampung, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten

(61)

tahun 1994-2000 dan tujuh tahun setelah pemberlakuan otonomi daerah yaitu dari tahun 2000-2007. 3.2. Sampel Penelitian

Untuk mengetahui tingkat kemandirian daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah, dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sampel Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota di propinsi Lampung. Untuk kota, peneliti mengambil sampel Laporan Realisasi APBD pemerintah kota Bandar Lampung. Sedangkan untuk

kabupaten, peneliti mengambil sampel Laporan Realisasi APBD kabupaten Lampung Utara, Laporan Realisasi APBD Kabupaten Lampung Tengah, Laporan Realisasi APBD kabupaten Lampung Barat, dan Laporan Realisasi APBD kabupaten Lampung Selatan.

Pemberlakuan otonomi daerah dimulai sejak dikeluarkan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat dan Daerah dan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang pemerintah Daerah dan dijalankan mulai tahun anggaran 2001. Oleh karena itu, peneliti mengambil sampel realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tujuh tahun sebelum dan tujuh tahun setelah pemberlakuan otonomi daerah yaitu sejak tahun 1994 hingga tahun 2007.

3.3. Definisi operasional

Dalam penellitian ini pengukuran tingkat kemandirian daerah dilakukan dengan menggunakan tiga alat analisi yang meliputi :

(62)

a) Derajat desentralisasi fiskal (degree of fiskal)

Derajat desentralisasi fiskal adalah tingkat kemandirian daerah untuk membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa

menggantungkan diri dengan pemerintah pusat.

b) Kapasitas fiskal (fiscal capacity)

Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Semakin tinggi rata-rata kapasitas fiskal suatu daerah maka kemampuan daerah dalam mendanai kebutuhannya semakin memadai.

c) Kebutuhan fiskal

Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.

(63)

3.4.1. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, analisis ini didukung dengan studi literatur atau

kepustakaan berdasarkan pengalaman kajian pustaka berupa data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami.

3.4.2. Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif didasarkan pada analisis variabel–variabel yang dapat dijelaskan secara terukur dengan rumus atau alat analisis pasti. Menurut Halim (2004) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dan mengukur tingkat kemandirian daerah dapat dihitung dengan rumus-rum us rasio keuangan daerah, yaitu :

 

a). Desentralisasi fiskal =

Untuk dapat mengukur kinerja keuangan Pemerintah daerah maka kita perlu membandingkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan total penerimaan daerah (TPD). Dari perhitungan ini dapat kita lihat seberapa besar kemampuan daerah dibanding dengan total penerimaan daerah tersebut.

(64)

  b). Kapasitas Fiskal =

Penjumlahan PAD dan BHPBP disebut sebagai Kapasitas fiskal daerah. Untuk mengukur kemandirian daerah perlu diketahui seberapa besar kapasitas fiskal daerah dapat membiayai total pengeluaran daerah.

c). Kebutuhan Fiskal = PAD

TKD

Untuk mengukur kemandirian daerah maka perlu kita ketahui seberapa besar kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai total pengeluaran daerah (TKD).

(65)

Dimana :

PAD = Pendapatan Asli Daerah

TPD = Total penerimaan Daerah

TKD = Total Pengeluaran Daerah

BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasar peraturan daerah sesuai dengan perundangan undangan yang berlaku. Bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah proporsi yang menjadi hak daerah hasil dari pembagian pajak dan sumber daya lain yang dikelola oleh pemerintah pusat yang ketentuannya diatur undang-undang. Total penerimaan daerah adalah jumlah total semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai bersih dalam periode anggaran yang

bersangkutan. Total pengeluaran daerah adalah jumlah total kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan asset bersih dalam periode bersangkutan

3.4.3. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah suatu bentuk pengujian tentang kenormalan distribusi data yang bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diambil adalah data yang

(66)

mengikuti bentuk distribusi normal dimana datanya memusat pada nilai rata-rata dan median. Alat uji asumsi yang digunakan adalah

One Sample Kolmogrov-Smirnov Test

. Apabila data yang diuji berdistribusi normal, maka pengujian hipotesa menggunakan alat uji statistik parametrik yaitu uji t berpasangan (

paired sample t-test

). Sedangkan apabila data berdistribusi tidak normal, maka pengujian hipotesa menggunakan alat uji statistik non parametrik yaitu uji peringkat bertanda wilcoxon (

wilcoxon signed ranks test

). Apabila data tidak normal maka teknik statistik parametrik tidak dapat digunakan untuk alat analisis, Sugiono (2003) dalam Yudisianta (2007).

