• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka merupakan penelaahan terhadap sumber-sumber buku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka merupakan penelaahan terhadap sumber-sumber buku"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan penelaahan terhadap sumber-sumber buku dan artikel secara mendalam, ditambah dengan hasil eksplorasi informasi dengan melakukan wawancara terhadap narasumber yang berhubungan dengan tema yang dikaji. Tinjauan pustaka ini sebagai landasan berpikir dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kawasan Wisata Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda 1985-2007 (Suatu Kajian Tentang Mobilitas Sosial Masyarakat Sekitarnya)”. Buku-buku yang dijadikan sumber literatur ini merupakan buku-buku umum yang membahas mengenai pariwisata, stratifikasi sosial, mobilitas sosial, etos kerja, dan masyarakat Sunda.

Adapun tinjauan pustaka dalam buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (2004: 46), memuat hal-hal berikut ini:

(a) Apakah teori-teori utama dan teori-teori turunannya dalam bidang yang dikaji.

(b) Apa yang telah dilakukan oleh orang lain atau peneliti lain dalam bidang yang diteliti, bagaimana mereka melakukannya (prosedur, subyek), dan temuannya.

(c) Posisi teoritik peneliti yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Sesuai dengan prosedur di atas, peneliti mencoba untuk menganalisis penelitian-penelitian terdahulu yang mempunyai objek kajian sama dengan objek kajian peneliti tentang mobilitas sosial masyarakat.

Pemaparan tinjauan pustaka ini dibagi ke dalam tiga sub bab berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Pertama, pariwisata yang terdiri dari konsep

(2)

kepariwisataan, peran masyarakat terhadap pembangunan objek wisata, dan pengaruh objek wisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Kedua, mobilitas sosial, bagian ini memaparkan secara khusus tentang definisi mobilitas sosial, jenis-jenis mobilitas sosial, dan dampak mobilitas sosial. Ketiga, stratifikasi sosial. Keempat, etos kerja.

A. Pariwisata

1. Pengertian Pariwisata

Salah satu kebutuhan hidup manusia untuk menghilangkan rasa lelah, jenuh bahkan stress yang diakibatkan oleh kesibukan dan padatnya waktu kerja adalah refresing. Tujuan dari refresing adalah untuk mengalihkan perhatian dari suasana rutin ke suasana lain sehingga terjadi penyegaran suasana yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan kerja secara optimal. Adapun salah satu usaha manusia dalam mengatasi hal tersebut yaitu dengan berwisata. Dalam UU No. 10 tahun 1990 dinyatakan bahwa “Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata, serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut”.

Maryani (1997: 2) mengemukakan bahwa:

…secara epistimologi pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata pari yang artinya banyak, penuh atau berputar-putar, dan wisata artinya perjalanan, yang dalam bahasa Inggris disebut travel. Jadi secara sederhana, pariwisata adalah perjalanan sari suatu tempat ke tempat lain. Pendapat diatas ditegaskan lagi oleh Marpaung (2002: 13) bahwa:

Pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktivitas yang dilakukan selama mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

(3)

Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pariwisata yaitu suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain dan bertujuan untuk bersenang-senang dengan menikmati objek-objek wisata selama di perjalanan. Bentuk dari perjalanan tersebut harus selalu dikaitkan dengan pertamasyaan atau rekreasi. Adapun orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak bermaksud untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.

2. Macam-Macam Objek Wisata

Objek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan. Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentuk dasar aktivitas dan fasilitas yang saling berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah tertentu.

Direktorat Jendral Pemerintah membagi objek dan daya tarik wisata menjadi tiga macam, yaitu: objek wisata alam, objek wisata budaya, dan objek wisata minat khusus. Adapun dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa objek dan daya tarik wisata adalah sesuatu yang menjadi sasaran wisata terdiri atas:

a. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, flora, dan fauna.

b. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya, wisata agro, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan komplek hiburan.

(4)

3. Usaha Jasa dan Sarana Wisata

Oka A. Yoeti (1996: 186) mengemukakan bahwa “…yang dimaksud dalam prasarana adalah fasilitas yang dapat memungkinkan proses perekonomian berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat memudahkan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya”. Berdasarkan pendapat di atas, maka usaha jasa dapat digolongkan kedalam prasarana wisata.

Adapun mengenai sarana wisata dicantumkan pada Pasal 57 yang memaparkan bahwa usaha sarana pariwisata dapat berupa:

a. Penyediaan akomodasi

b. Penyediaan makan dan minum c. Penyediaan angkutan wisata d. Penyediaan sarana wisata tirta, dan e. Penyelenggaraan kawasan pariwisata.

4. Keberhasilan Pengembangan Objek Wisata

Indikator keberhasilan pengembangan pariwisata sebagai sumber penghasil devisa dalam Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2005-2009 (2006: 3) dapat dilihat dari tiga unsur yaitu:

a. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (foreign tourist)

b. Pengeluaran wisatawan mancanegara perwisatawan, perhari dan perkunjungan (foreign tourist expenditures)

c. Lama tinggal wisatawan mancanegara (foreign tourist length of stay) Trihatmodjo dalam Oka A. Yoeti (1997: 5) memaparkan bahwa berhasilnya suatu tempat menjadi daerah tempat wisata sangat tergantung pada tiga A, yaitu atraksi (atraction), mudah dicapai (accessibility), dan fasilitas (amenities). Maryani (1991: 11) juga menambahkan bahwa berkembangnya suatu

(5)

daerah untuk menjadi suatu daerah wisata agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan dapat dilihat dari:

a. How to arrive b. Something to see c. Something to do d. Something to buy e. How to stay

Berdasarkan pemaparan di atas, maka indikator keberhasilan pengembangan objek wisata dapat dilihat dari yaitu peningkatan jumlah pengunjung, peningkatan kualitas dan kuantitas daya tarik objek wisata, peningkatan pendapatan suatu objek wisata.

