• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Keberadaan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Jenis Curah Berdasarkan Waktu Pemakaian Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Keberadaan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Jenis Curah Berdasarkan Waktu Pemakaian Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2012"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KEBERADAAN ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK GORENG JENIS CURAH BERDASARKAN WAKTU PEMAKAIAN PADA PEDAGANG GORENGAN KAKI LIMA DI KELURAHAN PADANG BULAN

MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh :

ANJELINA NOVASALINA SIPAYUNG NIM. 101000304

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISA KEBERADAAN ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK GORENG JENIS CURAH BERDASARKAN WAKTU PEMAKAIAN PADA PEDAGANG GORENGAN KAKI LIMA DI KELURAHAN PADANG BULAN

MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

ANJELINA NOVASALINA SIPAYUNG NIM. 101000304

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Minyak goreng jenis curah diproduksi dari minyak kelapa sawit yang proses penyaringannya hanya 1x sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih. Penggunaan minyak secara berulang-ulang akan mengalami destruksi atau kerusakan minyak yang disebabkan oleh proses oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaian pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survei deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 15 sampel dari 5 pedagang kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan. Metode yang dilakukan adalah metode Asidi-Alkalimetri untuk menghitung kadar Asam Lemak Bebas yang kemudian dibandingkan dengan standar minyak goreng SNI 3741-1995 yaitu 0,3% dari berat minyak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel minyak goreng jenis curah sebelum dipakai didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,45% dan diperoleh hasil bahwa hanya satu pedagang yang memenuhi syarat kesehatan yaitu 0,3% sementara minyak setelah dipakai 3x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,96% dan 6x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 1,53% dari berat minyak.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah sebelum dan sesudah menggoreng. Disarankan kepada pedagang maupun konsumen untuk tidak menggunakan minyak goreng jenis curah apalagi memakai secara berulang-ulang.

(5)

ABSTRACT

Types of bulk cooking oil is produced from palm oil filtering process only 1x so that the colors are different from the branded cooking oil is more clear. Oil use over and over again to experience destruction or damage caused by oil oxidation and hydrolysis of the oil molecules break down into acids. This process is getting bigger with the high heating and a long time during the frying of food.

This study aims to determine the presence of free fatty acids on the type of cooking oil in bulk by the use of fried street merchants in the Village of Medan Padang Bulan 2012.

The research method used is descriptive research survey with a sample of as many as 15 samples of five street vendors in the Village of Medan Padang Bulan. The method is carried out is a method to calculate Alkalimetri Asidi-Free Fatty Acid levels are then compared with the ISO 3741-1995 standard cooking oil that is 0.3% by weight of oil.

The results showed that the type of bulk samples of cooking oil before using it obtained the highest levels of 0.45% and the obtained results that only a qualified merchant that is 0.3% health temporarily used 3x frying oil obtained after the highest levels of 0.96% and 6x fry obtained the highest levels of 1.53% by weight of oil.

Conclusions obtained from the results of this study is that overall there was an increase in free fatty acid levels in the type of bulk cooking oil before and after frying. It is recommended to merchants and consumers to not use the type of bulk cooking oil let alone use it repeatedly.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anjelina Novasalina Sipayung

Tempat/tanggal lahir : PematangSiantar/05-11-1988

Agama : Katolik

Status perkawinan : Belum Menikah

Alamat rumah : Jln Bahbinonom kiri No 114. P.Siantar

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Tahun 1994-2000 : SD Swasta Cinta Rakyat 6, Pematangsiantar

2. Tahun 2000-2003 : SMP Swasta Cinta Rakyat 3, Pematangsiantar

3. Tahun 2003-2005 : SMU Negri 1, Pematangsiantar

4. Tahun 2005-2008 : Akademi Keperawatan Santa Elisabeth

5. Tahun 2010-2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan anugrah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Analisa Keberadaan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Jenis Curah Berdasarkan Waktu Pemakaian Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2012” untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak, baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini secara khusus penulis

mengucapkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH dan Ibu Ir. Indra Chahaya, Msi selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dan bimbingan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, Ms, selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan

Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

3. Ibu Drs. Nurma Sinaga. Apt selaku Pembimbing Lapangan di Balai

(8)

4. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Departement

Kesehatan Lingkungan.

5. Bapak Prof. Dr. Albiner Siagian. Ir. Msi selaku dosen pembimbing

Akademik yang selalu memberikan petunjuk selama penulis mengikuti

pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

6. Bapak Frans Siahaan SSTP. MSP sebagai bapak Lurah Padang Bulan

yang telah memberi izin dan membantu dalam pengumpulan data untuk

meakukan penelitian di Kelurahan Padang Bulan Medan

7. Buat abangku Irsan Situmeang ST yang telah banyak memberi motivasi

dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di

Fakultas Kesehatan Masyarakat.

8. Sahabat-sahabatku : Fransisca, Kartiny, Rista, Louneta, Tiwi, Sri

Lestari Kakak Sriana terimakasih untuk menjadi teman yang bisa saling

membangun, mengingatakan serta teman-teman FKM Ekstensi 2010

telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis selama

menjalankan pendidikan di FKM USU.

Teristimewa kepada kedua orang tuaku bapak mama A. Sipayung dan B. Simbolon yang senantiasa mendoakanku, memperhatikanku dan mendukungku sampai saat ini.Terimakasih buat semuanya dan biarlah berkat Tuhan selalu beserta

mama dan bapak atas semua kasih sayang yang telah diberikan padaku . Kepada

(9)

Siregar, Christian Sipayung, Astriani Sipayung, Fidelis Sipayung terima kasih atas dukungannya semoga keluarga kita selalu diberkati Tuhan Yang Maha Esa.

Tiada kata dan ungkapan yang lebih berharga yang bisa penulis sampaikan

kecuali doa dan ucapan banyak terima kasih, kepada semua pihak atas segala bantuan,

kerja sama dan dukungannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan

kesalahan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran

dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhir kata penulis

berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya keluarga besar

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan semoga Yesus

Kristus yang senantiasa mencurahkan berkat-Nya buat kita semua. Amin.

Medan , Juli 2012

(10)

DAFTAR ISI

1.2 Perumusan Masalah………. 8

1.3 Tujuan Penelitian………. 8

1.3.1 Tujuan Umun……… 8

1.4 Tujuan Khusus………..8

1.5 Manfaat Penelitian………9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….10

2.1. Minyak Goreng………..10

2.1.1. Pengertian minyak goreng………...10

2.1.2. Sifat fisik dan kimia minyak goreng ………..11

(11)

2.10. Struktur Bahan Pangan Goreng……….30

2.2. Minyak Curah………32

2.2.1. Pengertian Minyak Curah………32

2.2.2 . Komposisi Minyak Goreng Curah……….32

2.2.3 . Minyak Kelapa Sawit……….34

2.2.4 . Komposisi Minyak Kelapa Sawit………..34

2.2.5 . Variabel Yang Sangat Berpengaruh Terhadap Asam Lemak Bebas.36 2.3. Asam Lemak Bebas………...39

2.3.1. Pengertian Asam Lemak Bebas ………39

2.3.2. Reaksi Hidrolisis Lemak………40

2.3.3. Bilangan Peroksida………41

2.3.4. Bilangan Iodin ………..42

2.3.5. Produksi Asam lemak bebas oleh enzim………...43

2.4. Pengaruh asam lemak bebas terhadap kesehatan………. 43

2.4.1. Penyakit Jantung Koroner ………43

2.4.2. Peningkatan Kadar Kolestrol Dalam Darah………..45

2.4.3. Diabetes Melitus………... 46

2.4.4. Karsinogenik ……….47

2.5. Cara penggunaan dan Penyimpanan Minyak Goreng………48

2.6 . Kerangka Konsep Penelitian………..49

BAB III METODE PENELITIAN……….50

3.1. Jenis Penelitian……… 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………50

3.2.1. Lokasi penelitian……… 50

3.2.2. Waktu penelitian ………51

3.3. Objek Penelitian ………51

3.4. Sampel Penelitian………...51

3.5. Metode Pengumpulan Data ……….…..52

3.6. Aspek Pengukuran ……….……52

3.7. Defenisi Operasional………...53

3.8. Tehnik dan Analisis Data ……….….54

(12)

3.9. Analisis Data……….56

BAB IV HASIL PENELITIAN………..57

4.1. Aspek Geografis dan Gambaran Umum Daerah Penelitian ……….57

4.1.1. Aspek Geografis Kota Medan……….57

4.1.2. Gambaran Umum Daerah Penelitian ………..57

4.2. Hasil Penelitian Tentang Minyak Goreng Jenis Curah ………59

4.3. Hasil Lembar Observasi/Pengamatan Minyak Goreng Jenis Curah Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Kelurahan Padang Bulan Medan 2012….61 4.4. Hasil Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Sebelum dan Sesudah Digunakan Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012…………..63

BAB V PEMBAHASAN67 5.1. Karakteristik Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012 ………...67

5.1.1. Jenis Kelamin ……….….67

5.1.2. Umur……….…67

5.1.3. Tingkat Pendidikan………..68

5.1.4. Lama Bekerja………....68

5.2. Gambaran Pedagang Gorengan Kaki Lima yang Menggunakan Minyak Curah di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012 ………..69

5.3. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Sebelum Dipakai………...73

5.4. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Setelah 3x Menggoreng……….75

5.5. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Setelah 6x Menggoreng………...77

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………81

6.1. Kesimpulan………....81

6.2. Saran………..82

DAFTAR PUSTAKA………...83

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Standar Mutu Minyak Goreng Menurut SNI 37411995... 86

Lampiran 2. Lembar Kuesioner Pedagang Gorengan Kaki Lima Tentang

Minyak Goreng Yang Digunakan Setiap Harinya... 87

Lampiran 3 Lembar Observasi Minyak Goreng Yang Digunakan Pedagang

Gorengan Kaki Lima...89

Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU ... 90

Lampiran 5 Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian di Dinas

Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Balai Laboratorium Kesehatan…..91

Lampiran 6 Hasil Penelitian Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Minyak

Goreng Jenis Curah Pedagang Gorengan Kaki Lima………...92

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Standar Mutu Minyak Goreng di Indonesia diatur Dalam

SNI 3741-1995...26

4.1. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Umur Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012 ...59

4.2. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Lama Berjualan

di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...59

4.3. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Penggunaan Minyak Goreng Baru Pada Awal Menggoreng di Kelurahan Padang

Bulan Medan 2012 ...59

4.4. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Lama

Pemakaian Minyak Goreng di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...60 …

4.5. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Akan Dampak Kesehatan Terhadap Pengguanan Minyak Goreng

Berulang di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...60

4.6. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Jumlah Minyak

Yang Digunakan Dalam Sehari di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...61

4.7. Hasil Observasi/Pengamatan Minyak Goreng Yang Digunakan Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...62

4.8. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kadar Asam Lemak Bebas /Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Jenuh...18

2.2. Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal...19

2.3. Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Poli-Tak Jenuh...20

2.4. Proses Menggoreng...28

2.5. Kerangka Konsep Penelitian...49

4.1. Grafik Batang Hasil Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Curah...65

(16)

ABSTRAK

Minyak goreng jenis curah diproduksi dari minyak kelapa sawit yang proses penyaringannya hanya 1x sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih. Penggunaan minyak secara berulang-ulang akan mengalami destruksi atau kerusakan minyak yang disebabkan oleh proses oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaian pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survei deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 15 sampel dari 5 pedagang kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan. Metode yang dilakukan adalah metode Asidi-Alkalimetri untuk menghitung kadar Asam Lemak Bebas yang kemudian dibandingkan dengan standar minyak goreng SNI 3741-1995 yaitu 0,3% dari berat minyak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel minyak goreng jenis curah sebelum dipakai didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,45% dan diperoleh hasil bahwa hanya satu pedagang yang memenuhi syarat kesehatan yaitu 0,3% sementara minyak setelah dipakai 3x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,96% dan 6x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 1,53% dari berat minyak.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah sebelum dan sesudah menggoreng. Disarankan kepada pedagang maupun konsumen untuk tidak menggunakan minyak goreng jenis curah apalagi memakai secara berulang-ulang.

(17)

ABSTRACT

Types of bulk cooking oil is produced from palm oil filtering process only 1x so that the colors are different from the branded cooking oil is more clear. Oil use over and over again to experience destruction or damage caused by oil oxidation and hydrolysis of the oil molecules break down into acids. This process is getting bigger with the high heating and a long time during the frying of food.

This study aims to determine the presence of free fatty acids on the type of cooking oil in bulk by the use of fried street merchants in the Village of Medan Padang Bulan 2012.

The research method used is descriptive research survey with a sample of as many as 15 samples of five street vendors in the Village of Medan Padang Bulan. The method is carried out is a method to calculate Alkalimetri Asidi-Free Fatty Acid levels are then compared with the ISO 3741-1995 standard cooking oil that is 0.3% by weight of oil.

The results showed that the type of bulk samples of cooking oil before using it obtained the highest levels of 0.45% and the obtained results that only a qualified merchant that is 0.3% health temporarily used 3x frying oil obtained after the highest levels of 0.96% and 6x fry obtained the highest levels of 1.53% by weight of oil.

Conclusions obtained from the results of this study is that overall there was an increase in free fatty acid levels in the type of bulk cooking oil before and after frying. It is recommended to merchants and consumers to not use the type of bulk cooking oil let alone use it repeatedly.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai

alat pengolahan bahan-bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai media

penggorengan sangat penting dan kebutuhannya semakin meningkat. Minyak

dapat bersumber dari tanaman, misalnya minyak zaitun, minyak jagung, minyak

kelapa, dan minyak biji bunga matahari. Minyak juga dapat bersumber dari

hewan, misalnya ikan sarden, ikan paus, lard (minyak dari babi) , tallow (minyak dari sapi) (Ketaren,1986).

Dari segi kandungan kimia, minyak disusun oleh asam lemak jenuh yang

mempunyai ikatan tunggal, disebut Saturated Fatty Acid (SAFA), asam lemak tidak jenuh tunggal mempunyai paling sedikit satu ikatan rangkap, disebut Mono Unsaturated Fatty Acid (MUFA) dan asam lemak tidak jenuh jamak yang mempunyai dua atau lebih ikatan kembar, disebut Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Asam lemak jenuh bersifat merusak kesehatan karena sifatnya yang lengket pada dinding

saluran darah, mengakibatkan atheroskelerosis sedangkan asam lemak tidak jenuh dan PUFA terutama minyak jagung dikenal tinggi kandungan akan PUFA, sehingga

dianjurkan untuk para penderita penyakit kardiovaskuler, termasuk tekanan darah

tinggi (Achmad, 1996).

Selama proses pengolahan minyak yaitu penggorengan minyak goreng

(19)

dan polimerasi. Reaksi kimia yang terjadi pada asam lemak contohnya

pemanasan minyak pada suhu diatas 200oC dapat menyebabkan terbentuknya

polimer, molekul tak jenuh membentuk ikatan cincin (Ketaren 1986).

Menurut dr. Nani (2005), mengatakan penggunaan minyak jelantah jelas

sangat tidak baik untuk kesehatan. Seharusnya minyak goreng yang digunakan untuk

menggoreng ikan atau makanan yang lainnnya tidak boleh melebihi sampai tiga kali

penggorengan. Karena setiap dipakai minyak akan mengalami kekurangan mutu.

