• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.3. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis

Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) di laboratorium terhadap 5 sampel minyak goreng jenis curah sebelum dipakai, diperoleh 4 sampel minyak goreng yang melebihi standar mutu minyak goreng dengan kadar tertinggi yaitu 0,45%. Sedangkan batas maksimum kadar Asam Lemak Bebas untuk minyak goreng menurut SNI 3741-1995 yaitu 0,3% dari berat minyak, sementara hasil pemeriksaan Asam Lemak Bebas minyak curah meningkat sekitar 1,5 kali bila dibandingkan dengan hasil penelitian kadar tertinggi asam lemak bebas yaitu 0,45%.

Kenaikan dari Asam Lemak Bebas ini disebabkan oleh minyak goreng jenis curah tidak dilakukan proses Deodorisasi yaitu proses penguapan kembali di mana yang akan diuapkan adalah Asam Lemak Bebas dan senyawa-senyawa penyebab bau yang lebih mudah menguap serta produk oksidasi seperti Aldehid dan Keton yang masih ada. Bila senyawa di atas tidak diuapkan maka akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan rasa yang tidak diinginkan pada produk minyak (Ketaren, 2005).

Pada proses penyaringan minyak jenis curah juga, hanya dilakukan satu kali penyaringan sehingga minyak tersebut masih bisa membeku (biasanya disebut dengan minyak goreng tidur), sedangkan dengan dua kali penyaringan atau double fracination yang memisahkan minyak fase padat (stearin dengan nama asam lemak yaitu stearat) dari fase cair (olein dengan nama asam lemak yaitu asam oleat) agar stearin nya tidak terbawa, minyak goreng tidur tidak akan terjadi, meski disimpan di lemari es sekalipun. Sehingga minyak goreng yang mengalami dua kali penyaringan akan lebih

mahal harganya karena biaya poduksinya menjadi berlipat, yang disebut dengan minyak kemasan.

Menurut penelitian Pina (2006), pengukuran asam lemak bebas pada minyak goreng kemasan yaitu Bimoli, didapat kadar asam lemak bebasnya 0,17%, masih di bawah kadar maksimum menurut SNI 3741-1995 yaitu 0,3%. Hal ini disebabkan karena proses penyaringan Bimoli mengalami dua kali proses penyaringan dan proses produksinya sampai pada tahap deodorisasi sedangkan minyak curah hanya mengalami sekali penyaringan saja dan belum sampai pada tahap deodorisasi.

Kadar asam lemak bebas pada sampel ke 4 sebesar 0,3% sesuai dengan standar mutu minyak goreng menurut SNI 3741-1995 yaitu 0,3%. Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan hasil dari minyak goreng jenis curah tersebut tergantung dari proses-proses pengolahan minyak kelapa sawit yang dimulai dari proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil). Karena minyak curah yang diperiksa dalam sampel diambil dari beberapa warung yang berbeda atau dari beberapa sumber pengolahan produksi minyak kelapa sawit yang berbeda jadi hasilnya juga berbeda.

Menurut Syaiha (2012), dalam memilih minyak goreng masyarakat umumnya lebih mempertimbangkan warna, padahal warna tidak menentukan kualitas minyak. Hal yang paling penting adalah kejernihan dan bau. Jika minyak berwarna jernih dan tidak tengik berarti minyak itu bagus. Warna yang baik adalah minyak goreng berwarna kemerahan, minyak goreng berwarna merah yang terbuat dari kelapa sawit justru mengandung betakarotin yang merupakan provitamin A. Karena masyarakat lebih senang minyak goreng berwarna kuning jernih. Biasanya oleh produsen minyak

goreng dilakukan penyaringan beberapa kali, akibatnya provitamin A alami yang terdapat pada minyak goreng akan hilang. Sebagai pengganti produsen menambahkan lagi vitamin A ke dalam minyak goreng.

Menurut Ardiansyah, 2011 yang mengadakan kegiatan sosialisasi dan promosi minyak kemasan yang bermerk minyakita pada tanggal 23 November 2011 di Pasar Sei Kambing kota Medan memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya mengalihkan konsumsi minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan yang lebih sehat dan lebih higienis. Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat mempercepat target pemerintah untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari minyak curah pada tahun 2015.

