• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. digunakan oleh manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. digunakan oleh manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling efektif yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tuturnya. Seperti yang dikatakan oleh Dardjowidjojo (2005:16) bahwa:

Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer, yakni bahasa digunakan dalam keseharian dengan memegang paham bahwa bahasa bersifat seenaknya yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Manusia menggunakan bahasa dalam komunikasi untuk menyampaikan maksud dan kemauan kepada mitra tuturnya. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia, menghubungkan manusia satu dengan manusia lain dalam peristiwa sosial tertentu. Peran penting bahasa selain alat komunikasi juga memiliki fungsi yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa fungsi bahasa sudah didefinisikan oleh para ahli, diantaranya berupa fungsi personal, instrumental, interaksional, dan fungsi bahasa lainnya.

Bahasa lisan merupakan salah satu alat komunikasi yang terus berkembang di masyarakat. Bahasa lisan pada kalangan masyarakat Jawa merupakan salah satu alat komunikasi yang dinilai efektif dalam menyampaikan maksud dan dan tujuan kepada mitra tuturnya. Bahasa lisan yang terus berkembang dalam masyarakat Jawa juga tidak menuntup kemungkinan untuk digunakannya bahasa Jawa yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dengan variasi bahasa Jawa yang lainnya.

(2)

Alwasilah (1985:9) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses informasi antar individual ditukarkan melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Informasi dalam masyarakat terjalin dalam suatu komunikasi yang terus berkembang. Komunikasi yang terus berkembang di masyarakat adalah komunikasi lisan. Komunikasi lisan yang terus berkembang dalam masyarakat akan memunculkan variasi-variasi bahasa. Variasi bahasa merupakan sistem yang berkaitan dengan peristiwa berbicara, penutur bahasa, tempat bicara dan media bahasa. Variasi bahasa pada suatu kelompok masyarakat terjadi akibat faktor linguistik dan nonlinguistik di dalamnya. Faktor linguistik meliputi tata urutan dalam kata, struktur kalimat, dan wacana. Sedangkan faktor nonlinguistik yang mempengaruhi variasi bahasa meliputi faktor sosial, usia, jenis kelamin, kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Perkembangan bahasa dalam masyarakat lebih dominan dipengaruhi oleh adanya faktor nonlinguistik dan faktor situasional. Suwito (1982:3) mengemukakan bahwa variasi bahasa juga disebabkan oleh faktor situasional, yang meliputi siapa yang berbicara, siapa lawan bicaranya, di mana, kapan, mengenai apa, dan menggunakan bahasa apa.

Kajian bahasa terkait dengan faktor sosial merupakan salah satu kajian yang sangat menarik untuk diteliti di era sekarang ini. Semakin berkembangnya masyarakat maka bahasa yang digunakannya akan semakin berkembang pula. Perkembangan bahasa masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor sosial baik secara langsung ataupun tidak. Penelitian bahasa yang dihubungkan dengan faktor sosial merupakan salah satu perkembangan dari suatu studi linguistik yakni penelitian

(3)

sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu yang memiliki hubungan erat dalam pokok kajiannya. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat (Chaer, 2010:2). Pandangan lebih luasnya dikemukana oleh Kridalaksana (2008:225) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial.

Penelitian terkait dengan hubungan perilaku bahasa dan perilaku sosial ini menjadi salah satu daya tarik yang membuat peneliti untuk melakukan suatu penelitian. Kelompok masyarakat yang memiliki daya tarik untuk diteliti adalah kelompok mahasiswa Cilacap yang berada di Yogyakarta. Kabupaten Cilacap adalah Kabupaten terluas yang masuk dalam wilayah propinsi Jawa Tengah, yakni terdiri dari 24 kecamatan. Masyarakat Cilacap yang tersebar luas mulai dari timur ke barat menjadikan masyarakatnya memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat Cilacap dikenal memiliki 4 kelompok wilayah yang di dalamnya menggunakan bahasa yang berbeda, yakni bahasa Sunda, bahasa Jawa standar, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa ngapak atau Bahasa Jawa Dialek Banyumasan (BJDB).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan melihat kecenderungan bahasa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam HIMACITA. Mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Cilacap dan bertempat tinggal di luar wilayah tutur (Yogyakarta) apakah masih menggunakan bahasa dialeknya sendiri yang dikenal dengan dialek ngapak. Bahasa yang mereka gunakan sama atau tidak dengan

(4)

bahasa yang digunakan ketika berada di daerah yakni Kabupaten Cilacap. Atas dasar ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta (Himacita) pertama kali terbentuk di gedung rektorat lama Universitas Negeri Yogyakarta (IKIP Karangmalang) pada tahun 1998. Semenjak tahun 2004 hingga sekarang Himacita beralamat di Jalan Amarta Raya no.05 Sariharjo, Ngaglik Sleman Yogyakarta. Mahasiswa yang tergabung dalam komunitas ini adalah mahasiswa Cilacap yang menempuh studi di beberapa universitas di Yogyakarta. Komunikasi sehari-hari mahasiswa Cilacap di Yogyakarta menggunakan bahasa lebih dari satu bahasa atau masuk dalam kelompok masyarakat bilingual.

Kridalaksana (2008:36) mendefinisikan bilingualisme atau kedwibahasaan sebagai suatu penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat. Masyarakat yang berada dalam kelompok bilingual ini akan menimbulkan suatu variasi bahasa yang digunakannya, sebab dalam komunikasi mereka akan menggunakan bahasa tertentu yang tepat ketika berkomunikasi dengan mitra tutur yang bukan berasal dari wilayah kelompok mereka. Dalam hal ini kelompok masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat mahasiswa Cilacap yang tergabung dalam Himacita.

Berikut merupakan contoh tuturan bahasa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta.

(5)

KONTEKS: PERCAKAPAN TERJADI DI HALL REKTORAT UNY MEMPERBINCANGKAN MASALAH KEPULANGAN DARI SULAWESI.

(1) P1 : Kang, Rika balik sekang Sulawesi kapan koh? Endhi oleh-olehe?. „Mas, kamu pulang dari Sulawesi kapan? Mana oleh-olehnya?‟.

„Mas, kamu pulang dari Sulawesi kapan? Mana oleh-olehnya?‟. (2) P2 : Wingi tanggal wolulas. Oleh-olehe ya kesel.

„Kemarin tanggal delapan belas. Oleh-olehnya ya cape‟. „Kemarin tanggal delapan belas. Oleh-olehnya ya cape‟. (3) P3 : Mas Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa?

Geneng boten ajak-ajak koh.

„Mz Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa? Kenapa tidak ajak-ajak kok.‟

„Mz Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa? Kok tidak ajak-ajak.‟

(4) P2 : Iya melu sing UGM, Kiwil ya melu. „Iya ikut yang UGM, Kriwil juga ikut‟.

„Iya ikut yang UGM, Kriwil juga ikut‟.

(5) P4 : Ngenjang terose badhe nderek sing teng UI nggih Yang? „Besok katanya mau ikut yang di UI ya Yang?‟.

„Besok katanya mau ikut yang di UI ya Yang?‟. (6) P2 : Nggih, Insyaallah, tapikan Mas wisudha riin Bun.

„Iya, Insyaallah tapikan Mas wisuda dulu Bun‟. „Iya, Insyaallah tapikan Mas wisuda dulu Bun‟.

Dari cuplikan data di atas, tampak bahwa dalam komunikasi antara P1 dan P2 tampak jelas bahasa yang digunakan adalah BJ yakni BJDB. Analisis dari cuplikan data di atas akan difokuskan pada pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta, bentuk alih kode bahasa yang digunakan, serta fungsi bahasa dibalik alih kode yang dilakukan. Pada percakapan P1, P2, P3, dan P4 masing-masing penutur memiliki bentuk bahasa yang berbeda. P1 cenderung menggunakan BJDB yang ditandai dengan digunakannya kata rika serta bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko. Apabila dilihat dari situasi tutur P1 dan P2 memiliki hubungan yang sudah dekat. Usia P1 dan P2 tidak terpaut jauh. Tuturan P2 sama dengan tuturan yang digunakan oleh P1 yakni

(6)

menggunakan bahasa Jawa TTN. Sebab P2 diantara peserta tutur yang lain usianya lebih tua. Sehingga P2 lebih leluasa menggunakan BJ TTN. Peserta tutur P3 berbeda dengan peserta tutur yang lain, sebab P3 menggunakan BI yang kemudian diikuti BJ TTK dalam komunikasi dengan peserta tutur lain. Tuturan P3 merupakan salah satu contoh yang ditemukan bahwa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta juga mengalami suatu bentuk alih kode, yakni alih kode berupa alih kode bahasa. Penggunaan alih kode bahasa P3 dipengaruhi oleh hubungan antara P1, P2, dan P4 yang belum akrab. Sehingga cenderung memilih menggunakan BI dan BJ. Temuan alih kode lain adalah pada data (6) yakni P2 yang semula menggunakan BJ kemudian dia menggunakan kata Insyaallah yang merupakan BArb. Sedangkan pemilihan bahasa P4 justru menggunakan BJ TTK secara keseluruhan. Penggunaan BJ TTK oleh P4 kepada P2 dipengaruhi oleh faktor usia P2 yang usianya di atas P4, jenis kelamin P4 adalah perempuan yang memang dalam kelompok masyarakat akan menggunakan bahasa yang sopan kepada laki-laki, kemudian faktor status pendidikan P2 adalah alumni program pascasarjana UIN Yogyakarta, serta faktor hubungan antara P2 dan P4 menjadikan bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa yang digunakan secara umum oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Fungsi alih kode yang ditemukan dalam contoh data temuan di atas adalah alih kode yang dilakukan oleh P3 (3) yang semula menggunakan BI kemudian beralih kode ke dalam BJ TTK „Mas Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa? Geneng mboten ajak-ajak koh. „Mz Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa? Kok tidak ajak-ajak‟. Ternyata apabila kita melihat

(7)

pola peralihan bahasanya P3 yang awalnya menggunakan BI kemudian beralih BJ TTK bertujuan untuk memberikan rasa lebih hormat kepada P2. Sehingga fungsi alih kode yang dilakukan oleh P3 adalah untuk lebih menghormati P2. Sebab, pada kelompok mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himacita apabila ada anggota baru maka bahasa yang digunakan biasanya BJ TTK untuk memberikan rasa hormat dan menandakan bahwa hubungan mereka masih berjarak. Namun, berbeda dengan alih kode yang dilakukan oleh P2 (6) yang semula menggunakan TTN kemudian beralih kode menggunakan TTK nggih, Insyaallah, tapikan mas wisuda riin bun. „iya, Insyaallah tapikan mas wisuda dulu bun‟. Ternyata fenomena kebahasan ini berbeda dengan fungsi alih kode yang sebelumnya. Fungsi alih kode yang dilakukan oleh P2 justru P2 (6) ingin menunjukan bahwa P2 dan P4 memiliki hubungan yang khusus sebab BJ yang digunakan walaupun sama-sama BJ TTK namun, ditemukan kosakata yang menunjukan bahwa P2 dan P4 memiliki hubungan yang khusus. Kosakata tersebut adalah Yang „sayang‟ dan Bun „bunda‟. Kedua kata tersebut ternyata adalah panggilan khusus untuk mereka berdua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa alih kode yang dilakukan oleh P3 berfungsi untuk menunjukan rasa hormat, sedangkan alih kode yang dilakukan oleh P2 berfungsi untuk menunjukan adanya hubungan khusus yakni hubungan kekasih dengan lawan tuturnya, dalam hal ini P4.

Berdasarkan uraian latarbelakang di atas, muncul suatu masalah yang menarik untuk diteliti dari kelompok mahasiswa Cilacap di Yogyakarta yakni fokus pada empat poin penting yaitu bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi antar mahasiswa Cilacap, komunikasi mahasiswa Cilacap dengan orang luar

(8)

Kabupaten Cilacap, komunikasi antara mahasiswa Cilacap dengan Penutur Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap, dan wujud alih kode serta fungsi alih kode yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap

dengan sesama mahasiswa Cilacap di Yogyakarta?

2. Bagaimana pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap dengan orang dari luar Kabupaten Cilacap?

3. Bagaimana pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap dengan Penutur Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap? 4. Bagaimana wujud alih kode dan fungsi alih kode yang digunakan oleh

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas. Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk.

1. Mendekripsikan pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap dengan sesama mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap dengan orang dari luar Kabupaten Cilacap.

(9)

3. Mendeskripsikan pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap dengan Penutur Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap

4. Mendeskripsikan wujud alih kode dan fungsi alih kode yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam penelitian yang dilakukan dengan judul „Pola Pemakaian Bahasa Oleh Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta‟ ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaar Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan bahasa. Penelitian terkait pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta diharapkan akan dapat memberikan kontribusi dalam penelitian terkait dengan bahasa Jawa. Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan suatu informasi bahwa bahasa yang digunakan oleh penutur dialek ketika berada di daerah asing ternyata masih ditemukan adanya dialek yang sama ketika mereka berkomunikasi di daerah asalnya. Penutur dialek tetap mempertahankan dialeknya meskipun disekitarnya penutur menggunakan bahasa Jawa Standar (BJS). Kecenderungan orang dari dialek tertentu yang masih menggunakan dialeknya di daerah asing. Serta dapat

(10)

memberi konstribusi bagi penelitian selanjutnya dan memberikan kontribusi ilmu pengetahuan dalam bidang linguistik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk bahan masukan dalam mengadakan penelitian lanjutan terkait dengan bahasa Jawa ataupun penelitian sejenis.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kunjana Rahardi (2001) dengan Judul “Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode”. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahardi subjeknya adalah penjual dan pembeli di pasar Beringharjo Yogyakarta. Penelitian tersebut membahas tentang kode dan alih kode penjual dan pembeli di Pasar Beringharjo. Hasil Penelitian tersebut adalah digunakannya tingkat tutur sebagai salah satu Jenis Kode, serta kode serta alih kode tuturan penjual dan pembeli di Pasar Beringharjo.

Selain itu, Endang Nurhayati (2009) dalam penelitian Tesis yang dibukukan berjudul “Sosiolinguistik: Kajian Kode Tutur dalam Wayang Kulit” yang memfokuskan penelitian pada kode tutur dalam pewayangan. Dalam penelitian tersebut, penulis mendeskripsikan kode tutur bahasa dalam pewayangan yang meliputi kode tutur jenis bahasa, kode tutur jenis ragam, kode tutur jenis idiolek, kode tutur jenis dialek, kode tutur jenis tingkat tutur, dan kode tutur jenis register.

(11)

Niken Widya Kusumastuti tahun 2012 dalam tesisnya yang berjudul “Alih kode dalam percakapan jual beli pakaian di toko Rahayu Pasar Sambilegi Yogyakarta”. Dalam penelitian tesisnya dirumuskan empat rumusan masalah yakni (1) Jenis kode yang digunakan dalam komunikasi jual beli pakaian, (2) wujud alih kode yang digunakan, (3) faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode, (4) fungsi kode yang dimiliki dalam wacana komunikasi jual beli. Hasil dari penelitian tesisnya Niken menyebutkan bahwa (1) jenis kode yang digunakan dalam komunikasi jual beli pakaian meliputi kode yang berwujud bahasa: (i) BI, (ii) BJ, (iii) BS, dan (iv) BA. Kode yang berwujud ragam: (i) ragam formal, (ii) ragam informal, (iii) ragam slang, dan (iv) ragam ringkas. Kemudian kode yang berwujud tingkat tutur terbagi menjadi tiga tingkat yakni (i) ngoko, (ii) madya dan (iii) krama.

Pada analisis alih kode dalam tesisnya Niken menemukan (i) alih kode yang berwujud bahasa, (ii) alih kode yang berwujud ragam, dan (iii) alih kode yang berwujud alih tingkat tutur. (3) faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam percakapan jual beli pakaian di Toko Rahayu Sambilegi, yakni (i) peserta tutur yang terlibat dalam percakapan, (ii) situasi tutur, (iii) tujuan tuturan, (iv) pokok tuturan, dan (v) norma tutur. Serta temuan yang ke (4) adalah fungsi alih kode dalam percakapan jual-beli pakaian di Toko Rahayu Pasar Sambilegi, yakni (i) fungsi alih kode untuk bergurau, (ii) fungsi alih kode untuk menegaskan maksud tertentu, (iii) fungsi alih kode untuk menunjukan identitas diri, (iv) untuk menunjukan ekspresi, (v) mengalihkan topik pembicaraan, (vi) membangun

(12)

suasana akrab, (vii) kemudahan komunikasi, (viii) untuk meyakinkan, dan (ix) alih kode untuk bergaya.

Berdasarkan ketiga tinjaun pustaka pada penelitian terdahulu, dapat dijadikan acuan oleh peneliti pada penelitian yang akan dilaksanakan saat ini dengan judul “Pola Pemakaian Bahasa Oleh Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta”. Kesamaan antara ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan sekarang adalah sama-sama meneliti terkait dengan pemilihan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Namun, pada penelitian kali ini akan memfokuskan pola pemilihan bahasa mahasiswa Cilacap yang berada di Yogyakarta yang memfokuskan pada empat rumusan masalah yakni pemakaian bahasa mahasiswa Cilacap dengan sesama mahasiswa Cilacap, mahasiswa Cilacap ketika berkomunikasi dengan orang luar Kabupaten Cilacap, dan yang ketiga adalah komunikasi mahasiswa Cilacap dengan orang dari instansi pemerintahan. Kemudian pada bab empat selanjutnya akan mendeskripsikan wujud alih kode dan fungsi dari dilakukannya alih kode dalam percakapan mahasiswa Cilacap. Oleh sebab itu, adanya perbedaan analisis pada penelitian ini akan dapat menjadikan penelitian sosiolinguistik menjadi lebih kaya dan penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan penelitian berikutnya.

1.6 Landasan Teori

Penelitian dengan judul “Pola Pemakaian Bahasa Oleh Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta” merupakan penelitian yang akan memfokuskan penggunaan bahasa pada kelompok

(13)

masyarakat mahasiswa yang berasal dari Cilacap di Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Berikut akan dipaparkan teori yang menjadi landasan dalam melakukan analisis data.

1.6.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Sosiolinguistik adalah ilmu interdisipliner. Istilah sosiolinguistik menunjukan bahwa ia terdiri atas bidang kajian sosiologi dan linguistik. Ilmu yang merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan linguistik ini juga sering disebut sebagai linguistik plus kemasyarakatan. Kunjana (2001:12) mendefinisikan sosiolinguistik ilmu yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa. Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai cabang lingustik yang mempelajari variasi-variasi bahasa yang berhubungan dengan struktur masyarakat yang beranekaragam. Hubungan linguistik dengan kajian sosiologi sangatlah tampak, karena pada kajian sosiolinguistik akan mengkaji bahasa masyarakat. Bahasa atau kajian linguistik yang ada pada kelompok masyarakat. Pada kajian sosiolinguistik dengan judul “Pola Pemakaian Bahasa oleh Mahasiswa Cilacap dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta (Kajian Sosiolinguistik)” tampak jelas bahwa yang dikaji di dalamnya adalah bahasa masyarakat kelompok mahasiswa Cilacap yang berada di Yogyakarta.

Menurut Chaer (2010: 61), sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di masyarakat. Nababan (1993:2) menjelaskan sosiolinguistik ialah studi bahasa

(14)

yang berhubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat, atau mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau sosial. Selanjutnya ia menambahkan bahwa sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam konteks sosial kebudayaan, menghubungkan faktor-faktor budaya, serta mengkaji fungsi sosial dan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Sosiolinguistik kadang diistilahkan sosiologi bahasa. Sosiolinguistik terdiri atas 2 unsur, yaitu sosiologi dan linguistik. Sosiologi berarti ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan proses-proses sosial serta gejala masyarakat dan linguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang bahasa lisan atau tulisan dan gejala pembentukan bahasa (Nurhayati, 2009: 3). Penelitian bahasa dengan tinjuan sosiolinguistik senantiasa memperhitungkan bagaimana pemakainya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial tertentu. Faktor-faktor sosial itu antara lain: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Selain itu, bentuk bahasanya juga dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya: siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, di mana, kapan, dan mengenai masalah apa.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu interdisipliner yang mengkaji masalah pemakaian bahasa pada masyarakat yang berkaitan dengan struktur sosial, situasional, dan budaya. Bahasa dalam studi sosiolinguistik tidak hanya dipandang sebagai struktur saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi, dan bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu.

(15)

1.6.2 Kedwibahasaan

Mahasiswa adalah salah satu kelompok masyarakat yang pada umumnya menguasai dan mengenal lebih sari satu bahasa, meskipun tidak semua bahasa yang dikenal akan dapat dikuasai keseluruhan. Chaer, (2010:84) Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Secara harfiah istilah bilingualisme dapat dipahami sebagai suatu yang berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Menurut Aslinda dan Leni Syafyahya (2010:8) mendefinisikan kedwibahasaan sebagai suatu kemampuan atau kebiasaan yang dimiliki oleh penutur dalam menggunakan dua bahasa. Dua bahasa yang dikuasai oleh penutur bilingual disimbolkan sebagai B1 yang maksudnya adalah bahasa pertama yakni bahasa ibunya, B2 adalah bahasa lain yang diterima dan digunakan dalam komunikasi selain bahasa ibu (B1). Kridalaksana (2008:36) mendefinisikan bilingualisme atau kedwibahasaan sebagai suatu penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat.

Berdasarkan definisi kedwibahasaan yang telah dikemukan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah suatu kemampuan seseorang dalam menguasai dua bahasa atau lebih. Penutur bahasa disebut bilingual sebab penutur tersebut dapat menguasai dua bahasa yang diakibatkan kedua bahasa penutur saling bersinggungan.

(16)

1.6.3 Alih Kode

1.6.3.1 Pengertian Kode

Sebelum menuju ke pengertian alih kode, kita pahami dulu apa definisi dari kode itu sendiri. Kode didefinisikan sebagai (1) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode; (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; (3) variasi tertentu dalam suatu bahasa Kridalaksana (2008:127). Kode bahasa mengacu kepada suatu sistem tutur yang memiliki ciri khas sesuai dengan latarbelakang penutur, mitra tutur, serta faktor situasi tuturan. Poedjosoedarmo, 1978:31-32 menyatakan bahwa kode sebenarnya adalah variasi bahasa atau bahasa yang memiliki bentuk tertentu dan makna tertentu pula. Poedjosoedarmo menyebutkan bahwa variasi bahasa yang dimaksud di dalamnya adalah dialek, undha usuk, dan ragam.

Dialek dapat dibagi menjadi dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin. Sedangkan undha usuk menurut Poedjosoedarmo (1979) dibagi menjadi tiga yakni tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama. Sedangkan ragam menurut Martin Joss (dalam Chaedar Alwasilah, 1993:45) membagi variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya menjadi lima macam ragam atau gaya. Yakni ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab. Wardhaugh (1986) menyebut kode sebagai suatu lambang pada sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu.

Wujud kode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kode yang berupa kode bahasa dan kode berupa tingkat tutur. Kode yang berwujud bahasa

(17)

meliputi kode BJ, BS, dan BI. Serta wujud kode tingkat tutur yang dimaksudkan adalah berupa kode ngoko, madya, dan krama.

1.6.3.2 Pengertian Alih Kode

Rene Appel (dalam Pateda 1992:85) mendefinisikan alih kode sebagai peralihan pembicaraan dari masalah satu ke persoalan lain. Kode-kode bahasa tersebut dapat beralih dari variasi satu ke variasi yang lainnya. Sehingga pada masyarakat yang dalam penelitian ini adalah masyarakat mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himacita yang merupakan penutur bilingual maka tidak menutup menutup suatu kemungkinan untuk berganti dari satu kode ke kode lain.

Jadi, Alih kode didefinisikan sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi Appel (1976:79) via Chaer, 2010: 107. Hymes (1875: 103) dalam buku yang sama menyebutkan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Kridalaksana (2008:9) mendefinisikan alih kode sebagai penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai setrategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain.

Penggunaan alih kode dilakukan oleh penutur disebabkan karena beberapa faktor yang menurut Chaer, 2010:108 disebutkan bahwa penyebab alih kode disebabkan oleh (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.

(18)

Berdasarkan definisi alih kode di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan suatu peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Alih kode dalam penelitian ini terbagi atas alih kode bahasa dan alih kode tingkat tutur.

1.6.3.3 Macam-Macam Alih Kode

Suwito (1985:81) membagi alih kode menjadi dua macam, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstrn.

a. Alih Kode Intern

Adalah alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antar dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam atau gaya yang terdapat dalam satu dialek. Apabila kita contohkan adanya alih bahasa, seperti dari bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia.

Contoh:

(7) P1 : Yu, rika mengko bengi bisa teka ring Asrama?. „Mba, kamu nanti malam bisa datang ke Asrama?‟. „Mba, kamu nanti malam bisa datang ke Asrama?‟. (8) P2 : Tak usahakna ya.

„Saya usahakan ya‟. „Aku usahakan ya‟.

(9) P1 : Temenan luh ya Yu, penting banget koh mengko bengi. „Sungguh lo ya Mba, penting sekali kok nanti malam‟. „Bener lo ya Mba, penting banget nanti malam‟. (10) P2 : Iya, saya usahakan datang

Pada cuplikan contoh tuturan diatas, terjadi peristiwa alih kode intern yang dilakukan oleh P2 (8) dari BJ tak usahakna ya „saya usahakan ya‟ ke dalam BI P2 (10) „Iya, saya usahakan datang‟. Berdasarkan fenomena kebahasaan yang terjadi

(19)

di atas, peristiwa arah alih kode yang muncul adalah alih kode BJ dalam TTN ke dalam BI.

b. Alih Kode Ekstern

Adalah peristiwa alih kode yang terjadi antara bahasa asli (bahasa sendiri) dengan bahasa asing.

1.6.3.4 Fungsi Alih Kode

Alih Kode yakni suatu peristiwa peralihan kode dari satu kode ke kode yang lain. Kemudian fungsi dari alih kode tersebut, menurut Anwar (1984:44) penutur yang melakukan peralihan kode ketika terjadinya komunikasi dengan mitra tuturnya, mengandung maksud atau tujuan sebagai berikut, yakni untuk memperlihatkan kuasa dan wibawanya, mengakrabkan atau merenggangkan suatu hubungan, menimbulkan kesan bahwa si penutur ingin meyakinkan atau menegaskan bahwa diantara mereka memiliki banyak kesamaan.

Tingkat tutur (undha-usuk) didefinisikan oleh Poedjosoedarmo (1975) dalam (Poedjosoedarmo, 1979:3) adalah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2). Tingkat tutur juga didefinisikan sebagai hasil suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dalam interaksi bahasa. Tingkat tutur dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, atau perintah.

(20)

Bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang selama ini dikenal secara luas oleh masyarakat Jawa adalah bentuk ngoko, krama dan madya. Menurut Poedjosoedarmo (1979: 14-15) tingkat tutur dalam bahasa Jawa dikelompokan menjadi tiga tingkat tutur. Berikut definisi tingkat tutur bahasa Jawa.

1. Tingkat tutur Ngoko

Tingkat tutur ngoko merupakan suatu hubungan komunikasi antara O1 dan O2 yang mencerminkan hubungan tak berjarak antara peserta tuturnya. Bentuk tingkat tutur ngoko biasanya O1 tidak memiliki rasa segan dengan O2 yang mana akan menciptakan keakraban. Hubungan antara O1 dan O2 menjadi tidak berjarak.

2. Tingkat tutur Krama

Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Bentuk tingkat tutur ini biasanya menandakan adanya perasaan segan (pekewuh) O1 terhadap O2, karena O2 dapat dikategorikan sebagai orang yang belum dikenal oleh O1, O2 berpangkat, atau berwibawa, atau usia O2 lebih tua.

3. Tingkat tutur Madya

Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dengan ngoko. O1 menunjukan perasaan sopan, sedang-sedang saja. Bentuk kosa kata yang digunakan dalam tingkat tutur madya ini sebenarnya berupa kosa kata krama yang mengalami penghilangan atau merupakan bentuk alegro dari kata-kata krama. Seperti halnya kata dhateng (kr) yang apabila diutarakan dengan tingkat tutur madya menjadi teng (md).

(21)

Menurut Sasangka (2009: 92) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa yang secara jelas dapat dibedakan pada prinsipnya hanya ada dua macam, yaitu unggah- ungguh yang berbentuk ngoko dan yang berbentuk krama. Kedua unggah-ungguh itu dibedakan secara jelas karena leksikon (kosakata) yang dirangkaikan menjadi sebuah kalimat dalam kedua unggah-ungguh itu dapat dikontraskan satu sama lain secara tegas.

Penelitian ini juga di dalamnya menganalisis tingkat tutur yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta ketika berkomunikasi. Acuan analisis yang digunakan adalah menggunakan teori yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (1979) yakni tingkat tutur bahasa Jawa dipilah menjadi tiga, yakni tingkat tutur krama, tingkat tutur ngoko, dan tingkat tutur madya. Penetuan jenis tingkat tutur yang digunakan dalam komunikasi mahasiswa Cilacap di Yogyakarta berdasarkan akan dua hal yakni tingkat formalitas hubungan (tingkat keakraban, tingkat keangkeran, dan umur) antara O1 dan O2, serta status sosial O2 (Poedjosoedarmo, 1979: 16).

1.6.5 Komponen Tutur

Komponen tutur menurut Poedjosoedarmo (1983:1) adalah butir-butir penentu bentuk linguistik. Sumarsono (2008: 325-37) mengutip pendapat Dell Hymes dalam merumuskan konsep peristiwa tutur menjadi enam belas komponen. Namun setelah itu Hymes mengelompokan komponen menjadi delapan dengan menggabungkan istilah yang berdekatan menjadi satu komponen. Untuk memudahkan penghafalan akan komponen tutur itu, Hymes memberikan model hafalan dengan akronim SPEAKING, yaitu S (Setting and scene), P

(22)

(Participants), E (End), A (Act sequences), K (Key), I (Instrumentalities), N (Norms), dan G (Genres). Berikut ini penjelasan singkat mengenai komponen tutur.

S : Setting and scenes (tempat dan suasana tuturan). Setting and scenes dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan. Misalnya, tuturan terjadi di Asrama Nusakambangan pada pukul 08.00.

P : Participant (peserta tutur). Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu sama penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga. Misalnya, P1(Mahasiswa asal Cilacap), P2 (Mahasiswa asal Pasuruan).

E : End (tujuan). Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Suatu tuturan mungkin juga ditujukan untuk mengubah perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tujuan dalam tuturan ini khususnya tujuan digunakannya alih kode.

A : Act sequence (pokok tuturan). Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan pokok itu mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilihnya dalam bertutur.

(23)

K : Keys (nada tutur). Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam suatu bahasa. Nada itu dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya.

I : Instrumentalities (sarana tutur). Sarana tutur menunjuk kepada saluran tutur (chanel) dan bentu tutur (form of speech). Yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat dimunculkan oleh penutur dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa sandi-sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa, yakni bahasa sebagai sistem mandiri, dialek, atau variasi-variasi bahasa yang lainnya.

N : Norms (norma tutur). Norma tutur dibedakan menjadi dua, yaitu norma interaksi (interaction norms) dan norma interpretasi (interpretation norms). Norma interaksi menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, irama interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda.

(24)

kebahasaan yang sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana, misalnya percakapan, cerita, pidato, dan sebagainya. Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur.

Teori komponen tutur tersebut dalam penelitian “Pola Pemilihan Bahasa Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta (Kajian Sosiolinguistik)” digunakan untuk bahan pertimbangan dalam menentukan fungsi alih kode bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam HIMACITA. Dari kedelapan komponen tutur yang ada yang mempengaruhi pemakaian alih kode bahasa Jawa yang digunakan, yaitu setting and scene (tempat dan suasana tuturan), norm (norma tutur), key (nada tutur), dan participant (peserta tutur). Pada analisis pola pemilihan bahasanya yang perlu diperhatikan komponen tutur setting and scene (tempat dan suasana tuturan), key (nada tutur), end (tujuan), act sequence (pokok tuturan), norm (norma tuturan), dan participant (peserta tutur).

1.7 Jenis dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini terbagi atas dua kelompok jenis data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari percakapan mahasiswa Cilacap di Yogyakarta berupa percakapan lisan. Pengambilan data lisan dilakukan dalam waktu 6 minggu.

Data sekunder adalah data tambahan yang digunakan untuk menganalisis data, data sekunder ini berasal dari percakapan tertulis (pesan singkat), catatan

(25)

langsung peneliti, serta kamus Dialek Banyumas-Indonesia karya Ahmad Tohari sebagai data tambahan.

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskripstif. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, penedekatan pertama adalah pendekatan teoretis yang menggunakan teori Sosiolinguistik sebagai acuan keilmuan. Yang kedua pendekatan metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research) adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti (Ronny Kountur, 2009: 108).

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data di dalam penelitian ini meliputi dua macam. Sudaryanto (1993:132) menyebutkan dua macam metode dalam pemerolehan data, yaitu dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Peneliti menggunakan kedua metode tersebut dalam pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data dilakukan melaui metode simak dan metode cakap. Metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data dengan cara peneliti melakukan penyimakan pengguna bahasa. Metode ini memiliki teknik dasar yaitu teknik sadap. Dikatakan teknik sadap karena pada praktik penelitian sesungguhnya penyimakan itu dilakukan dengan cara menyadap

(26)

pembicaraan mahasiswa Cilacap di Yogyakarta (Mahsun, 2012: 243). Penyadapan dilakukan dengan menggunakan alat perekam (recorder) dan dilakukan pencatatan berupa informasi tambahan yang tidak diperoleh melaui kegiatan perekaman. Teknik sadap ini memiliki dua teknik lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC) dan teknik simak libat cakap.

Teknik simak bebas libat cakap (SBLC) meniadakan keterlibatan peneliti secara langsung pada saat melakukan penyadapan. Dalam hal ini peneliti berperan sebagai pengamat. Tenik ini digunakan guna menjaga perilaku berbahasa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta untuk dapat berlangsung pada situasi dan konteks yang sebenarnya, sehingga perilaku cakap dapat dipahami sebagai keadaan yang sesungguhnya. Maka data yang diperoleh adalah data pemakai bahasa yang alamiah terjadi dan bukan kesengajaan yang dibuat oleh partisipan setelah tau peristiwa tuturnya tengah direkam. Selanjutnya mengenai teknik simak libat cakap, yaitu upaya penyadapan peristiwa tutur dengan cara peneliti turut terlibat dalam peristiwa tutur tersebut. Peneliti tidak hanya menjadi pengamat tetapi ikut menyatu atau manunggal dengan partisipan yang hendak disimak perilaku tuturnya (Mahsun, 2012: 243). Teknik yang demikian ini memungkinkan peneliti dapat menstimulus percakapan pada peserta tutur sehinggga munculnya data-data yang diharapkan, sehingga pemerolehan data akan lebih lengkap.

Metode cakap atau dalam penelitian ilmu sosial dikenal dengan nama metode wawancara atau interview merupakan salah satu metode yang digunakan dalam tahap penyediaan data yang dilakukan dengan cara peneliti melakukan percakapan atau kontak dengan penutur selaku narasumber (Mahsun, 2012: 250).

(27)

Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara semuka, wawancara semuka yang berarti peneliti melakukan percakapan dengan cara berhadapan langsung disuatu tempat dengan informannya (Mahsun, 2012: 250). Pada pelaksanaan metode wawancara diikuti dengan teknik rekam dan teknik catat.

1.8.3 Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah menggunakan metode kontekstual. Metode konstekstual adalah menguraikan konteks yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Konteks merupakan sesuatu yang tidak tampak dalam bahasa yang digunakan. Metode kontekstual ini mengandalkan konteks sebagai unsur yang mempengaruhi corak penggunaan bahasa dalam berkomunikasi antara pengirim pesan, pesan dan penerima pesan.

Langkah metode kontekstual dalam analisis data pada penelitian ini adalah 1. Tahap pertama mentranskrip hasil percakapan yang di dapat selama proses

pengambilan data yang digabungkan dengan catatan harian berisi konteks yang tidak dapat diperoleh dari penggunaan bahasa. Transkripsi yang dilakukan peneliti adalah dengan menggunakan model transkripsi sesuai dengan data rekam yang peneliti peroleh.

2. Identifikasi data, maksudnya adalah peneliti mengidentifikasikan data yang sudah terkumpul.

3. Setelah selesai pengidentifikasian dan klasifikasi data, langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi data.

(28)

4. Langkah terakhir adalah dengan menguji kevalidan. Menguji data yang kita dapat valid atau tidak dengan melakukan uji validitas, uji validitas dalam penelitian ini adalah uji validitas semantik.

1.9 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian laporan penelitian ini dilakukan dengan membagi menjadi enam bab yakni:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan dasar dari penelitian yang dilakukan. Pada bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, jenis dan sumber data, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II Wujud Bahasa Mahasiswa Cilacap dengan Sesama Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta

Wujud bahasa mahasiswa Cilacap ketika berkomunikasi dengan sesama mahasiswa Cilacap di Yogyakarta akan dijabarkan mengenai kode-kode Bahasa dalam percakapan antar mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta, yang meliputi kode yang berwujud bahasa dan kode yang berwujud tingkat tutur. Kemudian kecenderungan bahasa yang digunakan, dan yang terakhir adalah kekhasan bahasa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

(29)

Bab III Wujud Bahasa Mahasiswa Cilacap dengan Orang dari Luar Kabupaten Cilacap

Pada bab ini akan diuraikan mengenai wujud kode bahasa mahasiswa Cilacap dengan orang dari luar Kabupaten Cilacap. Pembahasan pada bab ini berbeda dengan bab II. Pembahasan dalam bab III meliputi sikap mempertahankan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan (BJDB) dalam berkomunikasi, mengikuti bahasa mitra tuturnya (mahasiswa Cilacap mengikuti bahasa mitra tuturnya dan mahasiswa luar Cilacap yang mengikuti bahasa mahasiswa Cilacap), mahasiswa Cilacap menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, dan yang terakhir adalah faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Bab IV Wujud Bahasa Mahasiswa Cilacap Dengan Penutur Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap

Bab ini akan membahas mengenai wujud kode yang digunakan ketika berkomunikasi dengan penutur dengan status sosial lebih tinggi yang berasal dari Cilacap. Penutur yang dimaksud dalam penelitian ini terbatas pada Ketua Partai Politik, Dosen PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Anggota DPR-RI 2009-2014.

Bab V Wujud Alih Kode Dan Fungsi Alih Kode Bahasa Mahasiswa Cilacap Di Yogyakarta

Pada bab V ini akan dideskripsikan terkait wujud alih kode bahasa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta. Alih kode yang dimaksudkan meliputi dua alih

(30)

kode yakni alih kode bahasa dan alih kode tingkat tutur. Serta uraian fungsi alih kode yang dilakukan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Bab VI Penutup

Bab VI merupakan bab terakhir dalam penyajian laporan ini. Bab ini berisi mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran yang berisi masukan kepada peneliti lanjutan terkait dengan penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sahara dkk (2005) dengan judul Efisiensi Produksi Sistem Usahatani Padi Pada Lahan Sawah Irigasi Teknis. Analisis yang digunakan

Mengetahui proses pembentukan istilah asing, khususnya istilah olahraga; mengetahui pengaruh-pengaruh bahasa asing atau serapan yang masuk ke dalam bahasa

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori penguasaan kosakata siswa pada pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sesuai dengan kurikulum;

Dalam hal melakukan brainstroming dengan ketua Asosiasi pengrajin gambir dan para pengrajin gambir itu sendiri, mereka sepakat agar dilakukan suatu sentuhan teknologi yang dapat

• Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta 2014 menegaskan bahwa “ Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu

dan menulis, berapa waktu yang diperlukan untuk setiap kegiatan pada garis waktu. 2) Menulis: Membantu peserta didik menulis informasi tentang waktu, kegiatan, dan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Program Simulasi Eksperimen Difraksi

Penilaian acuan patokan (PAP) merupakan penilaian yang diacukan pada tujuan instruksional yang harus dikuasai oleh siswa, sedangkan penilaian acuan norma (PAN)