Kadar lemak tak jenuh dan Vitamin A, D, E, dan K yang terdapat di minyak semakin

lama akan semakin berkurang. Dan yang tersisa tinggal asam lemak jenuh yang dapat

menyebabkan penyakit seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Beberapa penelitian menyatakan bahwa minyak jelantah mengandung senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan penyakit kanker.

Pedagang gorengan terutama para pedagang kaki lima cara pengolahan

minyak yang digunakan tidak memenuhi syarat kesehatan karena minyak goreng yang

dipakai tidak mengalami pergantian dengan minyak yang baru, biasanya mereka

hanya melakukan penambahan beberapa liter saja kedalam minyak goreng lama.

Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi.

Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau

berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama

penggorengan juga akan menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan

nilai bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang telah rusak

(20)

bau yang kurang enak. Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas,

stabil pada cahaya matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan, menghasilkan produk-produk dengan tekstur dan rasa yang bagus, asapnya sedikit setelah

digunakan berulang-ulang, serta menghasilkan produk keemasan pada produk

(Trubusagrisarana, 2005).

Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI Mataram),

serta kajian dari pakar kesehatan terhadap penggunaan minyak jelantah sebagai

minyak goreng akan memberikan dampak pada gangguan kesehatan. Pemanasan

minyak goreng yang berulang kali (lebih dari 2 kali) pada suhu tinggi (160ºC sampai

dengan 180ºC) akan mengakibatkan hidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas yang

mudah teroksidasi, sehingga minyak menjadi tengik dan membentuk asam lemak

trans yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.

Hasil penelitian oleh Jonarson (2004), tentang analisa kadar asam lemak

minyak goreng yang digunakan penjual makanan gorengan di Padang Bulan

menyebutkan bahwa terdapat rata-rata perbedaan jumlah asam lemak jenuh dan tidak

jenuh pada minyak goreng yang belum digunakan hingga 3 kali pemakaian. Penelitian

dilakukan untuk melihat perbedaan rata-rata kadar asam lemak jenuh dan asam lemak

tidak jenuh pada minyak goreng yang belum digunakan hingga pemakaian ketiga.

Dimana semakin sering digunakan minyak goreng ,maka semakin tinggi kandungan

asam lemak jenuhnya yaitu pada minyak yang belum dipakai (45,96%) 1 kali pakai, 2

kali pakai (46,18%), 3 kali pakai (46,32%). Semakin sering minyak goreng tersebut

(21)

akan semakin berkurang. Kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak yang

belum dipakai (53,95%), 1 kali pakai (53,78%) 2 kali pakai (53,69%) dan 3 kali pakai

(53,58%).

Minyak atau lemak yang mengandung persentase asam lemak dengan kadar

tinggi kurang baik untuk kesehatan, karena bila untuk menggoreng (deep fried atau dipanaskan), disamping akan mengalami polimerisasi (penggumpalan), juga

membentuk trans fatty acids (asam lemak trans) dan free fadicals (radikal bebas) yang bersifat toksik dan karsinogenik (Ketaren, 1986).

Minyak goreng sering digunakan sebagai medium untuk pengolahan makanan

karena menimbulkan rasa gurih pada makanan, hal ini meningkatkan peminat

gorengan. Gorengan merupakan makanan yang banyak disukai pada hampir

semua lapisan masyarakat mulai dari anak-anak sampai orang tua, khususnya bagi

orang atau anak kost tentunya ini merupakan makanan praktis yang siap saji serta

cukup mengenyangkan. Selain rasanya yang gurih dan enak, harganya juga relatif

terjangkau (Aprillino, 2010).

Banyak pedagang gorengan kaki lima yang menggunakan minyak goreng

berulangkali sehingga mengalami penurunan mutu gizi karena sehingga kurang aman

untuk digunakan. Tidak ada yang menjamin bahwa gorengan yang dijajakan sudah

digoreng dengan cara yang benar. Bila kebiasaan ini tidak ada yang mengontrol, tidak

mustahil akan menyebabkan kerusakan pada generasi muda Indonesia beberapa tahun

(22)

usia produktif dan sifatnya mendadak, seperti kasus kematian akibat penyakit

jantung, diabetes, dan kanker. Penyakit-penyakit diatas merupakan sumbangsih

dari waktu masih anak-anak melalui makanan dan minuman (Chalid, 2000).

Minyak goreng yang memiliki angka peroksida melebihi batas yang telah

ditentukan akan membentuk akrolein dan kandungan asam lemak bebas menjadi meningkat. Meningkatnya kandungan asam lemak bebas sangat berbahaya bagi

kesehatan, seperti berpengaruh terhadap lemak dan darah yang kemudian dapat

menimbulkan kegemukan (obesitas), mendorong penyempitan pembuluh darah arteri

(arterioscelorosis) yang dapat menimbulkan terkenanya penyakit jantung (Winarno, 1999).

Menurut Aminuddin (2010), Kadar asam lemak bebas merupakan banyaknya

asam lemak bebas yang dihasilkan dari proses hidrolisis minyak. Banyaknya asam

lemak bebas dalam minyak menunjukkan penurunan kualitas minyak. Penentuan asam

lemak bebas atau biasa disebut dengan FFA (Free Faty Acid) sangat penting kualitasnya dengan minyak. Karena bilangan asam dipergunakan untuk mengukur

jumlah asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Semakin besar angka ini berarti

kandungan asam lemak bebas semakin tinggi, hal ini dapat berasal dari proses

hidrolisis ataupun proses pengolahan yang kurang baik. Karena proses hidrolisis dapat

berlangsung dengan penambahan panas.

Jika minyak dipanaskan atau digunakan untuk menggoreng pada suhu

pemanasan yang tinggi, adanya kadar air dari pangan yang digoreng dan masuknya

(23)

lemak yang lain. Struktur asam lemak yang tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap

bersifat tidak stabil dan mudah berubah menjadi asam lemak jenuh atau asam lemak

trans yang berbahaya untuk kesehatan. Makin banyak jumlah ikatan rangkapnya maka

makin banyak terbentuk asam lemak trans, terutama jika minyak ini digunakan

berulang-ulang lebih dari tiga kali. Selain strukturnya berubah, juga akan terbentuk

senyawa lain yang bersifat toksik. Minyak jenis ini umumnya berasal dari hewan,

mentega atau minyak yang sudah terhidrogenasi/ rusak (Aprillino, 2010).

Menurut Heru (2011), Pedagang kaki lima belum menaruh perhatian dan

mengutamakan kualitas minyak goreng yang digunakan, sehingga produk makanan

yang mereka jual terkadang kurang higienis, yang berperan sebagai Kepala Dinas

Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Pertambangan (Disperindakoptan) Kota

Yogyakarta. Pedagang kaki lima cenderung menggunakan minyak goreng curah yang

kualitasnya di bawah minyak goreng kemasan. Menurutnya, salah satu sasaran utama

minyak goreng ini adalah ibu-ibu rumah tangga pengguna minyak goreng curah.

Minyak goreng ini juga diperuntukkan bagi konsumen industri yakni penjual

gorengan, pengusaha. Pedagang kaki lima umumnya memilih minyak goreng curah

karena lebih praktis dan murah, ketimbang minyak goreng dalam kemasan. Akan

tetapi minyak goreng curah kurang higienis atau kurang dan biasa dijual dalam

ukuran seperempat liter dengan harga murah, lebih dipilih para penjual makanan kaki

lima (Moehammad, 2011).

Pedagang gorengan adalah profesi usaha atau bisnis yang digeluti oleh

orang-orang dengan modal yang relatif kecil dan tidak memerlukan keahlian khusus.

(24)

Sering juga diberi istilah pedagang sektor informal atau pedagang kaki lima, mungkin

karena pedagang ini identik dengan gerobak, tempat jualannya yang kadang sering

berpindah-pindah dan rata-rata tidak memiliki legalitas (Mulyadi, 2012).

Tingginya konsumsi minyak goreng ini membuat pergeseran pola penyakit di

masyarakat yang semula didominasi penyakit menular dan infeksi, saat ini telah

beralih ke penyakit degeneratif antara lain: Penyakit Jantung Koroner (PJK),

kardiovaskuler, hipertensi, arteriosklerosis, kanker, diabetes melitus. Asam lemak bebas didalam minyak goreng merupakan asam lemak berantai panjang yang tidak

teresterifikasi. Asam lemak bebas mengandung asam lemak jenuh yang berantai

panjang. Semakin banyak konsumsi asam lemak bebas, akan meningkatkan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) dalam darah yang merupakan kolesterol jahat. Bila minyak tersebut terus dikonsumsi maka kadar kolesterol didalam darah akan naik, sehingga

terjadi penumpukan lapisan berlemak didalam pembuluh darah sehingga pembuluh

darah akan tersumbat (artherosklerosis). Dengan demikian akan mudahnya terkena penyakit jantung (Moehammad, 2011).

Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian

tentang analisis keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan

Padang Bulan Medan pada tahun 2012.

(25)

Salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas minyak goreng curah

adalah kandungan asam lemak bebasnya. Semakin tinggi kandungan asam lemak

bebas maka kualitas minyak tersebut semakin rendah. Waktu pemakaian berpengaruh

terhadap kadar asam lemak bebas/Free Faty Acid (FFA) pada minyak goreng jenis curah. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang ada,

yaitu analisis keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan

Padang Bulan Medan tahun 2012.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan

Padang Bulan Medan pada tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima, sebelum

menggoreng di Kelurahan Padang Bulan Medan tahun 2012.

2. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima setelah

(26)

3. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima setelah

dilakukan 6 kali menggoreng di Kelurahan Padang Bulan Medan tahun 2012.

4. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah

tersebut apakah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat yang telah diatur

pada standar mutu minyak goreng di Indonesia dalam SNI 3741-1995.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi kepada masyarakat khususnya

konsumen untuk membatasi dalam mengkomsumsi gorengan dengan minyak

goreng yang pemakaiannya berulang kali pada pedagang gorengan kaki lima.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pedagang gorengan untuk meminimalisir

penggunaan minyak goreng berulang.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang kandungan asam

lemak bebas pada minyak goreng jenis curah

4. Sebagai informasi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(27)

2.1.1. Pengertian Minyak Goreng

Lemak dan minyak adalah trigliserida, atau triasilgliserol, kedua istilah ini berarti trimester dari gliserol. Perbedaan antara suatu lemak dan minyak, yaitu: pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan minyak bersifat cair. Sebagian gliserida pada hewan adalah berupa lemak sedangkan gliserida dalam tumbuhan cendrung berupa minyak, karena itu biasa terdengar ungkapan lemak (lemak sapi) dan minyak

nabati (minyak jagung, minyak bunga matahari) (Suhardjo, 1988).

Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat

digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan

bahan pokok yang dikomsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Komsumsi minyak

goreng biasanya digunakan sebagai media menggoreng bahan pangan, penambah citra

rasa, atau pun shortening yang menbentuk struktur pada pembuatan roti (Trubusagrisarana, 2005).

Minyak goreng yang dihasilkan dari bahan yang berbeda mempunyai stabilitas

yang berbeda karena stabilitas minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

derajat ketidakjenuhan asam lemak yang dikandungnya, penyebaran ikatan rangkap

dan bahan-bahan yang dapat mempercepat atau memperlambat proses kerusakan

(Wikipedia, 2009).

Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak,

berwujud cair pada suhu kamar (25ºC) dan lebih banyak mengandung asam lemak

tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat biasa

(28)

pada cahaya matahari, tidak merusak rasa hasil penggorengan, menghasilkan produk

dan rasa yang bagus, asapnya sedikit setelah digunakan berulang-ulang, serta

menghasilkan warna keemasan pada produk.

2.1.2. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Goreng

2.1.2.1. Sifat fisik

Sifat fisik yang akan diuraikan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Zat warna

Dalam minyak goreng terdiri dari 2 golongan yaitu : zat warna alamiah dan warna

dari hasil degradasi zat warna alamiah.

a. Zat warna alamiah (Natural Coloring Matter)

Zat warna yang termasuk golongan ini terdapat secara alamiah didalam bahan

yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses

ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari α dan β karoten, xantofil,

klorofil, dan anthosyanin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning,

kuning kecoklatan, kehijau-hijauan, dan kemerah-merahan. Pigmen berwarna

merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam

minyak. Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tak jenuh. Jika

minyak dihidrogenasi, karotenoid tersebut juga ikut terhidrogenasi, sehingga

intensitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu

tinggi, dan jika minyak dialiri uap panas maka warna kuning akan hilang.

Karotenoid tersebut tidak dapat dihilangkan dengan proses oksidasi

(29)

Warna akibat oksidasi dan degradasi komponen kimia yang terdapat dalam minyak

diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Warna gelap

Disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Jika minyak

bersumber dari tanaman hijau, maka zat klorofil yang berwarna hijau turut

terekstrak bersama minyak, dan klorofil tersebut sulit dipisahkan dari minyak.

Warna gelap ini dapat terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan yang

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:

a) Suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu pengepresan dengan cara

hidraulik atau expeller sehingga sebagian minyak teroksidasi. Disamping minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam keadaan panas akan

mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.

b) Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan suhu

yang lebih tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna yang lebih

gelap.

c) Logam seperti Fe, Cu, Mn akan menimbulkan warna yang tidak diingini

dalam minyak.

2. Warna cokelat

Pigmen coklat biasanya hanya terdapat pada minyak atau lemak yang berasal dari

bahan yang telah busuk atau memar.

(30)

Hubungan yang erat antara proses absorpsi dan timbulnya warna kuning dalam

minyak terutama terjadi dalam minyak atau lemak tidak jenuh. Warna ini timbul

selama penyimpanan dan intensitas warna bervariasi dari kuning sampai ungu

kemerah-merahan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Lemak hewan, timbulnya warna kuning dalam lemak dapat terjadi pada suhu

rendah, dalam waktu penyimpanan yang terlalu lama. Lemak hewan misalnya,

lemak celeng yang diekstrasi dari daging tidak akan menjadi kuning pada

proses oksidasi, kecuali jika disimpan dalam jangka panjang.

b) Ikan, warna kuning dapat terjadi pada ikan asin dan ikan kering dikenal dengan

istilah rusting. Dapat terjadi pada suhu kamar terutama pada ikan yang mengandung minyak tidak jenuh dalam jumlah besar.

c) Penguningan oleh mikroorganisme, warna atau perubahan warna dapat

disebabkan oleh pigmen berbagai tipe mikroorganisme yang tumbuh di atas

media yang mengandung lemak. Penicillium spp dapat tumbuh dan menghasilkan warna kuning cerah pada jaringan adipose daging sapi yang

disimpan pada suhu 0oC, dan warna kuning pada lemak babi akibat

pertumbuhan bakteri.

2. Odor dan flavour atau Bau

Terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan

asam-asam yang berantai sangat pendek.

3. Kelarutan

(31)

4. Titik cair dan polymorphism

Suatu pengukuran titik cair minyak yang digunakan dalam penentuan atau

pengenalan komponen-komponen organik yang murni. Polymorphism adalah

keadaan dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal.

5. Titik didih (Boiling Point)

Titik didih dari asam-asam lemak akan semakin meningkat dengan bertambah

panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.