5.4. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Setelah 3x Menggoreng

Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) terhadap 5 sampel minyak goreng jenis curah setelah 3x menggoreng diperoleh hasil pada sampel 1 sebesar 0,56%, sampel 2 sebesar 0,96%, sampel 3 sebesar 0,59%, sampel 4 sebesar 0,47% dan sampel 5 sebesar 0,88%. Kenaikan kadar Asam Lemak Bebas dari ke lima sampel ini disebabkan oleh pecahnya molekul asam-asam lemak berantai penjang pada minyak menjadi berantai pendek melalui reaksi hidrolisis dan oksidasi. Pemecahan rantai panjang ini dikarenakan beberapa hal diantaranya pemanasan minyak pada waktu digunakan melebihi standart. Sedangkan standarisasi dalam proses penggorengan antara 177-2210C. Pada suhu seperti ini ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh rusak kemudian akan teroksidasi, membentuk gugus

peroksida dan monomer siklik, sehingga yang tersisa adalah asam lemak jenuh saja, resiko terhadap meningkatnya kolesterol darah tentu akan semakin meningkat.

Menurut dr. Nani (2005), seharusnya minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng ikan atau makanan yang lainnnya tidak boleh melebihi sampai tiga kali penggorengan, akan tetapi sesuai dengan pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah yang telah digunakan sebanyak 3x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,96% dan bila dibandingkan dengan SNI 3741-1995 maksimal 0,3% terdapat perbedaan sekitar 6,6 kali.

Akan tetapi dalam penelitian ini, minyak yang diteliti adalah minyak goreng jenis curah dimana terdapat perbedaan karakteristik antara minyak goreng curah dengan minyak goreng kemasan (bermerek) antara lain dapat dilihat dari sisi bentuk pengemasan dalam memasarkan produk, kualitas, tingkat kejernihan, serta sistem pemasarannya. Minyak goreng curah biasanya dipasarkan oleh para produsen secara jual putus dalam bentuk bulk/drum/tangki karena produsen hanya melayani pembelian dalam jumlah atau volume yang besar. Kualitas minyak goreng kemasan (bermerek) ini lebih tinggi dibandingkan minyak goreng curah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 45% hingga 65% setelah melalui beberapa kali proses penyaringan sehingga menghasilkan minyak goreng yang lebih jernih d Oleh karena itu, minyak goreng kemasan (bermerek) ini memiliki ketahanan waktu simpan yang cukup lama yaitu sekitar 1-2 bulan. Sehingga pada hasil penelitian di dapatkan kadar asam lemak bebas yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan minyak goreng yang bermerek. Meskipun memiliki fungsi atau kegunaan yang sama namun minyak goreng curah dan

minyak goreng kemasan (bermerek) memiliki karakteristik dan tingkat harga yang berbeda (Moehammad, 2011).

Selain itu vitamin A, D, E, dan K yang terdapat didalamnya akan ikut rusak. Minyak goreng yang telah digunakan akan mengalami berbagai reaksi yang menurunkan kadar mutunya. Pada suhu pemanasan, akan membentuk akrolein, yakni sejenis aldehid yang dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Ketika dikomsumsi maka dapat berpengaruh pada munculnya asam lemak trans yang akan mempengaruhi HDL kolesterol, LDL kolesterol serta total kolesterol yang merupakan sistem metabolisme darah dan ini terjadi lewat sebuah proses tahapan berupa penumpukan yakni penyumbatan pembuluh darah yang pada akhirnya berujung pada penyakit jantung. Minyak jelantah juga jika ditinjau dari komposisi kimianya, mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik penyebab kanker.

5.5. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) pada Minyak Goreng Jenis Curah Setelah 6x Menggoreng.

Dari hasil pemeriksaan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah yang 6x menggoreng didapatkan hasil tertinggi sebesar 1,53%, sementara menurut SNI 3741-1995 Kadar Asam Lemak Bebas maximal 0,3%, terdapat kenaikan sekitar 1,23 kali. Bila dibandingkan dengan kadar asam lemak bebas yang tertinggi pada minyak yang 3x menggoreng yaitu 0,96% dan pada 6x menggoreng yaitu 1,53% terdapat peningkatan sebesar 0,57. Semakin sering digunakan minyak semakin rusak dan menjadi lebih kental, mempunyai asam lemak bebas yang tinggi dan berwarna kecokelatan. Selama proses menggoreng makanan, terjadi perubahan fisik-kimia, baik pada makanan yang digoreng maupun minyak yang dipakai sebagai media untuk

menggoreng. Kerusakan minyak goreng terjadi atau berlangsung selama proses penggorengan, dan itu mengakibatkan penurunan nilai gizi terhadap makanan yang digoreng. Minyak goreng yang rusak akan menyebabkan tekstur, penampilan, cita rasa dan bau yang kurang enak pada makanan. Dan yang berbahaya juga dapat mengakibatkan pertumbuhan kanker dalam hati dan pembengkakan organ, khususnya hati dan ginjal.

Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng akan mengalami peruraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun. Bila minyak digunakan berulang kali, semakin cepat terbentuk akrolein. Yang membuat batuk jika memakan hasil gorengannya. Jelantah juga mudah mengalami reaksi oksidasi sehingga jika disimpan cepat berbau tengik.

Selain itu, minyak jelantah juga disukai jamur aflatoksin sebagai tempat berkembang biak. Jamur ini menghasilkan racun aflatoksin yang menyebabkan berbagai penyakit, terutama hati/liver. Minyak Jelantah merupakan limbah dan bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Jadi, jelas bahwa pemakaian minyak jelantah dapat merusak kesehatan manusia. Menimbulkan penyakit kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya.

Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan. Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi, sedangkan antioksidan akan menghambatnya. Penyimpanan lemak yang baik adalah dalam tempat tertutup yang gelap dan dingin. Wadah lebih baik terbuat dari aluminium atau stainless steel, lemak

harus dihindarkan dari logam besi atau tembaga. Adanya antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi.

Kemasan pada kertas pembungkus gorengan juga dapat menimbulkan bahaya. Kertas yang digunakan biasanya adalah kertas bekas yang ada tulisannya. Gorengan yang diletakkan disana akan menyebabkan sebagian kecil timbal dari tinta tulisan itu larut dan termakan. Keberadaan Timbal (Pb) dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan hati dan ginjal. Sebagian pedagang gorengan kaki lima di Jakarta menggunakan minyak goreng bekas yang berasal dari restoran-restoran besar yang didapat dengan harga murah dan ketika minyak sudah hitam, pedagang menjernihkan kembali minyak dengan cara menaburkan tepung beras untuk mengikat endapan kotor pada minyak bekas tersebut. Radang tenggorokan, kegemukan, kanker, radang pembuluh darah, jantung dan sebagainya. Sebagian dari penyakit ini dapat timbul dalam jangka panjang (Syaiha, 2012).

Dari hasil laporan investigasi Televisi Swasta melaporkan bahwa beberapa pedagang gorengan menambahkan lilin atau atau kantong kresek ke dalam minyak panas. Penggunaan lilin dan atau kantong kresek tersebut dimaksudkan agar minyak goreng terlihat lebih jernih walau digunakan berulang-ulang kali, warna gorengan menjadi lebih menarik, dan juga lebih renyah. Lilin dan plastik terbuat dari bahan kimia yang tentunya tidak boleh terkontaminasi didalam makanan karena sangat membahayakan kesehatan manusia bila masuk ke organ tubuh. Efeknya dapat membuat pengaruh besar terkena kanker dikemudian hari.

Berdasarkan pandangan dari Safriadi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), minyak jelantah dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif

untuk kompor yang ramah lingkungan, karena termasuk dalam kelompok sumber energi nabati. Limbah minyak goreng berpotensi menjadi alternatif bahan bakar nabati yang ramah lingkungan dan mampu menurunkan 100% emisi gas buangan sulfur dan CO2 serta CO sampai 50%. Bahkan di kalangan orang tua jaman dulu pun, ada sebagian orang yang menggunakan lampu dengan minyak jelantah ini.

Dokumen terkait