• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: mutu pembelajaran klinik, skaling, media ajar, simulasi, model gigi xv

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: mutu pembelajaran klinik, skaling, media ajar, simulasi, model gigi xv"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

xv  

kompetensi klinis. Pembelajaran dengan simulasi memberi kesempatan mahasiswa untuk mempersiapkan diri sebelum menghadapi pasien sesungguhnya. Pengembangan media ajar untuk praktik skaling dilakukan karena media ajar yang saat ini digunakan sering menyulitkan mahasiswa dan pembimbing praktik terutama dalam menampilkan tanda-tanda adanya kalkulus/karang gigi, cara menghilangkan kalkulus, dan penentuan indeks kebersihan gigi dan mulut.

Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi experiment dengan rancang

pretest-posttest control group design. Lokasi penelitian adalah Jurusan

Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan waktu penelitian bulan April 2011 sampai dengan Oktober 2012. Sampel adalah mahasiswa semester 3 dan 5, teknik pengambilan sampel secara simple random sampling dan jumlah sampel sebanyak 140 mahasiswa. Kriteria sampel adalah: a) mahasiswa yang akan atau sudah selesai mengikuti praktik klinik, b) bersedia ikut serta dalam penelitian dengan mengisi informed consent.

Penelitian ini menghasilkan suatu media ajar dalam bentuk model gigi (typodont) dengan kalkulus artifisial yang dilengkapi alat penyangga. Hasil analisis pengaruh intervensi media ajar terhadap prestasi mahasiwa menunjukkan bahwa berdasarkan analisis uji t-test ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara nilai pretest dan nilai posttest (nilai kognitif) baik pada mahasiswa semester 3 maupun 5, namun selisih rata-rata kedua kelompok tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik (p>0,05). Ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) nilai keterampilan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, namun demikian selisih rata-rata nilai keterampilan kedua kelompok tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Analisis multivariat menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa nilai kognitif berkontribusi sebesar 2,7% terhadap peningkatan nilai keterampilan.

Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) tersedianya unit model gigi dengan kalkulus artifisial sebagai media ajar yang memadai untuk praktik skaling sebagai salah satu upaya tindak lanjut peningkatan mutu pembelajaran klinik, (2) ada pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan pada praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa, yaitu: (a) ada perbedaan yang signifikan nilai kognitif mahasiswa antara sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling, (b) ada perbedaan yang signifikan nilai keterampilan mahasiswa antara sebelum dan setelah intervensi menggunakan media ajar pada praktik skaling.

(2)

xvi  

prepare before facing real patients. Development of learning media to practice scaling is done because the current learning media are often difficult for students and practice tutors primarily in showing signs of calculus/tartar, procedures to remove calculus, and the determination of dental and oral hygiene index.

This was a quasi experiment study with a pretest-posttest control group research design. The research location was in Dental Nursing Department of Health Polytechnic of Yogyakarta conducted from April 2011 to October 2012. Samples were students in semester 3 and 5, taken with simple random sampling and the sample size was finally 140 students. Sample criteria were: a) students who would take or had already completed a clinical practice, b) students who were willing to participate in the study by completing an informed consent.

This study produced a teaching medium in the form of dental model (typodont) with artificial calculus equipped with a buffer. The results of analysis of the effect of learning media interventions on student achievement showed that, based on t-test analysis, there was a significant difference (p<0,05) between the pretest and posttest values (cognitive value) in both semester 3 and 5 students; however, the mean difference of both groups did not show any statistically significant difference (p>0,05). There was a significant difference (p<0,05) in skills score between the experimental group and the control group; however, the mean difference in both groups was not statistically significant (p>0,05). Multivariate analysis using linear regression showed that cognitive scores accounted for 2.7% of the increase in the skills score.

The conclusions of this study are: (1) there is an availability of adequate learning media in the form of dental models and artificial calculus equipped with a buffer for scaling practices, (2) there is an effect of intervention using learning media in the scaling practice on a student achievement, namely: (a) a significant difference in cognitive value of scaling practices on students before and after learning media intervention, (b) a significant difference in the score of scaling practice skills students before and after learning media intervention.

Keywords: quality of clinical learning, scaling, learning media, simulations, dental models

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi dan perdagangan bebas yang dimulai tahun 2003 melalui

Asean Free Trade Area (AFTA) menuntut peningkatan mutu calon pekerja di

negara-negara Asean, seperti Indonesia. Peningkatan mutu tersebut dapat dicapai antara lain dengan perbaikan mutu pendidikan sehingga para lulusan kompeten di bidangnya. Di Inggris dan Australia, mutu perguruan tinggi dikaitkan dengan kebijakan dan sistem institusional, aktivitas, serta kinerja perguruan tinggi, bahkan pada tahun 2004 kebijakan publik di Inggris telah mendefinisikan tentang standar mutu perguruan tinggi (Westerheijden et al., 2007).

Pada kompetisi pasar global, mutu merupakan faktor tunggal yang sangat menentukan kesuksesan. Juran dan Godfrey (1999) mengatakan bahwa abad 20 adalah abad produktivitas, sedangkan abad 21 adalah abad kualitas/mutu. Manajemen mutu menjadi isu kompetitif pada beberapa organisasi seperti di Amerika Serikat bahkan mutu menjadi bagian dari agenda nasional.

Reformasi pendidikan vokasional di Romania dilakukan dalam mengembangkan kerangka penjaminan mutu di tingkat nasional (Hart dan Rogojinaru, 2007). Gvaramadze (2008) memprakarsai penjaminan mutu dengan melakukan analisis tentang peningkatan mutu dan implikasi budaya mutu perguruan tinggi di Eropa. Dieter (2009) mengembangkan suatu program reformasi dalam ilmu-ilmu dasar, penelitian klinis, dan pelayanan pasien untuk meningkatkan mutu output pada pendidikan kedokteran di Jerman.

(4)

Tuntutan reformasi pendidikan juga menyangkut pembaruan sistem di berbagai bidang pendidikan. Hal lain yang juga penting adalah upaya peningkatan mutu pendidikan perguruan tinggi sehingga mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan stakeholders, dan berdaya saing dalam kehidupan global.

Paradigma baru manajemen pendidikan tinggi di Indonesia yaitu peningkatan mutu secara berkelanjutan, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi perlu dicapai (Depdiknas, 2003). Penerapan sistem penjaminan mutu (quality assurance) di suatu lembaga pendidikan tinggi sangat diperlukan sehingga para lulusan mampu bersaing di pasar global dengan mutu yang baik (Hadi, 2005).

Pemahaman beberapa pendapat di atas menegaskan bahwa tujuan utama paradigma baru manajemen perguruan tinggi saat ini adalah terwujudnya suatu sistem yang lebih dinamis dan efektif, sehingga menjamin terjadinya peningkatan mutu secara berkesinambungan agar menghasilkan produk yang selaras dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat pengguna. Perguruan tinggi perlu melaksanakan sistem penjaminan mutu untuk menjamin agar mutu pendidikan perguruan tinggi dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan yang direncanakan/dijanjikan.

Mutu pembelajaran di perguruan tinggi merupakan sebuah isu strategis karena hal tersebut merupakan faktor determinan bagi tercapainya tujuan pembelajaran (Morley, 2003 cit. Hoecht, 2006). Namun demikian, banyak faktor masih menghambat pelaksanaan pencapaian mutu pembelajaran yang baik.

(5)

Salah satu dari faktor-faktor tersebut adalah belum optimalnya mutu dalam proses pembelajaran. Manajemen mutu pendidikan dapat dilakukan antara lain dengan mengevaluasi pengaruh mutu pendidikan terhadap prestasi mahasiswa setelah proses pembelajaran (Fry et al., 2009). Berdasarkan pengertian ini, perguruan tinggi memiliki peran dalam mempersiapkan lulusan yang bermutu untuk dapat dipertanggungjawabkan di dalam masyarakat.

Pengelolaan pendidikan tenaga kesehatan (Diknakes) merupakan tantangan dalam rangka menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang profesional, mandiri dan berdaya saing secara efisien dan efektif (Depkes, 2009b). Pengelolaan penjaminan mutu institusi di lingkungan Diknakes dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara kebijakan dibawah pimpinan institusi Diknakes, secara teknis fungsional dibina oleh pembantu pimpinan bidang akademik dan secara operasional dilaksanakan oleh unit penjaminan mutu (Kemenkes, 2010a).

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) merupakan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Kementerian Kesehatan. Keputusan Menkes RI Nomor OT.01.01.2.4.0375 tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Poltekkes menyebutkan bahwa Poltekkes mempunyai tugas melaksanakan pendidikan yang bersifat vokasional dengan jenjang D I, II, III dan/atau D IV, sesuai keputusan UU yang berlaku (Depkes, 2009a). Jurusan yang ditawarkan dalam lingkup Poltekkes Kemenkes adalah jurusan Gizi, Analis Kesehatan, Kebidanan, Keperawatan, Kesehatan Lingkungan, serta Keperawatan Gigi. Penyelenggaraan Jurusan Keperawatan

(6)

Gigi (JKG) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1035/Menkes/SK/IX/1998.

Kompetensi lulusan pendidikan keperawatan gigi dihasilkan melalui proses pendidikan di institusi Pendidikan Diploma Keperawatan Gigi yang diharapkan dapat berperan serta dalam upaya-upaya kesehatan gigi dan mulut untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2009c). Kompetensi perawat gigi Indonesia terdiri dari domain, kompetensi utama, kompetensi penunjang, dan kemampuan dasar (Kemenkes, 2010b). Pendidikan keperawatan gigi dituntut untuk mempunyai suatu kurikulum yang membantu mahasiswa mencapai kompetensi yang diharapkan.

Proses pembelajaran di klinik adalah proses inti dalam pendidikan tenaga kesehatan, oleh karena itu keberadaan standar kompetensi lulusan menjadi sangat mutlak dan sifatnya strategis (Wellard et al., 2009). Pembelajaran klinik selaras dengan pendidikan keperawatan gigi yang mengutamakan pembelajaran praktik daripada teori. Schweek dan Gebbie, 1996 cit. Depkes, 2004 menyebutkan bahwa praktik klinik merupakan unsur utama dari perencanaan kurikulum (the heart of the total curriculum plan).

Pembelajaran klinik menjadi faktor utama yang mendukung proses belajar mengajar pada pendidikan keperawatan gigi untuk menghasilkan mutu lulusan yang kompeten di bidangnya, hal ini sesuai pendapat Papp et al. (2003) bahwa pembelajaran klinik adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi profesional mahasiswa keperawatan. Mahasiswa diharapkan mempunyai kompetensi yang menyeluruh berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan

(7)

pengalaman klinik yang sudah mereka dapatkan selama pendidikan. Tujuan pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi adalah menciptakan ahli madya keperawatan gigi yang kompeten yaitu mampu mengelola pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut. Kemampuan dan keterampilan dasar yang diberikan dalam pendidikan difokuskan dalam bidang promotif, preventif, dan kuratif terbatas (Depkes, 2004).

Peningkatan mutu pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi menjadi faktor utama yang mendukung proses pendidikan vokasi untuk meningkatkan kualitas lulusannya. Pengalaman pembelajaran praktik klinik penting untuk mempersiapkan mahasiswa ke arah penerapan pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional dengan memberi kesempatan mahasiswa melalui proses pembelajaran dalam situasi nyata.

Pencapaian tujuan pembelajaran perlu didukung adanya sarana prasarana yang memadai serta waktu yang cukup untuk pembelajaran (Lake dan Ryan, 2006). Stark et al. (2003) menyatakan pentingnya pembimbing klinik sebagai

role models, dan upaya peningkatan mutu pembelajaran klinik perlu dukungan

dana serta pelatihan keterampilan mengajar. Proses pembelajaran yang efektif membutuhkan penyediaan sarana prasarana yang memadai termasuk media ajar yang sesuai dengan kebutuhan.

Penggunaan media ajar dalam pembelajaran praktik klinik untuk melengkapi dan membantu pembimbing dalam menyampaikan materi atau informasi, adanya media ajar yang tepat diharapkan terjadi interaksi antara

(8)

pembimbing dengan mahasiswa dan antar mahasiswa secara maksimal sehingga dapat mencapai hasil belajar sesuai tujuan pembelajaran.

Studi pendahuluan tentang implementasi model penjaminan mutu PDCA (Plan, Do, Check, dan Act) pada pembelajaran klinik Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (lampiran 3) menunjukkan bahwa berdasarkan pemetaan posisi mutu menggunakan diagram Kartesius maka upaya tindak lanjut (follow up) yang menjadi prioritas utama program peningkatan mutu pembelajaran klinik adalah pada indikator mutu aspek evaluasi (check) yaitu penyediaan sarana prasarana yang memadai, khususnya kebutuhan media ajar sebagai alat simulasi pada pembelajaran praktik skaling.

B. Rumusan Masalah

Penguasaan keterampilan praktik merupakan faktor yang penting dalam menghasilkan tenaga perawat gigi yang berkualitas dan salah satu upaya yang diperlukan adalah penyediaan media ajar yang memadai. Penggunaan media ajar pada pembelajaran klinik penting karena keadaan mahasiswa sangat heterogen, media ajar sebagai simulator membantu pembimbing klinik dalam menyampaikan pesan-pesan atau materi pembelajaran praktik kepada mahasiswa supaya lebih mudah dimengerti, lebih menarik, dan lebih menyenangkan sehingga menambah motivasi dan lebih merangsang minat mahasiswa untuk belajar.

Pembelajaran praktik skaling dilakukan dengan cara simulasi untuk mencapai tingkat kompetensi shows hows (Dent dan Harden, 2009), yaitu mahasiswa dapat melakukan atau mendemonstrasikan sebuah keterampilan pada

(9)

situasi yang terkendali. Simulasi pada praktik skaling merupakan usaha menciptakan pengalaman menggunakan media ajar sebelum mahasiswa menghadapi pasien sesungguhnya. Media ajar dalam bentuk model gigi yang saat ini digunakan belum mirip dengan keadaan nyata pada pasien, model tidak menampilkan tanda-tanda kelainan kalkulus, juga tidak dapat diatur posisinya sesuai kebutuhan operator sehingga sering menyulitkan mahasiswa maupun pembimbing praktik, hal ini menyebabkan pembelajaran praktik skaling menjadi tidak efektif dan target pencapaian kompetensi mahasiswa menjadi tidak tuntas.

Media ajar praktik skaling yang realistik dibutuhkan supaya penyampaian informasi yang berkaitan dengan keterampilan skaling lebih mudah dipahami, menambah motivasi belajar mahasiswa, meningkatkan interaksi antar mahasiswa maupun pembimbing dengan mahasiswa, sehingga meningkatkan mutu proses dan produk pembelajaran. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah: Apakah pengembangan media ajar pada proses pembelajaran praktik skaling berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum:

Untuk mengembangkan media ajar yang memadai pada pembelajaran praktik skaling.

2. Tujuan Khusus:

Untuk mengetahui pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan pada praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa dilihat dari nilai kognitif dan nilai keterampilan.

(10)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk Pembangunan Pendidikan:

Pengembangan media ajar sebagai alat simulasi praktik mahasiswa menjadi salah satu strategi dalam upaya penjaminan mutu pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia, khususnya pada pendidikan keperawatan gigi.

2. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu:

Penelitian ini menambah penguatan mengenai prinsip-prinsip dan langkah-langkah pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi sehingga menghasilkan tenaga perawat gigi yang kompeten di bidangnya.

E. Keaslian Penelitian

Fokus penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian terdahulu yaitu peningkatan mutu pendidikan keperawatan gigi melalui pengembangan media ajar praktik skaling berbasis implementasi model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik. Beberapa penelitian terdahulu mengenai peningkatan mutu pembelajaran klinik di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:

Penelitian Snell et al. (2000) yang mendiskusikan pentingnya evaluasi pembelajaran klinik bagi institusi perguruan tinggi (dosen dan program studi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model evaluasi dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara proses pembelajaran dengan peran pembimbing, selain itu dapat menjadi dasar untuk penelitian tentang hubungan antara mutu pembelajaran dengan hasil yang diharapkan, perbaikan sistem pembelajaran, serta nilai praktik klinik. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan

(11)

adalah mengevaluasi pembelajaran klinik, sedangkan perbedaannya adalah konteks penelitian yang akan dilakukan adalah tindak lanjut evaluasi mutu pembelajaran klinik keperawatan gigi.

Papp et al. (2002) menggambarkan pendapat mahasiswa keperawatan mengenai pengalaman pembelajaran klinik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dari Colaizzi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran klinik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi profesional seorang perawat. Keseluruhan responden (16 mahasiswa) menyatakan terciptanya lingkungan pembelajaran klinik yang baik karena didukung adanya kerjasama antara institusi dengan staf klinik. Persamaan dengan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan pendapat mahasiswa tentang pengalaman pembelajaran klinik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui mutu pembelajaran klinik sekaligus mengkaji pengaruh upaya tindak lanjut peningkatan mutu pembelajaran klinik terhadap output proses pembelajaran.

Stark (2003) meneliti tentang persepsi mahasiswa kedokteran dan pembimbing klinik tentang mutu proses pembelajaran klinik. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semistruktur. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya pembimbing klinik sebagai role models, dan upaya peningkatan mutu pembelajaran klinik perlu dukungan dana serta pelatihan keterampilan mengajar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

(12)

adalah konteks pembelajaran klinik perawat gigi dan metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif.

Penelitian Stokroos et al. (2003) untuk mengetahui efektivitas pembelajaran klinik sebuah fakultas kedokteran di Amsterdam. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kualitatif, responden terdiri dari 19 mahasiswa yang dibagi dalam 2 kelompok. Penelitian ini menyatakan bahwa supervisi pembimbing dan umpan balik (feedback) yang konstruktif merupakan kunci utama efektivitas pembelajaran klinik dan merekomendasi upaya peningkatan mutu pada komponen-komponen pembelajaran klinik meliputi mahasiswa, pembimbing, lingkungan, serta cara pembelajaran mandiri. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah melihat efektivitas pembelajaran klinik berdasarkan persepsi mahasiswa, sedangkan perbedaannya adalah rekomendasi-rekomendasi yang diberikan dalam rangka program peningkatan mutu pembelajaran klinik.

Varma et al. (2005) membahas tentang pentingnya umpan balik mahasiswa terhadap perubahan kurikulum baru pada delapan rumah sakit pendidikan di Inggris. Metode penelitian yaitu penggunaan kuisioner DREEM untuk mengukur educational environment pada 206 mahasiswa setelah mengikuti modul pembelajaran. Kesimpulan penelitian ini adalah skor DREEM mahasiswa tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0.811) walaupun mahasiswa berasal dari institusi pendidikan yang berbeda-beda. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini juga menggunakan

(13)

pembelajaran klinik keperawatan gigi dan perbedaannya adalah pada bentuk intervensi yang dilakukan untuk meningkatakan mutu pembelajaran klinik.

Walasek et al. (2011) menyajikan model penjaminan mutu PDCA dalam proyek E-learning pada fakultas Teknik Universitas Czestochowa untuk menjamin mutu implementasi pembelajaran secara on line. Hasil penelitian menunjukkan model PDCA dapat menjamin dan meningkatkan mutu proses pembelajaran secara on line. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan model penjaminan mutu PDCA sebagai indikator mutu pembelajaran klinik, sedangkan perbedaannya adalah bahwa aspek-aspek PDCA kontennya disesuaikan pendidikan keperawatan gigi dan pada metode penelitian yang digunakan.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Klinik Pendidikan Keperawatan Gigi 1. Pengertian

Kegiatan belajar dari keseluruhan proses pendidikan merupakan kegiatan yang paling pokok dan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada proses belajar yang dialami individu yang belajar, di samping adanya faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Belajar adalah proses alami yang menghasilkan perubahan apa yang ingin diketahui, apa yang dapat dikerjakan, dan bagaimana melakukannya (Gagne et al., 1992).

Hamalik (2009) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses dan bukan suatu hasil, belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan menurut Notoatmodjo (2007) bahwa dalam proses belajar terdapat tiga persoalan yang fundamental yaitu masukan (input), proses (process), dan keluaran (output).

Ormrod (2009) mendefinisikan belajar sebagai perkembangan mental dalam jangka waktu yang panjang atau sebagai hasil dari pengalaman, dan belajar yang efektif adalah melalui pengalaman. Proses belajar terjadi apabila seseorang berinteraksi langsung dengan obyek belajar dengan menggunakan semua alat indera. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian belajar adalah uatu proses interaksi individu dengan

(15)

lingkungannya, menghasilkan perubahan-perubahan dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Teori belajar yang sesuai dengan pembelajaran di klinik adalah penggabungan antara teori sosial kognitif dan konstruktivistik yang dilaksanakan dalam lingkungan pekerjaan nyata. Teori sosial kognitif menyatakan bahwa perilaku individu dalam proses belajar tidak semata-mata karena refleks otomatis dari stimulus, tetapi juga akibat adanya interaksi timbal balik dengan tingkah laku individu lain disekitarnya. Teori sosial kognitif merupakan gabungan teori behavioristik dengan reinforcement dan teori kognitif yang menekankan fungsi kognitif. Pembelajaran terjadi dengan cara mengamati (observasi), peniruan (imitasi), dan contoh (modelling) dan menganggap pentingnya faktor penguat (reinforcement) untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang dikehendaki (Bandura, 1989 cit. Ormrod, 2009).

Teori konstruktivistik atau kognitif menekankan pada proses internal pembelajaran yang terjadi di dalam akal (mind) meliputi ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor lain. Teori ini berkembang dari hasil penelitian Piaget, teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi. Proses belajar tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi dibangun sedikit demi sedikit dan diperluas melalui konteks yang terbatas. Teori ini menyatakan bahwa dalam belajar, manusia harus mengkonstruksi pengetahuan, menemukan sendiri, dan mentransformasikan informasi kompleks, serta memberi makna melalui pengalaman nyata (Ormrod, 2009).

(16)

Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (pasal 1 UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Jihad dan Haris (2010) mengatakan pembelajaran merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap. Pembelajaran adalah inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dan pendidik memegang peranan utama.

Pembelajaran praktik klinik adalah proses interaksi peserta didik dengan pasien di bawah bimbingan dan supervisi yang dilakukan pembimbing/instruktur klinik. Proses pembelajaran klinik bersifat menyeluruh dan terpadu sesuai kompetensi yang akan dicapai, dengan pendekatan student centered learning akan memudahkan mahasiswa mencapai kompetensi yang ditetapkan kurikulum (Harsono, 2008). Proses pembelajaran keterampilan praktik klinik memberikan pengalaman klinis bagi mahasiswa yaitu langsung berhadapan dengan pasien selama proses pembelajaran, mahasiswa secara langsung melakukan kontak dengan pasien dengan kasus klinis yang sesungguhnya (Collin dan Harden, 1998).

Pada pembelajaran klinik, mahasiswa akan menemukan tanda dan gejala klinis yang nyata pada pasien yang kadang-kadang tidak dapat ditemukan pada teknik simulasi dan laboratorium, mahasiswa juga lebih mempunyai motivasi untuk mempelajari kasus-kasus pasien yang ditemukan dan mendapatkan pengalaman klinis. Pada saat yang sama, mahasiswa juga melihat dosen atau instruktur pembimbing klinik melakukan penatalaksanaan

(17)

terhadap pasien, sehingga pengalaman ini akan dijadikan sebagai contoh (role

model) secara profesional (Dimoliatis et al., 2010; Dornan et al., 2003;

Hutchinson, 2003).

Pembelajaran klinik memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman nyata dalam mencapai kompetensi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu. Kolb (1984) dalam

experiental learning theory mengatakan bahwa pembelajaran akan lebih

efektif ketika didasarkan pada pengalaman. Dalam proses pembelajaran klinik, mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan tanggung jawab profesi, berpikir secara kritis, mempunyai kreativitas, hubungan interpersonal, pemahaman terhadap profesi dan aspek sosial budaya, serta mengaplikasikan teori ke dalam praktik klinik (Depkes, 2009c). Nursalam (2007) mengatakan pembelajaran klinik merupakan suatu proses sosialisasi mahasiswa dalam mendapatkan pengalaman nyata untuk mencapai keterampilan profesional, intelektual, sikap dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien.

Proses pembelajaran dilaksanakan dengan berbagai strategi dan teknik yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bereksplorasi dan berkreasi memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran. Knowles et al. ( 2005) mengatakan bahwa pembelajaran klinik mengikuti kaidah pembelajaran pada orang dewasa (andragogi) sebagai berikut: a) orang dewasa mampu menentukan kebutuhan pembelajaran dan mengetahui cara untuk mendapatkannya dan mampu mengarahkan diri sendiri, b) orang dewasa mempunyai pengalaman yang beragam, c) orang dewasa siap belajar secara

(18)

efektif, d) orientasi belajar orang dewasa bersifat problem centered atau

performance centered, e) motivasi belajar orang dewasa timbul dari diri

sendiri daripada pengaruh dari luar (external motivation). 2. Kompetensi Klinik

Pengertian kompetensi menurut Kepmendiknas 045/U/2002 adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi klinik merupakan kompetensi dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan klinis yang berhubungan dengan proses penegakan diagnosis dan perawatan pasien.

Tujuan pembelajaran merupakan rumusan yang luas mengenai hasil-hasil pendidikan yang diinginkan atau target pembelajaran yaitu tercapainya hasil yang optimal terhadap kognitif, psikomotorik, dan afektif (Hamalik, 2009). Tujuan pembelajaran klinik adalah membentuk kompetensi profesional, yaitu kemampuan dan kecakapan melakukan berbagai aspek mulai dari melakukan komunikasi dan anamnesis, pemeriksaan fisik, mendiagnosis, merencanakan dan melakukan penatalaksanaan tindak lanjut terhadap kasus yang ditangani, serta berbagai tindakan lain bila dibutuhkan.

Seorang mahasiswa baru bisa menyelesaikan pendidikannya apabila telah mempunyai kompetensi sesuai dengan standar minimal yang telah ditentukan (Nursalam, 2007). Pencapaian kompetensi pembelajaran klinis adalah hasil proses pembelajaran selama pendidikan dan berkembang

(19)

sepanjang waktu, hal ini sangat tergantung juga dengan peran pembimbing klinik, peer group, dan lingkungan pembelajaran (Leach, 2004).

Kompetensi para lulusan menjadi sangat penting karena adanya isu pendaftaran ijin praktik, perlindungan publik, lapangan kerja dan karir. Pihak penyedia lapangan kerja dan pihak yang berwenang lainnya mengharapkan layanan dari profesional kesehatan yang kompeten (Emilia, 2008). Pemahaman dari beberapa pendapat mengenai kompetensi yaitu kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan mahasiswa membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran. Kompetensi lulusan merupakan modal untuk bersaing di tingkat global. Pembelajaran di lingkungan klinik sangat penting untuk mengembangkan kompetensi mahasiswa (Wimmers et al., 2006).

Pendidikan Diploma III Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes menghasilkan Ahli Madya Keperawatan Gigi menerapkan kurikulum berbasis kompetensi yang tertuang dalam standar kompetensi perawat gigi yang mencakup kualifikasi kemampuan meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan pendidikan perawat gigi (Kemenkes, 2010b).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Hasil Pembelajaran

Mahasiswa keperawatan menghargai praktik klinik dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dalam proses tumbuh menjadi seorang perawat dan seorang profesional. Program studi seharusnya mampu menyediakan lingkungan pembelajaran klinik yang sesuai dengan waktu yang

(20)

direncanakan, sehingga teori dan praktik akan saling melengkapi (Papp et al., 2003).

Proses pembelajaran yang efektif dan strategi pembelajaran berhubungan dengan prestasi belajar mahasiswa (Buchel dan Edwards, 2005). Aspek-aspek lain yang juga berperan dalam keberhasilan suatu pembelajaran di antaranya adalah situasi pembelajaran, motivasi, jenis kelamin, strategi pembelajaran, serta latar belakang budaya (Sari et al., 2008). Syah (2010) menyatakan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam belajar dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Faktor internal pada hakekatnya adalah faktor psikologis seseorang yaitu berasal dari dalam diri manusia dan mendorong manusia untuk berbuat sesuatu. Faktor internal meliputi:

1) Sikap

Azwar (2008) menyatakan bahwa sikap mempunyai 3 komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berisi persepsi dan kepercayaan individu mengenai sesuatu. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap baik positif maupun negatif. Komponen konatif disebut juga komponen perilaku, yaitu komponen sikap yang berkaitan dengan tendensi atau kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap yang dihadapinya.

Menurut Syah (2010) sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau

(21)

merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap obyek baik secara positif maupun negatif.

2) Minat dan Bakat

Menurut Syah (2010) minat adalah interest, berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi terhadap suatu obyek. Minat dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar karena pemusatan perhatian yang intensif memungkinkan peserta didik belajar lebih giat untuk mencapai apa yang diinginkannya, sedangkan Slameto (2010) mengatakan minat adalah suatu rasa lebih suka atau rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang, minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara dirinya dengan sesuatu di luar dirinya. Semakin kuat atau semakin dekat hubungan itu berarti minatnya semakin besar.

Djamarah (2008) menyatakan minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. Bakat atau aptitude seseorang menunjukkan sesuatu yang bersifat potensial daripada suatu kemampuan untuk belajar maupun bekerja. Setiap individu pasti memiliki bakat atau berpotensi mencapai prestasi dan bakat dapat mempengaruhi besarnya pencapaian prestasi tersebut (Semiawan, 2009).

(22)

3) Motivasi

Sumiati dan Asra (2007) menyatakan motivasi dapat memberi semangat terhadap seseorang untuk berperilaku dan memberi arah dalam belajar. Motivasi merupakan keinginan yang ingin dipenuhi dan timbul jika ada rangsangan baik karena adanya kebutuhan maupun minat terhadap sesuatu. Menurut Santrock (2009) motivasi merupakan kekuatan, energi atau dorongan seseorang yang dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan suatu kegiatan, baik yang berasal dari dalam diri (motivasi internal) maupun dari luar (motivasi eksternal).

Pada pembelajaran klinik mahasiswa menjadi termotivasi oleh proses yang relevan dan partisipasi aktif karena pembelajaran klinik berpusat pada masalah yang nyata dalam konteks praktik profesional (Spencer, 2003). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi lebih ditekankan pada proses daripada produk yang dihasilkan.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri manusia meliputi:

1) Dukungan Orang Tua dan Keluarga

Syah (2010) mengatakan bahwa lingkungan sosial yang lebih banyak memepengaruhi keberhasilan belajar adalah orang tua dan keluarga peserta didik itu sendiri. Orang tua yang mampu mendidik dengan baik, mampu berkomunikasi dan penuh perhatian terhadap

(23)

anak, mengetahui kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi anak, serta mampu menciptakan hubungan baik dengan anak-anaknya berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar anak atau sebaliknya (Sunaryo, 2004).

2) Tenaga Pengajar/Pembimbing

Penguasaan keterampilan praktik merupakan elemen penting dari mutu lulusan tenaga kesehatan. Peran pengajar/pembimbing dalam proses pembelajaran sangat penting karena pengajar berfungsi sebagai perencana pembelajaran, pembimbing, pengelola, maupun penilai hasil belajar (Slameto, 2010).

Peran pembimbing klinik menurut Mandriawati (1998) adalah sebagai: a) konselor atau sebagai problem solver, yaitu membantu peserta didik memecahkan masalah-masalah yang ditemukan khususnya dalam mencapai tujuan pembelajaran, b) manajer, yaitu mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam perencanaan, pengelolaan, dan proses penyelenggaraan pembelajaran klinik, c) pembimbing, yaitu membimbing peserta didik dalam mengaplikasikan teori sesuai kasus-kasus yang ditemukan dan melatih keterampilan peserta didik dalam mengelola pasien, d) fasilitator, yaitu membantu peserta didik dalam melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam proses pembelajaran klinik.

Kinerja pembimbing klinik harus baik, pembimbing harus menginformasikan jadual kegiatan praktik, memberi penilaian dan

(24)

umpan balik, serta mempunyai waktu yang cukup untuk membimbing mahasiswa.

3) Sarana dan Prasarana

Proses pembelajaran akan semakin berhasil bila ditunjang dengan sarana prasarana pendidikan yang memadai. Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan untuk menunjang proses pembelajaran seperti gedung, alat-alat/media pembelajaran, dan lain-lain. Prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang proses pembelajaran seperti halaman, taman, asrama, dan lain-lain (Slameto, 2010).

Menurut Arikunto (2002) sarana atau alat pendidikan antara lain alat peraga, alat praktikum, alat media pembelajaran seperti over head

proyector (OHP), white board, dan lain sebagainya. Fasilitas pada skills lab untuk membangun sebuah fondasi dalam berbagai keterampilan

yang kemudian diasah dan diperkaya melalui pengalaman belajar yang dilakukan dalam praktik klinik (Bradley dan Postlethwaite, 2003). Model gigi adalah salah satu media ajar sebagai alat simulasi yang digunakan pada pembelajaran praktik di skills lab/preklinik keperawatan gigi.

B. Pengembangan Media Ajar pada Praktik Skaling 1. Pengertian Media Ajar

Media adalah segala bentuk atau saluran yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi. Media pembelajaran dapat dipahami sebagai

(25)

segala sesuatu bisa berupa orang, bahan, peralatan atau kegiatan yang digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga mendorong keinginan untuk belajar pada dirinya.

Kedudukan media ajar sejajar dengan metode pembelajaran, karena metode yang dipakai dalam suatu proses pembelajaran akan menuntut jenis media yang digunakan sehingga bisa diintegrasikan dan diadaptasikan dengan kondisi yang dihadapi. Paradigma pembelajaran adalah suatu proses transfer pengetahuan, keterampilan/psikomotorik dari pendidik kepada peserta didik, maka posisi media ajar digambarkan dan disejajarkan dengan proses komunikasi atau proses pembelajaran (Depdiknas, 2008b).

Peran media ajar pada proses pembelajaran menurut Arsyad (2006) ada 2 (dua) teori yaitu: a) teori Brunner yang menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan modus utama belajar yaitu belajar melalui pengalaman langsung, melalui gambar/piktorial, melalui pengalaman abstrak (simbolik). Ketiga tingkatan tersebut saling berinteraksi untuk membangun pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang, b) teori Dale yang membuat 12 tingkatan pengalaman belajar/ kerucut pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience).

Kerucut Dale (Gambar 1) disusun berdasarkan tingkat keabstrakan, yaitu dari tingkatan paling kongkrit sampai paling abstrak. Menurut teori Dale, proses belajar merupakan proses komunikasi, dalam hal ini tugas pengajar adalah menyampaikan pesan. Pesan disampaikan melalui lambang-lambang (coding) yang diterima dan ditafsirkan mahasiswa sebagai pesan

(26)

(decoding), proses ini sangat dipengaruhi indera yang digunakan mahasiswa, semakin banyak indera yang digunakan maka semakin banyak hasil belajar yang diperoleh.

Gambar 1. Kerucut Dale

Mappin et al., 2002 cit. Yoyo, 2007 mengelompokkan media ajar menjadi dua jenis, yaitu: a) berdasarkan karakteristik fisik yaitu media cetak (teks), gambar mati (foto, gambar), gambar hidup (film, video), audio (tape, rekaman) dan obyek nyata (demonstrasi), b) berdasarkan kanal sensoris yaitu audio (suara dosen), visual (gambar, tulisan kapur tulis), audio visual (video

tape) dan taktil/kinestetik (model kerja).

2. Syarat-syarat Media Ajar

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam rancangan instruksional media ajar adalah media ajar harus mampu menarik perhatian dan memberi rangsangan kepada mahasiswa, dapat menjelaskan tujuan pembelajaran, memfasilitasi pengetahuan awal mahasiswa sesuai materi yang sedang dipelajari, menyajikan materi yang dapat dan mudah diingat, memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berlatih, memberikan tanggapan

KONGKRIT KONGKRIT ABSTRAK ABSTRAK PENGALAMAN LANGSUNG PENGALAMAN LANGSUNG PENGALAMAN TIRUAN PENGALAMAN TIRUAN PENGALAMAN DRAMATAISASI PENGALAMAN DRAMATAISASI DARMAWISATA DARMAWISATA PERCONTOHAN PERCONTOHAN PAMERAN PAMERAN AUDIO VISUAL AUDIO VISUAL GBR HIDUP GBR HIDUP L.VISUAL L.VISUAL L.AUDIO L.AUDIO

RASIONAL PENGGUNAAN MEDIA

KERUCUT PENGALAMAN  

(27)

(feedback) terhadap mahasiswa, menilai kemampuan mahasiswa, memberikan situasi yang mirip dengan kenyataan, serta memberi latihan bagi mahasiswa (Gagne et al., 1992).

Pemilihan media ajar juga harus memperhatikan beberapa faktor yaitu: a) rancangan instruksional, b) tujuan yang ingin dicapai, c) karakteristik mahasiswa, dan d) kepraktisan media (Arsyad, 2006). Kepraktisan media menjadi dasar pertimbangan pemilihan media yang dikaitkan dengan: a) media itu sendiri yaitu kelebihan dan kekurangan media, b) pengguna media yaitu kemampuan/kenyamanan pengguna, biaya pembuatan, ketersediaan alat untuk menggunakan, luas dan interior ruangan yang diperlukan (Gagne et al., 1992; Yoyo, 2007).

Dent dan Harden (2009) menyatakan simulasi adalah seseorang, seperangkat peralatan, atau pengaturan kondisi yang mencoba untuk mengemukakan masalah pasien secara nyata. Sikap profesional praktisi kesehatan yang mampu menerapkan keterampilan klinik dalam menangani masalah pasien pada situasi nyata dapat diprediksi melalui pengamatan ketika melakukan simulasi pada clinical setting. Clinical setting membutuhkan simulator, antara lain model anatomi/model fisiologik. Model anatomi yang tidak realistik membuat simulasi menjadi tidak realistik juga, dan lebih memprihatinkan bila simulasi tanpa model maka pembelajaran dapat menjadi lebih mahal dan banyak intervensi langsung kepada pasien (Kyle dan Murray, 2008).

(28)

Simulasi dapat dikategorikan sebagai berikut: a) cases studies dan

role-plays yaitu bentuk simulasi yang sangat sederhana. Alat yang dibutuhkan

cukup kertas dan pensil atau bahan lainnya yang murah. Simulasi ini lebih ke arah peningkatan pengetahuan dan sikap peserta didik, b) part-task trainers, bentuk simulasi ini ada beberapa macam mulai dari manikin sampai pasien simulasi yang standar, bermanfaat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan klinik. Alat yang digunakan disesuaikan dengan metode pembelajaran, biaya lebih murah dibandingkan menggunakan pasien simulasi, c) full mission simulation, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik. Pembiayaannya cukup variatif, mulai dari sedang sampai mahal (Kyle dan Murray, 2008).

Pemahaman dari beberapa pendapat di atas bahwa syarat-syarat pemilihan media ajar antara lain harus mempertimbangkan faktor ekonomis, praktis dan sederhana, mudah diperoleh, bersifat fleksibel, dan komponen-komponen media ajar sesuai dengan tujuan pembelajaran.

3. Penggunaan Media Ajar pada Praktik Skaling

Prasyarat mahasiswa keperawatan gigi sebelum mengikuti pembelajaran klinik adalah mahasiswa harus lulus pembelajaran preklinik/skills lab terlebih dahulu. Pusat keterampilan klinik (skills

lab/preklinik) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan

berlatih keterampilan pada model sebelum mempraktikkan pada situasi yang sesungguhnya (Jones, 2005). Keterampilan mahasiswa dikembangkan untuk

(29)

mencapai tujuan pendidikan diantaranya adalah keterampilan pada pusat keterampilan klinik (Dent, 2001).

Skills lab adalah sebuah lingkungan yang aman, tidak memberikan

ancaman, fasilitas pembelajaran preklinik/skills lab dapat digunakan untuk pengembangan berbagai keterampilan, dukungan formal melalui pengawasan dan umpan balik pembimbing, serta memberi kesempatan mahasiswa untuk belajar praktik mandiri (Bradley dan Postlethwaite, 2003; Bradley et al., 2006). Pembelajaran praktik di skills lab perlu dilengkapi media ajar sebagai alat simulasi untuk melatih keterampilan mahasiswa sebelum menangani pasien sesungguhnya. Hal-hal yang mendukung pentingnya pembelajaran berbasis simulasi antara lain: mahasiswa memperoleh kemampuan teknis yaitu keterampilan psikomotor, teori pembelajaran, pentingnya review, asistensi, serta pembelajaran dalam konteks profesional (Kneebone dan Nestel, 2005).

Pembelajaran praktik skills lab di JKG dilaksanakan di laboratorium yang memungkinkan mahasiswa memperoleh pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang diperoleh melalui metode simulasi, demonstrasi, role play dan/atau dental unit/chair side teaching/practice. Kegiatan praktik meliputi praktik anatomi gigi, konservasi gigi, skaling, dan fissure sealant (Kemenkes, 2011). Situasi belajar untuk mencapai suatu kompetensi, terkait dengan keterampilan tertentu memerlukan peralatan sesungguhnya atau simulasi misalnya pada praktik skaling atau pembersihan karang gigi diperlukan media ajar berupa suatu model gigi sebagai alat simulasi.

(30)

Tujuan pembelajaran praktik skaling meliputi 3 domain yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Praktik skaling dalam domain pengetahuan (knowledge) dapat menggunakan berbagai jenis media ajar. Domain keterampilan (skills) media ajar yang dipilih adalah media yang lebih kongkrit, yaitu demonstrasi, simulasi, dan pengalaman langsung. Domain sikap (afektif), media ajar paling sederhana yang dapat dipilih untuk domain ini adalah pengajar dan hasil pembelajaran akan menjadi lebih baik jika sejak awal mahasiswa mendapatkan pengalaman yang lebih nyata.

Peran media ajar pada pembelajaran keterampilan di skills lab sangat penting dan harus dipersiapkan dalam merancang suatu pengajaran (Yoyo, 2007). Media ajar mempunyai manfaat untuk memperjelas pesan dan informasi yang ingin disampaikan kepada mahasiswa sehingga mampu meningkatkan proses dan hasil belajar, meningkatkan dan mengarahkan perhatian mahasiswa sehingga dapat meningkatkan motivasi dan interaksi antar mahasiswa, mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, serta memberikan kesamaan belajar kepada seluruh mahasiswa (Arsyad, 2006).

C. Sistem Penjaminan Mutu pada Pendidikan Keperawatan Gigi 1. Mutu dan Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi

a. Pengertian

Pengertian mutu (quality) antara lain adalah sebagai berikut: 1) kesesuaian dengan standar, harapan stakeholders, atau pemenuhan janji yang telah diberikan (UGM, 2006), 2) suatu keadaan dari hasil atau jasa yang sesuai atau melebihi harapan konsumen (Suyudi, 1995), 3) unggulan,

(31)

sesuai dengan tujuan, usaha mencapai kesuksesan, bentuk dasar keputusan akreditasi, untuk menambah nilai, dan fokus mutu adalah efisiensi yang berhubungan dengan akuntabilitas, dan kepuasan konsumen (Green, 1994

cit. AUN-QA, 2006), 4) pencapaian tujuan pendidikan dan kompetensi

lulusan yang telah ditetapkan dalam rencana strategis institusi atau kesesuaian dengan standar yang telah ditentukan (Sallis, 2003), 5) tingkat keunggulan suatu produk baik berupa barang maupun jasa, baik tangible maupun intangible (Umaedi, 1999).

Mutu dapat dilihat sebagai bagian dari suatu produk atau pelayanan, yang menjadi obyek utama (seperti mutu pendidikan), atau tergantung dari persepsi konsumen (kepuasan mahasiswa) sebagai subyek utama (Gaalen, 2010). Mutu merupakan tanggungjawab perguruan tinggi. Mutu perguruan tinggi adalah pencapaian tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh institusi perguruan tinggi atau kesesuaian dengan standar yang telah ditentukan.

Pengertian penjaminan mutu (quality assurance) pada perguruan tinggi antara lain sebagai berikut: 1) proses yang didesain untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengeliminasi variasi atau dampak dalam proses dan keluaran (Donabedian, 1988 cit. Leahy et al., 2009), 2) fenomena yang sangat kompleks sesuai kebutuhan stakeholders (Kohoutek, 2009), 3) proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah,

(32)

dosen, tenaga penunjang, serta pihak lain yang berkepentingan) akan memperoleh kepuasan (Depdiknas, 2003), 4) semua kegiatan yang bertujuan menjamin mutu pendidikan yang meliputi: pengumpulan data tentang mutu, penggunaan data untuk mencapai kesepakatan dalam mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, cara meningkatkan mutu, serta mendiskusikan cara pencapaian mutu pendidikan sesuai harapan (Visscher, 2009); 5) semua kegiatan yang sistematis dan direncanakan untuk menyajikan kepercayaan yang adekuat sehingga produk atau pelayanan yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan (Brown, 2004).

Tingkatan-tingkatan penjaminan mutu pada perguruan tinggi yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Tingkatan penjaminan mutu pada perguruan tinggi (Gaalen, 2010)

Tingkatan Contoh fokus mutu

Subsidi dan program internasional Kriteria dengan belajar sepanjang hidup

Kebijakan nasional Kriteria untuk aplikasi pendanaan Institusi perguruan tinggi Akreditasi/proses mutu

Program studi Akreditasi/proses mutu Pengajaran dan pembelajaran Tujuan pembelajaran

Mahasiswa Mutu pelayanan

Laffel dan Blumenthal, 1989 cit. Leahy et al., 2009 mengatakan bahwa proses penjaminan mutu merupakan subyek dari suatu kegiatan evaluasi dan obyek dari proses peningkatan mutu yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan, harapan, serta kepuasan konsumen. Tujuan penjaminan mutu adalah memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan

(33)

tinggi secara berkelanjutan, yang dijalankan oleh suatu perguruan tinggi secara internal untuk mewujudkan visi dan misinya serta untuk memenuhi kebutuhan stakeholders melalui penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi (Kemenkes, 2009).

Pemahaman dari beberapa pengertian penjaminan mutu adalah penjaminan mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan perguruan tinggi yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga semua pemangku kepentingan memperoleh kepuasan. Dalam menjalankan suatu proses penjaminan mutu, diperlukan suatu proses evaluasi yang komprehensif dan tindakan korektif terhadap keseluruhan proses.

Tabel 2. Alasan dan strategi peningkatan mutu suatu perguruan tinggi (Gaalen, 2010) Tujuan internasionalisasi Instrumen dan Strategi Keluaran/efek Makro

Perdamaian dunia Beasiswa Intergrasi sosial

Internasional Pertumbuhan ekonomi Keserasian antara sistem pendidikan dan QA Kompetisi sistem perguruan tinggi pada dunia pendidikan Nasional Kualitas tenaga

kerja

Rekruitmen internasional

Pendidikan/peningkatan keterampilan tenaga kerja Meso

Institusi Kemampuan dan kualitas mahasiswa dan staf Kesepakatan dengan partner internasional Membangun reputasi Mikro

Program studi Peningkatan mutu pendidikan

Internasionalisasi dalam negeri

Kepuasan mahasiswa dan pengguna/industri, membangun reputasi Mahasiswa Pengalaman pembelajaran yang menarik Belajar ke luar negeri, kerjasama internasional, dll

Kemampuan diri dan kesempatan kerja yang lebih baik

(34)

Yunus (2007) mengatakan bahwa prinsip-prinsip untuk peningkatan mutu perguruan tinggi antara lain adanya kepemimpinan yang baik, memberdayakan dan melibatkan semua unsur perguruan tinggi, memberikan kepuasan kepada mahasiswa, orang tua dan masyarakat. Proses pencapaian mutu memerlukan partisipasi dari semua pihak baik internal maupun eksternal dan mutu hanya dapat diukur menggunakan suatu produk (Eggertsson, 1990 cit. Westerheijden et al., 2007).

b. Model Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi

Di beberapa Negara, perguruan tinggi memiliki tanggungjawab untuk menanggung dan menjamin mutu perguruan tinggi, oleh karena itu sangatlah penting bagi setiap perguruan tinggi untuk mengembangkan sistem Internal Quality Assurance (IQA) yang efisien. Perguruan tinggi bebas memutuskan model penjaminan mutu yang tepat digunakan pada institusinya, namun demikian tetap ada beberapa persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi tersebut. Beberapa model penjaminan mutu pada perguruan tinggi antara lain:

1) Model Logika (Logic Models)

Model Logika sangat bermanfaat bagi suatu perguruan tinggi karena model ini dapat digunakan sebagai pedoman mengevaluasi dan memahami suatu program atau proses yang dirancang oleh perguruan tinggi untuk mengatasi suatu masalah, dan mengidentifikasi hasil kinerja yang diharapkan. Pada model logika, evaluator biasanya menginterpretasikan melalui praktik dalam konteks adanya

(35)

klien/konsumen dan mempertimbangkan potensi serta dampak dari pelayanan jangka pendek, menengah, dan panjang (McLaughlin dan Jordan, 2004).

Model logika membedakan antara output (layanan diberikan) dan hasil (konsekuensi dari output) melalui perluasan dampak pengukuran atau memperluas pengukuran dari dampak pelayanan pada tingkat kebutuhan yang diharapkan klien. Hasil jangka panjang ditujukan untuk kepuasan klien serta kebutuhan efisiensi dan efektifitas perguruan tinggi.

Penggunaan model logika untuk perbaikan mutu perguruan tinggi membutuhkan waktu yang cukup lama dan usaha yang besar, tetapi tidak bersifat opsional bagi profesi tertentu. Model ini memberikan alasan untuk mewujudkan eksistensi suatu profesi dan sebagai patokan program perbaikan perguruan tinggi baik dalam teori maupun praktik (McLaughlin & Jordan, 2004).

2) Model Penjaminan Mutu (Quality Assurance/QA) untuk Pembelajaran Model QA untuk pembelajaran tingkat program studi dapat digunakan untuk melakukan evaluasi diri (self assesment) bagi suatu perguruan tinggi. Model QA pembelajaran tingkat program studi pada perguruan tinggi meliputi empat tahap yaitu: a) penjabaran tujuan pembelajaran yang diharapkan, spesifikasi program, struktur dan isi program, strategi pembelajaran, serta penilaian hasil pembelajaran mahasiswa, b) input meliputi staf, mahasiswa, dan fasilitas pendukung

(36)

proses pembelajaran, c) proses penjaminan mutu (quality assurance) pembelajaran, kegiatan pengembangan staf, serta umpanbalik dari

stakeholders, dan d) outcome proses pembelajaran (AUN-QA, 2010).

Model penjaminan mutu pada proses pembelajaran di tingkat program studi suatu perguruan tinggi (Gambar 2) sebagai berikut:

Gambar 2. Model QA untuk pembelajaran tingkat program studi pada perguruan tinggi (AUN-QA, 2010)

3) Model PDCA (Plan-Do-Check-Act)

Shewhart mengembangkan siklus PDCA pada sekitar tahun 1920 dan Deming membuat siklus tersebut menjadi terkenal pada tahun 1980, meskipun Deming memodifikasi siklus PDCA (Plan, Do, Check, dan

Act) menjadi PDSA (Plan, Do, Study, dan Act). Keempat unsur PDCA

adalah mempunyai kedudukan yang sama yaitu merupakan empat bagian dari sebuah proses. Penerapan model penjaminan mutu PDCA telah terbukti lebih efektif dari pendekatan the right first time, dengan

Kepuasan stakeholders

Spesifikasi

program Struktur dan isi program Strategi embelajaran peserta didik Evaluasi

Mutu staf

akademik Dukungan mutu staf peserta didik Mutu dukungan peserta Bimbingan dan didik

Fasilitas dan infrastuktur

QA pembelajaran Kegiatan

pengembangan staf Umpanbalik stakeholders Tujuan

pembelj. yg diharapkan

Profil lulusan Rata-rata

kelulusan Rata-rata drop out Lama studi Lapangan pekerjaan

P R E S T A S I

(37)

menggunakan model PDCA berarti secara berkelanjutan mencari metode peningkatan mutu perguruan tinggi yang lebih baik.

Model PDCA memungkinkan dua jenis tindakan korektif yaitu bersifat sementara dan permanen. Tindakan korektif sementara bertujuan untuk menemukan dan memperbaiki suatu masalah, sedangkan tindakan korektif permanen untuk melakukan penyelesaian dan penghapusan akar penyebab suatu masalah sehingga target penjaminan mutu perguruan tinggi adalah proses peningkatan mutu yang berkelanjutan (Leahy et al., 2009).

Model PDCA bukan hanya sekedar alat pengukur mutu pada perguruan tinggi, model penjaminan mutu ini merupakan sebuah konsep dasar dari suatu proses peningkatan mutu yang terus menerus yang melekat pada budaya organisasi perguruan tinggi. Model PDCA mudah untuk dipahami dan semestinya digunakan oleh semua perguruan tinggi. Aspek terpenting dari model PDCA terletak pada tahap evaluasi (check) setelah penyelesaian suatu kegiatan, ketika siklus selanjutnya akan dimulai lagi untuk program peningkatan mutu perguruan tinggi selanjutnya (Sokovic et al., 2010).

Aspek-aspek dalam model penjaminan mutu PDCA dapat dijelaskan sebagai berikut: a) perencanaan (plan) adalah mengidentifikasi target untuk perbaikan mutu dengan memprioritaskan pada keuntungan terbaik atas investasi yang diharapkan dengan menerapkan proses perencanaan strategis berdasarkan best practice, b)

(38)

pelaksanaan (do) adalah melaksanakan perencanaan yang telah ditetapkan dengan langkah-langkah seperti pengumpulan data dan identifikasi masalah dengan menggunakan kriteria atau standar tertentu, c) evaluasi (check) adalah mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program perbaikan mutu, hal ini merupakan langkah penting dalam siklus PDCA. Hasil analisis check digunakan oleh sebagian besar perguruan tinggi dalam upaya peningkatan mutu perguruan tinggi tersebut (Gupta, 2005; Leahy et al., 2009), d) tindakan (act) adalah tindak lanjut yang dilakukan untuk memutuskan dalam mengadopsi, mengeliminasi, atau merevisi inovasi/perbaikan yang dilakukan, serta merencanakan program peningkatan mutu selanjutnya.

Langkah act telah menyebabkan interpretasi yang berbeda, bagi sebagian orang berpendapat bahwa act menyiratkan standarisasi, sedangkan sebagian orang lain berpendapat bahwa act berarti peningkatan atau perbaikan. Pengertian act yang paling dikenal adalah sebagai koreksi proses melalui tindakan korektif dan pencegahan dari terulangnya kembali suatu masalah. Masukan atau input untuk aspek

act berasal dari kegiatan pada aspek check yang telah dilakukan.

Tindakan (act) dilakukan dengan memberikan umpan balik ketika hasil evaluasi suatu program tidak memadai atau tidak memuaskan. Siklus PDCA (Gambar 3) adalah model QA yang dinamis, akhir dari satu siklus adalah awal dari siklus berikutnya. Setiap siklus dipelajari

(39)

dan dievaluasi untuk proses peningkatan mutu yang berkelanjutan. Siklus PDCA digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Siklus PDCA (siklus Shewhart/ siklus Deming) pada

Quality Assurance (Leahy et al., 2009)

Beberapa prinsip yang melandasi pola pikir dan pola tindak semua pelaku manajemen kendali mutu berbasis model PDCA adalah prinsip Kaizen yaitu: a) quality first, semua pikiran dan tindakan pengelola pendidikan tinggi harus memprioritaskan mutu, b)

stakeholder-in, semua pikiran dan tindakan pengelola pendidikan harus

ditujukan pada kepuasan stakeholders, c) the next process is our

stakeholders, setiap orang yang melaksanakan tugas dalam proses

pendidikan tinggi, harus menganggap orang lain yang menggunakan hasil pelaksanaan tugasnya sebagai stakeholder-nya yang harus dipuaskan, d) speak with data, setiap pelaksana pendidikan tinggi harus melakukan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan analisis data yang telah diperolehnya terlebih dahulu, bukan berdasarkan pengandaian atau rekayasa, dan e) upstream management, semua

(40)

pengambilan keputusan di dalam proses pendidikan tinggi dilakukan secara partisipasif, bukan otoritatif (Depdiknas, 2003).

Model PDCA dengan prinsip peningkatan mutu berkelanjutan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Siklus PDCA dalam proses peningkatan mutu berkelanjutan (Sokovic et al., 2010)

Gambar 4 menunjukkan bahwa model PDCA ini menitikberatkan kegiatan penjaminan mutu pada aspek perbaikan/peningkatan mutu secara terus menerus atau continuous quality improvement (Sokovic et

al., 2010). Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan

penjaminan mutu perguruan tinggi dapat mencapai tujuannyaadalah adanya komitmen, sikap mental pelaku proses, serta pengorganisasian penjaminan mutu.

Model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik yang dikemukakan oleh Walasek et al. (2011) sebagai berikut: a) plan meliputi pelatihan, silabus, dan format penilaian, b) do meliputi pengetahuan dan interaksi mahasiswa dan pembimbing, c) check meliputi proses review, dan evaluasi, d) act meliputi implementasi dan skenario.

(41)

Tujuan utama penjaminan mutu pada Jurusan Keperawatan Gigi (JKG) Poltekkes Kemenkes adalah menghasilkan tenaga perawat gigi yang bermutu. Upaya peningkatan mutu JKG Poltekkes Kemenkes Yogyakarta menggunakan model penjaminan mutu PDCA sebagai dasar proses peningkatan mutu pendidikan (Kemenkes, 20010a).

Implementasi model penjaminan mutu PDCA pada JKG Poltekkes Kemenkes Yogyakarta diharapkan dapat menumbuhkan budaya mutu mulai dari menetapkan, melaksanakan, mengevaluasi, dan secara berkelanjutan berupaya meningkatkan standar mutu. Pola PDCA sudah sejak lama berjalan dengan cara yang sederhana walaupun belum terintegrasi menyeluruh. Usaha yang telah dilakukan institusi ini adalah pembentukan tim penjaminan mutu yang bertanggungjawab langsung kepada direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Mekanisme penjaminan mutu pada proses penyelenggaraan pendidikan JKG adalah sebagai berikut:

a) Perencanaan (Plan)

Perencanaan disusun setiap tahun sekali, di dalam perencanaan disusun rencana kegiatan dan sasaran yang akan dicapai setidaknya untuk satu tahun ke depan. Perencanaan mutu meliputi penetapan kebijakan mutu, tujuan mutu serta indikator pencapaiannya, serta prosedur untuk pencapaian tujuan tersebut. Kebijakan mutu JKG Poltekkes Kemenkes Yogyakarta yaitu menghasilkan perawat gigi yang kompeten sesuai kebutuhan stakeholders. Berdasarkan kebijakan mutu

(42)

JKG, maka tujuan mutu JKG adalah: 1) mahasiswa memperoleh kualifikasi yang diinginkan yaitu mahasiswa D3 lulus dalam waktu 3 tahun, 2) lulusan bisa bekerja segera setelah lulus.

b) Pelaksanaan (Do)

Pelaksanaan merupakan kegiatan yang bersifat rutin dilakukan. Pelaksanaan proses penjaminan mutu pendidikan termasuk pelayanan administrasi dilaksanakan sesuai dengan Standar Operating Procedure (SOP) (Depkes, 2009b). Ketua Jurusan bertanggungjawab dalam mengendalikan seluruh proses pendidikan, memantau pelaksanaannya, serta memberikan umpan balik kepada pihak-pihak yang terkait dalam proses pendidikan seperti dosen, tenaga penunjang, dan mahasiswa. Pelaksanaan penjaminan mutu ini menuntut komitmen dari seluruh komponen pada tugas dan fungsinya masing-masing.

c) Evaluasi (Check)

Evaluasi adalah kegiatan untuk melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan yang telah berjalan. Evaluasi proses pendidikan dilakukan secara internal dan eksternal. Evaluasi internal dilakukan dengan melakukan evaluasi diri, menyusun rencana perbaikan, dan menyusun laporan pelaksanaan pendidikan kepada Direktur Poltekkes Kemenkes. Evaluasi eksternal dilakukan oleh BANPT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) (Depdikanas, 2008a). Hasil evaluasi dibahas dan didiskusikan untuk bersama-sama merencanakan upaya tindak lanjut untuk perbaikan berkelanjutan.

(43)

d) Tindakan (Act)

Tindakan adalah kegiatan yang dilakukan sebagai implikasi dari hasil evaluasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, kegiatan yang dilakukan adalah rapat koordinasi antar bagian (akademis, keuangan, dan kemahasiswaan) secara periodik untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi program yang akan dilakukan. 2. Benchmarking

Proses peningkatan mutu memerlukan komitmen untuk perbaikan yang melibatkan secara seimbang aspek manusia dan teknologi. Ada dua macam peningkatan mutu yaitu: a) untuk mencapai standar mutu yang ditetapkan dan b) dalam konteks peningkatan standar mutu yang dicapai yaitu melalui

benchmarking.

Benchmarking adalah upaya membandingkan standar baik antar bagian

internal organisasi maupun dengan standar eksternal dengan tujuan untuk peningkatan mutu (Depkes, 2009c). Hal ini sesuai juga dengan pernyataan Gaspersz (2005) bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh

stakeholders untuk melakukan peningkatan mutu adalah dengan menerapkan benchmarking dalam praktik penyelenggaraan perguruan tinggi yang

dilakukan terus menerus dengan menggunakan perguruan tinggi lain sebagai pembanding.

Upaya peningkatan mutu akan menjadi optimal apabila penerapan

benchmarking dipadukan dengan filsafat kaizen yaitu perbaikan yang

(44)

peningkatan yang terus-menerus didefinisikan sebagai suatu nilai dan proses yang berulang-ulang untuk mencapai keberhasilan yang sempurna (Leahy et

al., 2009).

Benchmark biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, terutama sebagai

sumber referensi ketika merancang dan mengembangkan program-program baru. Benchmark merupakan panduan umum untuk mengartikulasikan hasil pembelajaran yang terkait dengan program tetapi tidak spesifikasi pada suatu kurikulum. Benchmark mendorong adanya inovasi dalam kerangka konseptual secara keseluruhan, juga memberikan dukungan dalam jaminan mutu internal dan memungkinkan adanya hasil pembelajaran yang ditentukan program untuk ditinjau dan dinilai terhadap harapan dan kesesuaian dengan standar (QAA for Higher Education, 2005).

Program benchmarking tentang pembelajaran dan pelatihan klinik sebuah perguruan tinggi keperawatan gigi di United Kingdom menunjukkan bahwa pada akhir program mahasiswa akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam: a) mengidentifikasi dan membahas kewajiban hukum dan etika yang tertuang pada Dewan Konsil Gigi, b) menerapkan teori-teori pembelajaran dan strategi yang mendukung pengembangan kepribadian dan efektivitas praktik, c) menerapkan pembelajaran akademik dan prinsip-prinsip di lingkungan kerja, d) penerapan pengetahuan teoritis di tempat kerja, e) mengidentifikasi kebutuhan belajar, pengembangan kepribadian, akademik dan profesional, serta f) pemahaman tentang hukum, politik dan sosial ekonomi di masyarakat (QAA for Higher Education, 2004).

(45)

Tujuan program sertifikasi pendidikan keperawatan gigi di Universitas Tesside adalah: a) memberikan lingkungan belajar yang efektif agar mahasiswa memenuhi persyaratan dari Konsil Kedokteran Gigi sehingga layak mendaftar sebagai seorang perawat gigi, b) menciptakan pengalaman belajar supaya mahasiswa berkembang secara personal dan profesional, serta mampu merefleksikan kesiapan mereka dalam melakukan praktik, c) memfasilitasi perkembangan mahasiswa sebagai seorang pembelajar seumur hidup sehingga sebagai seorang perawat gigi dapat berfungsi sebagai anggota dari tim pelayanan kesehatan, d) mengembangkan keterampilan kognitif, afektif dan psikomotorik mahasiswa dalam kaitannya dengan praktik keperawatan gigi (Baird, 2010).

Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta melakukan usaha-usaha dalam upaya proses benchmarking antara lain: a) menyelenggarakan evaluasi diri, b) menentukan target yang akan dicapai, serta c) menyusun rencana-rencana tindakan (act) yang akan dilakukan sehubungan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, serta melakukan studi banding dengan beberapa pendidikan keperawatan gigi baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Evaluasi Mutu Proses Pembelajaran

Evaluasi adalah membandingkan pelaksanaan kinerja program saat ini dengan standar kinerja program yang diharapkan, dan menyimpulkan tentang efektivitas program. Kesimpulan dari hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai

(46)

penentu kebijakan program, dan sebagai alat ukur keberhasilan maupun kegagalan suatu program (Shadish et al., 1991).

Arikunto dan Jabar (2009) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, dan selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan. Konteks evaluasi adalah menguji kekuatan, kelemahan, dan perubahan-perubahan yang dapat membuat produksi (output) menjadi lebih baik (Stufflebeam dan Shinkfield, 2007).

Kirkpatrick dan Kirkpatrick (2006) mengemukakan bahwa evaluasi program terdiri dari 4 tingkat, yaitu: a) tingkat 1: reaksi (reaction) yaitu evaluasi yang mengukur reaksi mahasiswa/peserta didik dan dosen mengenai suatu program, evaluasi ini dinamakan pengukuran kepuasan pengguna (peserta didik dan dosen), b) tingkat 2: pembelajaran (learning) yaitu evaluasi perubahan perilaku peserta didik/staf seperti peningkatan pengetahuan, dan/atau keterampilan setelah mengikuti suatu program, c) tingkat 3: perilaku (behavior) yaitu evaluasi peserta didik dalam penerapan pengetahuan dan keterampilan suatu program, d) tingkat 4: hasil (results) yaitu evaluasi untuk mengetahui dampak program bagi institusi dan masyarakat.

Evaluasi mutu dapat diartikan sebagai setiap kegiatan terstruktur yang mengarah pada proses penjaminan mutu (quality assurance) yang digambarkan sebagai proses yang berkelanjutan, terstruktur dan sistematis dalam kaitannya dengan menjaga dan memperbaiki mutu. Perhatian pada

(47)

mutu yang berkelanjutan (continuous improvement) merupakan sine qua non pada penjaminan mutu pembelajaran dan/atau penelitian, baik evaluasi yang dilakukan mandiri maupun dilakukan oleh pihak luar (AUN-QA, 2010).

Evaluasi QA pada pendidikan keperawatan ada 2 metode yaitu evaluasi internal dan evaluasi external. Evaluasi internal menggunakan assessment formal dan kesepakatan dengan komite QA institusi untuk melihat perencanaan, implementasi, serta evaluasi program pendidikan, sedangkan evaluasi eksternal dilakukan oleh pihak lain di luar institusi (WHO, 2010). Evaluasi mutu perguruan tinggi diperlukan untuk mendapatkan umpan balik tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman sebagai landasan untuk melakukan upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Evaluasi mutu suatu jasa atau produk hampir sama dengan pengukuran kepuasan konsumen, yaitu ditentukan oleh variabel harapan dan kenyataan yang dirasakan. Harapan konsumen merupakan keyakinan konsumen sebelum mencoba suatu produk atau jasa. Apabila produk atau jasa sesuai dengan yang diharapkan maka mutu diinterpretasikan baik, tetapi apabila tidak sesuai maka mutu diinterpretasikan buruk (Tjiptiono, 1997).

Kegiatan evaluasi mempunyai peranan penting dalam pendidikan, begitu pula dalam proses pembelajaran klinik. Evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi proses pembelajaran klinik yang telah dilaksanakan berdasarkan perencanaan, dan pelaporan dilakukan sebagai bentuk penyampaian hasil evaluasi, sedangkan tindak lanjut/umpan balik adalah

(48)

program yang perlu dikembangkan sebagai implikasi hasil evaluasi (Depkes, 2009b).

Salah satu kendala yang dihadapi dalam evaluasi mutu pendidikan saat ini adalah pemberian umpan balik (feedback) yang belum memadai bagi program studi untuk melakukan perbaikan mutu yang berkelanjutan (Bornmann et al., 2006). Evaluasi dan umpan balik bagi program studi yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai konsumen pendidikan, bertujuan agar program studi mengevaluasi kembali penyelenggaraan pendidikan yang sudah diterapkan kepada para mahasiswanya.

Penyelenggaraan pendidikan dapat dikatakan bermutu ketika proses pembelajaran dilaksanakan secara interaktif dan inspiratif dalam suasana yang menyenangkan, menantang, dan memotivasi mahasiswa untuk berpartisipasi aktif, kreatif, dan mandiri sesuai dengan bakat dan minat mereka (Depkes, 2009c). Evaluasi mutu pendidikan mencakup semua ranah pembelajaran yang dilakukan secara obyektif, transparan, dan akuntabel. Evaluasi mutu pendidikan dapat berfungsi untuk mengukur pencapaian akademis mahasiswa, kebutuhan akan remedial, serta memberikan masukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

Penyediaan tenaga kerja kesehatan berkaitan dengan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan (Diknakes), oleh karena itu harus bisa dipertanggungjawabkan baik kepada masyarakat maupun profesi. Lulusan Diknakes harus mampu menunjukkan kemampuannya kepada masyarakat secara umum dan secara khusus kepada profesinya, tanggung jawab lulusan

Gambar

Gambar 1. Kerucut Dale
Tabel 1. Tingkatan penjaminan mutu pada perguruan tinggi (Gaalen, 2010)
Tabel 2. Alasan dan strategi peningkatan mutu suatu perguruan tinggi  (Gaalen, 2010)  Tujuan  internasionalisasi  Instrumen dan Strategi  Keluaran/efek  Makro
Gambar 2. Model QA untuk pembelajaran tingkat program studi                    pada perguruan tinggi (AUN-QA, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak. Masalah dalam penelitian ini adalah pemerintah belum serius menangani tempat wisata rekreasi yang berada di Lubuk Nyarai.Berdasarkan latar belakang penulis

Bunasor, MSc, selaku dosen pembimbing I yang telab banyak memberikan bimbingan, araban serta nasehat selama penulis melaksanakan studi di Jurusan Teknologi

Kenaikan produktivitas tenaga kerja, berarti tenaga kerja yang digunakan dapat menghasilkan lebih banyak barang pada jangka waktu yang sama, atau suatu tingkat produksi

Hal ini dapat dipandang sebagai kompromi yang saling menguntungkan (kehutanan dan pertanian), dan memberi kepastian bahwa HHBK dapat dikembangkan melalui hutan tanaman,

Untuk memperoleh data tentang persepsi masyarakat terhadap pemanenan kayu di hutan dilakukan dengan melakukan pengisian kuesioner pada para pelaku pemanenan yang terdiri dari

Matlamat pentaksiran sumatif atau peperiksaan berkepentingan tinggi adalah untuk mengukur kualiti prestasi, tahap pencapaian, atau tahap kecekapan pelajar bagi setiap

penelitian menunjukkan bahwa pelatihan secara umum sudah maksimal dan cenderung ke arah yang positif. Kurikulum/materi yang berupa materi psikologi dianggap cocok dengan

Dependent Variable: KD_Z Residuals Statistics a. Minimum Maximum Mean