Adapun pedoman pengambilan keputusan kenormalan distribusi adalah sebagai berikut :

a) Jika signifikansi atau nilai probabilitas (α) < 0,05, maka distribusi tidak normal.

b) Jika signifikansi atau nilai probabilitas (α) > 0,05, maka distribusi normal.

(67)

Dari alat analisis di atas akan terlihat seberapa besar kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dalam membiayai pembangunan di daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah

Secara umum semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi

kemampuan daerah untuk membiayai aktivitasnya sendiri akan menunjukan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai

kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

Untuk melakukan pengujian hipotesis akan dilakukan dengan uji t berpasangan (paired sample

t test ) dengan

menggunakan program SPSS versi 16.

Pengujian hipotesis menggunakan tingkat keyakinan 95 % dan tingkat kesalahan analisis ( α ) 5%.

Uji t berpasangan merupakan salah satu dari statistik parametrik maka sebelum melakukan uji t perlu dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data terdistribusi secara normal atau tidak.

(68)

rata-rata sebelum berbeda dengan sesudah ataukah tidak, sehingga daerah kritis penelitian ini

adalah t <- t α/2 dan t > t α/2. Untu

k menguji signifikansi yaitu dengan membandingkan nilai t di tabel, jika t hitung lebih besar dari t di tabel maka signifikan.

Dalam pengujian ini kriteria penerimaan/penolakan hipotesis adalah :

Ha diterima jika t < - tα/2 atau t > tα/2 Ha ditolak jika - tα/2 < t < tα/2 t : t hitung tα/2 : t tabel

Cara lain yang dapat digunakan adalah melihat nilai probabilitas data. Hasil pengujian ini akan menunjukan diterima atau ditolaknya Ha apabila :

P Value/2 ≤ 0.025, maka Ha diterima

P Value/2≥ 0.025, maka Ha ditolak.

(69)

   

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai perbedaan tingkat kemandirian daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung, maka simpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

 

a. Tidak terdapat perbedaan derajat desentralisasi fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung. Hal ini disebabkan karena sebelum dan sesudah otonomi daerah , BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) masih mengalami kenaikan yang cukup besar dibanding dengan PAD kabupaten/kota masing-masing,

Sehingga penerimaan dari pemerintah pusat pada kabupaten/kota di propinsi Lampung mengalami peningkatan yang lebih besar daripada penerimaan yang berasal dari PAD masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa kabupaten/kota masih bergantung kepada pemerintah pusat. Masih tingginya transfer dana dari pusat justru menyebabkan rendahnya inisiatif pemda untuk meningkatkan PAD (Halim,2004).

(70)

   

b. Tidak terdapat perbedaan kapasitas fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung.Untuk sebagian kabupaten hipotesis alternatif kedua diterima yaitu pada kabupaten Lampung Selatan dan kabupaten Lampung Tengah hal ini menandakan bahwa otonomi daerah telah berjalan dengan cukup baik di kedua daerah tersebut hal ini dibuktikan dengan terdapat kenaikan yang signifikan sebelum dan sesudah otonomi daerah yang dibuktikan dengan rasio kapasitas fiskal daerah yang semakin tinggi. Secara rata-rata terdapat peningkatan kapasitas fiskal Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung sebelum dan sesudah otonomi daerah, namun bila dilihat

dari perkembangan per tahunnya terlihat bahwa perbedaan kapasitas fiskal Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung tidak terlalu besar dan

signifikan. Menurut Haryati (2006), tidak adanya perbedaan kapasitas fiskal yang signifikan lebih disebabkan karena daerah belum siap dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Selain itu, daerah belum menggali sumber-sumber keuangan daerah yang ada secara maksimal, sehingga daerah masih tergantung pada pemerintah pusat, hal ini dapat dilihat dari sumbangan daerahnya yang selalu naik.