5. Peran Masyarakat Terhadap Pembangunan Objek Wisata

Pengembangan suatu objek wisata harus melibatkan masyarakat sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan pengelolaan pariwisata dalam Undang-undang No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan yang menyatakan bahwa “…meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Pernyataan ini dipertegas lagi dalam Renstra Dinas Kehutanan Prop Jabar 2006-2010 yang berisi:

“Misi ketiga yaitu ”Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pengelolaan Partisipatif ”, yang akan diimplementasikan secara intensif melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Misi ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa dengan kepemilikan lahan oleh petani sangat rendah ( ± 0,15 Ha /KK/ 5 Jiwa ) maka akan sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Memberikan akses kepada masyarakat secara luas dalam pembangunan kehutanan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan pendapatan masyarakat”.

(6)

Misi di atas dikembangkan dalam visi pengelolaan kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda yaitu “…terciptanya pengembangan pengelolaan Tahura yang berwawasan lingkungan untuk mewujudkan kelestarian hutan sebagai sistem penyangga kehidupan bagi kesejahteraan rakyat”.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan objek wisata dapat mengatasi masalah kemiskinan. Seperti yang dikemukakan oleh Bintarto (1997: 36) bahwa kemiskinan di pedesaan disebabkan:

a. Rendahnya produktivitas tanah b. Kurangnya modal

c. Rendahnya tingkat pendidikan

d. Kekurangan leadership yang dapat membimbing kearah kemajuan ekonomi.

Adapun keikutsertaan masyarakat dalam aktivitas pariwisata telah diatur dalam pasal 30 UU tahun 1990 tentang kepariwisataan yang menyatakan bahwa:

a. Masyarakat sekitar memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. b. Dalam rangka proses pengambilan keputusan, pemerintah dapat

mengikutsertakan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan.

c. Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Oka A. Yoeti (1993: 2) memaparkan pentingnya partisipasi masyarakat sekitar dalam pengembangan objek wisata, yaitu:

... perlu diperhatikan bagaimana kesan masyarakat tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, keramahtamahan penduduk, suka menolak pendatang baru, bersikap permusuhan dan bagaimana pula bentuk perjalanan yang akan diselenggarakan. Semua ini akan sangat mempengaruhi pikiran diantara beberapa alternative dari kesempatan melakukan perjalanan.

(7)

Bentuk dari peran serta masyarakat sekitar dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang penyelenggaraan kepariwisataan pasal 106 yaitu:

a. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 berupa pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, masukan terhadap pengembangan, informasi potensi dan masalah, serta rencana pengembangan kepariwisataan.

b. Saran, pertimbangan, tanggapan, masukan sebagaimana dimasksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada menteri.

Sungkawa (2000: 48) memaparkan bahwa bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata yaitu:

a. Partisipasi pikiran b. Partisipasi tenaga

c. Partisipasi tenaga dan pikiran d. Partisipasi keahlian

e. Partisipasi dengan barang f. Partisipasi dengan uang

Berdasarkan pemaparan di atas, maka pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda harus melibatkan masyarakat. Dengan demikian visi dan misi pemerintah akan berhasil yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat.

6. Pengaruh Objek Wisata Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat.

Penyelenggaraan kegiatan pariwisata dan objek wisata dapat memberikan dampak bagi masyarakat sekitar. John M. B. (1973) dalam Abdurrachmat dan E. Masyani (1998: 79) memaparkan bahwa penyelenggaraan kegiatan pariwisata dan objek wisata dapat memberikan setidaknya enam dampak positif yaitu:

a. Penyumbang devisa negara b. Menyebarkan pembangunan c. Menciptakan lapangan kerja

(8)

d. Memacu pertumbuhan ekonomi melalui dampak pengadaan (multiplier effect)

e. Wawasan masyarakat tentang bangsa-bangsa di dunia semakin luas. f. Mendorong semakin meningkatnya pendidikan dan keterampilan

penduduk.

Dampak negatif penyelenggaraan pariwisata dijelaskan John M. B. (1973) dalam Abdurrachmat dan E. Maryani (1998: 80) yaitu:

a. Semakin ketatnya persaingan harga antar sektor b. Harga lahan yang semakin tinggi

c. Mendorong timbulnya inflasi

d. Bahaya terhadap ketergantungan yang tinggi dari negara terhadap pariwisata

e. Meningkatnya kecenderungan impor f. Menciptakan biaya-biaya yang banyak

g. Perubahan sistem nilai dan moral, etika, kepercayaan, dan tata pergaulan dalam masyarakat. Misalnya mengikis kehidupan bergotong royong, sopan santun dan lain-lain.

h. Memudahkan kegiatan mata-mata dan penyebaran obat terlarang i. Dapat meningkatkan pencemaran lingkungan seperti sampah,

vandalisme (corat-coret), rusaknya habitat flora dan fauna tertenu, polusi udara, air, dan tanah, dan sebagainya.

