• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KONDISI LINGKUNGAN TERHADAP KEKEROPOSAN BATU BATA PADA BANGUNAN TRADISIONAL BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KONDISI LINGKUNGAN TERHADAP KEKEROPOSAN BATU BATA PADA BANGUNAN TRADISIONAL BALI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONDISI LINGKUNGAN TERHADAP KEKEROPOSAN BATU BATA

PADA BANGUNAN TRADISIONAL BALI

N. M. Anom Wiryasa

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh kondisi lingkungan terhadap kekeroposan batu bata telah dilakukan dengan membandingkan kandungan kimia yang ada pada batu bata Tulikup dari beberapa lokasi yang mengalami keropos dengan yang belum keropos. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda terhadap kekeroposan batu bata jika ditinjau dari segi kandungan kimianya.Sampel batu bata keropos dan tidak keropos diambil dari beberapa bangunan yang terdapat di daerah dataran tinggi (Baturiti), dataran rendah (Denpasar) dan pesisir pantai (Sanur), yang kondisinya tidak terlindung atau mengalami kontak langsung dengan udara luar. Sampel diambil berdasrkan ketebalan kekeroposan + 1 cm dari permukaan asal. Sebagai perbandingan juga diambil sampel batu bata asli dari Tulikup. Kemudian sampel ini diteliti kandungan kimianya berupa CaO, SiO2, Al2O3 dan Mg dengan alat Atomic Absorrption Spectrometer, sedangkan unutk kandungan SO4 dan NaCl dilakukan dengan titrasi. Berdasarkan hasil pengamatan kandungan kimia dilakukan uji hipotesa dengan menggunakan distribusi normal t-test. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekeroposan batu bata ditandai dengan hilangnya sebagian besar senyawa utama pembentuk batu bata seperti CaO, SiO2 dan Al2O3. Di daerah pesisir Pantai Sanur yang memiliki kondisi udara yang mengandung garam ditandai dengan adanya kandungan NaCl rata-rata 6,043%, SO4 sebanyak 0,0083% dan Mg sebesar 0,357%. Didapatkan bahwa batu bata mengalami kekeroposan paling parah ditandai dengan hilangya kandungan CaO sebanyak 82,12% dan SiO2 sebanyak 12,51%. Sementara di dataran tinggi seperti Baturiti kehilangan kandungan CaO sebesar 74,47% dan SiO2 sebanyak 26,97%, hal ini mendapat dukungan dari kondisi lingkungan dengan curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi dan suhu yang rendah. Sedangkan di datran rendah seperti Denpasar, kondisi lingkungan yang padat polusi serta angin mendukung reaksi kimia yang terjadi pada batu bata yang menyebabkan kekeroposan, meskipun tingkat kehilangan CaO hanya sebesar 69,22% dan SiO2 sebesar 13,51%.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Sampai saat ini batu bata masih diminati untuk bahan bangunan, salah satunya untuk material tambahan seperti ornament pada bangunan berarsitektur Bali. Keindahan ornamen dan bentuk ini terkait dengan keawetan dari batu bata itu sendiri, dengan kata lain, konstruksi mengalami kekeroposan / pelapukan.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan pelapukan diantaranya gabungan dari proses-proses mekanik (fisika), kimia dan biologis, yang juga merupakan adanya perbedaan temperatur udara, curah hujan serta reaksi-reaksi asam di permukaan dan dalam tanah. (Lange, Ivanova dan Lebedeva, 1991)

Jika ditinjau dari kandungan kimianya, pelapukan ditandai dengan berkurangnya senyawa dominan penyusun suatu bahan. Berdasarkan penelitian di Labioratorium Analitik Universitas Udayana, batu bata merupakan bahan yang kandungan kimianya dominan terdiri dari SiO2, Al2O3, Fe2O3 dan CaO.

Permasalahan

Bagaimana pengaruh kondisi lingkungan terhadap komposisi kimia batu bata sehingga menyebabkan kekeroposan serta berapakah besarnya kehilangan senyawa kimia SiO2, CaO, Al2O3 dan Fe2O3 sehingga dapat menyebabkan

(2)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda terhadap kekeroposan batu bata ditinjau dari segi kandungan kimianya. Juga untuk mengetahui seberapa besar berkurangnya nilai senyawa kimia berupa SiO2, CaO, Al2O3 dan Fe2O3 yang terkandung pada batu bata yang mengalami

kekeroposan. Sehingga data penelitian ini dapat menunjang dalam perencanaan komposisi batu bata berikutnya sehingga diperoleh batu bata yang awet dan tahan terhadap kekeroposan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Batu Bata

Batu bata merah merupakan suatu unsur bahan bangunan yang terbuat dari bahan tanah liat dicampur maupun tidak dengan bahan lain dan dibakar dengan suhu yang cukup tinggi sehingga tidak hancur bila direndam dengan air (Daryanto,2000)

Syarat batu bata merah yang baik harus mempunyai rusuk-rusuk yang tajam dan siku, bidang-bidang sisi harus datar, tidak menunjukan retak-retak, tidak mudah hancur atau patah dan perubahan bentuk yang berlebihan. Warnanya merah seragam (merata) dan bunyinya nyaring bila diketok (Frick, 1999)

2.2 Material Pembentuk Batu Bata

Bahan utama untuk pembuatan batu bata adalah tanah liat (Lempung). Lempung berasal dari kerak bumi yang terjadi karena pelapukan dan erosi angin, air dan gletser sehingga berbentuk halus. Namara (1983) mendefinisikan bahwa tanah liat (lempung) adalah tanah sebagai hasil penguraian batu-batuan, terutama fedspar dan mengandung senyawa alumina silikat hidrat. Bahan ini akan plastis jika basah dan sangat keras seperti batu bila dipanaskan pada temperatur tinggi. Sifat-sifat fisik dari lempung sebelum dibakar yang terpenting adalah meliputi warna, struktur, sifat liat (plastisitas), susut kering, kekuatan kering, dan daya bersuspensi (Harja, 1954)

2.3 Komponen Utama Lempung

Komponen-komponen utama yang ada didalam tanah liat (lempung) dapat digolongkan sebagai berikut (Hartono, 1983) :

1. Silika, dapat dilihat dalam bentuk bebas berupa kwarsa, dalam bentuk kombinasi alumina membentuk mineral lempung, dalam bentuk kombinasi alumina dan alkali seperti feldspar dan mika, dalam bentuk kombinasi dengan alkali saja membentuk garam. Pengaruh silika bebas dalam lempung akan mengurangi keplastisan, mengurangi susut kering dan bakar, mengurangi kekuatan tekan dan tarik kecuali bila butirnya sangat halus

2. Alumina, dalambentuk bebas berupa gibbsite, dalam bentuk senyawa dengan oksida lainnya berupa feldspar dan mika. Pengaruh alumina bebas pada lempung akan mengurangi susut kering dan bakar, meningkatkan sifat tahan api pada lempung

3. Senyawa besi yang mungkin terdapat pada lempung adalah Fe2O3, Kandungan ini akan berpengaruh pada

perubahan warna pada saat pembakaran dan menurunkan sifat tahan apinya

4. Senyawa kalsium seperti kalsit (CaCO3 ), aragonite dan kalsium silikat. Pengaruh kalsium pada lempung

adalah dapat bertindak sebagai pelebur, bahan cairan gelas yang terbentuk bersifat encer dan sangat korosif, pada temperatur rendah akan menurunkan susut dan mempermudah pengeringan

2.4 Komposisi Kimia Lempung

Komposisi kimia pada lempung sangat penting untuk diketahui dalam pembuatan batu bata (Nuryanto, 2001) 1. Silika (SiO2)dan alumina (Al2O3)berfungsi sebagai kerangka yang sangat kuat dan memberikan kekakuan

2. Senyawa besi (Fe2O3) dan senyawa Titan (Ti O2) berfungsi dalam menentukan warna batu bata

3. CaO, MgO, K2O dan Na 2O berfungsi sebagai pelebur. Pada suhu dibawah 1000 derajat Celsius

senyawa-senyawa ini akan melebur dan pada suhu diatas 700 derajat celsius akan berfungsi sebagai bahan pengikat bahan pengisi rangka

(3)

2.5 Pelapukan

Pelapukan dapat dibedakan berdasarkan proses kimia dan fisika, (Lange,Ivanova, dan Lebedeva, 1991) 1. Pelapukan Mekanik (fisika)

Pelapukan mekanik ini disebabkan adanya perubahan temperatur seperti perbedaan suhu, udara dan juga karena panas langsung matahari. Mineral dan batu akan memuai kalau dipanaskan dan menyusut jika didinginkan. Dibawah pengaruh pemuaian dan penyusutan yang berulang-ulang ini maka ikatan antar melekul akan menjadi rapuh

2. Pelapukan Kimia

Uap dan gas yang bereaksi di udara dan sinar matahari menyebabkan perubahan kimia pada komposisi mineral bebatuan. Uap air yang berkondensasi (mengental) menjadi cairan yang mengandung berbaai jenis unsur dalam larutan yang menambah ke cairan larutan-larutan mineral. Kelembaban yang kaya dengan asam-asam organik menstimulasi terjadinya proses hidrolis dan oksidasi

3. KERANGKA ANALISA

3.1 Pemilihan tempat pengambilan sampel

Pengambilan sampel ditetapkan di tiga lokasi yaitu : di dataran tinggi, di dataran rendah dan di daerah pantai. Dataran rendah adalah dataran yang memiliki ketinggian 1-20 m di atas permukaan laut, sedangkan dataran tinggi memiliki nketinggian lebih dari 1500 mdi atas permukaan laut. Daerah pesisir adalah daerah yang berada di sekitar pantai.

Adapun tempat pengambilan sampel sebagai berikut : 1. Dataran tinggi, diambil di daerah Baturiti Tabanan 2. Dataran rendah diambil di daerah Denpasar 3. Daerah pantai, diambil di daerah Sanur

4. Untuk batu bata asli yang belum terpasang diambil dari daerah Tulikup, Gianyar

3.2 Cara Pengambilan sampel

Untuk pengambilan sampel dilakukan dengan menggosok batu bata keropos yang memiliki ketebalan keropos sedalam 1 cm dari permukaan aslinya. Sampel berasal dari batu bata yang terpasang pada bangunan dengan kondisi tidak terlindung atau mengalami kontak langsung dengan udara terbuka

(4)

3.3 Kerangka Penelitian

Mulai

Daerah Pengambilan sampel Daerah Pengambilan Sampel (Bata Terpasang) (Bata Asli)

1. Dataran Tinggi (Baturiti) Daerah Tulikup, Gianyar 2. Dataran Rendah (Denpasar)

3. Daerah Pantai (Sanur)

Batu Bata Batu Bata

Terpasang Asli

Keropos

Belum Keropos

Pengujian Kandungan Kimia SiO2, CaO, Fe2O3, Al2O3, Mg, SO4, NaCl

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan

(5)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil pemeriksaan kandungan kimia batu bata

Untuk mengetahui kandungan kimia pada batu bata diantara SiO2, CaO, Fe2O3 dan Al2O3, dilakukan penelitian

menggunakan alat Atomic Absorption Spectrometer di Laboratorium Analitik. Selain itu juga diteliti kandungan garamnya berupa NaCl, Mg dan SO4 karena melibatkan sampel yang berasal dari pesisir pantai.

4.2 Analisis kandungan kimia pada batu bata

Dilakukan uji hipotesa terhadap hasil pemeriksaan kandungan kimia pada batu bata antara yang keropos dan yang belum keropos dengan menggunakan distribusi normal t-test.

Pengujian terhadap kandungan CaO, dengan data sebagai berikut:

Dua populasi dianggap tak terbatas, dua populasi dianggap mendekati distribusi normal. Dari sampel batu bata yang tidak mengalami kekeroposan dan keropos, diperoleh:

784

,

1

,

628

,

3

,

9

2 1 1 1

=

X

=

S

=

n

145

,

0

,

458

,

1

,

9

2 2 2 1

=

X

=

S

=

n

Hipotesis yuang diuji : berkurangnya kandungan CaO pada batu bata dapat menyebabkan kekeroposan pada batu bata. (

H

0

:

µ

1

=

µ

2 dan

H

1

:

µ

1

>

µ

2 )

Taraf signifikasi

α

= 0,01

Derajat kebebasan adalah

ϑ

=

n

1

+

n

2

2

=

9

+

9

2

=

16

Uji satu arah, bernilai

t

(α:ϑ)

= t

(0,01;16)

=

2

,

583

atau

t

(α:ϑ)

= t

(0,01;16)

=

2

,

583

Nilai simpangan baku gabungan (Sp)2 =

2

)

1

(

)

1

(

2 1 2 2 2 2 1 1

+

+

n

n

S

n

S

n

Sp2=

2

,

153

2

9

9

145

,

0

)

1

9

(

784

,

1

)

1

9

(

2 2

=

+

+

Sp =

2

,

153

=

1

,

467

2 1 2 1

1

1

n

n

Sp

x x

σ

=

+

σ

=

0

,

692

9

1

9

1

467

,

1

+

=

2 1 2 1 2 1

)

(

)

(

x x

x

x

th

σ

σ

µ

µ

=

=

3

,

138

692

,

0

)

0

(

)

458

,

1

628

,

3

(

=

Kesimpulan : tolak H0, karena nilai th = 3,138 > 2,583 atau nilai th = 3,138 ada di daerah penolakan H0. Sehingga

yang diterima adalah H1. Dengan kata lain, rata-rata kandungan CaO pada batu bata sebelum dan setelah keropos

perbedaannya ternyata signifikan pada taraf signifikansi α = 0,01, artinya kehilangan kandungan CaO pada batu bata dapat menyebabkan kekeroposan pada batu bata.

Dengan menggunakan hipotesis yang serupa dengan pengujian kandungan CaO, maka dapat disimpulkan juga bahwa dengan berkurangnya kandungan SiO2 juga dapat menyebabkan kekeroposan pada batu bata, karena th =

4,428 ada pada daerah penolakan H0 sehingga dapat ditunjukan perbedaan yang signifikan untuk nilai kandungan

SiO2 pada batu bata yang tidak keropos ataupun yang telah keropos.

Sedangkan untuk pengujian terhadap kandungan Al2O3, didapatkan bahwa nilai th = 5,388 > 2,583 atau nilai th =

5,388, sehingga memang cukup data untuk menyatakan bahwa dengan berkurangnya kandungan Al2O3, dapat

(6)

Pengujian terhadap Fe2O3 menunjukan bahwa nilai th = 2,069 < 2,583, sehingga tidak cukup data untuk menyatakan

bahwa dengan berkurangnya kandungan Fe2O3 dapat menyebabkan terjadinya kekeroposan pada batu bata. Dengan

kata lain kandungan Fe2O3 yang dimiliki batu bata baik itu saat keadaan masih utuh ataupun sudah keropos tidak ada

perbedaan yang signifikan atau kehilangan senyawa ini tidak menunjukan pengaruh yang besar terhadap kekeroposan batu bata.

Dari hasil penelitian senyawa kimia lainnya berupa kandunga garam, didapatkan bahwa terdapat nilai yang cukup tinggi di daerah pesisir pantai dibandingkan dengan daerah lainya. Dengan melakukan uji hipotesa berdasarkan daerah asal sampel diketahui bahwa besarnya nilai garam NaC1, SO4 dan Mg berpengaruh pada kekeroposan di

daerah pesisir pantai.

Tabel berikut ini hasil rata-rata kandungan senyawa kimia dominan yang terdapat pada batu bata Tabel 1. rata-rata kandungan CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3

Daerah Pantai (Sanur) Dataran Rendah (Denpasar) Dataran Tinggi (Baturiti) Asal Sampel Parameter Batu Bata Asli Tulikup Keropos Tidak Keropos Keropos Tidak Keropos Keropos Tidak Keropos CaO 5,98 1,054 5,187 1,814 3,472 1,505 2,224 SiO2 81,43 71,243 79,160 70,427 79,58 59,470 75,877 Fe2O3 1,04 0,921 0,991 0,978 0,985 0,970 0,981 Al2O3 10,98 5,017 10,002 8,083 9,648 7,517 9,388

Dari data tabel diatas dapat dihitung besarnya nilai kehilangan kandungan CaO, SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 pada

masing- masing sampel batu bata yang telah terpasang di tiga tempat yang berbeda.Jika di bandingkan dengan kandungan kimia asli batu bata yang berasal dari Tulikup didapatkan bahwa pada daerah pesisir pantai terjadi kehilangan CaO dengan nilai rata- rata 82,12%.Sedangkan untuk kandungan silika, yang paling banyak mengalami kehilangan adalah batu bata yang terdapat di daerah pesisir pantai dengan rata- rata nilai 26,97%. Sementara kehilangan Al2O3 terbesar terjadi di daerah pesisir pantai yaitu 54,34%.

Tabel 2. rata-rata kandungan NaC1, Mg dan SO4 Daerah Pantai (Sanur) Dataran Rendah (Denpasar) Dataran Tinggi (Baturiti) Asal Sampel Parameter Batu Bata Asli Tulikup Keropos Tidak Keropos Keropos Tidak Keropos Keropos Tidak Keropos NaC1 0,10 6,043 3,972 0,117 0,107 0,107 0,097 Mg 0,12 0,357 0,183 0,232 0,125 0,158 0,160 SO4 0,0013 0,0083 0,0022 0,0016 0,0015 0,0017 0,0015

Dari tabel di atas di ketahui bahwa di daerah pesisir pantai dijumpai kandungan garamnya paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lainya. Daerah pesisir pantai memiliki kondisi udara yang membawa uap air laut yang mengandung ion-ion garam terlarut. Melalui uji hipotesa sebelumya didapatkan bahwa, kandungan garam yang cukup besar ini berpengaruh terhdap kekeroposan batu bata. Sementara di daerah lainya seperti dataran rendah dan dataran tinggi, meskipun terdapat kandungan garam tapi uji hipotesa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan yang menyebabkan batu bata keropos.

(7)

4.3 Besarnya parameter lingkungan dari tempat asal pengambilan sampel

Parameter linkungan yang dipakai sebagai acuan terhadap keroposnya batu bata yang terpasang akibat dari hilangnya kandungan kimia adalah kelembaban, curah hujan, dan suhu. Pada masing-masing daerah tempat pengambilan sampel, dimana tiap tempat memiliki besaran parameter lingkungan yang berbeda pada musim hujan dan kemarau. Kelembaban udara paling tinggi di temui di daerah Baturiti yaitu sekitar 91,667% dengan curah hujan rata-rata 368,5 mm pada musim hujan. Sedangkan untuk daerah pesisir pantai sanur dan Denpasar memiliki kelembaban, suhu serta curah hujan yang tidak jauh bebeda, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3 Basarnya parameter lingkungan periode rata-rata 10 tahun terakhir

Rata-rata Kelembaban (%) Rata-rata Curah hujan (mm) Rata-rata Suhu (°C) Parameter Asal Tempat Musim Hujan Musim Kemarau Musim Hujan Musim Kemarau Musim Hujan Musim Kemarau Pesisir (Pantai Sanur) 81,17 79,33 267 43,333 28 26,67 Dataran Rendah (Denpasar) 80,167 77,167 271 42,167 28 27,17 Dataran Tinggi (Baturiti) 91,667 90,33 368,5 77 19 17,8

( Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah III Bali )

4.4 Pengaruh kondisi linkungan tehadap komposisi kimia batu bata sehingga terjadi kekeroposan Data menunjukkan bahwa daerah pesisir pantai adalah daerah yang paling banyak mengalami kehilangan CaO jika dibandingkan dengan dua daerah lainya.Begitu juga halnya dengan kandungan SiO2, secara visual batu bata yang

belum mengalami keropos di daerah pantai mengalami kehilangan SiO2 terbesar dibandingkan tempat lainnya, tapi

pada batu bata yang sudah mengalami keropos justru berkurangnya SiO2 terbanyak terdapat di daerah dataran tinggi.

Dari reaksi kimia yang terjadi antara pengikat CaO dan SiO2 diketahui bahwa :

3CaO + SiO2 → 3CaOSiO2 ( trikalsium silikat ). Dengan kondisi lingkungan yang curah hujannya tinggi maka

terjadi reaksi kimia antara trikalsium silikat dengan air (H2O),reaksi sebagai berikut :

2(3CaO.SiO2) + 6 H2O → 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2

(tobermorite gel) (kalsium hidrat)

Kalsium hidrat komposisinya bervariasi, menghasilkan bubur / gel yang dinamakan tobermorite. Saat CaO pada tobermorite ini tertarik keluar maka tidak ada zat perekat yang bisa mengikat silikat sehingga pada saat ada celah air masuk diantara pori, silika ikut terbawa keluar celah batu bata.

Sementara untuk persenyawaan antara CaO dengan Al2O3 (alumina) sebagai berikut : 3CaO + Al2O3 → 3CaOAl2O3

(trikalsium alumina), dalam bahasa teknik disebut C3A. Senyawa ini mengalami hidrasi yang sangat cepat disertai

pelepasan sejumlah besar panas, menyebabkan pengerasan awal, tetapi kurang kontribusi pada kekuatan batas, ketahanannya terhadap agresi kimiawi, paling menonjol mengalami disitegrasi oleh sulfat air dan tendensinya sangat besar untuk retak-retak oleh perubahan volume. Jika trikalsium aluminat bereaksi dengan air dan kalsium sulfat (karena adanya ion sulfat terikat ion kalsium), maka akan terjadi ettringite seperti berikut ini :

3CaO. Al2O3 + 10 H2O + CaSO4 → 3CaO. Al2O3. CaSO4.12 H2O (ettringite)

Ettringite sifatnya membungkus, dalam jumlah besar kemudian mengembang dan akhirnya pecah, sehingga memungkinkan CaO dan Al2O3 terlepas.

(8)

Dalam bahasa teknik tetrakalsium aluminoferit juga disebut C4AF. Pada tahap awal C4AF bereaksi dengan CaSO4 (gypsum) dan kalsium hidroksida membentuk kalsium sulfo aluminat hidrat dan kalsium sulfo ferrit hidrat yang kristalnya berbentuk jarum. Kecepatan reaksi hidrasi maksimum pada tahap awal yang kemudian menurun terhadap waktu. Ini di sebab kan makin banyaknya terbentuk lapisan C-S-H. Secara hidrasi akan terhenti bila tebal lapisan mencapai 25 µm . Dari reaksi tersebut dapat dilihat bahwa hasil hidrasi menghasilkan dua komponen penting yaitu C-S-H gel dan Ca(OH)2.

Kondisi lingkungan juga dapat mendukung kekeroposan batu bata berdasarkan reaksi kimia yang terjadi antara senyawa yang terdapat pada batu bata, terutama akibat adanya pengaruh air.

Di daerah pesisir pantai terjadi kekeroposan batu bata akibat dari kehilangan CaO yang cukup besar didukung oleh terlepasnya SiO2 dan Al2O3 dalam jumlah yang banyak. Jika melihat kondisi lingkungan pesisir pantai yang udaranya membawa uap air mengandung garam maka ada tambahan zat yang sifatnya korosif yang dapat mempengaruhi kekeroposan pada batu bata. Pada penguji hipotesa sebelumnya sudah disimpulkan bahwa hanya di daerah pesisir pantai yang memiliki kadar garam yang menyebabkan kekeroposan pada batu bata.

Sebelumnya telah di ketahui pada tabel 2 bahwa kandungan garam dominan yang terdapat pada air laut adalah NaC1 dan MgSO4, dimana NaC1 merupakan garam yang bersifat netral. Jika udara jenuh air hasil penguapan air laut tertiup angin membawa ion-ion garam masuk ke celah batu bata dapat menyebabkan struktur pembentuk batu bata menjadi korosif sehingga menyebabkan pelapukan. Pelapukan yang disebabkan oleh garam pada batuan biasanya disebut salinolisis.

Selain NaC1, pengaruh Magnesium (Mg) dan Sulfat (Sulfat) juga besar terhadap kekeroposan. Jenis Senyawa Sulfat, umumnya magnesium sulfat merupakan senyawa yang agresif. Dasar dari serangan ini hampir sama seperti yang terjadi pada pelepasan CaO yaitu pembentukan gypsum (Kalsium Sulfat) dan ettringit (Kalsium Sulpho Aluminat).

Kandungan NaCl, Mg dan SO4 terbanyak ditemui pada batu bata di daerah pesisir pantai. Ini dapat dijadikan indikator bahwa pengaruh garam dapat menyebabkan kekeroposan di daerah pesisir pantai. Secara visual kekeroposan pada batu bata di daerah pesisir sering kali terjadi tidak seragam pada satu permukaan melainkan dapat menyusup di berbagai arah sesuai dengan celah lemah yang dapat dimasuki oleh garam terbawa udara.

Pada daerah dataran tinggi yang memiliki kondisi lingkungan berupa suhu yang rendah, kelembaban tinggi dan curah hujan yang besar maka pada saat terjadi pelepasan CaO juga terjadi pelarutan zat kemudian terbawa keluar celah (pelindian) batu bata oleh air hujan, dalam hal ini yang terbawa oleh air berupa silika dan alumina. Disamping itu tingkat pelindian suatu zat tergantung pada kemampuannya untuk membentuk ion mantap dalam air. CaO pada saat menjadi Ca2+ merupakan ion yang berukuran besar dengan jumlah yang kecil yang mantap dalam larutan air, maka akan mudah terlindi.

Secara visual kekeroposan di daerah dataran tinggi seperti Baturiti ini memiliki tingkat kekeroposan berlapis. Pada saat musim penghujan, pelapukan terjadi pada permukaan bata dan sebelumnya ditandai dengan tumbuhnya jamur ataupun lumut. Secara biologis jamur dan lumut merupakan tumbuhan perintis yang akarnya dapat menyebabkan pelapukan. Akar-akarnya memasuki celah dan mendesak volume dalam batu bata. Saat ini juga memungkinkan lebih banyak air yang masuk sehingga mendukung reaksi kimia terjadi pada batu bata yang menyebabkan kekeroposan. Tapi jika musim berganti kemarau, saat jamur hilang, lapisan batu bata dibawahnya masih bisa bertahan sampai akhirnya datang musim penghujan lagi. dataran rendah atau pun pesisir, hendaknya dilapisi dengan zat pelindung yang untuk meminimalkan terjadinya reaksi kimia yang menyebabkan kekeroposan batu bata.

Berdasarkan besamya kehilangan senyawa kimia pada batu bata yang menyebabkan kekeroposan, maka penelitian dapat dilanjutkan dengan membuat batu bata dengan meneliti pengaruh komposisi bahan-bahan batu bata yang dipakai terhadap nilai kandungan kimianya, karena pada penelitian ini tidak dilakukan penelitian kandungan kimia pada komposisi bahan-bahan pada proses pembuatan batu bata.

Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan menyempurnakan penelitian ini, dapat dilakukan penelitian lebih detail terhadap kekeroposan batu bata yang terjadi di daerah perkotaan dengan mencari kandungan kimia pada batu bata yang telah keropos dengan menggunakan X-ray difraction.

(9)

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN

Bedasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kandungan kimia batu bata asli (desa tulikup) didominasi oleh silika dioksida (SiO2) dengan prosentasi kandungannya berkisar antara 68,24 – 81,43 %

2. Berkurangnya kandungan CaO (kalsium oksida), Silika dioksida (SiO2), dan Alumian (Al2O3) dalam batu bata menjadi komponen utama yang dapat menyebabkan kekeroposan

3. Kekeroposan batu bata yang paling buruk terjadi didaerah pantai dengan kehilangan CaO paling besar yaitu sebesar 82,12 %, kemudian disusul oleh daerah dataran tinggi sebesar 74,47 % dan dataan rendah sebesar 69,22 %

4. Kehilangan kandungan kimia Fe2O3 tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap kekeroposan batu bata

5.2 SARAN

Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :

1. Pada setiap pemasangan batu bata untuk bangunan yang berkontak langsung dengan udar luar, baik untuk di dataran tinggi, di dataran rendah maupun di daerah pantai , hendaknya dilapisi dengan zat pelindung yang dapat mengurangi terjadinya reaksi kimia yang menyebabkan terjadinya kekeroposan

2. Bisa dilakukan penelitian lebih detail untuk mengetahui reaksi kimia yang terjadi dengan menggunakan X-ray difraction, sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, B. 2001. Kamus Keramik, cetakan pertama, Milenia Populer, Jakarta. Anonimus. 1954. Teknik Keramik, Balai Penyelidikan Keramik.

Anonimus. 2003. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Program SI, Tidak dipublikasikan, Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

Boediono dan Koster, M. Teori dan Aplikasi Statistika dan Probabilitas, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Daryanto. 2000. Gambar Tehnik Bangunan, Penerbit Rineka Cipta.

Eka Darma, I.W. 2003, Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Keroposnya Batu Padas Bali pada Bangunan Bergaya Khas Bali, Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana, Denpasar, 50p.

Frick, H., Koesmartadi, C. 1999. Ilmu Bahan Bangunan, Penerbit Kanisius.

Hartono, Y.M.V., Namara Mc. 1983. Bahan Mentah Untuk Pembuatan Keramik, Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Industri Keramik.

htrp://www.uky.edu/kgs/coal/webrokmn/pages/sulfates.html

http://mmeral.galleries.coni/mmerals/halides/camaUi/carnalli.html

Lange, O., Ivanova, M., Lebedeva, N. 1991. Geologi Vmum, cetakan pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta. Murdock, L., J., Brook, K., M., Hindarko, S. 1999. Bahan dan Praktek Beton, edisi keempat, Erlangga, Jakarta. Notohadiprawiro, T., 1999. Tanah dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Jakarta.

Nuryanto. 2001. Pengendalian Proses Penyiapan Bahan, Balai Besar Industri Keramik, Bandung. Sarwono. 1993. Klasijikasi Tanah Dan Pedogenesis, cetakan pertama, Akademika Pressindo, Jakarta.

Subakti, Aman. 1994. Teknologi Beton Dalam Praktek, Jurusan Teknik Sipil FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Suparman, Natawidjaya. 1986. Teras Komposisi, Cetakan Pertama, PT. Intermasa, Jakarta.

Swariwiyanyani, A.A.D. 2002. Pengaruh Temperatur dan Lama Pembakaran Terhadap Kekuatan Batu Bata, Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana, Denpasar, 94p.

Wahyudi, H. Perilaku Mikroskopik Tanah, Program S2 Geoteknik, Teknik Sipil, Institut teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 250p.

(10)

KoNTe

kS 3, UPH – UAJY

Jaka

Gambar

Tabel 2. rata-rata kandungan NaC1, Mg dan SO 4
Tabel 3  Basarnya parameter lingkungan periode rata-rata 10 tahun terakhir  Rata-rata  Kelembaban (%)  Rata-rata  Curah hujan (mm)  Rata-rata  Suhu (°C) Parameter  Asal  Tempat    Musim Hujan  Musim  Kemarau  Musim Hujan  Musim  Kemarau  Musim Hujan  Musim

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajerial seperti partisipasi anggaran, komitmen organisasi, dan job relevant information telah dilakukan

Pirogen adalah zat penyebab demam, ada yang berasal dari dalam tubuh (pirogen endogen) dan luar tubuh (pirogen eksogen) yang bisa berasal dari infeksi

kecenderungan Cakupan Persalinan ditolong oleh Tenaga Kesehatan di Desa Banguntapan tahun 2009 sampai dengan 2014..

(2) Pada tahap Measure, produk buku memiliki kapabilitas sigma sebesar 2,50 dengan DPMO 12.359 yang artinya masih dalam kategori buruk dan perlu untuk ditingkatkan, dan terdapat 5

Dengan dicanangkannya program tersebut, maka sebagai konsekuensinya adalah penggunaan uranium pengayaan tinggi yang biasa digunakan sebagai bahan bakar nuklir

Strategi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengekplorasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi resiko kepatuhan perawatan, serta untuk menentukan

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan angket dan dokumentasi untuk mengetahui gaya mengajar personalisasi guru dan tingkat

Proses pembuatan biodiesel yang dilakukan Kusumaningsih, dkk., 2006 pada Tabel 4.4 melakukan reaksi transesterifikasi minyak jarak dengan katalis homogen KOH dan mendapatkan