• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memberikan pelayanan pada klien. Salah satu dimensi dalam ilmu keperawatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memberikan pelayanan pada klien. Salah satu dimensi dalam ilmu keperawatan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keperawatan merupakan suatu proses holistik dan komprehensif dalam memberikan pelayanan pada klien. Salah satu dimensi dalam ilmu keperawatan yang menangani anak adalah keperawatan anak (pediatric nursing). Pemberian layanan keperawatan pada anak tidak hanya berhenti pada lingkup anak saja, tetapi juga mencakup orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar anak, termasuk lingkungan sekolah (Woodring et al., 1996). Sekolah merupakan salah satu tempat yang memiliki fungsi sebagai pengembangan potensi dan penyelenggaraan pendidikan untuk anak. Sekolah juga dapat menjadi tempat munculnya stresor yang dapat mengganggu perkembangan anak, baik fisik maupun psikis. Salah satu stresor yang dapat terjadi adalah perilaku bullying di sekolah (Rigby, 2008).

Bullying di sekolah merupakan suatu tindakan yang tidak menyenangkan, bersifat menyakiti, baik fisik maupun psikis, dan biasanya dilakukan secara berulang (Rigby, 2008). Sebanyak 20% – 30% anak sekolah di Amerika terlibat dalam bullying, baik sebagai pelaku maupun korban dalam bullying (Dake et al., 2003). Perkiraan tingkat bullying dan korban pada anak usia sekolah dasar di dunia berkisar antara 15% - 25% (Rigby, 2008). Hasil studi yang dilakukan oleh Hymel mengenai angka kejadian bullying bervariasi di berbagai negara (Norwegia, Inggris, dan Amerika), sekitar 9% - 73% pelajar melapor bahwa dirinya telah melakukan bullying terhadap pelajar lain dan 2% - 36% lainnya

(2)

menyatakan bahwa telah menjadi korban bullying (American Association of School Administrators, 2009). Satu dari 3 anak di sekolah melaporkan pernah dibully oleh teman sebayanya (Reulbach et al., 2013).

Sebanyak 67% anak di Indonesia, terutama di kota besar, menyatakan bahwa pernah terjadi kasus bullying di sekolah (Eunike & Kusnadi, 2009). Data yang ada di Indonesia saat ini menyatakan bahwa 31,8% siswa sekolah dasar pernah mengalami bullying (Sejiwa, 2008). Sebanyak 59% siswa di Indonesia pernah diejek, diolok-olok, dikucilkan, dipukul, ditendang, atau didorong setidaknya sekali dalam setiap minggu di sekolah, sehingga mereka malas untuk datang ke sekolah karena trauma (Huneck cit. Indriani., 2007).

Sullivan dan Stoner (2012) menyebutkan bahwa puncak risiko perilaku awal bullying pada anak dicapai saat anak berada di tengah sampai akhir sekolah dasar sampai pada sekolah menengah lanjutan (10 – 14 tahun). Menurut Shetgiri et al. (2013), sebanyak 56% bullying pada anak terjadi pada anak usia 8 – 12 tahun. Bullying yang terjadi pada anak usia 8 – 12 tahun terbagi menjadi 8% bersifat bullying fisik, 54% bersifat bullying verbal, dan 37% dalam bentuk non verbal & cyber bullying.

Annual Bullying Survey 2014 di United Kingdom dengan melibatkan 36 sekolah mendapatkan beberapa hal penting terkait dengan bullying pada anak. Sebanyak 39% responden melaporkan tidak pernah mengatakan kepada orang lain terkait dengan bullying yang diterima, 51% menyatakan tidak puas dengan dukungan anti-bullying yang dilakukan oleh guru, 30% responden mengaku ingin melukai diri sendiri akibat dari perilaku bullying yang diterima, 10% responden

(3)

berpikir untuk bunuh diri akibat bullying yang diterima, dan sebanyak 56% responden mengatakan bullying telah mengganggu proses belajar mereka di sekolah (Hackett, 2014). Penelitian yang lain menyebutkan perilaku bullying menyebabkan anak dapat kehilangan kontrol diri dan konsep diri dalam kehidupannya (Bolle & Tackett, 2013). Bullying merupakan risiko serius untuk psikososial dan penyesuaian akademis anak (Nansel et al., 2004).

Sullivan (2005) menjelaskan bahwa banyak alasan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi pelaku bullying. Seseorang dapat menjadi pelaku bullying karena pola asuh orangtua/keluarga, kejadian/pengalaman di dalam kehidupan, pengaruh peer group, iklim sosial di sekolah, karakteristik personal, maupun gabungan antara faktor-faktor tersebut. Belsey (2005) menyebutkan bahwa anak yang pernah mengalami intimidasi (bullying) memiliki risiko melakukan hal yang sama pada orang lain. Hal lain yang dapat menjadi penyebab perilaku bullying pada anak adalah pencapaian dan prestasi akademik yang kurang (Masten et al., 2005; Eisenberg et al., 2008; Cook, 2010). Monks et al. (2009) menyebutkan bahwa anak dengan jumlah saudara lebih banyak memiliki risiko menjadi pelaku bullying lebih besar dibandingkan dengan anak dengan jumlah saudara lebih sedikit. Faktor selanjutnya yang dapat meningkatkan risiko perilaku bullying anak adalah hubungan yang tidak baik dengan teman sebaya (Shetgiri et al., 2013). Andina (2014) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang diartikan sebagai keadaan lingkungan sekolah juga berpengaruh pada perilaku bullying yang dilakukan anak, karena iklim sekolah berperan sebagai pembatas perilaku bullying tersebut. Faktor terakhir adalah frekuensi melihat

(4)

televisi yang terlalu lama berpotensi untuk memunculkan perilaku bullying pada anak. Anak dengan kebiasaan melihat televisi yang memperlihatkan tayangan kekerasan dapat memunculkan risiko lebih besar untuk melakukan tindakan bullying (Tinsey, 2002 cit. Dwipayati & Indrawati, 2014).

Kasus-kasus bullying pada anak mengharuskan perawat lebih waspada terhadap indikator perilaku bullying pada anak yang khususnya ketika mengkaji anak (Engel, 2008). Salah satu fokus dari asuhan keperawatan anak adalah mendeteksi masalah-masalah keperawatan yang muncul pada anak usia sekolah. Pengkajian terhadap masalah keperawatan yang muncul dapat dilakukan dengan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku bullying pada anak di lingkungan sekolah. Menurut Engel (2008), masalah keperawatan yang dapat muncul pada korban dari perilaku bullying anak adalah hambatan komunikasi verbal, kecemasan, ketidakefektifan koping keluarga, dan harga diri rendah, sehingga muncul ketakutan dalam diri anak untuk menjadi target bullying di sekolah (Woodring et al., 1996). Pendeteksian dan penatalaksanaan keperawatan dalam kasus bullying pada anak hendaknya dilakukan sejak dini, yaitu saat anak berada di bangku sekolah dasar (Sullivan & Stoner, 2012).

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki keunikan dalam konteks sosial budaya karena falsafah Jawa yang dianut sangat kental, namun masih maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan, dan tindakan bullying di sekolah pada anak membuat hal ini menjadi permasalahan serius di DIY (Bappeda DIY, 2013). Berdasarkan Survei Lembaga Plan Indonesia dan Yayasan Sejiwa sejak tahun 2008, Yogyakarta merupakan salah satu di antara 3

(5)

kota besar di Indonesia yang memiliki risiko bullying paling tinggi, terdapat 67% dari 1.500 anak dan remaja yang terlibat dalam kasus bullying (Sejiwa, 2008). Data yang lainnya berdasarkan pada survei yang dilakukan oleh Juwita (2009) menyebutkan bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying pada anak di sekolah dibandingkan dengan Kota Jakarta dan Surabaya, yaitu sebanyak 70,65%. Saptandari (2009) menyebutkan bahwa berdasarkan survei pada guru di 39 sekolah di Yogyakarta didapatkan sebanyak 89,2% guru mengetahui atau pernah mendapat laporan terkait dengan bullying di sekolahnya. Penelitian Ndari (2011) di beberapa sekolah dasar Kota Yogyakarta, mendapatkan hasil sebagian besar anak laki-laki mengaku pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah.

Studi pendahuluan dengan salah seorang pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami Kota Yogyakarta menyebutkan bahwa kasus bullying pada anak tidak terlapor dalam lembaga perlindungan anak, namun kejadian bullying banyak ditemukan di beberapa sekolah di wilayah Kota Yogyakarta. Perilaku yang biasanya ditemui pada anak usia sekolah dasar di beberapa sekolah, baik negeri maupun swasta, adalah menendang, meminta uang saku dengan paksa, sampai dengan mengolok-olok/mengejek (Fasilitator P2TPA Rekso Dyah Utami, 2015). Hal yang sama diungkapkan oleh pengurus reintegrasi dan pemulangan P2TPA Rekso Dyah Utami bahwa banyak kasus bullying yang terjadi pada anak di sekolah, baik anak dengan prestasi yang baik maupun anak dengan prestasi kurang baik. Data bullying pada anak di sekolah memang tidak tercatat karena tidak adanya laporan,

(6)

namun sering ditemukan saat pengurus P2TPA melakukan kunjungan ke sekolah di wilayah Kota Yogyakarta, sehingga pihak P2TPA merekomendasikan beberapa sekolah yang pernah terobservasi untuk perilaku bullying anak di sekolah. Studi pendahuluan selanjutnya dilakukan di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bagian Pendidikan Dasar (Dikdas), hasil wawancara terhadap salah seorang kepala bagian dalam Dikdas menyebutkan bahwa laporan terkait dengan bullying anak di sekolah ada beberapa yang sampai ke dinas, namun tidak banyak, sekitar kurang dari 5 laporan untuk tiap tahunnya. Sebenarnya, fenomena bullying di sekolah seperti gunung es, banyak kasus yang terjadi, namun sedikit yang sampai pada dinas (Kepala Bagian Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 2015), sehingga Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta juga memberikan beberapa rekomendasi sekolah dasar yang pernah melaporkan kejadian bullying di sekolah.

Hasil studi pendahuluan selanjutnya dilakukan oleh peneliti pada salah satu sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru wali kelas V, ada beberapa anak yang sering membuat kegaduhan sampai menyebabkan teman-temannya menangis. Salah satu siswa mengatakan bahwa teman-teman sekelasnya sering mengolok-olok teman lain dengan nama orangtuanya dan sampai dibuat dalam lagu/nyanyian. Sekitar 50% anak dalam satu kelas sering melakukan hal tersebut, terutama anak laki-laki. Selain mengolok dengan sebutan orangtua, terdapat pula siswa yang sering menjuluki temannya dengan bentuk tubuh (gendut). Siswa yang lain mengaku pernah dengan sengaja mengancam anak lain sampai menangis. Salah seorang siswa perempuan mengaku pernah diganggu oleh siswa laki-laki dengan meletakkan hewan kecoa

(7)

di lengan siswa perempuan tersebut sampai menangis. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

B. Perumusan Masalah Penelitian

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: faktor-faktor apa yang menyebabkan perilaku bullying pada anak usia sekolah di wilayah Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui hubungan antara pengalaman intimidasi/dibully sebelumnya dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

b. Mengetahui hubungan antara capaian akademik anak dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

c. Mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

d. Mengetahui hubungan antara jumlah saudara kandung dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

(8)

e. Mengetahui hubungan antara pengaruh teman sebaya dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

f. Mengetahui hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

g. Mengetahui hubungan antara frekuensi melihat TV dengan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber dalam pengembangan konsep tentang bullying pada anak usia sekolah dasar, sehingga dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini menjadi informasi penting dalam pembuatan asuhan keperawatan pada anak usia sekolah yang terlibat dalam bullying, sehingga perawat dapat memahami cara menekan bullying pada anak.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang serupa dengan penelitian ini antara lain:

1. Penelitian Pangestuti pada tahun 2011 dengan judul “Konsep Diri Pelaku Bullying pada Siswa di SMP Y Jawa Tengah”. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi adanya perbedaan bermakna antara konsep diri positif dan negatif berdasar kecenderungan menjadi pelaku bullying pada siswa di SMP Y

(9)

Jawa Tengah. Tempat penelitian di Kabupaten Magelang. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan cross-sectional. Sampel penelitian berjumlah 161 responden dengan metode sampling diambil secara random sampling dengan kriteria inklusi. Instrumen penelitian berupa kuesioner data pribadi responden, kuesioner bullying yang didapat dari Bullying Olweus Questionnaire, dan kuesioner konsep diri. Analisis data menggunakan analisis univariabel, bivariabel, dan multivariabel. Hasil dari penelitian tersebut adalah aspek-aspek konsep diri secara bermakna berhubungan dengan kecenderungan sebagai pelaku pada siswa di SMP Y Jawa Tengah. Perbedaan dengan penelitian saat ini terletak pada judul penelitian, yaitu peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan bullying pada anak usia sekolah. Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif cross sectional dan wawancara untuk penguatan data. Lokasi dan sasaran penelitian yang akan dilakukan adalah anak usia sekolah dasar sejumlah 120 anak. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner perilaku bullying yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya, yaitu Bullying Olweus Questionnaire, kuesioner pola asuh orangtua, pengaruh teman sebaya, dan iklim sekolah. Persamaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan kuesioner yang digunakan.

2. Penelitian Wang et al. (2009) dengan judul penelitian “School Bullying Among Adolescents in the United States: Physical, Verbal, Relational, and Cyber” yang dilakukan di Amerika dengan tujuan penelitian mengetahui hubungan antara karakteristik sosiodemografi, dukungan fasilitas orangtua, hubungan

(10)

teman sebaya dengan perilaku bullying pada anak usia 6 – 10 tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan rancangan croos-sectional. Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei dengan jumlah sampel sebanyak 7.182. Instrumen yang digunakan adalah Family Affluence Scale untuk dukungan keluarga dan Olweus Bullying Questionnaire untuk kecenderungan perilaku bullying. Hasil yang didapatkan dari penelitian adalah anak laki-laki lebih berisiko menjadi pelaku, pelaku-korban, serta korban bullying. Anak dengan dukungan fasilitas berlebih/tinggi memiliki risiko lebih besar menjadi pelaku dan pelaku-korban bullying. Anak yang memiliki teman kelompok (peer) lebih dari 3 orang, memiliki kecenderungan melakukan bully terhadap teman yang lain. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada instrumen perilaku bullying yang digunakan. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada metode penelitian, yaitu penelitian saat ini menggunakan penguatan wawancara. Perbedaan yang lain terletak pada pemilihan variabel-variabel yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan lokasi penelitian.

3. Penelitian Verlinden et al. (2014) dengan judul “Television viewing through ages 2 – 5 years and bullying involvement in early elementary school”. Penelitian dilakukan di Rotterdam, Belanda dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh paparan melihat televisi saat anak berusia 2 – 5 tahun dengan perilaku bullying saat anak memasuki kelas 1 sekolah dasar. Metode penelitian kuantitatif dengan rancangan cohort. Peneliti mengukur paparan melihat televisi dengan 4 kategori, yaitu: tidak pernah melihat, melihat kurang dari 0,5 jam, melihat selama 0,5 – 1 jam dan melihat lebih dari 1 jam. Metode

(11)

pengambilan data menggunakan parental report terkait dengan paparan melihat televisi saat anak berusia 2 – 5 tahun dan kuesioner keterlibatan bullying anak dari guru dan teman-teman anak di sekolah. Jumlah sampel penelitian sebanyak 1.176 anak dengan rata-rata usia 7,6 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan paparan melihat televisi (TV) saat berusia 2 – 5 tahun memiliki risiko tinggi keterlibatan sebagai pelaku bullying saat anak berada di kelas 1 sekolah dasar, namun karakteristik sosiodemografi anak juga terlibat dalam perilaku bullying tersebut. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada tujuan penelitian, lokasi dan metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini juga menggunakan variabel frekuensi melihat TV dalam faktor penyebab bullying anak, namun metode penelitian yang digunakan adalah cross-sectional.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Sadinejad et al. (2015) dengan judul penelitian “Frequency of Aggressive Behaviors in a Nationally Representative Sample of Iranian Children and Adolescents: The CASPIAN-IV Study”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bullying yang biasanya dilakukan oleh anak usia 6 – 18 tahun di sekolah serta hubungan karakteristik anak dengan perilaku bullying yang dilakukan. Penelitian dilakukan di 30 provinsi di Iran dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional. Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei, anak mengisi kuesioner yang telah diberikan oleh peneliti. Kuesioner kecenderungan perilaku bullying di sekolah didapat dari World Health Organization Global School Health Survey. Anak diminta untuk melaporkan keterlibatan dalam bullying di sekolah selama 12 bulan

(12)

sebelumnya. Jumlah sampel pada penelitian ini adala 13.486 siswa. Hasil penelitian mendapatkan bahwa tingkat keterlibatan dalam perilaku bullying anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan dengan jenis yang paling sering dilakukan sampai pada perkelahian atau jenis bullying fisik. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada metode penelitian, yaitu menggunakan penguatan wawancara sebagai tambahan dalam pengumpulan data. Kuesioner yang digunakan dalam mendeteksi bullying anak juga berbeda, penelitian ini menggunakan kuesioner dari Olweus yang telah dimodifikasi.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Rezapour et al. (2014) dengan judul penelitian “Epidemiological Pattern of Bullying among School Children in Mazandaran Province, Iran”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat dan sifat perilaku bullying di sekolah pada siswa menengah di Iran Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah disain penelitian kuantitatif dengan rancangan cross-sectional. Jumlah sampel penelitian sebanyak 834 siswa. Metode pengumpulan data menggunakan teknik survei, dengan siswa mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti. Kuesioner kecenderungan pelaku bullying menggunakan Olweus Bullying Questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata perilaku bullying yang terjadi di sekolah selama 1 bulan adalah 2 – 3 kali dengan 5,4% anak sebagai pelaku, 22,1% sebagai korban dan 11% bertindak sebagai pelaku sekaligus korban. Anak laki-laki lebih cenderung terlibat dalam perilaku bullyng dibandingkan dengan anak perempuan. Prevalensi bullying yang paling sering terjadi adalah bullying verbal. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada penggunaan kuesioner

(13)

pelaku bullying yang digunakan, yaitu Olweus bullying questionnaire. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada tujuan penelitian dan variabel yang diteliti. Penelitian ini menggunakan lebih banyak variabel yang diteliti untuk mencari faktor penyebab perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar. Penelitian yang dilakukan ini memiliki perbedaan dalam beberapa hal dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Tujuan dari penelitian ni adalah mengetahui faktor-faktor penyebab bullying pada anak usia sekolah dasar di wilayah Yogyakarta menggunakan metode pendekatan rancangan cross sectional dengan penambahan wawancara untuk pengumpulan data. Penelitian ini dilakukan di 8 lokasi penelitian berdasarkan laporan kasus bullying ke Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan hasil observasi oleh P2TPA Rekso Dyah Utami Yogyakarta. Subjek penelitian sebanyak 403 anak yang terbagi dalam 8 wilayah lokasi penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

yang dikeluarkan perusahaan untuk program imbalan berbasis ekuitas atau untuk pekerja (atau instrumen keuangan ekuitas yang diterbitkan perusahaan yang keuangan ekuitas

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor teh PTPN antara lain, volume produksi, harga ekspor teh PTPN, volume ekspor periode sebelumnya,

, Peluang pembentukan awan yang berpotensi hujan sangat Signifikan disebabkan terdapatnya wilayah konvektif di sekitar Kalimantan bagian Timur, Sulawesi, Maluku dan

Pelaksana harus menyediakan seluruh alat produksi dan material yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pekerjaan kecuali bila disebutkan tersendiri di dalam Kontrak. Jika