Pendapat di atas diperjelas oleh Marpaung (2002: 27) bahwa dampak dari kegiatan pariwisata dalam bidang sosial yang dapat terjadi pada masyarakat sekitar objek wisata adalah sebagai berikut:

a. Kepadatan wisatawan.

Seringkali jumlah wisatawan yang berkumpul atau yang berkunjung menumpuk pada satu waktu. Aspek musiman pada pariwisata banyak terjadi di daerah tujuan wisata.

b. Pengaruh perilaku wisatawan mendorong masyarakat lokal untuk bekerja dan mengejar sesuatu yang mereka tidak perlu, sesuatu yang baru dan tampak baik yang dikenakan atau dilakukan wisatawan. c. Migrasi

Secara ekonomi dalam mencoba meraih peluang ekonomi dari perjalanan wisatawan, masyarakat pedesaan ikut ambil bagian dengan bekerja di bidang jasa di tempat-tempat kunjungan wisata, sehingga tidak sedikit dari mereka meninggalkan kampung halamannya untuk pekerjaan ini. Hal ini menjadi masalah dalam menjaga kebutuhan tenaga kerja dibidang pertanian.

(9)

d. Penurunan moral masyarakat merupakan suatu sugesti bahwa pariwisata membawa akibat pada perubahan kondisi moral masyarakat setempat seperti pelacuran, kejahatan, dan perjudian

e. Ukuran dampak sosial merupakan suatu sugesti bahwa indeks dari iritasi wisatawan ada. Tempat tujuan wisata pada indeks tersebut kemungkinan terpengaruh dampak sosial dari pariwisata. Jika proses dari kepariwisataan hilang maka dampak sosialnya pun hilang.

B. Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial merupakan salah satu kajian penting dalam penelitian ini. Perkembangan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar yang berdampak pada mobilitas sosial masyarakat tersebut. Mobilitas sosial ini bisa dilihat dari kedudukan dan status seseorang di masyarakat dengan ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan pada tahun 1985-2007.

1. Definisi Mobilitas Sosial

Horton dan Hunt (1990: 56) menyatakan bahwa “Mobilitas sosial yaitu peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula penghasilan yang dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.” Horton dan Chester L. Hunt (1992: 36) menyatakan bahwa “Mobilitas sosial (social mobility) dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya.” Pendapat Horton didukung oleh Huky (1982:140) bahwa “Istilah mobilitas sosial diartikan sebagai gerak orang perorangan atau grup dari suatu stratum ke stratum lainnya dalam masyarakat.” Soekanto (2006: 219) menjelaskan bahwa “Gerak sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok.”

(10)

Lebih lanjut mengenai mobilitas sosial ini dikemukakan oleh Kimball Young dan Raymond W. Mack dalam Saripudin (2005: 1), bahwa “Gerak sosial atau social mobility adalah suatu gerak dalam struktur sosial (social structure) yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.” Young dan Raymond juga menjelaskan bahwa “…Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antar individu dan hubungan individu dengan kelompoknya” (Saripudin 2005: 1).

Greely (1976) dalam Horton dan Chester L. Hunt (1992: 37) memaparkan bahwa:

Pengertian mobilitas mencakup mobilitas kelompok dan mobilitas individu. Misalnya, keberhasilan keluarga Kennedy merupakan bukti dari mobilitas individu;sedang arus perpindahan orang-orang Katholik Irlandia dan Polandia dari perkampungan miskin ke daerah bagian pinggiran kota merupakan contoh mobilitas kelompok(Saripudin,2005:1).

Berdasar definisi mobilitas yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa mobilitas sosial adalah suatu gerak individu atau kelompok dari stratum yang satu ke stratum yang lebih atas atau lebih bawah, atau dari struktur pekerjaan satu ke pekerjaan lain yang sederajat. Dengan demikian, kehidupan individu atau kelompok bisa mengalami penurunan atau peningkatan.

2. Faktor-Faktor Penyebab Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial masyarakat terjadi karena berbagai faktor. Horton dan Chester L. Hunt (1992), berpendapat bahwa tingkat mobilitas pada masyarakat modern ditentukan oleh pertama, faktor struktur yakni faktor yang menentukan jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk memperolehnya. Faktor struktur ini bisa dilihat dari struktur pekerjaan, perbedaan

(11)

fertilitas, dan ekonomi ganda. Kedua, faktor individu yang antara lain termasuk faktor perbedaan kemampuan, pendidikan, kebiasaan kerja, pola penundaan kesenangan, hipotesis kesenjangan nilai, faktor kemujuran, dan interaksi antarsemua faktor yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan tersebut.

Cohen (1992: 269) memaparkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan mobilitas sosial yaitu ukuran keluarga, ras dan kesukuan, pendidikan, perkawinan, berakit kehulu, berenang ketepian, dan program pemerintah. Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan terjadinya mobilitas ke bawah antara lain pendidikan yang kurang memadai, perkawinan pada usia muda, melahirkan pada waktu umur masih muda, lahir di dalam sebuah keluarga berjumlah besar, dan mengalami krisis-krisis ekonomi atau karir.

3. Jenis-Jenis Mobilitas Sosial

Saripudin membagi mobilitas sosial ke dalam dua macam, yaitu

a. Mobilitas vertikal diartikan gerakan perorangan atau kelompok dalam masyarakat dari suatu stratum ke stratum di atas atau dibawahnya. Atau dengan kata lain, mobilitas vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat (2005:3).

b. Mobilitas sosial horizontal artinya gerak orang perorang dan kelompok dari suatu posisi lain dalam stratum yang sama. Atau dengan kata lain ialah suatu peralihan individu atau objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Contohnya orang beralih kewarganegaraan, pekerjaan yang sederajat, atau peralihan dari objek-objek sosial seperti radio mode pakaian, ideologi, dan sebagainya.(2005:10)

Berdasarkan definisi di atas, mobilitas sosial vertikal terbagi menjadi dua jenis gerak sosial yaitu pertama, vertikal yang naik (social climbing) dan vertikal

(12)

yang turun (social sinking). Nata Saputra (1981: 114) dalam Saripudin (2005: 3) memaparkan gerak sosial yang naik mempunyai dua bentuk utama, yaitu

a. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, kedudukan mana yang telah ada. b. Pembentukan suatu kelompok sosial baru yang kemudian ditempatkan

pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.

Soekanto (1990: 278) dalam Saripudin (2005: 10) juga memberikan contoh mobilitas sosial horizontal. Contoh dari mobilitas ini seperti “…pindah pekerjaan yang sederajat, perpindahan penduduk (urbanisasi, transmigrasi, dan sebagainya)”.

Cohen (1992: 269-270) berpendapat bahwa mobilitas sosial itu terbagi ke dalam empat tipe mobilitas, yaitu:

a. Mobilitas vertikal ialah perubahan status individu karena ia berpindah dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. (mobilitas ini bisa naik atau turun).

b. Mobiltas horizontal ialah perpindahan sosial pada tingkat yang sama. Individu yang berganti pekerjaan menunjukkan mobilitas horizontal apabila pergantian tersebut tidak mempengaruhi status sosial.

c. Mobilitas antar generasi ialah mobilitas yang terjadi antar generasi. Mobilitas ini terjadi apabila misalkan anak perempuan seorang sopir taxi kuliah pada perguruan tinggi menjadi seorang dokter yang ternama dalam hal ini telah terjadi mobilitas antar generasi. Contoh lain, jika ada seorang dokter yang anaknya hanya menjadi sopir taxi, maka proses yang terjadi adalah mobilitas sosial antar generasi-menurun. d. Mobilitas intragenerasi ialah perubahan atau perubahan-perubahan

dalam status sosial individu atau kelompok individu di dalam generasi yang sama. Contoh dari mobilitas ini misalkan, ada lima orang anak dari satu keluarga yang sama. Setelah menamatkan SLTA-nya keempat anak yang pertama langsung bekerja pada tingkat-tingkat pekerjaan yang tidak begitu penting dengan gaji kecil, sementara itu anak kelima bekerja 3 tahun pada perusahaan tersebut ia dipromosikan menjadi seorang manager. Sementara ia memperoleh sukses besar, keempat saudaranya tetap pada tingkat sosial ekonomis yang sama seperti dulu.

(13)

Tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil menurut Soekanto (2005: 219) ada dua macam, yaitu

1. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat.

2. Gerak sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat.

Sependapat dengan hal itu, Kerbo (2003: 376) memaparkan bahwa “Horizontal mobility is movement from one position to another of equal rank in the occupational structure. Vertical social mobility may be defined as the movement from one occupational position to another of higher or lower rank.” (Mobilitas horizontal adalah perpindahan dari satu posisi ke posisi yang sama dalam struktur pekerjaan. Mobilitas sosial vertikal bisa diartikan sebagai perpindahan dari kedudukan yang satu ke kedudukan lain yang lebih tinggi atau lebih rendah).

4. Manfaat dan Kerugian Mobilitas Sosial

Saripudin (2005: 24) berpendapat bahwa “mobilitas sosial memungkinkan masyarakat untuk mengisi kursi jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya.” Selain itu beliau juga menjelaskan manfaat dari adanya mobilitas sosial yaitu:

Adanya penyesuaian dari beberapa unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat. Proses penyesuaian tersebut dalam sosiologi disebut integrasi sosial. Integrasi sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat dapat berupa keteraturan sosial seperti dalam kehidupan keluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan sebagainya.(2005: 24)

(14)

Hal ini dipertegas oleh pendapat Horton dan Chester L. Hunt (1992) yang menjelaskan bahwa mobilitas sosial itu memiliki kerugian dan manfaat. Mobilitas sosial memungkinkan masyarakat atau seseorang untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, meningkatnya status seseorang di masyarakat, dan memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya. Akan tetapi mobilitas sosial juga memiliki beberapa kerugian. Masyarakat yang mobil menciptakan harapan-harapan yang tidak selamanya dapat dipenuhi, sehingga dapat melahirkan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan. Lane (1977) dalam Chester L. Hunt (1992: 39) menyatakan bahwa “Mobilitas sosial seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografis yang disertai dengan kerugian yang menyakitkan, karena ikatan sosial yang sudah sekian lama terjalin, lenyap.”

Mobilitas sosial juga akan menimbulkan konsekuensi negatif. Horton dan Chester L. Hunt (1992: 39) menjelaskan konsekuensi negatif dari mobilitas sosial yaitu:

Kecemasan akan penurunan status bila terjadi mobilitas menurun; Ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang ditingkatkan; Keretakan hubungan antaraanggota kelompok primer, karena seorang berpindah ke status yang lebih tinggi ke status yang lebih rendah. Seseorang yang dinaikkan jabatannya mungkin saja merasa cemburu melihat ketenangan masyarakat yang kurang mobil. Orang tua dan putra-putrinya dapat saling merasa sebagai orang asing.

Saripudin (2005: 26-27) menjelaskan bahwa mobilitas sosial juga berakibat negatif bagi masyarakat seperti terjadinya berbagai konflik, yaitu

1. Konflik kelas sosial, yang terjadi karena adanya pemberian kesempatan yang tidak sama dan diskriminasi kelas sosial sangat menghambat orang-orang kelas rendah untuk mengembangkan bakat dan kemampuan mereka semaksimal mungkin. Sementara itu di satu pihak, orang-orang kelas sosial atas yang memiliki banyak hak istimewa dengan bebas dan mudah memilih jenis pekerjaan,

(15)

sekalipun mereka tidak berbakat dan tidak berkemampuan atas pekerjaan atau jabatan itu.

2. Konflik kelompok sosial, didasarkan bahwa secara horizontal masyarakat dikelompokkan berdasarkan ras, etnik, suku, dan agama, dan lain-lain.

3. Konflik antar generasi terjadi karena kelompok tua di dalam suatu masyarakat biasanya mempunyai kepercayaan yang sangat kuat terhadap tradisi, norma-norma, dan nilai-nilai sosial yang mereka pelajari dari leluhur mereka. Sementara itu, zaman terus berubah ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri, yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap generasi muda dalam memberi penilaian terhadap berbagai objek material maupun nonmaterial.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu status sosial ke status sosial lain yang lebih tinggi, lebih rendah atau sama. Perpindahan individu atau kelompok dari satu status sosial ke status sosial yang lebih tinggi disebut mobilitas vertikal ke atas, sedangkan perpindahan ke status yang lebih rendah disebut mobilitas vertikal ke bawah. Mobilitas sosial horizontal terjadi apabila individu atau kelompok mengalami perpindahan dari satu posisi ke posisi yang sama dalam struktur pekerjaan.

Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda juga mengalami mobilitas sosial vertikal dan horizontal. Mobilitas vertikal bisa dilihat dari fakta perpindahan struktur pekerjaan dari buruh menjadi PNS. Sedangkan mobilitas horizontal bisa dilihat dari fakta perpindahan struktur pekerjaan dari pedagang menjadi tukang foto dan berubah lagi menjadi pedagang.

Mobilitas sosial selain bisa merubah status individu atau kelompok dalam masyarakat menjadi lebih baik, juga memiliki dampak yang negatif, yaitu akan melahirkan kecemasan penurunan status, ketidakpuasan, dan ketidakbahagian

(16)

karena tujuannya tidak tercapai. Selain itu mobilitas sosial juga dapat mengakibatkan konflik kelas sosial, konflik kelompok sosial, dan konflik antar generasi.

C. Stratifikasi Sosial

Pada dasarnya untuk memahami mengenai mobilitas sosial masyarakat harus dilakukan pengkajian terhadap stratifikasi sosial. Begitu pula dalam penelitian skripsi ini yang mengkaji mengenai mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda, maka peneliti harus memahami stratifikasi sosial di masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura.

Soekanto (2006: 198) memaparkan bahwa “Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan)”. Pitirim Sorokin (1954: 11) dalam Sajogyo (1985: 61)menyatakan bahwa “Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).” Perwujudan dari stratifikasi sosial tersebut adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.

Susanto (1983: 65) mengungkapkan bahwa “Stratifikasi sosial merupakan hasil kebiasaan antar manusia secara teratur dan tersusun, sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain secara vertikal maupun mendatar dalam masyarakatnya.”

(17)

Muhammad Rusli Karim (1998) dalam bukunya yang berjudul Seluk Beluk Perubahan Sosial menjelaskan bahwa munculnya pembedaan-pembedaan lapisan dalam masyarakat, membuktikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk memberikan penghargaan serta penilaian kepada pekerjaan atau hasil usaha seseorang. Maka dari itu stratifikasi sosial terbentuk karena berdasarkan pada keahlian serta pengakuan individu dari masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut Soekanto (2006: 199-200) berpendapat bahwa:

Sistem pelapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Namun ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Pada umumnya yang menjadi alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu.

Kamanto Sunarto (2004) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi memaparkan pendapat dari sejumlah ahli yang melihat bahwa, stratifikasi sosial timbul karena dalam masyarakat berkembang terdapat pembagian kerja, sehingga dapat memungkinkan terjadinya pembedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Karena ketiga hal tersebut jumlahnya sangat terbatas, maka sebagian besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat konflik untuk mendapatkanya.

Hal tersebut dipertegas lagi oleh pendapatnya Phil Astrid S Susanto (1983) dalam bukunya dengan judul Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Beliau memaparkan bahwa stratifikasi sosial ini muncul sebagai akibat dari semakin heterogennya suatu masyarakat.

(18)

Stratifikasi sosial menyebabkan terjadinya pembagian lapisan dalam masyarakat, namun sebenarnya stratifikasi sosial memiliki beberapa fungsi. Kingsle David dan Wilbert Moore terdapat beberapa fungsi stratifikasi sosial (Susanto, 1983: 67), yaitu:

a. Stratifikasi sosial menjelaskan kepada seseorang mengenai posisinya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaannya serta menjelaskan bagaimana dia harus menjalankannya. Sehingga memberikan sumbangsih terhadap masyarakat.

b. Karena peranan dari setiap tugas dalam setiap masyarakat berbeda-beda dengan sering kali tugas tersebut kurang dianggap penting oleh masyarakat (kerena beberapa pekerjaan meminta pendidikan dan keahlian terlebih dahulu). Maka berdasarkan perbedaan dan tuntutan prestasi kerja, masyarakat biasanya memberi penghargaan kepada yang melaksanakan tugas dengan baik begitupun sebaliknya. Sehingga dengan sendirinya terjadilah distribusi penghargaan. Dari sanalah muncul stratifikasi sosial.

c. Penghargaan tersebut biasanya bersifat ekonomi, yakni berupa pemberian status sosial atau fasilitas-fasilitas yang karena distribusinya berbeda (sesuai dengan pemenuhan persyaratan dan penilaian terhadap pelaksanaan) membentuk struktur sosial.

Pemaparan di atas menegaskan bahwa fungsi dari stratifikasi sosial muncul sebagai akibat dari adanya pembagian peranan serta kedudukan dalam heterogenitas suatu masyarakat. Dengan demikian, hal tersebut mengikat seseorang pada posisinya ditengah masyarakat. Stratifikasi sosial yang diterimanya itu bukan hanya penghargaan semata, tetapi bagaimana dia harus bisa menjalankan peranan tersebut dalam masyarakat sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dan diyakini masyarakat.

Apabila diklasifikasikan menurut standar ekonominya, maka pada umumnya masyarakat di Indonesia terdiri dari tiga lapisan sosial. Populasi warga pada lapisan teratas (upper class) merupakan posisi yang paling sedikit jumlahnya,

(19)

kemudian diikuti oleh lapisan menengah (middle class) serta lapisan bawah (lower class).

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu

1) Ukuran kekayaan dilihat dari barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.

2) Ukuran kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan.

3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kdang menyebabkan terjadinya akibat-akibat negatif. Karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapatkan gelar walau tidak halal. (Soekanto, 2006: 208 )

Samiati Alisjahbana (1995) dalam Ekadjati (1995) memaparkan bahwa kriteria bagi pelapisan sosial masyarakat desa di wilayah Priangan didasarkan pada:

1) Pemilikan tanah yang berkaitan dengan pelaksanaan tanam paksa 2) Pemilik tanah luas, tanah sempit, dan penyewa tanah.

3) Pendidikan

4) Kedudukan dalam pemerintahan desa 5) Agama

Lapisan sosial berdasarkan pemilikan tanah serta luas sempitnya pemilikan tanah terbagi menjadi dua, yaitu orang yang memiliki tanah dan orang yang tidak memiliki tanah. Pergeseran-pergeseran pemilikan tanah memungkinkan

(20)

terbentuknya stratifikasi sosial berdasarkan tingkat kekayaan, perdagangan, dan jabatan. Menurut Ekadjati (1995) stratifikasi sosial dalam masyarakat desa yang terbentuk terbagi menjadi pertama, jalma beunghar, jalma jegud atau jalma sugih merupakan kelompok pertama dalam masyarakat yang semakin lama kekayaannya semakin banyak. Kedua, jalma cukup yaitu kelompok menengah, dimana masyarakat yang tingkat kekayaannya tidak menonjol, kaya sekali tidak, namun miskin pun tidak. Ketiga, jalma miskin, jalma masakat, jalma malarat atau jalma leutik yaitu kelompok masyarakat yang semakin lama kekayaannya berkurang bahkan tidak sedikit yang habis dan terbelit hutang.

Patokan dalam menentukan seseorang dikatakan sebagai orang kaya sangatlah bervariasi. Ekadjati (1995: 193) menjelaskan bahwa:

Harta benda yang dijadikan patokan dalam menentukan seseorang termasuk orang kaya, orang menengah, atau orang miskin dalam masyarakat desa di Jawa Barat terdiri atas tanah (tanah darat, sawah, kolam, empang), rumah, barang perhiasan (terbuat dari emas, intan, berlian), binatang ternak (kerbau, sapi, kuda, domba), uang, perlengkapan rumah, pakaian, toko atau perusahaan, dan di daerah-daerah tertentu termasuk pula roda (gerobak), delman, dan sekarang kendaraan bermotor. Namun, criteria jumlahnya di tiap desa tidak selalu sama, melainkan ada bedanya; dengan kata lain bervariasi. Di desa yang tanahnya sempit, seorang pemilik tanah seluas 2 ha sudah termasuk orang kaya di desanya … sampai tahun 1950-an, radio masih dipandang sebagai simbol orang berstatus kaya, namun sekarang pesawat televisi pun (yang ukurannya kecil dan tidak berwarna) telah dimiliki oleh kelompok menengah di desa-desa, bahkan kelompok orang miskin un sudah ada yang memiliki.

Lambatnya perkembangan pendidikan masyarakat desa, bukan hanya karena lambatnya pendirian sekolah di desa-desa, melainkan juga karena kehendak orang tua di desa-desa untuk menyekolahkan anaknya sangat kecil, sehingga minat sekolah bagi anak-anak mereka pun tidak besar. Sejak usia 7-13 tahun anak-anak di desa dikerahkan orang tua mereka untuk membantu dalam

(21)

memenuhi kehidupan ekonomi keluarga. Pendidikan dianggap cukup dengan belajar mengaji di masjid atau langgar di sore atau malam hari pada seorang guru ngaji di sekitar rumah tinggalnya (amil, kiai, ustad). Dewasa ini semua anak usia sekolah diwajibkan mengikuti pendidikan tingkat dasar dan telah banyak anak dari desa berhasil menyelesaikan pendidikan pada tingkat universitas.

Kedudukan dalam pemerintahan desa juga merupakan salah satu kriteria dalam menentukan stratifikasi seseorang di masyarakat desa di Jawa Barat. Kelompok sosial pemegang pemerintahan desa (kepala desa dan pamong desa lainnya) merupakan kelompok elit desa yang dapat dibedakan dengan kalangan rakyat biasa yang berada pada lapisan masyarakat bawah. Dalam 30 tahun terakhir ini terbentuk pula kelompok elit baru dalam masyarakat desa yang terdiri atas pegawai negeri sipil dan militer yang menetap di desa-desa, seperti guru, pegawai kecamatan, bidan, dan pensiunan ABRI. Kelompok elit baru ini dipandang sejajar status sosialnya dengan kelompok pamong desa.

Kriteria terakhir dalam menentukan stratifikasi sosial masyarakat desa yaitu agama. Tingkat penguasaan ilmu agama, ketaatan menunaikan ajaran agama, dan kegiatan dalam bidang agama menentukan status sosial seseorang dalam lapisan sosial masyarakat desa. Makin tinggi penguasaan ilmu agama, makin tinggi ketaatan melaksanakan ajaran agama, dan banyak aktif dalam kegiatan keagamaan, cenderung dipandang makin tinggi status sosialnya, dan sebaliknya, sehingga kiai, ajengan, dan ustadz menempati status sosial yang tinggi dalam masyarakat desa dan dianggap sebagai tokoh-tokoh desa terhormat, kaum elit desa.

(22)

Begitupun yang terjadi dalam masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Seseorang dapat dikatakan memiliki status lebih tinggi dari yang lainnya karena, pertama, faktor pendidikan membuat seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kedua, ukuran kekayaan. Dalam hal ini, individu yang memiliki harta yang lebih banyak dari pada yang lain, akan lebih dihargai dan dihormati oleh masyarakat sekitar, berbeda dengan individu yang serba kekurangan. Ketiga, kedudukan mereka dalam pemerintahan desa.

D. Etos Kerja

Mobilitas sosial terjadi salah satunya karena etos kerja yang dimiliki oleh individu. Apabila etos kerjanya rendah, maka besar kemungkinan mobilitas sosial yang terjadi adalah mobilitas vertikal menurun atau mobilitas horizontal, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sairin (2002: 320) bahwa:

…Jika dalam kebudayaan suatu masyarakat terdapat penilaian bahwa orang yang bekerja dinilai lebih tinggi statusnya daripada mereka yang menganggur, maka berarti etos kerja masyarakat cukup tinggi, sedangkan yang menganggur lebih rendah...

Dengan demikian, ada baiknya dalam mengkaji mengenai mobilitas sosial, peneliti juga akan membahas mengenai etos kerja. Pemaparan etos kerja ini akan dibagi ke dalam dua sub pokok bahasan, yaitu pertama, definisi etos kerja. Kedua, aspek-aspek yang terkandung dalam etos kerja.

1. Definisi Etos Kerja

Para ahli mengungkapkan beberapa terma dalam memahami etos kerja ini. Asy’arie (1997: 34) dalam Saripudin (2005: 44) menjelaskan bahwa “Etos kerja merupakan dua bangunan kata, etos dan kerja. Secara etimologis, kata etos berasal

(23)

dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” yang berarti tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, watak, dan perasaan.” Etos juga berarti sesuatu yang diyakini cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai kerja (Tasmara, 1995: 25).

Secara terminologis, kata etos yang telah mengalami perubahan makna yang meluas digunakan dalam tiga pengertian yang secara tekstual berbeda, yaitu (1) suatu aturan umum atau cara hidup; (2) suatu tatanan dari perilaku; (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku. Suseno (1992: 120) dalam Saripudin (2005: 44) mengungkapkan bahwa etos berarti semangat dan sikap batin tetap pada seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan-tekanan moral tertentu. Dengan demikian etos dapat juga mengandung makna semangat, keunggulan keuletan dan kemauan untuk maju yang merupakan karakter tetap dalam batin.

Rahardjo (1996: 390) dalam Saripudin (2005: 44) yang menilik etos dari dimensi sosiologi menyatakan bahwa:

Etos itu sebagai sekelompok ciri budaya yang dapat membedakan dan menunjukkan jati diri suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal itu memberikan makna bahwa etos menunjukkan sikap dasar seseorang atau kelompok dalam melakukan kegiatan tertentu, sehingga dimiliki seseorang. Namun demikian, hal itu dapat pula menjadi ciri dari suatu kelompok masyarakat.

Pendapat lain tentang etos kerja yaitu dari Arep dan Tanjung (2003: 156) yang memaparkan bahwa “Etos kerja (Ing: ethos) adalah jiwa atau watak seseorang dalam melaksanakan tugasnya yang dipancarkan ke luar, sehingga memancarkan citra positif atau negatif kepada orang luar orang bersangkutan.”

Mahrijanto (1993: 151) dalam Saripudin (2005: 45) memaparkan bahwa “ Kerja mengandung arti melakukan. Dari kata kerja itu dapat berbentuk kalimat

(24)

bekerja, yang berarti melakukan kerja dan dapat pula membentuk kalimat pekerjaan”.