 

c. Tidak terdapat perbedaan kebutuhan fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung.Tidak terdapatnya perbedaan kebutuhan fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah otonomi daerah disebabkan belanja pelayanan publik tidak mengalami kenaikan yang cukup berarti sehingga dalam melaksankan aktivitas pelayan publik masih belum dilaksanakan dengan baik. Menurut Sangjaya(2007), peningkatan kebutuhan fiskal sesudah otonomi daerah lebih dikarenakan terdapat beberapa kewenangan dan kebutuhan daerah yang sebelum otonomi daerah ditangani oleh pemerintah pusat, setelah otonomi daerah harus ditangani oleh pemerintah daerah, seperti pengalihan gaji pegawai negeri yang pada saat sebelum otonomi daerah dibebankan oleh APBD, sedangkan belanja layanan publik pemerintah daerah cenderung tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini mengindikasikan bahwa sesudah otonomi daerah, pemerintah daerah masih belum bisa

(71)

5.2. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain :

a. Dalam memperoleh data, sampel yang dambil hanya pada kabupaten/kota yang telah berdiri sebelum otonomi daerah yaitu 1 kota dan 4 kabupaten, mengingat berjalannya waktu saat ini di propinsi Lampung setelah otonomi daerah terjadi pemekaran sehingga sudah terdapat 2 kota dan 12 kabupaten sehingga dalam mengambil sampel keseluruhan mengalami keterbatasan.

b. Sedikitnya teori yang dapat dijadikan bahan acuan untuk memperkuat hasil-hasil yang didapatkan dari penelitian ini.

c. Masih sedikit penelitian yang membahas tentang konsep ini dalam konteks pemerintahan khususnya tentang rasio kemandirian daerah, sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam mencari jurnal-jurnal penelitian dan literatur yang membahas tentang konsep tersebut dalam konteks pemerintahan.

5.3. SARAN

a. Pemerintah kebupaten/kota diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada pemerintah

pusat, dan mam

pu meningkatkan kapasitas fiskal daerah

dengan meningkatkan sumber-sumber keuangan daerah, serta perlu dilakukan manajemen pengeluaran daerah secara komprehensif untuk mengatur kebutuhan fiskal daerah, salah satunya yaitu dengan cara

membuat standar biaya dan pemerintah daerah seharusnya menguji belanja dan biaya-biaya yang terjadi sehingga belanja yang tidak penting dapat dihindari.

(72)

dengan memperluas sampel dan menggunakan variabel yang berbeda diharapkan dapat memperkaya penelitian sektor publik sehingga dapat mengembangkan akuntansi sektor publik lebih baik lagi.

(73)

(74)

  DAFTAR PUSTAKA

Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar. Erlangga.

(75)

BPS. 2008. Statistika Keuangan Daerah Propinsi Lampung 2007. Bandar Lampung : Penerbit : BPS.

Ghozali,Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang

Halim,Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan daerah edisi revisi.

UPP UMP YKPN. Yogyakarta.

Haryati, Sri.2006. Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Kebijakan

Otonomi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1998-2000 dan 2001-2003.

Skripsi. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Universitas Islam Indonesia

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan manajemen Keuangan Daerah. Andi

(76)

Yogyakarta.

Landiyanto.2005.Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah.Cures working paper No. 05/01 Januari 2005

Republik Indonesia.2004 .Undang-undang No.32 Tentang Pemerintahan Daerah.

 

Republik Indonesia.2004. Undang-undang No.33 Tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Sangjaya,Beny. 2007. Analisis Perbedaan Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah sebelum

dan sesudah Penerapan Desentralisasi Fiskal . Skripsi. Jurusan Akuntansi. Universitas Lampung.

(77)

Sudrajat. 2008. Pengaruh PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah pada kabupaten dan kota di

propinsi lampung .Tesis-S2. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.   www.google.com

Yani, Ahmad.2008. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. P enerbit Rajawali Pers. Jakarta.

Yarnest. 2004 . Panduan Aplikasi Statistik,Dioma, Malang.

Yudisianta, Reza Dwi. 2007. Analisis Pengaruh Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kenerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Skripsi. Universitas brawijaya. Malang.

(78)

 

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pasal 157 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Dari analisa ini dapat dihasilkan dua macam indeks: Indeks kompetensi inti daerah untuk setiap sektor industri dan Indeks kriteria kompetensi inti daerah (untuk setiap

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “Kepala Daerah

Kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kepada MK sebagai lembaga yudikatif, mencerminkan semakin kuatnya prinsip Negara hukum ( rechtaat)

Isu Kesehatan Reproduksi dan isu Lapangan Kerja Baru merupakan isu utama pemberitaan politik perempuan dan orang muda di bulan Januari 2021.. Pemberitaan pada isu

penyelesaiannya kemudian Menjawab pertanyaan 1 memberi soal yang telah guru. - Guru memantau ke~ja dari tiap Mengerjakan soal s1swa dengan berkeliling dan

 Dukung pasien dan orang lain yang signifikan untuk mengevaluasi hasil dari interaksi sosial, memberikan reward pada diri sendiri untuk hasil yang positif dan penyelesaian masalah

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 148 ayat (1) bahwa untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan