• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Cerpen sebagai Suatu Karya Sastra - BAB II Yesita Rahmani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Cerpen sebagai Suatu Karya Sastra - BAB II Yesita Rahmani"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Cerpen sebagai Suatu Karya Sastra

Sastra adalah suatu karya tulis yang memberikan hiburan dan disampaikan dengan bahasa yang unik, indah, artistik serta mengandung nilai-nilai kehidupan dan ajaran moral sehingga mampu menggugah: pengalaman, kesadaran moral, spiritual dan emosi pembaca (Minderop, 2013:76). Persoalan yang dikemukakan dalam karya sastra adalah persoalan manusia dan hakikatnya, sebab pada dasarnya yang diinginkan manusia di seluruh dunia ini sama saja, dari dulu hingga sekarang, yaitu kebahagiaan, terbebas dari derita, dan sebagainya, (Noor, 2007:16). Hal tersebut sejalan dengan pengertian sastra (Semi,2012:1) yakni bahwa sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu tujuan sastra ialah ingin menunjukan eksistensi manusia dalam mengaplikasikan keinginan, tujuan dan cita-citanya melalui kata-kata yang artistik. Keinginan, tujuan dan cita-cita yang diharapkan oleh setiap manusia berbeda-beda tergantung ia menghadapi realitas dunia dengan perkembangan zaman yang memunculkan fenomena baru di setiap harinya.

Suatu hal penting yang harus disadari, bahwa karya sastra adalah suatu fenomena sosial. Ia terkait dengan penulis, terkait dengan pembaca, terkait dengan segi kehidupan manusia yang diungkapkan di dalam karya sastra. Karya sastra sebagai fenomena sosial tidak hanya terletak pada segi penciptaannya saja, tetapi juga pada

(2)

hakikat karya itu sendiri. Malahan mungkin dapat dikatakan bahwa reaksi sosial seorang penulis terhadap fenomena sosial yang dihadapinya mendorong ia menulis karya sastra. Oleh sebab itu, mempelajari karya sastra berarti mempelajari suatu kehidupan sosial. Hal itu bermakna, bahwa kajian tentang sastra akan terkait dengan kajian tentang manusia, tentang kehidupan, tentang budaya, tentang ideologi, tentang perwatakan, bahkan menyangkut masalah-masalah lain yang lebih luas terkait dengan kehidupan manusia (Semi,2012:65-66). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan suatu karya yang berisikan tentang segala aspek mengenai kehidupan manusia dan seluk-beluknya, dengan menggunakan bahasa yang unik, artistik dan indah. Aspek kehidupan yang disajikan berupa pengalaman jiwa seseorang yang berhubungan dunia pribadianya atau dunia luarnya. Pengalaman jiwa tersebut dimanifestasikan ke dalam rangkaian kata yang tersusun dengan bahasa unik, artistik dan indah, karena bertujuan untuk menarik hati pembaca agar jiwanya seolah-olah mesuk ke dalam cerita.

(3)

lebih merupakan “penunjukkan” dari pada hasil “pengembangan”. Selanjutnya,

dimensi waktu dalam cerpen juga cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas. Ringkasnya, cerpen-cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat comperession „pemadatan‟, concentration „pemusatan‟, dan intensity „pendalaman‟, yang semuanya berkaitan dengan panjang

cerita dan kualitas yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu (Sayuti, 2000:10).

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Walaupun sama-sama pendek, penjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang “kurang penting” yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Kelebihan cerpen yang khas

adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak-jadi, secara implisit-dari sekadar apa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2010:11).

(4)

tertentu. Baik peristiwa dialogis maupun monologis selalu ada dalam sebuah cerpen (Kurniawan dkk,2012:61).

Nurgiyantoro (2010:2) istilah fiksi dalam pengertian berarti cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Karya fiksi dengan demikian menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi dengan sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata, karena bersifat imajinatif. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.

(5)

pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang. Karya tersebut yang merupakan prosa dapat dibaca dalam sekali duduk, tetapi tetap beridentitas sastra. Hal tersebut dikarenakan cerpen tidak ditentukan oleh banyaknya halaman untuk perwujudan ceritanya, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup yang ingin disampaikan oleh bentuk karya tersebut. Cerpen menyuguhkan peristiwa secara singkat dan padat dengan alur tunggal, dan penjabaran tokoh-tokoh yang tidak berbelit-belit. Ia hanya memiliki satu arti, satu krisis dan satu efek untuk pembacanya.

B. Kepribadian dan Tanggung Jawab Suami dalam Perspektif Islam

1. Kepribadian Suami dalam Perspektif Islam

a. Pengertian

Yusuf,dkk (2007:212) Kepribadian dalam studi keislaman lebih dikenal dengan istilah syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhshun yang berarti pribadi. Kata ini kemudian diberi ya‟ nisbat sehingga menjadi kata benda buatan syakhsyihat yang berarti kepribadian. Integrasi sistem kalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Sedangkan Mujib menjelaskan syahshiyah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku yang didevaluasi, sedangkan akhlak berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi. Pemilahan itu tidak berarti jika term syahshiyah dihadapkan pada term islamiyah, karena syahshiyah islamiyah harus dipahami sebagai akhlak. Kata “Islam” memuat sistem nilai yang mengikat semua disiplin yang berada

di dalamnya. Karenanya, kepribadian Islam selain mendeskripsikan tingkah laku seseorang juga berusaha menilai baik-buruknya (Mujib dkk,2001:37).

(6)

penanggung jawab keluarga, satu-satunya pemuas kebutuhan seksual istri, penyejuk pergaulan keluarga, pembimbing istri dan juga seorang pendidik anak (Halim,2005:102). Seorang kepala rumah tangga adalah penguasa sekaligus pemimpin dalam rumah tangganya. Pada hakikatnya kehidupan rumah tangga adalah sebuah kerajaan iman, dalam artian, suami adalah rajanya, istri adalah ratunya, dan anak-anak adalah rakyatnya. Suami adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan semua urusannya karena dialah yang menerima beban tanggung jawab serta amanat, (Daudin,2004:9). Berdasarkan kedua pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian suami dalam perspektif islam ialah pribadi, tingkah laku, perbuatan atau akhlak seorang pemimpin dan penanggung jawab keluarga yang dinilai dari sudut pandang agama Islam. Adapun parameter kepribadian suami dalam perspektif Islam adalah ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi.

Dalam Al-Quran surat Asy-Syamsu:8, Allah berfirman:









Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia, fujur, (kefasikan / kedurjanaan) dan taqwa (beriman dan beramal shaleh)”.

(7)

Artinya: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi (yang diandasi moral bukan agama), maka sesungguhnya neraka-lah tempat tinggalnya. Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu-nya (yang bertentangan dengan norma agama), maka surgaah tempat tinggalnya”.

Manusia adalah makhluk yang netral, kepribadiannya itu bisa berkembang seperti malaikat, bisa juga seperti setan. Hal ini taat bergantung kepada pilihannya tadi, apakah manusia mengisi jiwa atau kalbunya dengan ketakwaan atau dengan fujur. Apabila yang dipilihnya itu ketakwaan, maka qolbu (fungsi rohaniah sebagai perpaduan antara akal dan rasa) akan menggerakannya untuk berperilaku yang bermakna (beramal shaleh), dan berpribadi mulia. Tetapi apabila yang dipilihnya itu “fujur”, maka dia akan berpribadi mufsid (pembuat keonaran di muka bumi), biang

kemaksiatan (Yusuf dkk, 2007:213). Kedua pilihan tersebut terdapat konsekuensinya masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam surat Asy-Syamsu ayat 9-10:

Artinya: “Sungguh berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya (qolbunya), dan sungguh merugilah (celakalah) orang yang mengotorinya”.

Kata mensucikan (zakka) atau mengotori (dassaa), kedua-duanya adalah kata kerja

(fi‟il) yang menunjukkan keperilakuan manusia. Hal ini menunjukkan juga bahwa

(8)

barang siapa yang ingin (beriman) berimanlah, dan barangsiapa yang ingin (kafir) kafirlah. Sesungguhnya kami telah menyediakan api neraka bagi yang dholim”.

Manusia akan mengalami konflik psikis, manakala dia tidak mengambil keputusan. Selain itu dia juga membiarkan jiwanya terkurung (terbelenggu) oleh keraguan antara mengambil kebenaran (komitmen kepada yang haq) atau dengan mengambil yang salah (memperturutkan hawa nafsu). Bagi mereka yang komitmen kepada kebenaran (memaknai hidupnya dengan kebenaran), meskipun harus menempuh perjuangan hidup yang “usron” (sulit), maka dia akan lahir, berkembang

sebagai manusia yang berpribadi mantap. Inilah orang yang dipanggil secara khusus oleh Allah (Yusuf dkk, 2007:214). Keteguhan dalam segala hal akan selalu

Artinya:“Hai jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah) kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi-Nya. Masuklah ke dalam

(9)

b. Jenis

1) Berdasarkan Dinamika

Kepribadian manusia sangat ditentukan oleh interaksi komponen-komponen nafs. Menurut Mujib (2001:61) ada 3 komponen yang mengatur jalannya kepribadian setiap individu. Karena cara kerjanya yang saling bersunggungan satu sama lain dan sangat berpengaruh besar terhadap kepribadian seseorang, maka ketiga komponen tersebut berkedudukan sangat penting di setiap jiwa individu. Ketiga komponen tersebut ialah qalbu atau hati, akal atau pikiran, dan nafsu. Ketiganya saling berkaitan dan berinteraksi hingga menimbulkan dinamika yang dinamis. Berdasarkan ketiga komponen tersebut Mujib mengelompokkan jenis-jenis kepribadian berdasarkan dinamikanya, yakni ammarah, lawwamah dan muthmainnah.

Proses interaksi tersebut, kalbulah yang memiliki potensi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Posisi dominan ini disebabkan oleh daya naturnya yang luas yang mencakup semua daya dan natur komponen nafsani lainnya. Prinsip kerjanya selalu cenderung kepada fitrah asal manusia, yaitu rindu akan kehadiran Tuhan (banifiyah) dan kesucian jiwa. Kalbu merupakan pengendali dari semua sistem kepribadian. Apabila sistem kendali ini berfungsi sebagaimana mestinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat Allah di alam perjanjian.

(10)

mengaktualisasikan natur tertingginya, tetapi apabila tidak berhasil maka ia dimanfaatkan oleh nafsu.

Nafsu hanya memiliki natur terendah yakni kehewanan (hawaniah). Prisnsip kerjanya hanya mengejar kenikmatan (pleasure) duniawi dan ingin mengumbar nafsu-nafsu impulsifnya. Apabila sistem kendali kalbu dan akal melemah maka nafsu-nafsu mampu mengaktualisasikan natur hawaniah-nya, tetapi apabila sistem kendali kalbu dan akal tetap berfungsi maka daya nafsu melemah. Perlu menjadi catatan bahwa nafsu memiliki daya tarik kuat sekali dibanding dengan kedua sistem fitrah nafsani yang lain. kekuatan ini disebabkan oleh bantuan-bantuan setan dan tipuan-tipuan impulsif lainnya. Natur asli nafsu adalah mengarah pada amarah yang buruk (suw), tetapi jika ia diberi rahmat oleh Allah maka ia menjadi daya yang positif .

a) Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)

Mujib (2001:62) menjelaskan bahwa kepribadian ammarah merupakan kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip prinsip kenikmatan (pleasure principle). Sedangkan dalam syaamil Quran ammarah diartikan sebagai menyuruh (2007:242). Kata menyuruh berorientasi kepada perbuatan yang tidak baik. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela, firman Allah SWT Q.S Yusuf ayat 53:

(11)

Kepribadan Ammarah berada di alam bawah sadar manusia. Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiiki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang.

Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu pertama, daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya, kedua, daya ghadhah yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan jika diprosentasikan maka komponen yang ada dalam kepribadian ammarah ialah nafsu memiliki tingkatan paling besar atau mendominasi yakni sebesar 55%, sedangkan akal atau daya pikir berada di bawah posisi nafsu yakni hanya sebanyak 30%, dan untuk qalbu atau hati dan perasaan berada pada prosentase terbawah yang merupakan sisa dari nafsu dan akal yakni 15%.

b) Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah)

(12)

kepribadian lawwamah setelah melakukan perbuatan dosa, maka ia akan mencela dirinya sendirinya kemudian menyesali perbuatannya, hingga ia bertaubat. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Qiyamah ayat 2:







 

Artinya:”Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali”. Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal. Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya yaitu seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris. Kepribadian humanis boleh jadi bernilai baik menurut ukuran manusia, sebab paham ini mengakui kekuatan, kebebasan, kemerdekaan hak-hak asasi manusia secara mutlak. Kepribadian humanis boleh jadi bernilai buruk menurut konsepsi kepribadian Islam, sebab paham ini telah melupakan perjanjian Tuhan yang telah ditetapkan di alam arwah.

(13)

kepribadian lawwamah ini. Namun yang disayangkan akal masih memiliki kebimbangan untuk mengikuti jalur qalbu atau nafsu, sehingga prosentase tiap komponen ialah hampir merata yakni antara akal dan nafsu sama-sama kuat masing-masing sebesar 30%, sedangkan sisanya yakni 40% untuk akal.

c) Kepribadian Muthmainnah (nafs al-Muthmainnah)

Merupakan kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi pada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan meninggalkan kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah SWT (Mujib,2001:65). Dalam syaamil Quran dijelaskan arti dari Muthmainnah, yakni tenang (2007:594). Jiwa yang tenang selalu menyelimuti kepribadian ini. Dijelaskan dalam Firman Allah Q.S Al-Fajr ayat 27-28:

Artinya: “Hai kepribadian yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi Ridha-Nya”.

(14)

adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia (fitrah al-munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegimitasi oleh wahyu illahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode cita rasa dan mata batin dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.

(15)

memenuhi kebutuhan juga melaksanakan kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direlisasikan maka mengakibatkan kecemasan, kegelisahan, ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanannya telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hati tak dapat terkalahkan oleh natur akal ataupun nafsu. Prosentase untuk komponen qalbu dalam kepribadian muthmainnah menduduki posisi tertinggi yakni 55%. Hal itu dikarenakan kepribadian ini selalu mengandalkan daya batin dan nurani yang positif untuk melakukan suatu perbuatan, sehingga akal sehat dan pengendalian nafsu yang baik sangat mendominasi di sini. Kemudian untuk komponen akal memiliki 30% tempat pada kepribadian ini, walaupun lebih sedikit dibanding qalbu, namun akal menjadi komponen yang memiliki tempat lebih luas dibanding dengan nafsu yang hanya 15%. Hal ini dikarenakan nafsu dapat terkalahkan oleh qalbu atau hati nurani.

*)

No Daya Nafsani

Tingkatan Kepribadian Kepribadian

Muthmainnah

Kepribadian Lawwamah

Kepribadian Ammarah

1 Kalbu 55% 30% 15%

2 Akal 30% 40% 30%

3 Nafsu 15% 30% 55%

Begitulah prosentase pemberian daya oleh masing-masing sistem kepribadian yang dapat diperkirakan.

2) Berdasarkan Tipe

Pilihan manusia terhadap dua masalah besar kehidupannya, yaitu “haq” dan “bathil (Yusuf,2007:215). Kedua hal tersebut akan melahirkan perilaku-perilaku

tertentu, sesuai dengan karakteristik akan tuntutan yang haq atau bathil tersebut. Perilaku-perilaku tersebut mengkristal dalam pola-pola tertentu yang satu sama

(16)

lainnya sangat berbeda. Pola-pola perilaku tertentu yang dimiliki individu dan bersifat konstan atau tetap dapat dikategorikan sebagai tipe kepribadian Dalam Al-Quran. Tipe kepribadian manusia itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu tipe mukmin, tipe kafir dan tipe munafik. Ketiga tipe kepribadian tersebut memiliki karakteristik masing-masing. Parameter untuk tipe-tipe tersebut merupakan ayat Al-Quran dan hadist.

a) Tipe Mukmin (orang yang beriman)

Mukmin berarti orang yang beriman kepada Allah :seorang yang taat akan selalu menjalankan perintah agama (Alwi,2007:760). Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 186 dijelaskan bahwa orang mukmin adalah mereka yang memenuhi segala perintah Allah. Berikut ini firman yang menjelskan hal tersebut:



Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

(17)

              

 

Artinya: 2. “ Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan mereka.”

Tipe mukmin memiliki karakteristik pertama, berkenaan dengan akidah yakni beriman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir, dan qodar, kedua berkenaan dengan ibadah yakni melaksanakan rukun islam, ketiga berkenaan dengan kehidupan sosial yakni bergaul dengan orang lain secara baik, suka bekerja sama, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, suka memaafkan kesalahan orang lain, dan dermawan, keempat berkenaan dengan kehidupan keluarga: berbuat baik kepada kedua orang tua dan saudara, bergaul yang baik antara suami-istri dan anak, memelihara dan membiayai keluarga, kelima berkenaan dengan moral yakni sabar, jujur, adil, qona‟ah, amanah, tawadlu, istoqomah, dan mampu mengendalikan diri dari

(18)

Berdasaran pengertian dan karakteristik kepribadian mukmin di atas, maka peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan. Mukmin merupakan tipe kepribadian manusia yang selalu beriman kepada Allah SWT. Ia selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, serta selalu mengamalkan Al-Quran. Tak pernah sekali pun ia mendustakannya. Setiapa perbuatan yang dilakukannya pun didasarkan atas Al-Quran dan sunah Rasul. Tak hanya itu, ia juga berperilaku terpuji dan baik terhadap sesama umat Muslim. Karena ketaatannya itu maka Allah menjanjikan surga kepadanya.

b) Tipe Kafir (Menolak kebenaran)

Kafir merupakan orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya (KBBI,2007:488). Allah menjelaskan bahwa kafir merupakan orang yang mendustakan Al-Quran, dalam arti ia tidak pernah mengamalkan apa yang ada di dalam ayat suci Al-Quran. Ia selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yang sudah jelas tertera dalam ayat suci Al-Quran. Orang-orang kafir tak pernah sekalipun mengamalkan ayat-ayat Al-Quran, justru mereka mendustakannya. Hal itu dibuktikan dengan perbuatan-perbuatannya yang tidak mencerminkan orang soleh. Maka dari itu kesengsaraan dunia dan akhirat selalu dihadapinya, dan nerakalah tempatnya bernaung. Allah berfirman dalam beberapa ayat Al-Quran mengenai hal tersebut. Berikut ini ayat-ayat tersebut:

(19)

Artinya: 14. “Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu mereka (manusia)

bergolong-golongan.”

15. “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,

Maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.”

16. “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami

(Al Quran) serta (mendustakan) menemui hari akhirat, Maka

mereka tetap berada di dalam siksaan (neraka).”

Q.S As-Sajdah ayat 19-20:

Artinya: 19. “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala

terhadap apa yang mereka kerjakan.”

20. “dan Adapun orang-orang yang Fasik (kafir) Maka tempat mereka adalah Jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya." Q.S Al-Hajj ayat 19:

Artinya: 19. “Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.”

(20)

dan melarang kebajikan, keempat berkenaan dengan kekeluargaan yakni senang memutus silaturahim, kelima berkenaan dengan moral yakni tidak amanah, berlaku serong, suka menuruti hawa nafsu (impulsif), sombong dan takabur, keenam berkenaan dengan emosi yakni tidak cinta kepada Allah, tidak takut Azab Allah, membenci orang mukmin, ketujuh berkenaan dengan intelektual yakni tidak menggunakan pikirannya untuk bersyukur kepada Allah.

Berdasarkan pengertian dan karakteristik tipe kafir, maka terdapat kesimpulan yang dapat diambil oleh peneliti. Kafir merupakan jenis kepribadian yang mengarah kepada sifat-sifat buruk dan bertolak belakang dari ajaran agaa Islam. Jiwa dan raga manusia berkepribadian kafir telah didominasi oleh akal dan nafsu yang kotor. Maka tak sekali pun ia menaati perintah Allah SWT dan mengamalkan Al-Quran. Perbuatan yang muncul di setiap harinya hanya perbuatan jahat yang nantinya akan menjerumuskannya pada lubang neraka. Tak hanya itu, sifat buruk pun dilakukannya kepada sesama manusia. Bukan mengarahkan kebaikan yang dilakukannya, tetapi keburukanlah yang diarahkannya. Ancaman neraka pun seolah-olah tidak berarti lagi, karena orang-orang kafir selalu setia terhadap keteguhannya untuk tidak berimah terhadap Allah SWT.

c) Tipe Munafik (Meragukan Kebenaran)

(21)

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka

mengetahui.”

Munafik karakteristik pertama, berkenaan dengan akidah yakni bersifat ragu dalam beriman, kedua berkenaan dengan ibadah yakni bersifat riya dan bersifat malas, ketiga berhubungan dengan hubungan sosial yakni menyuruh kemungkaran dan mencegah kebajikan, suka menyebar isu sebagai bahan adu domba di kalangan kaum muslimin, keempat berkenaan dengan moral yakni senang berbohong, tidak amanah (khianat), ingkar janji, kikir, hedonis dan opertunis, penakut (dalam kebenaran), dan bersifat pamrih, kelima berkenaan dengan emosi yakni suka curiga terhadap orang lain, takut mati, keenam berkenaan dengan intelektual yakni peragu dan kurang mampu mengambil keputusan (dalam kebenaran), dan tidak berpikir secara benar.

(22)

karakteristik masing-masing tipe kepribadian dapat terbaca mengenai balasan yang akan diberikan oleh Allah SWT.

Berdasarkan semua penjelasan berdasarkan ayat Al-Quran maka dapat diambil kesimpulan bahwa kadar cinta Allah terhadap orang-orang mukmin lebih besar dari pada kepada orang-orang munafik dan kafir. Amal orang-orang kafir tidak akan mendapat bimbingan dari Allah, tidak dihargai dan tidak mendapat pahala. Begitulah balasan Allah sesungguhnya terhadap mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah Al-Quran surat Muhammad ayat 1-3:

 Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan mereka.”

2. “ Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman

kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan mereka.”

3. “Yang demikian adalah karena Sesungguhnya orang-orang kafir

mengikuti yang bathil dan Sesungguhnya orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.”

2. Tanggung Jawab Suami dalam Perspektif Islam

(23)

sendiri di dunia. Seorang laki-laki sebelum menikah hanya memiliki tanggung jawab terhadap agama, pekerjaan, dan dirinya sendiri. Dia akan berusaha mewujudkan keseimbangan antara kewajiban agama dan tuntutan-tuntutan duniawinya. Setelah menikah, tanggung jawab ini makin bertambah. Ia jadi memiliki tanggung jawab terhadap istrinya. Setelah istrinya melahirkan, bertambah tanggung jawabnya terhadap anak. Bertambahnya tanggung jawab, kewajiban-kewajiban, akan membuat bertambah pula hal-hal dalam dirinya yang harus dievaluasi. Demikian pula hal tanggung jawabnya terhadap rumah tangga, masyarakat, dan Allah SWT. Seorang suami harus lebih memahami lingkup tanggung jawab dan esensi tugasnya, sehingga tidak terjadi kelalaian di antara keduanya (Syahatah,2008:3).

Syariat Islam telah menetapkan kewajiban seorang suami terhadap istrinya, sebagai bentuk tuntutan dan tanggung jawab. Hilangnya tanggung jawab tersebut berakibat pada hancurnya kehidupan rumah tangga, seperti adanya kepentingan lain. Berikut mengenai tenggung jawab seorang suami terhadap Istri dalam Islam:

(24)

SWT. Hal ini sebagaimana yang dilukiskan dalam beberapa firmanNya, salah satunya dalam QS An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:

Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.”

Rasulullah memperbolehkan para perempuan untuk salat di masjid dan menghadiri majlis-majlis ilmu seperti yang diterangkan pada hadist yang diriwayatkan dari Aisyah RA, dia berkata:

“Kami, para perempuan mukmin pernah menghadiri salat subuh bersama Rasulullah SAW dengan cara menutupi seluruh tubuh dengan kain. Kemudian kami kembali ke rumah setelah melakukan salat berjamaah. Tak seorang pun dari kamu yang telat pulang.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada riwayat lain, Rasulullah bersabda:

“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan yang

sholehah. Perempuan shalihah dapat membantu suami daam beribadah kepada Allah SWT.”

(25)

istrinya. Dalam sebuah ayat, Allah SWT telah menegaskan dalam firmanNya yakni QS Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

Artinya:“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berpikir.”

Rasulullah SAW telah menegaskan tentang perlunya berlaku baik, sebagaimana terdapat dalam sabdanya:

Iman seorang mukmin yang paling sempurna adalah yang terbaik budi pekertinya. Dan, sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Takkan tercapai ketenteraman dan kasih sayang antara suami dan istri kecuali dengan pelakuan baik. Orang saleh pernah mengatakan:

“Nikmatilah apa yang menjadi kemampuan istrimu, seperti kamu memanen hasil

yang baik tergantung pada usaha yang baik pula.”

(26)

Artinya: “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”

Rasulullah SAW kemudian mempertegas lagi dalam sabdanya:

Bagi kamu (para suami) bertanggung jawab menafkahi para istri-istrimu dan memberikan mereka pakaian secara baik.” (HR Bukhari)

Dalam hadist lain, beliau bersabda:

“Nafkah yang kamu berikan semata-mata karena Allah, pasti Allah SWT akan

memberikan balasannya, meski pada benda yang engkau berikan pda istrimu

sekalipun.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di antara syarat memberikan nafkah adalah berlaku adil, seimbang, tidak berlebih-lebihan dan boros selama masih dalam batasan-batasan kemampuan. d. Syahatah (2008:17) Tanggung jawab yang keempat ialah dalam menggauli istri.

(27)

Juga dari wasiat Rasulullah SAW:

“Nikahilah perempuan yang subur karena aku akan bangga jika umatku

banyak.” (HR Ahmad).

Sebuah kesalahan orang bodoh jika membuat pertanyaan bahwa banyak keturunan dapat mengakibatkan kefakiran. Padahal Allah SWT senantiasa memberi rezekinya kepada semua orang. Sepatutnya seorang suami melakukan usaha, seperti bercocok tanam, agar memperoleh rezeki yang halal dan baik (Syahatah,2008:17). Pernyataan tersebut dianggap tidak tepat karena pada kenyataannya memiliki anak yang banyak belum tentu menjadikan sebuah keluarga menjadi miskin bahkan melarat. Semua tergantung bagaimana manajemen dalam rumah tangga, terkhusus bidang perekonomian. Maka semua kembali lagi kepada jejak langkah suami dalam membimbing istrinya untuk mengatur berjalannya rumah tangga agar tercapai kesejahteraan, sehingga memiliki anak yang banyak tidak menjadi halangan.

(28)

dari segala sesuatu yang dapat merusak kehormatan, menganiaya, meremehkan kemuliaan sebagai manusia, merusak nama baik dan perasaan, dan menghianati janji secara sengaja. Istri merupakan perhiasan dunia dan akhirat suami yang terindah yang dianugerahkan oleh Allah. Maka suami tidak boleh sekali pun menyakiti perasaannya. Jika istri merasa sakit hati dan kehormatannya dinodai serta tidak dihargai oleh suaminya, maka suaminya berdosa. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Apa hak istri terhadap kami?” Rasulullah menjawab “Beri dia makan kalau kamu makan, beri dia pakaian jika kamu berpakaian, janganlah kamu memukul wajahnya, menyakitinya, memisahkan ranjangnya, kecuali dalam

rumah (sendiri).” (HR Ahmad, Abu Daud, DAN An-Nasa‟i).

f. Syahatah (2008:18) Tanggung jawab yang keenam ialah menyenangkan istri. Syariat Islam mewajibkan seorang suami untuk menyenangkan istrinya, bermain-main, dan bersenda gurau bersamanya. Dalam sunah Rasulullah dijelaskan beberapa contoh seperti: hak istri untuk ikut dalam acara-acara seperti pernikahan, hari raya Id, atau hiburan-hiburan masyarakat. Tidak hanya itu, bentuk perlakuan suami untuk menyenangan istri dapat terwujud dengan suami berperilaku sesuai dengan yang istri senangi, atau memanggil panggilan sayang khas yang istri senangi, atau memberi kejutan yang menyenangkan istri. Hal itu akan semakin meningkatkan rasa sayang dan cinta diantara keduanya. Ummu Athiyyah ra berkata:

“Kami pernah diperintahkan keluar pada hari raya Id. Para gadis-gadis pun

keluar dari rumah mereka. Demikian pula halnya dengan perempuan-perempuan yang sedang haid, mereka berkumpul di belakang orang ramai sambil melantunkan takbir dan berdoa...” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadist dari Aisyah ra, dia berkata:

(29)

apakah engkau ingin turut bermain?” Aisyah menjawab: “iya” “beliau lalu mengangkatku di belakang punggungnya. “Rasulullah berkata: wahai bani Arfadah, aku akan bermain dengan kalian hingga aku bosan. Rasulullah SAW kemudian berkata: “cukup, (berhentilah bermain)!” Aisyah menjawab: “baik”. Lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk pulang.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di antara wasiat orang-orang saleh:

“Istrimu bagaikan botol, maka isilah botolmu itu sesuai dengan keinginanmu untuk meminumnya. Sebagian dari mereka berkata: perempuan itu membutuhkan diperlakukan secara mulia, ucapan yang halus, berita yang menyenangkan,

sedikit perhatian. Ucapan yang baik merupakan sedekah.”

g. Syahatah (2008:19) Tanggung jawab ketujuh suami membantu istri melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Islam mewajibkan seorang suami membantu istrinya dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah, terlebih di saat keadaan memaksa seorang istri untuk meminta pertolongan dari suaminya. Suami membantu istri dalam melakukan tugas rumah tangga merupakan hal kecil, namun sangat berarti bagi istri. Istri akan merasa sangat terkesan jika kewajibannya memasak, memcuci, menyetrika, membersihkan rumah dan sebagainya dibantu oleh suami. Ia akan merasa lebih diperhatikan. Hal itu pulalah yang dapat meningkatkan rasa cinta di antara keduanya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah QS Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:



(30)

orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”

Aisyah RA pernah ditanya:

“Apa yang dilakukan Rasulullah di rumahnya?” aku (Aisyah) menjawab:

“Dia senantiasa membantu keluarganya.” (HR Bukhari).

Dari Aisyah RA ia menceritakan tentang Rasulullah SAW:

Beliau menjahit sandal dan pakaiannya, menjadi pelayan rumah, seperti

halnya kalian menjadi pelayan di rumah kalian sendiri.” (HR Ahmad).

Peran suami dalam membantu tanggung jawab ini dapat mempererat hubungan kasih sayang, kelembutan, dan cinta di antara keduanya. Suami pun akan memperoleh pahala dari Allah.

h. Syahatah (2008:20) Tanggung jawab kedelapan ialah berbuat baik kepada kedua orang tua. Suami mengajak dan membantu istrinya untuk melakukan kebaikan kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan silaturahmi dengan keduanya. Seorang suami tidak boleh melarang istri berlaku jujur dan taat. Mencintai istri berarti juga harus mencintai keluarganya. Hal itu dapat terwujud dengan suami rajin mengajak istri bersilaturahmai ke rumah orang tuanya atau mertua. Selain itu juga ia tidak boleh melarang istri untuk berkunjung ke rumah orng tuanya. Allah berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Isra‟ ayat 23:

Artinya: “Dan Tuhanmu telah menetapkan atasmu, janganlah kamu menyembah Tuhan selainNya. Dan kepada kedua orang tuamu berbuat

(31)

Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya:

“Sungguh malang dan merugi nasibnya (ia ulangi selama tiga kali). Para

Sahabatnya bertanya “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” “Rasulullah menjawab: orang yang mengetahui orang tuanya telah meninggal atau salah satunya, namun ia tidak mampu memasukkannya ke dalam surga.”

Peran suami dalam tanggung jawab – tanggung jawab tersebut, bertujuan mewujudkan kebaikan dan keberkahan materi dalam rumah tangga seorang muslim. Baik dari segi ketenteraman, keamanan, kasih sayang, maupun kelembutan. Semua itu patut mendapat dukungan dan peran istri, sesuai dengan tanggung jawabnya seperti yang telah Allah wajibkan padanya. Seorang suami yang telah memahami peran dan tanggung jawabnya dengan baik dan benar, kemudian melaksanakannya, maka dia akan mampu membawa dirinya beserta keluarganya ke cahaya surga. Namun jika ia tak mampu menjalankan peran dan tanggung jawabya dengan baik dan benar, maka kesengsaraan telah menunggunya di gerbang neraka.

3. Suami Ideal dalam Perspektif Islam

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengertian suami, yakni seorang imam, pemimpin, penanggung jawab, dan raja dalam rumah tangga. Sedangkan ideal diartikan sebagai: sangat sesuai dengan yang dicita-citakan atau yang diharapkan, (Alwi,2007:416). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa suami yang ideal menurut islam merupakan sosok imam, pemimpin, dan penanggung jawab dalam rumah tangga menurut pandangan agama Islam. Keidealan suami ditentukan oleh beberapa hal yang mengaturnya, terutama tentang kewajban dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Ketentuan-ketentuan tersebut telah dijelaskan dalam ayat Al-Quran dan hadist.

(32)

seorang yang beragama. Ia dituntut dapat berlaku seimbang dalam menyikapi keluarga dan agama, sehingga tidak mengorbankan salah satu pihak. Keluarga dibentuk oleh individu-individu. Hal mendasar dalam membentuk suasana rumah tangga yang islami adalah kondisi personal anggota keluarga yang bersangkutan. Artinya, keluarga akan baik apabila didukung oleh personal-personal yang memang telah baik. Maka keluarga yang baik akan bisa menjaga dan bahkan meningkatkan kebaikan individu tersebut. Proses pemilihan calon suami atau istri, dan semangat awal yang mendasari terjadinya pernikahan, amat jelas peranannya. Lelaki yang shalih harus berusaha mencari istri yang shalihah. Modal dasar ini menjadi penting, karena suami-istri itulah batu awal terjadinya bangunan rumah tangga islami. Allah SWT berfirman dalam QS An-Nur ayat 26 yang berbunyi:



Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”

Salah satu unsur penting pembentuk rumah tangga islami adalah suami. Allah SWT telah memberikan posisi qawwan (kepemimpinan) kepadanya, karena beberapa kelebihan yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan yang telah difirmankan Allah SWT dalam QS An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:

(33)

Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Berdasarkan posisi kepemimpinan ini, maka ia wajib memberikan keteladanan yang baik bagi seluruh anggota keluarga. Ia harus memulai pembinaan dari dirinya sendiri, sebelum melakukan dan memerintahkan kepada yang lain. Hendaknya para suami takut akan peringatan Allah SWT, karena telah terpapar jelas dalam QS Ash-Shaf ayat 3 yang berbunyi:



Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan .”

Daudin (2004:95) menjelaskan bahwa Salah satu hal mulia yang dianjurkan oleh Rasul untuk dikerjakan oleh setiap pasangan suami istri ialah shalat malam atau shalat Tahajjud. Sesungguhnya shalat Tahajjud adalah suatu kebahagiaan dan merupakan buah dari pohon-pohon yang tumbuh dalam hati orang-orang yang bertakwa. Kemudian berbunga dengan bentuk kesehatan hati, kesehatan tubuh, dan keberhasilan meraih tujuan. Nabi Muhammad SAW menganggap shalat malam sebagai suatu keutamaan, kemuliaan, dan peningkatan jiwa pada upaya mencari keluhuran-keluhuran serta memetik buah iman dan ihsan.

Sesungguhnya shalat Tahajjud dalam kehidupan rumah tangga pernah dipesankan Rasulullah SAW kepada suami istri seperti sabda beliau berikut ini:

(34)

dia percikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam hari untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan, maka dia percikkan air ke wajahnya.” (HR.Daud, an-Nasa‟i, Ibnu Majah, dan yang lainnya).

Selain penjelasan di atas, kriteria suami ideal menurut Daudin yakni suami harus dapat memenuhi hak-hak istrinya. Hak-hak tersebut ialah:

a. Suami harus membayar penuh maskawinnya tanpa mengurangi sedikitpun. b. Suami harus memberikan nafkah kepada istri secara wajar.

c. Suami harus memberikan nafkah yang halal. Ini sangat penting dan harus diupayakan. Harta yang dia makan bersama istri dan anak-anaknya haruslah yang halal.

d. Suami harus mengajarkan agama kepada istri supaya dia mengenal kewajiban-kewajibannya dan dapat memilih cara-cara yang akan membwa keselamatan. Di samping itu suami juga harus mengajarkan kepada istrinya surat An-Nisa‟ dan An-Nur karena kedua surat tersebut membicarakan urusan-urusan kaum wanita dan etika rumah tangga.

e. Suami tidak boleh membeberkan rahasia istri, misalnya masalah hubungan intimnya. Demikian pula, istri tidak boleh membeberkan rahasia suami.

f. Suami harus mencemburui istri, dalam arti cemburu demi menjaga kehormatannya jangan sampai ternoda dan terkoyak-koyak.

g. Suami harus mempergauli istri dengan sebaik-baiknya dan ikut menanggung dengan rasa kasih sayang.

h. Jika suami memiliki istri lebih dari satu orang, dia harus mampu berlaku adil kepada istri-istrinya.

(Daudin,2004:13-14)

Kesempurnaan iman seseorang, dapat dilihat dari keluhuran akhlaknya. Semakin sempurna iman seseorang, semakin luhurlah akhlaknya. Semakin luhur akhlak seorang suami, niscaya semakin baik pula akhlak terhadap istrinya. Maka dari itu suami harus memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya. Hal itu akan membuat istri akan meneladani suaminya karena hal-hal baik dan terpuji yang ada pada diri suaminya. Rasulullah SAW Bersabda:

“Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik

akhlaknya. Dan yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik

(35)

Di kalangan umat Islam, kenyataannya masih banyak terdapat suami yang belum mampu berbuat yang terbaik terhadap istrinya, sehingga keimanannya masih dipandang kurang sempurna. Karena itu, untuk mennyempurnakan keimanannya suami harus mampu melakukan hal yang terbaik bagi istri, jadi suami harus memahami kiat-kiatnya dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi karena apa yang menurut suami telah dilakukan dengan baik, belum tentu baik dipandang oleh istri. maka suami harus memandang jeli mengenai hal ini, karena keistimewaan suami terhadap istri terletak bagaimana perlakuan terhadap istrinya. Adanya hal itu tidak boleh disia-siakan begitu saja oleh suami. Selain mendapat pahala dari Allah karena telah memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, suami juga akan dicintai lebih oleh istrinya. Kiat-kiat untuk berbuat yang terbaik tersebut antara lain:

a. Berbuat baik di tempat tidur

1) Hukum bersetubuh (Q.S Al-Baqarah ayat 222)

2) Memilih waktu bersetubuh yang tepat (Q.S An-nur ayat 58) 3) Kiat meraih kepuasan bersetubuh beserta etikanya

“...Dan pada kemaluannya terdapat shadaqah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah jika di antara kami bersetubuh ia akan mendapat pahala? Jawab Rasulullah SAW: Tidakkah kalian tahu, jika menempatkan sesuatu pada tempat yang haram akan memperoleh siksa? Demikian halnya dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang halal , tentu akan mendapat

pahala!” (Al-Hadis Riwayat Muslim)

4) Larangan-larangan dalam bersetubuh (Q.S Al-Baqarah ayat 222) suci dari haid 5) Menyediakan tempat tidur dan menjaga kenyamanannya

6) Menjaga rahasia tempat tidur

“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling hina di sisi aAllah kelak pada

hari kiamat ialah suami yang menyetubuhi istrinya dan istri pun melayaninya,

kemudian salah satunya membocorkan rahasianya kepada orang lain”. (HR

Muslim)

b. Berbuat terbaik dalam memberikan nafkah 1) Nafkah keluarga menjadi kewajiban suami

2) Macam-macam nafkah keluarga (Q.S Al-Baqarah ayat 233) 3) Kadar nafkah keluarga (Q.S At-thalaq ayat 7)

4) Mengutamakan nafkah keluarga

(36)

5) Memberikan nafkah keluarga dengan tulus ikhlas 6) Memberikan nafkah yang halal

c. Berbuat terbaik dalam membimbing istri ke jalan yang benar 1) Cara membimbing istri

2) Meminta istri agar menutup aurat (Q.S Al-ahzab ayat 59) 3) Bekerja sama dalam taat kepada Allah SWT

4) Mendorong istri agar eningkatkan pengetahuan 5) Menegur istri jika bertindak kurang terpuji

d. Berbuat terbaik dalam pergaulan sehari-hari di rumah 1) Menyenangkan setiap kali bertemu (Q.S An-nur ayat 61) 2) Menyenangkan setiap kali berbicara (Q.S An-nisa ayat 9) 3) Menyenangkan setiap kali memanggil

4) Bercengkerama 5) Makan bersama

6) Berpenampilan menarik 7) Mengutamakan musyawarah 8) Mengobati hati yang luka

9) Membantu menyelesaikan pekerjaan istri di rumah 10)Penyabar dan tidak mudah marah

11)Kecemburuan yang terpuji

e. Berbuat terbaik dalam pergaulan sehari-hari di luar rumah 1) Berbuat baik terhadap tetangga

2) Berbuat terbaik terhadap keluarga besar istri 3) Beebuat terbaik terhadap teman-teman istri

4) Berbuat terbaik terhadap masyarakat dan bangsanya (Kauma,dkk, 2005:61)

Menurut Imam Nawawi (dalam Salamulloh,2008:3) kebahagiaan rumah tangga didukung oleh faktor bagaimana akhlak suami dalam rumah tangga. Hal itu sejalan dengan pernyataan Rasulullah, bahwa suami harus menunjukkan akhlak yang baik di depan istri. Suami tidak diperbolehkan untuk berperilaku buruk terhadap istrinya. Hal itu dukarenakan akan melanggar etika kepemimpinan suami yang menurut Islam. Segala ketentuan-ketentuan perilaku atau akhlak suami tersebut telah diatur jelas dalam Al-Quran dan hadist. Akhlak tersebut di antaranya:

a. Suami memberikan nasihat kepada istri untuk selalu berbuat baik

b. Suami memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak sesuai dengan kemampuan

(37)

d. Suami bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap istri e. Suami tidak membuka rahasia istri

f. Suami bahu-membahu dengan istri

g. Suami bermusyawarah dengan istri untuk menyelesaikan suatu persoalan h. Suami menggauli istri dengan cara yang makruf (baik)

i. Suami mengajak istri bersantai

Kesempurnaan seorang suami dapat terlihat dengan caranya melakukan perbuatan yang terbaik bagi istri telah dilaksanakan. Jika semua itu terpenuhi, maka ia telah mampu menembus satu langkah menjadi sosok suami ideal atau teladan dalam Islam. Tidak hanya itu kriteria menjadi sosok suami ideal atau teladan. AlKhasyt (2001:13) menyebutkan beberapa karakter suami teladan menurut Islam. Karakter tersebut di antaranya adalah:

a. Suami yang memiliki kelebihan dalam masalah kebenaran dan keterusterangan sejak awal ia menjalin hubungan dengan calon istrinya. (HR Ad Dailami) b. Suami yang bergaul dan memperlakukan isterinya dengan baik, lemah lembut,

dan menghargai, serta memuliakan isteri, keluarga dan hartanya. (Q.S An-Nisaa ayat 19)

c. Suami yang suka bersenda gurau dan beramah tamah dengan isterinya.

d. Suami yang tidak terlalu mencemburui isterinya. (HR Abu Dawud An-Nasa‟i dan Ibnu Maajah)

e. Suami yang selalu bertutur kata dengan sopan dan hikmah, memakai bahasa yang lembut dan beradab kepada isterinya.

f. Suami yang memberi nafkah untuk keluarganya dengan azas keseimbangan, tidak boros dan tidak kikir. (Q.S At-Thalaaq ayat7)

g. Suami yang selalu tampil rapi, berdandan secara wajar dan tidak lupa memakai wewangian, sehingga apa yang dilihat oleh istreinya dari dirinya adalah yang baik-baik saja. (HR At-Tabarani, HR Abu Dawud)

h. Suami yang selalu memelihara penampilannya sebagai laki-laki, tidak terlalu berlebihan dalam hal sikap dan nafsu,dan juga tidak terlalu emah dan pasrah sehingga menyebabkan runtuhnya kewibawaan serta harga dirinya sebagai laki-laki. (HR Abu Dawud, HR. Bukhari dan Tirmidzi)

Searah dengan Al-Khasyt, Al-Khusyt (dalam Cahyadi,2011:80) juga menyebutkan beberapa karakter suami ideal, diantaranya:

(38)

b. Suami yang menggauli istrinya dengan baik, lembut, memuliakan, dan menerima kelebihan maupun kekurangan keluarga istrinya.

c. Suami yang mampu menghibur dan bersikap lembut terhadap istri. Ia berkata dengan bahasa yang menarik, mau mengerti dan mendegar perkataan istri jika memang pendapatnya logis.

d. Suami yang tidak terlalu pencemburu, tidak mengumbar prasangka, tidak suka memata-matai, dan tidak berlebihan.

e. Suami yang memberikan belanja yang cukup kepada istri, tidak boros, dan tidak pula bakhil.

f. Suami yang selalu tampil di muka istrinya dengan rapi dan meyakinkan. Ia selalu menjaga penampilan dan kebersihannya, sehingga yang tercium darinya hanyalah bau harum semerbak.

g. Suami yang senantiasa menjaga rahasia rumah tangganya. Hal ini mencegah orang-orang sekitarnya menggunjing keluarga mereka.

h. Suami yang senantiasa menjaga kejantanannya, baik secara fisik maupun psikis, sehingga memancarkan kewibawaan.

Cahyadi (2011:159) juga memaparkan mengenai istri Rasulullah SAW. (Aisyah RA) yang menceritakan kepada suaminya (Rasulullah SAW) tentang sebelas orang wanita di zaman jahilliyah. Dari sebelas cerita, cerita tentang Abu Zar‟in –lah yang terpanjang yakni mengenai seorang suami (Abu Zar‟in) yang kaya raya dan

memiliki istri (Ummu Zar‟in). Kekayaan itu tertular hingga ke anaknya dan sampai juga pada budaknya. Namun akhirnya Abu Zar‟in menceraikan Ummu Zar‟in dan

mereka berdua masing-masing menikah lagi. sedangkan kesepuluh cerita lainnya lebih banyak berisi tentang cerita aib-aib suami. Dengan lancar dan tenang Aisyah RA menceritakannya kepada baginda Rasulullah, tanpa dipotong dan diacuhkan oleh beliau Rasul. Setelah selesai ceritanya barulah Rasulullah berkomentar:

“Sedangkan aku di sampingmu bagaikan Abu Zar‟in... hanya bedanya, Ummu

Zar‟in dicerai oleh Abu Zar‟in sedangkan aku tidak menceraikan engkau.”

(39)

yang hanya berlaku sebagai pembicara yang baik di hadapan istrinya, tetapi bukan pendengar yang baik. Ia cepat bosan dengan pembicaraan istrinya, sehingga istri merasa tak dihargai dan tertekan perasannya. Banyak orang yang pandai berbicara, melontarkan pedapat, menyanggah, dan mengkritik. Akan tetapi hanya sedikit yang mau belajar mendengar pembicaraan orang lain, belajar menghargai pendapat dan pikiran yang berbeda, serta belajar menerima masukan. Padahal hal ini amat diperlukan oleh setiap anggota keluarga. Lebih dari itu, semua itu dalam Islam ada adabnya yang harus dipatuhi agar tidak menimbulkan ketegangan komunikasi. Rasulullah juga gemar bercanda dengan istri-istrinya. Rasulullah SAW bahkan pernah berlomba lari dengan Aisyah, sebagaimana pernah diungkapkan sendiri oleh Aisyah RA:

Rasulullah berlomba denganku hingga aku dapat mendahuluinya. Demikianlah kami tetap dapat mendahuluinya, sampai ketika saya menjadi gemuk beliau berlomba denganku dan beliau mendahuluiku. Lalu Rasulullah

bersabda, „kali ini untuk menebus yang dulu.‟” (HR.Ahmad dan Abu Daud)

Bahkan, beliau juga memberikan pengarahan tentang senda-gurau suami-istri,

“Setiap gurauan anak Adam bathil, kecuali dalam tiga hal: melempar panah, berpacu kuda, dan bergurau dengan istrinya. Semua itu dibenarkan.” (HR.Ahmad dan Ashabus Sunan)

(40)

tanpa melanggar batas yang dilarang), lalu Nabi menemaninya. Nabi pernah mencium Aisyah, sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. (Cahyadi,2011:160).

Ada satu hal yang perlu suami ketahui dan dipehami dengan baik. Hal tersebut ialah keadilan. Satu kata tertapi bsangat bermakna. Suami harus benar-benar memahami apa makna keadilan sesungguhnya bagi rumah tangganya, terutama bagi istrinya. Suami harus berbuat seadil-adilnya bagi istri. tidak boleh sekali pun ada perlakuan yang timpang. Untuk melakukan keadilan sebaiknya suami perlu mengetahui parameter kebahiaan dan kesedihan istri terlebh dahulu., sehingga perlakuan adil suami dapat terlaksana dengan maksimal. Al-Shabbagh (1994:132) menyebutkan beberapa sikap wajib yang harus dilakukan oleh seorang suami terhadap istri terutama dalam hal keadilan, di antaranya sebagai berikut:

a. Janganlah Anda pilih kasih kepada salah satu pihak. Wujudkan keharmonisan antara cintamu untuk istrimu, bapak-ibumu, dan keluargamu. Beri dan sampaikanlah hak-hak mereka secara adil.

b. Janganlah Anda mencandai adik wanita Anda di depan istri Anda, untuk menjaga perasaannya.

c. Janganlah Anda menyebut kecantikan dan kebaikan wanitayang lain di depannya, meskipun wanita lain itu bibi Anda sendiri atau Ibu Anda. d. Jadikanlah istri Anda primadona di hadapan Anda. Berbohong dan

mengada-ada di dalam hal ini diperbolehkan dalam agama.

e. Bersikaplah kepadanya seperti yang dia inginkan, bahwa ia hanya milik Anda di dalam semua segi kehidupan, sampai di luar rumah. sesungguhnya dia akan mencintai Anda seperti Anda mencintainya.

f. Berilah kesempatan kepadanya untuk berekreasi di luar rumah sebagai refreshing. Apalagi sebelum dia mempunyai anak banyak, karena nanti dia akan disibukan untuk hanya mengurus rumah saja. tapi jangan terlalu sering mengunjungi keluargamu sehingga jadi program rutn. Perjaranglah kunjungan itu, supaya cinta mereka bertambah.

g. Ikutilah kemauan istri Anda jika ia menginginkan Anda untuk berpartisipasi di dalam keinginannya. Kunjungilah keluarga istri Anda, sahabat-sahabatnya, dengan kunjungan keluarga seperti yang dicontohkan oleh Rasul yang mulia.

h. Janganlah Anda terlalu memforsir pekerjaan sehingga tidak mempunyai waktu untuk istri Anda, dan jangan pula terlalu banyak waktu yang disediakan untuk istri Anda. Berilah waktu sehari dalam seminggu untuk istri Anda di rumah atau di luar rumah supaya ia tidak bosan dan jenuh. i. Janganlah Anda menjadi diktator dengan pendapat yang keluar dari diri

(41)

dengan cara yang halus dan benar. Tirulah pendidik Anda, Rasul yang mulia, yang dapat dijadikan contoh dan teladan yang baik.

j. Jika Anda datang ke rumah, jangan langsung mengajaknya bercampur, sampai istri Anda betul-betul siap menerima kedatangan Anda, sehingga Anda tidak melihatnya dalam kondisi yang tidak Anda inginkan. Khususnya bila Anda datang dari bepergian jauh.

k. Hati-hati, jangan berbohong kepadanya! Gunakan rayuan untuk istri Anda, sehingga citra kepribadian Anda tidak luntur di hadapannya.

l. Sesungguhnya istri Anda adalah saudara seagama. Usahakan agar dia merasa dalam kedudukan seperti ini selamanya. Berusahalah agar dia merasa sebagai tempat pelarian Anda, ibu anak-anak Anda, dan saudara Anda, dan bahwaa dia adalah segala-galanya bagi Anda.

m. Lihatlah kehidupan ini bersamanya dengan kacamata Islam. Jangan lupa bahwa diri Anda adalah yang paling kuat.

Seluruh karakter suami ideal di atas seluruhnya berlandaskan kepada Al-Quran dan Al-Hadist, hanya saja terdapat penyebutan yang berbeda-beda pada setiap tokohnya. Hal tersebut tidak menghilangkan arti ideal itu sendiri. Karena pada hakikatnya semuanya bertujuan satu yaitu menunjukkan karakter-karakter seorang suami yang diharapkan dalam agama Islam. Selain itu juga karena semua berlandaskan satu keyakinan dalam Islam, dan hanya mengharap ridha dari Allah, dan yang terbaik untuk keluarganya. Maka dari beberapa ulama yang mengemukakan karakteristik suami ideal dalam islam dapat ditarik kesimpulannya. Beberapa karakter suami ideal dalam Perspektif Islam adalah sebagai berikut:

a. Suami yang memiliki kelebihan dalam masalah kebenaran dan keterusterangan sejak awal ia menjalin hubungan dengan calon istrinya. (HR Ad Dailami)

b. Suami yang bergaul dan memperlakukan isterinya dengan baik, lemah lembut, dan menghargai, serta memuliakan isteri, keluarga dan hartanya. (Q.S An-Nisaa ayat 19)

c. Suami yang suka bersenda gurau dan beramah tamah dengan isterinya.

d. Suami yang tidak terlalu mencemburui isterinya. (HR Abu Dawud An-Nasa‟i dan Ibnu Maajah)

e. Suami yang selalu bertutur kata dengan sopan dan hikmah, memakai bahasa yang lembut dan beradab kepada isterinya.

(42)

g. Suami yang selalu tampil rapi, berdandan secara wajar dan tidak lupa memakai wewangian, sehingga apa yang dilihat oleh istreinya dari dirinya adalah yang baik-baik saja. (HR At-Tabarani, HR Abu Dawud)

h. Suami yang selalu memelihara penampilannya sebagai laki-laki, tidak terlalu berlebihan dalam hal sikap dan nafsu,dan juga tidak terlalu emah dan pasrah sehingga menyebabkan runtuhnya kewibawaan serta harga dirinya sebagai laki-laki. (HR Abu Dawud, HR. Bukhari dan Tirmidzi)

i. Suami yang selalu mengajak istri pada kebenaran

j. Suami yang memperlakukan istri dengan seadil-adilnya tanpa menyakiti perasaannya.

k. Suami memberikan nasihat kepada istri untuk selalu berbuat baik

l. Suami selalu bersabar dan tidak mudah marah apabila istri berkata atau berbuat sesuatu yang menyakitkan

m. Suami tidak membuka rahasia istri n. Suami bahu-membahu dengan istri o. Suami mengajak istri bersantai

p. Suami bermusyawarah dengan istri untuk menyelesaikan suatu persoalan q. Suami yang mampu melakukan ha-hal terbaik bagi istrinya

r. Suami yang mempu melaksanakan tanggung jawab dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau

Jika Lembar Data Keselamatan kami telah diberikan kepada Anda beserta persediaan tinta Asli yang diisi ulang, diproduksi ulang, dan kompatibel atau non-HP, harap diketahui

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Tidak dilakukan proses hardening sama sekali, dengan kata lain material berada dalam kondisi as anneal karena AISI 4140 bila sudah di (Hardening dan Tempering) disuplai dengan

Lampu-lampu tersebut memberikan manfaat yang berbeda bagi Harry, Joni, and Endang , berdasarkan perbedaan dalam preferensi mereka terhadap jalan yang diterangi lampu tersebut,

Setiap individu dalam populasi akan mengalami perubahan genetik melalui mutasi dan kawin silang untuk membentuk individu baru dengan nilai ketahanan yang baru

Kesulitan yang sama dialami pula dalam kegiatan perdagangan sirip ikan hiu, yang mana objek yang digunakan sebagai acuan pengenalan spesies hanya berupa