6. Bobot Jenis

Bobot jenis dari minyak biasanya ditentukan pada temperatur 25ºC, akan tetapi

dalam hal ini dianggap penting juga untuk diukur pada temperatur 40ºC atau 60ºC

untuk lemak yang titik cairnya tinggi.

7 . Titik lunak (Softening Point)

Ditetapkan dengan maksud untuk identifikasi minyak, dimana temperatur pada

saat permukaan dari minyak dalam tabung kapiler mulai naik. Cara penetapannya

yaitu dengan menggunakan tabung kapiler yang diisi dengan minyak.

8. Slipping point

Dipergunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran

komponen-komponennya.

9. Shot melting point

Temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak.

(32)

Derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium yang

cerah. Indeks bias tersebut dipakai pada pengenalan unsur kimia dan untuk

pengujian kemurnian minyak.

11. Titik asap, titik nyala dan titik api

Titik asap adalah temperatur pada minyak atau lemak menghasilkan asap

kebiru-biruan pada saat pemanasan. Titik nyala adalah temperatur pada saat campuran

uap dari minyak dengan udara mulai terbakar. Sedangkan titik api adalah

temperatur pada saat dihasilkan pembakaran yang terus-menerus, sampai

habisnya contoh uji ( Ketaren, 1986).

12. Titik Kekeruhan (Turbidity Point)

Ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak.

Temperatur pada waktu mulai terjadi kekeruhan, dikenal sebagai titik kekeruhan.

2.1.2.2. Sifat kimia

Sifat kimia yang terdapat pada minyak goreng terdiri dari beberapa sifat

kimia diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hidrolisa

Enzim lipase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam

lemak. Lipase dapat terkandung secara alamiah pada lemak dan minyak, tetapi

enzim itu dapat diinaktivasi dengan pemanasan. Enzim ini dapat pula dihasilkan

oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan berlemak. Asam lemak

bebas yang dihasilkan oleh reaksi ini dapat memberikan rasa dan bau tidak sedap.

(33)

karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak, misalnya pada

penggorengan bahan makanan yang lembab.

2. Oksidasi

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen

dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau

tengik pada minyak. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak

jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal

bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat cahaya, panas,

peroksida lemak, atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Mn.

3. Hidrogenasi

Pada beberapa minyak atau lemak kadang-kadang dilakukan proses hidrogenasi

dengan tujuan memperoleh kestabilan terhadap oksidasi, memperbaiki warna, dan

terutama mengubah lemak cair menjadi bersifat plastis yang penting dalam

industri-industri makanan. Hidrogen akan mengikat ikatan rangkap asam lemak

tidak jenuh, sehingga akan mengubah jumlah dan letak ikatan rangkap akibatnya

sifat fisik dan kimianya juga akan berubah.

4. Esterifikasi

Proses esterifikasi ini bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini hidrokarbon rantai

pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak, dapat ditukar

(34)

2.1.3. Jenis-Jenis Minyak Goreng

Minyak yang berasal dari tumbuhan lebih banyak mengandung asam lemak

tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Minyak goreng dapat diklasifikasikan ke

dalam beberapa golongan (Ketaren, 2005) yaitu:

2.1.3.1. Berdasarkan sifat fisiknya, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Minyak tidak mengering (non drying oil)

Minyak yang apabila mengalami pemanasan tidak menguap misalnaya minyak

zaitun, kelapa, kacang tanah.

2. Minyak nabati setengah mengering (semi drying oil)

Berupa minyak yang mempunyai daya mengering lebih lambat. Misalnya

minyak biji kapas, minyak biji bunga matahari, gandum.

3. Minyak nabati mengering (drying oil)

Minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika kena oksidasi, dan

akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis

selaput jika dibiarkan di udara terbuka misalnya minyak kacang kedelai, biji

karet.

2.1.3.2. Berdasarkan sumbernya dari tanaman, diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Biji-bijian palawija, yaitu minyak jagung, biji kapas, kedelai, dan bunga

matahari.

2. Kulit buah tanaman tahunan, yaitu minyak zaitun dan kelapa sawit.

(35)

2.1.3.3. Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur molekulnya

yakni:

1. Minyak dengan asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acids / SAFA)

Semua asam lemak terdiri atas rantai atom karbon dengan berbagai jumlah atom

hidrogen yang melekat padanya. Satu molekul memiliki dua atom hidrogen yang

melekat pada masing-masing karbon dianggap terjenuhkan oleh hidrogen karena

molekul tersebut mengikat semua atom hidrogen yang mampu diikatnya.

Sumber: Raharjo, 2006.

Gambar 2.1 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Jenuh

(36)

Gambar 2.2 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal

3. Minyak dengan asam lemak tak jenuh ganda (Poly-Unsaturated Fatty Acids/ PUFA).

Minyak dinamakan lemak poli-tak jenuh apabila lebih dari dua atom hidrogennya

hilang. Asam lemak ini mengandung lebih dari satu ikatan rangkap, misalnya

asam linoleat, yang ditemukan dalam minyak biji-bijian seperti minyak kedelai

(37)

Sumber: Raharjo, 2006.

Gambar 2.3 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Poli-tak Jenuh

2.1.4. Kerusakan Minyak

Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang

digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan

menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak,

serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam

minyak. Oksidasi minyak dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah

oksigen dengan minyak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida

dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai

dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak

(38)

kenaikan Peroxide Value (PV) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak akan berbau tengik. Oksida minyak juga akan menghasilkan senyawa hidrokarbon, alkohol,

lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir.

Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi

polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya

bahan menyerupai gum yang mengendap di dasar tempat penggorengan (Ketaren,

2005).

Oksidasi adalah alasan utama dari perubahan kimiawi dari minyak tetapi ada

beberapa penyebab degradasi lainnya yang berpotensial menyebabkan atau

menghasilkan racun. Perubahan secara kimiawi pada minyak, tidak semuanya

berpotensi berbahaya. Beberapa produk tidak membahayakan dan masih layak untuk

dikonsumsi. Laju perubahan kimia dan tingkat perubahan tergantung pada jenis

minyak.

Kerusakan minyak atau lemak akibat pemanasan pada suhu tinggi (200-250°C)

akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit, misalnya

diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah, kanker dan menurunkan nilai cerna

lemak. Kerusakan minyak juga bisa terjadi selama penyimpanan. Penyimpanan yang

salah dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida

pada minyak lalu membentuk gliserol dan asam lemak bebas (Ketaren, 2005).

2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempercepat dan Menghambat Oksidasi

Faktor-faktor yang mempercepat dan menghambat oksidasi dibagi menjadi 3

kelas yaitu:

(39)

Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan

kenaikan suhu dan akan berkurang dengan penurunan suhu. Kecepatan akumulasi

peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100-115ºC adalah dua kali lebih

besar dibandingkan pada suhu 10ºC. Untuk mengurangi kerusakan bahan pangan

berlemak dan agar tahan dalam waktu lebih lama, dapat dilakukan dengan cara

menyimpan lemak dalam ruang dingin.

2. Pengaruh cahaya

Cahaya merupakan akselarator terhadap timbulnya ketengikan. Kombinasi dari

oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi. Sebagai contoh, lemak yang

disimpan tanpa udara (O2), tetapi dikenai cahaya sehingga menjadi tengik. Hal ini

karena dekomposisi peroksida yang secara alamiah telah terdapat dalam lemak.

Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi tidak jenuh dalam lemak, untuk

menghindarinya gunakan bahan pembungkus yang dapat mengabsorpsi sinar aktif

yang terbuat dari cellophane berwarna tua yaitu warna biru tua, hijau tua, cokelat tua, atau merah tua.

3. Katalis logam

Bahan pangan berlemak pada umumnya mengandung logam dalam jumlah

yang sangat kecil. Logam ini biasanya telah terdapat secara alamiah dalam bahan atau

sengaja ditambahkan untuk tujuan tertentu, yang berada dalam bentuk garam

kompleks, garam organik maupun garam inorganik. Garam-garam ini biasanya sukar

melepaskan secara sempurna dari lemak. Beberapa logam seperti Fe, Cu, Mn, Ni, Co,

umumnya mempercepat kerusakan lemak dalam bahan pangan. Hal ini

(40)

ppm. Fungsi logam sebagai katalisator oksidasi dapat dihambat dengan melepaskan

katalis logam dari lemak selama tahap permulaan proses oksidasi dan menambahkan

zat penghambat yang kuat ke dalam system autooksidasi akan mencegah oksidasi

lebih lanjut (Ketaren 2008).

2.1.6. Penggolongan Lemak Berdasarkan Kejenuhan (Asam Lemak Jenuh dan Tidak Jenuh)

Lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan ikatan rangkapnya (jenuh

dan tak jenuh). Jenuh jika hanya memiliki satu ikatan rangkap dan tak jenuh jika

memiliki dua dan tiga ikatan rangkap. Asamlemak jenuh merupakan asam lemak yang

mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Sedangkan asam lemak tak

jenuh merupakan asam lemak yang mengandung satu ikatan rangkap pada rantai

hidrokarbonnya(Barifbrave, 2009).

Asam lemak jenuh mempunyai stabilitas tinggi terhadap panas. Banyaknya

asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam minyak goreng dapat dinyatakan

dengan bilangan iodin atau angka iodin. Minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit

memiliki angka iodin yang lebih kecil bila dibandingkan angka iodin minyak yang

berasal dari kedelai, jagung, kacang tanah, biji kapas, dan bunga matahari. Hal ini

menunjukkan kandungan asam lemak jenuh minyak kelapa sawit jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan minyak yang berasal dari kedelai, jagung, kacang tanah, biji

kapas, dan bunga matahari. Dengan demikian minyak untuk keperluan menggoreng

lebih baik menggunakan minyak yang berasal dari kelapa sawit.

Asam lemak tak jenuh ini lebih mudah bereaksi dengan senyawa lain

(41)

bereaksi (teroksidasi) dengan oksigen di udara. Oleh karena itu sering dikenal dengan

istilah bilangan oksidasi bagi asam lemak. Asam lemak jenuh dianggap mempunyai

nilai gizi yang lebih tinggi atau lebih baik, dikarenakan lebih reaktif dan merupakan

antioksidan dalam tubuh (Aminuddin, 2010).

Ikatan-ikatan karbon ganda dalam molekul minyak tak jenuh sangat rentan

terhadap serangan oksidasi dan pembentukan radikal bebas. Minyak poli tak jenuh

menjadi beracun ketika teroksidasi. Proses oksidasi ini yang menyebabkan ketengikan.

Oksidasi menyebabkan pembentukan radikal bebas yang berbahaya bagin tubuh.

Lemak jenuh tidak memiliki atom hidrogen yang hilang atau ikatan karbon ganda. Hal

ini berarti lemak jenuh mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap panas, tidak peka

terhadap oksidasi dan pembentukan radikal bebas (Andi, 2005).

Jika asam lemak jenuh banyak masuk ke dalam tubuh maka asam ini tidak bisa

dilarutkan lagi ke dalam senyawa yang ada dalam tubuh sehingga tidak bisa dicerna

dan bila terbawa dalam aliran darah maka tidak bisa disaring di ginjal, asam lemak ini

akan mengendap dalam tubuh, maka timbul penyakit kolesterol. Sedangkan minyak

dengan kadar asam tak jenuh masih bisa dicerna atau larut dalam senyawa tubuh dan

diolah atau bisa dibuang dan jika terbawa dalam aliran darah akan bisa disaring di

(42)

2.1.7. Penggunaan dan Kualitas Minyak Goreng

Kualitas minyak goreng sangat ditentukan oleh kandungan asam lemak dari

minyak tersebut, apakah bersifat jenuh atau tidak jenuh. Minyak goreng berarti

minyak yang digunakan untuk menggoreng, proses menggoreng pasti berhadapan

dengan panas yang tinggi. Dengan demikian, minyak goreng dikatakan berkualitas

apabila mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap panas.

Selain itu, mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu

pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asapnya, makin baik

mutu oksidasi. Untuk menghindari penurunan mutu akibat proses oksidasi dapat

menggunakan antioksidan. Antioksidan secara umum dapat diartikan pencegah

oksidasi dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen (Andi, 2005).

Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya

matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan, sedikit gum, menghasilkan produk dengan tekstur dan rasa yang bagus. Standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur

(43)

Tabel 2.1 Standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 3741- 1995

No CRITERIA UJI PERSYARATAN UJI

1 Bau Normal

8 Bilangan peroksida Max 2 meg/Kg

9 Bilangan iodium 45-46

10 Bilangan penyabunan 196-206

11 Titik asap Min 200oC

Sumber : Departemen perindustrian (SNI 3741-1995)

(44)

2.1.8. Minyak Goreng Berulang Kali

Minyak goreng berulang kali atau lebih dikenal dengan minyak jelantah adalah

minyak limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak

jagung, minyak sayur, minyak samin, dan sebagainya. Minyak ini merupakan minyak

bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya dan dapat digunakan kembali

untuk keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya minyak

jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan dengan nama akrilamida bahwa makanan yang kaya karbohidrat, seperti kentang yang mengalami penggorengan, dapat merangsang

pembentukan senyawa karsinogenik (pemicu kanker) hadirnya senyawa akrilamida pada makanan gorengan di picu oleh proses penggorengan itu sendiri. Penggorengan

dengan suhu yang relatif tinggi, sekitar 1900C (seperti lazimnya suhu penggorengan

dalam minyak), dapat menyebabkan senyawa karbohidrat pada kentang terurai atau

terlepas (Wikipedia, 2009).

Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu

tinggi ± 170-180º C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerasi yang menghasilkan

senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer yang merugikan

kesehatan manusia.

Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan

lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas/Free Faty Acid (FFA), angka peroksida, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa dan

(45)

kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan

mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna

coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng.

2.1.9. Proses Menggoreng

Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan menggunakan

lemak atau minyak. Proses penggorengan dapat dilihat seperti pada gambar dibawah

ini :

Uap yang dihasilkan dari lemak Uap dan hasil samping lemak

Bahan mentah

Hasil penggorengan

Lemak/minyak

Panas (0C) Penyaringan remah Sumber: S. Ketaren

Gambar 2.4 Proses Menggoreng

Penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan,

yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat

proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan,

penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan

yang dianjurkan adalah 177—201 0C, atau tergantung jenis bahan yang digoreng

(Winarno 1999).

Lemak dalam

ketel

(46)

Ke dalam ketel berturut-turut dimasukkan minyak goreng, kemudian

dipanaskan (0C), selanjutnya dimasukkan bahan yang akan digoreng. Dari ketel akan

diperoleh hasil gorengan, uap yang dihasilkan dari lemak, serta hasil samping lemak

akibat pemanasan dan penggorengan serta kerak.

Dalam proses menggoreng, udara merupakan faktor utama penyebab kerusakan

minyak goreng, kontak antara udara dengan minyak sulit dihindarkan. Pada waktu

proses pemanasan minyak dan penggorengan, aerasi terutama terjadi pada permukaan

minyak dalam ketel, namun akhirnya udara akan masuk ke dalam lemak akibat

peristiwa pergerakan, sirkulasi atau pengadukan minyak. Aerasi udara secara

berlebihan selama proses penggorengan harus dihindarkan untuk mengurangi proses

oksidasi. Zat menguap tersebut harus dicegah agar tidak berkondensasi di atas

permukaan minyak dan kembali menetes ke dalam minyak goreng dalam ketel

(Ketaren, 2005).

Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam

bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air. Proses difusi minyak akan

berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan pasca

penggorengan. Minyak yang digunakan untuk menggoreng merupakan salah satu

faktor yang menentukan keamanan suatu produk gorengan untuk dikonsumsi, sebab

minyak akan berdifusi ke dalam bahan pangan dan membawa serta bahan-bahan lain

yang terkandung di dalamnya.

.Pemanasan yang tidak mencapai suhu penggorengan menyebabkan minyak

membentuk busa, sehingga proses penggorengn tidak praktis. Faktor-faktor yang

(47)

penambahan minyak dan penambahan minyak segar untuk menggantikan minyak yang

hilang dari ketel selama proses menggoreng. Uap yang dihasilkan dalam proses

menggoreng berfungsi untuk mencuci dan memisahkan hasil dekomposisi lemak yang

menguap dan akhirnya dapat menimbulkan bau tengik.

2.10. Struktur Bahan Pangan Goreng

Gorengan yang banyak dijajakan umumnya digoreng dengan metode deep fat frying, yaitu seluruh bahan pangan terendam dalam minyak goreng. Berlangsungnya berbagai proses dalam penggorengan akan menentukan kualitas akhir produk goreng,

yang antara lain dicirikan oleh warna produk, kadar air akhir, kadar minyak

(banyaknya minyak yang terserap), kerenyahan produk, dan bentuk produk setelah

mengembang (Marsmellowblack, 2012).

Semua pangan goreng mempunyai struktur dasar yang sama, terdiri dari inner zone (core), outer zone (crust), dan outer zone surface. Inner zone (core) adalah bagian dalam pangan goreng yang masih mengandung air. Sedangkan outer zone (crust) adalah bagian luar pangan goreng yangmengalami dehidrasi pada waktu proses penggorengan. Rongga pada bahan pangan goreng akibat penguapan air akan

tergantung pada perbandingan ketebalan crust dan core. Semakin tebal crust,semakin banyak minyak yang diserap. Outer zone surface adalah bagian paling luar dari bahan pangan goreng yang berwarna cokelatkekuning-kuningan. Lapisan tepung pada bahan

pangan goreng akan mengalami gelatinisasi, volume lapisan akan mengembang dan

mengering dengan teruapkannya air. Dengan demikian terbentuk tekstur renyah yang

(48)

pencokelatan atau maillard yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu,dan lama penggorengan. (Ketaren 1986).

Berdasarkan penelitian juga disebutkan kemungkinan adanya senyawa

Karsinogenik dalam minyak yang dipanaskan, dibuktikan dari bahan pangan berlemak teroksidasi yang dapat mengakibatkan pertumbuhan kanker hati. Selain itu selama

penggorengan juga akan terbentuk senyawa akrolein yang bersifat racun dan menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Penggunaan minyak goreng jelantah secara

berulang-ulang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada

saat pemanasan akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak

goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang

bersifat racun (Rukmini, 2007).

Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan juga akan

menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang

digoreng. Bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang telah rusak

akan mempunyai tekstur dan penampakan yang kurang menarik serta cita rasa dan bau

yang kurang enak (Trubusagrisarana, 2005).

Karena mudah terhidrolisis dan teroksidasi pada suhu ruang, asam lemak yang

dibiarkan terlalu lama akan turun nilai gizinya. Pengawetan dapat dilakukan dengan

menyimpannya pada suhu sejuk dan kering, serta menghindarkannya dari kontak

(49)

2.2. Minyak Curah

2.2.1. Pengertian Minyak Curah

Secara alami minyak sawit mengandung dua macam kadar asam, yaitu asam

stearat yang banyak mengandung gugus asam jenuh yang mudah beku dan asam

palmitat yang mengandung banyak kadar asam tak jenuh yang sukar membeku. Kedua

bagian ini kemudian dipisahkan sehingga minyak gorengnya akan sedikit mengandung

asam stearat. Minyak goreng yang sedikit mengandung asam stearat ini tentunya akan

lebih sulit membeku di temperatur yang dingin. Sisa dari hasil pemisahan ini adalah

minyak curah yang sudah jelas mengandung banyak fat atau asam stearat ini.

Untuk membandingkan kualitas minyak goreng antara minyak kemasan

dengan minyak curah adalah minyak kemasan dalam udara yang dingin tidak akan

mudah membeku, sedangkan minyak curah pasti membeku jika terkena udara dingin

sedikit saja. Minyak goreng dengan kadar lemak jenuh yang tinggi akan membeku jika

terkena udara dingin, jadi jika membandingkan dua macam minyak kemasan tinggal

dimasukkan ke dalam freezer dalam tempo tertentu kemudian bandingkan hasilnya, bandingkan dari keduanya mana yang paling banyak membeku. Maka yang paling

banyak bagian yang beku berarti kualitasnya kurang bagus (Aminuddin, 2010).

2.2.2. Komposisi Minyak Goreng Curah

Menurut Rosiani (2010), mengatakan tidak ada masalah masyarakat

menggunakan minyak goreng curah, hanya minyak goreng curah tidak boleh

digunakan berulang kali. Minyak goreng curah berbeda dengan minyak goreng

bermerek, seperti Filma, Bimoli dan sebagainya. Karena minyak goreng bermerek dua

(50)

Sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih

dibanding minyak goreng curah. Begitu juga kandungan yang terdapat antara minyak

curah dan minyak kemasan.

Dari segi kandungan minyak curah kadar lemaknya lebih tinggi dan juga

kandungan asam oleat dibanding minyak kemasan. Namun tidak ada masalah

menggunakan minyak curah, asalkan tidak berlebihan dan tidak digunakan

berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-hitaman. Karena pemakaian

berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak baik bagi kesehatan. Minyak curah

hanya mengalami penyaringan sampai tahap olein. Dan masih mengandung soft stearin (minyak fraksi padat) pada tingkat tertentu. Oleh karena itu minyak curah biasanya lebih keruh dibandingkan minyak bermerek. Selain itu tingkat sanitasi dan

kebersihannya kurang baik, tidak sebersih minyak bermerek. Tidak ada salahnya

menggunakan minyak goreng curah, hanya saja kadar kebersihannya berbeda dengan

minyak kemasan dan minyak kemasan kadar lemaknya lebih rendah.

Minyak goreng kemasan umumnya melalui proses produksi lebih lama

dibanding minyak curah karena mengalami beberapa proses. Proses produksi sedikit

banyak mempengaruhi kualitas minyak goreng yang dihasilkan baik secara fisik

maupun secara kandungan gizi. Sebetulnya minyak curah layak menjadi minyak sayur,

(51)

2.2.3. Minyak Kelapa Sawit

Minyak goreng sawit dibagi menjadi 2 (dua) kategori umum yaitu: Minyak

curah dan minyak kemasan. Minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan

adalah sama-sama merupakan proses industri, namun yang membedakannya adalah

dalam hal kualitas prosesnya. Minyak goreng yang dalam proses penyaringannya

dilakukan hanya sekali dan dijual dalam bentuk Non Kemasan tanpa merek, maka

itulah yang disebut Minyak Curah warnanya kuning keruh dan bila terkena suhu

dibawah normal, maka berubah menjadi beku ( Mulyadi, 2012).

Apabila proses penyaringannya dilakukan hingga 3-4 kali penyaringan, maka

jadilah minyak yang sangat jernih dan dikemas dan biasanya dikemas oleh industri

besar menjadi Kemasan dan Bermerk dan Minyak Kemasan dan bermerk yang

sekarang banyak beredar seperti: Merk minyak goreng Bimoli, Avena, Trofical

(Mulyadi, 2012).

2.2.4. Komposisi Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit adalah minyak yang dihasilkan dari inti kelapa sawit

(parm kernel oil). Minyak kelapa sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng,

shortening, margarine, dan minyak makan lainnya dengan kandungan karoten yang tinggi. Minyak sawit merupakan sumber pro vitamin A yang murah dibandingkan

dengan bahan baku lainnya. Minyak sawit dihasilkan dari proses ekstraksi bagian

sabut buah dan biji buah kelapa sawit. Minyak yang dihasilkan dari bagian kulit atau

(52)

Daging kelapa sawit mengandung enzim lipase yang dapat menyebabkan

kerusakan pada mutu minyak ketika struktur seluler terganggu. Enzim yang berada

didalam jaringan daging buah tidak aktif karena terselubung oleh lapisan vakuola,

sehingga tidak dapat berinteraksi dengan minyak yang banyak terkandung pada daging

buah. Masih aktif di bawah 150C dan non aktif dengan temperatur diatas 500 C.

Apabila trigliserida bereaksi dengan air maka menghasilkan gliserol dan asam lemak

bebas. Sebelum proses ektraksi minyak dilakukan, pertama-tama buah direbus di

dalam stelizer. Salah satu tujuannya yaitu mengnonaktifkan aktifitas enzim. Didalam

buah kelapa sawit ada enzim lipase dan oksidaseyang tetap bekerja sebelum enzim itu

dihentikan dengan cara fisika dan kimia.

Cara fisika yaitu dengan cara pemanasan pada suhu yang dapat mendegradasi

protein. Enzim lipasebertindak sebagai katalisator dalam pembentukan trigliserida dan

kemudian memecahnya kembali menjadi asam lemak bebas/ Free Faty Acid (FFA). Enzim Oksidasi berperan dalam proses pembentukan peroksida yang kemudian

dioksidasi lagi dan pecah menjadi gugusan aldehide dan kation. Senyawa yang

terakhir bila dioksidasi lagi akan menjadi asam. Jadi Asam Lemak Bebas/ Free Faty Acid (FFA) yang terdapat dalam minyak sawit merupakan hasil kerja enzim lipase dan oksidasi.

Aktifitas enzim semakin tinggi apabila buah mengalami luka. Untuk

mengurangi aktifitas enzim sampai di pabrik kelapa sawit diusahakan agar buah tidak

rusak dan buah tidak busuk. Enzim tersebut tidak aktif lagi pada temperatur 500C.

Karena itu perebusan di dalam sterilizer pada temperatur 1200 C akan menghentikan

(53)

Crude Palm Oil (PKO) masih mengandung non gliserida seperti asam lemak bebas, air, dan beberapa unsur logam dan kotoran lain. Oleh karena itu harus

dilakukan pemurnian lanjutan yaitu melalui degumming, netralisasi, dan deoderisasi sehingga dihasilkan minyak yang tidak berbau dan lebih stabil. Minyak kelapa sawit

mengandung asam lemak tidak jenuh dengan perbandingan yang hampir sama, yaitu

40% asam oleat, 44% asam palmitat. Minyak sawit juga merupakan sumber vitamin E,

tokoferol dan tokotrienol yang berperan sebagai antioksidan, yaitu suatu zat yang dapat mencegah terjadinya oksodasi. Tokoferol dan tokotrienol dapat menangkap radikal bebas dan mencegah kanker.

2.2.5. Variabel yang Sangat Berpengaruh Terhadap Asam Lemak Bebas

Beberapa variabel proses yang sangat berpengaruh terhadap perolehan asam

lemak seperti pengaruh suhu, kematangan buah, kadar pelukaan buah, pengadukan,

penambahan air, penambahan CPO dan lama penyimpanan.

1. Pengaruh Temperatur

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa kadar asam

lemak yang paling tinggi didapat pada suhu kamar (25 0C – 27 0C). Enzim lipase pada

buah kelapa sawit sudah tidak aktif pada suhu pendinginan 8 0C dan pada pemanasan

pada suhu 50 0C. Secara umum temperatur sangat berpengaruh pada reaksi kimia,

dimana kenaikan temperatur akan menaikkan kecepatan reaksi. Sifat enzim yang

inaktif pada suhu tinggi, maka pada proses enzimatis ada batasan suhu supaya enzim

dapat bekerja secara optimal. Penurunan aktifitas enzim pada suhu tinggi diduga

diakibatkan oleh denaturasi protein. Pada suhu rendah, aktifitas enzim juga menurun

(54)

2. Pengaruh Penambahan Air

Air mempunyai pengaruh pada reaksi yang terjadi, dan pengaruh ini pada

dasarnya adalah membantu terjadinya kontak antara substrat dengan enzim. Enzim

lipase aktif pada permukaan antara lapisan minyak dan air, sehingga dengan

melakukan pengadukan, maka kandungan air pada buah akan mampu untuk membantu

terjadinya kontak ini. Pada proses hidrolisa ini, secara stokiometri air pada buah sudah

berlebih untuk menghasilkan asam lemak (kadar air pada buah adalah sekitar 28%),

tetapi karena air ini berada pada padatan maka perlu dilakukan pelumatan buah dan

selanjutnya dilakukan pengadukan. Pengaruh kadar air pada produk yang dicapai

sangat besar, dimana kandungan air yang sangat besar dapat mengakibatkan reaksi

antara asam lemak dan gliserol tidak dapat terjadi dengan baik.

3. Pengaruh Pelukaan dan Pengadukan Buah

Enzim lipase tidak berada dalam minyak, tetapi berada dalam serat. Tingkat

pelukaan buah dan pengadukan sangat berpengaruh terhadap proses hidrolisa karena

akan membantu terjadinya kontak antara enzim dan minyak (substrat). Hal ini karena

posisi enzim lipase pada buah sawit belum diketahui secara pasti, sehingga untuk

mengatasi hal ini maka buah harus dilumat sampai halus, kemudian minyak dan

seratnya dicampur kembali. Dengan proses seperti ini terbukti bahwa kadar asam

lemak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan jika buah tidak dilumat sampai halus

(hanya dimemarkan/dilukai). Pengaturan kecepatan pengadukan pada reaksi ini perlu

dilakukan, karena pada proses ini pengadukan berpengaruh kepada waktu kontak

Gambar

Gambar 2.1 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Jenuh
Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 4.3. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Penggunaan
Tabel 4.4. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Lama                    Pemakaian Minyak Goreng di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan model kenaikan asam lemak bebas minyak goreng sawit curah pada masing-masing penyimpanan dapat dilihat bahwa pembentukan minyak goreng sawit curah

Waktu reaksi memberikan pengaruh terhadap penurunan asam lemak bebas (FFA) yang terdapat dalam minyak goreng bekas.. Penurunan FFA yang terjadi dapat dilihat pada Gambar

Karya ilmiah ini berjudul “ Penentuan Kandungan Asam Lemak Bebas Dan Bilangan Iod Minyak Goreng Curah Belawan Dengan Menggunakan Alat FT-IR Di Laboratorium Badan Pengujian

Penelitian mempelajari kemampuan adsorben dari tanah diatomit untuk menurunkan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan peroksida (PV) dan warna gelap minyak

Click Here kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng curah diamati dengan cara Kata kunci:?. kitosan nanopartikel, vitamin C (asam askorbat), adsorpsi,

Uji Lanjutan Menggunakan Uji Tukey Terhadap Asam Lemak Bebas Minyak Goreng Hasil Penggorengan Berulang Dengan Penambahan Ekstrak Kunyit Multiple Comparisons. Asam

Berdasarkan model kenaikan asam lemak bebas minyak goreng sawit curah pada masing-masing penyimpanan dapat dilihat bahwa pembentukan minyak goreng sawit curah

Penetapan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan pedagang gorengan di jl A.W Sjahranie Samarinda.. Jurnal ilmiah manuntung,