Dengan demikian jika kedua kata itu disatukan menjadi Etos Kerja, maka memiliki makna berupa pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial atau bentuk semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok dalam memandang, mempersepsikan, menghayati, dan menghargai sebuah nilai kerja. Etos kerja yang dimiliki seseorang akan membawa individu tersebut ke dalam keberhasilan atau kegagalan.

2. Aspek-Aspek Yang Terkandung Dalam Etos Kerja

Etos kerja suatu masyarakat lahir dan berkembang berdasarkan standar dan norma-norma yang dijadikan orientasi masyarakatnya. Etos kerja suatu masyarakat merupakan suatu sikap yang dikehendaki dengan bebas yang tumbuh dari suatu kesadaran untuk selalu bekerja dengan tekun. Etos kerja mempengaruhi semangat dan gairah seseorang dalam bekerja sehingga hasil yang dapat akan berhasil atau gagal. Etos kerja yang tinggi muncul karena berbagai tantangan-tantangan, harapan-harapan, dan kemungkinan-kemungkinan yang lain menarik.

Etos kerja mengandung makna semangat, ulet, dan kemauan untuk maju. Saripudin (Suseno 1992:120) mengungkapkan bahwa:

Etos mengandung semangat dan sikap batin tetap pada seseorang atau sekelompok orang sejauh didalamnya termuat tekanan-tekanan moral tertentu. Etos dapat juga mengandung makna semangat, keunggulan keuletan dan kemauan untuk maju yang merupakan karakter tetap dalam batin.

(25)

Yasin Setiawan (2007) dalam artikelnya yang berjudul Telaah Etos Kerja memaparkan pula pendapat ahli mengenai aspek-aspek yang terkandung dalam dari etos kerja. Menurut Herell etos kerja itu adalah:

1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat.

2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan.

3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan.

Etos kerja yang baik bukan saja akan menghasilkan sikap-sikap produktif, tetapi juga akan menciptakan pengendalian diri guna menghadapi serta mengatasi berbagai kendala dari luar (Andarini, 1999: 27). Hakekatnya sistem etos kerja menurut Setiawan (Subekti 2001:30) bahwa suatu individu atau kelompok dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :

1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia. 2. Menempatkan pandangan tentang kerja sebagai suatu hal yang amat

luhur bagi eksistensi manusia.

3. Kerja dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus saran yang penting dalam mewujudkan cita-cita.

5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Berdasarkan uraian diatas, dalam etos kerja melekat konsep sikap, persepsi, spirit atau dorongan, keyakinan, dan nilai yang memotivasi perilaku individu dan kelompoknya. Seseorang dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi apabila memiliki sikap aktif, dinamis, rajin, optimis, berpandangan jauh ke depan, ulet, tekun, kreatif, bertanggung jawab, semangat, gesit, jeli, jujur, tepat

(26)

waktu, dan taat dalam beragama. Dengan demikian, aspek-aspek inilah yang dapat membuat seseorang memiliki kemauan tinggi untuk mencapai sebuah kesuksesan dalam hidup.

E. Kesejahteraan Sosial

Mobilitas sosial suatu masyarakat dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Kesejahteraan sosial menurut UU RI No.6 Tahun 1974 yaitu:

Kesejahteraan sosial sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan pancasila. (1997: 83).

Tingkat kesejahteraan sosial dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan keluarga. Melly Sri Sulastri (1987: 11) memaparkan bahwa:

Kesejahteraan keluarga adalah suatu keadaan yang menggambarkan kemajuan dan kesuksesan didalam hidup baik secara material, mental, spiritual dan sosial yang seimbang bagi keluarga serta dapat menyongsong kehidupan mendatang dengan menderita.

Tingkat kesejateraan keluarga dapat diukur dari tingkat pemenuhan kebutuhan hidup keluarga yang meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, perumahan, kesehatan, keselamatan, dan kebutuhan sosial (Aputra, 1989: 88).

(27)

Kriteria keluarga dapat dilihat dari pernyataan yang dikemukakan oleh BKKBN (1996: 12-13) yaitu:

1. Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga dengan masyarakat serta lingkungannya.

2. Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, dan kesehatan.

3. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya setelah kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.

4. Keluarga Sejahtera III adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar sosial psikologisnya dan pengembangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi dan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat.

5. Keluarga Sejahtera III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis, dan pengembangan serta telah dapat memberikan sumbangan yan teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

Kriteria lebih khusus mengenai keluarga Sejahtera menurut BKKBN (2007: 24 ) yaitu:

1. Umumnya anggota keluarga makan 2 kali atau lebih

2. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk dirumah, bekerja atau sekolah, dan bepergian.

3. Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai, dan dinding yang baik.

4. Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan 5. Bila PUS ingin ber-KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi 6. Semua anak berumur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari perhitungan menggunakan kalkulator PCE dapat dilihat pada tabel III, yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki pola hidup tidak sehat juga memiliki

Dalam observasi berikut menghasilkan data yaitu sebuah proses pendidikan guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting, selain komponen lainya seperti tujuan,

(1) Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas mengumpulkan dan mengkoordinasikan bahan penyusunan program kerja, evaluasi dan pelaporan

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

NAMA ASAL SEKOLAH NILAI Rangking Wilayah 1 GERRY WINDIARTO MOHAMAD SMA NU MH... Tempat di SMA Negeri 26 Jakarta mulai pukul 08.00

Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia, Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Sistem Pengendalian Internal Terhadap Kualitas

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang