• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 19

MODEL PERSAMAAN

STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN

Structural Equation Model Of Food Insecurity

Sabarella

Statistisi pada Pusat Data dan Informasi Pertanian ABSTRACT

This research was aimed to apply the structural equation modeling for studying relationship among food insecurity indicators on national level, Java and out of Java. Data source for this research based on selected indicators from Indonesia food insecurity map. These indicators consist of three food insecurity factors which are food availability, access on food and income, and food utilization and absorption.

A tentative model hypothesizes relationship among three factors (latent variables) that represent performance of food insecurity by using LISREL (Linear Structure Relationship). The result model for national level and Java shows that food availability positively affected the performance and significantly for access, access positively affect absorption, but food availability affect the absorption negatively, this is an food insecurity. In out of Java food availability positively and insignificantly affect the access, this mean that district in out of Java generally not sufficient to food availability of a region, but access positively and significant affect the absorption.

Key words : food insecurity, latent variable, indicator, structural equation model.

(2)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 20

PENDAHULUAN

Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Dewan Ketahanan Pangan 2002). Kodisi sebaliknya disebut kerawanan pangan.

Dewan Ketahanan Pangan, R.I. bekerja sama dengan Program Pangan Dunia, PBB (The United Nations World Food Program) tahun 2003-2004 telah melakukan analisis data sekunder untuk parameter kerawanan pangan, melalui pembuatan peta kerawanan pangan di Indonesia, yang dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi para pengambil kebijakan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten untuk menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif dan efesien dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan. Pada pembuatan peta kerawanan pangan tersebut telah dipilih indikator-indikator yang dapat menjelaskan 3 dimensi kerawanan pangan, yaitu dimensi ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan serta pemanfaatan dan penyerapan pangan. Namun demikian kajian baru dilakukan pada pembuatan peta belum dilakukan analisis lebih lanjut terhadap konsep kerawanan pangan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pemodelan tentang kerawanan pangan untuk melihat keterkaitan antar indikator kerawanan pangan yang telah disusun, karena dengan pemodelan, validitas dan kehandalan indikator dapat diukur.

Pengukuran terhadap objek yang diteliti seringkali tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi melalui peubah penjelas yang merupakan refleksi atau manifest dari suatu konsep, seperti konsep ”ketersediaan pangan”, ”akses pangan dan pendapatan”, serta konsep “pemanfaatan dan penyerapan pangan” merupakan faktor yang tidak dapat diamati atau bersifat laten (unobservable variable), oleh karena itu diperlukan suatu teknik statistik yang dapat menganalisis hubungan antara faktor laten dengan peubah-peubah manifest-nya, dimana peubah manifest tersebut diasumsikan sebagai pengukur (indikator) dari peubah laten yang dijelaskannya. Teknik analisis yang dimaksud melalui pemodelan persamaan struktural (Structural Equation Model, SEM) (Bollen 1989).

Tujuan penelitian ini adalah menyusun model persamaan struktural kerawanan pangan berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dan mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa.

(3)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 21 METODE PENELITIAN

Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan mengacu pada indikator-indikator dalam pembuatan peta kerawanan pangan Indonesia yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan R.I. dan Program Pangan Dunia(WFP), PBB(Dewan Ketahanan Pangan, 2004). Data yang digunakan data tahun 2003 dengan jumlah kabupaten (tidak termasuk kota) yang dianalisis sebanyak 265 kabupaten (82 kabupaten di Jawa dan 183 kabupaten di Luar Jawa). Data Bersumber dari Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian, BPS sebagian berasal dari hasil Susenas tahun 2003, Propinsi Dalam Angka 2004, PDRB Kabupaten di Indonesia tahun 2003. Secara rinci 3 faktor laten dan 17 indikator/peubah

manifest yang digunakan dalam membangun model dapat dilihat dalam

Tabel 1.

Metode Analisis

Pengolahan data dengan menggunakan program Minitab versi 13.2 dan LISREL versi 8.30. Secara garis besar tahapan analisis data pada penelitian ini adalah :

1. Tahapan eksplorasi, meliputi (1) pemilihan indikator, dimana

indikator yang merupakan fungsi dari indikator lain disisihkan dalam penyusunan model karena satu indikator dapat mewakili indikator yang lain tersebut. Hal ini ditemukan pada indikator ”angka harapan hidup” yang memiliki korelasi negatif cukup besar yaitu -0,92 dengan ”angka kematian bayi waktu lahir”, maka hanya digunakan salah satu indikator dari keduanya yaitu indikator umur harapan hidup (2) pemeriksaan data dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai data yang digunakan dalam model secara umum dengan diagram kotak garis untuk melihat kesimetrikan data/normal serta mendeteksi pencilan dengan Minitab versi 13.2

(4)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 22

Tabel 1 Faktor Laten dan Indikator Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan

No. Faktor Laten Indikator/Peubah Manifest 1. Ketersedian Pangan (SEDIA) 1. Produksi beras per kapita (kg/kapita)

2. Produksi jagung per kapita (kg/kapita) 3. Produksi Ubikayu per kapita (kg/kapita) 4. Produksi Ubi jalar per kapita (kg/kapita) 2. Akses terhadap Pangan dan

Pendapatan (AKSES) 5. % penduduk miskin

6. % kepala rumah tangga yang bekerja < 15 jam per minggu

7. % kepala rumah tangga yang tidak tamat SD

8. % rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik

9. % desa yang tidak memiliki akses jalan 10. PDRB per kapita atas dasar harga

berlaku

11. Pengeluaran riil perkapita 3. Pemanfaatan /penyerapan pangan

(SERAP) 12. Umur harapan hidup waktu lahir (Tahun) 13. % rumah tangga tanpa akses ke air

bersih

14. % rumah tangga yang tinggal > 5 km dari fasilitas kesehatan

15. % Balita kurang gizi 16. % perempuan buta huruf 17. Angka kematian bayi waktu lahir

2. Penyusunan model persamaan struktural meliputi (1) Perumusan spesifikasi model Lisrel berdasarkan kosep teori yang ada, seperti terlihat dalam Gambar 1 di bawah ini. (2) Entry data dengan menggunakan PRELIS Data 2.30 dalam LISREL 8.30 (3) Membuat diagram jalur seperti hasil spesifikasi model (4) Menduga koefisien jalur pada model struktural dan model pengukuran dengan proses iterasi melalui program LISREL 8.30 (5) Pemilihan model terbaik artinya model tersebut cukup baik dalam mengepas data yang ada melalui :

a. Sebanyak 16 indikator dimasukan dalam model, selanjutnya dievaluasi kelayakan model dengan melihat GFI dan AGFI (GFI menunjukkan persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh model dan AGFI memperbaiki GFI melalui derajat bebas relatif model terhadap jumlah kuadrat). Menurut Sharma (1996) model layak apabila nilai GFI mendekati 0.90 dan AGFI sekitar 0.80. b. Apabila dihasilkan model dengan nilai GFI dan AGFI yang masih

jauh dari nilai yang disarankan tersebut untuk meningkatkan kinerja model dengan menghilangkan jalur bagi koefisien jalur yang tidak nyata berdasarkan nilai uji-t pada taraf nyata 5% (nilai

(5)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 23

t < 1,96) atau koefisien jalur yang paling kecil dalam faktor laten tersebut. Selanjutnya indikator tersebut tidak digunakan lagi dalam proses pemodelan berikutnya.

c. Proses pemodelan selajutnya kembali ke tahap (2), (3), (4) dan (5) sampai dihasilkan model yang cukup layak dengan melihat

nilai χ2 hit≤ χ2 tabel atau P value ≥ 0,05, GFI≥ 0,90, AGFI≥ 0,80

dan RMR. Model yang mempunyai RMR yang lebih kecil adalah model yang lebih baik (Joreskog & Sorbom 1996).

d. Model yang mendekati syarat ideal kelayakan model yang selajutnya dipilih sebagai model persamaan struktural kerawanan pangan dalam penelitian ini. Proses seperti ini dilakukan baik untuk model nasional, Jawa dan Luar Jawa.

e. Model yang telah terpilih selajutnya dianalisis lebih lanjut untuk menilai validitas dan kehandalan dari indikator-indikator yang menyusunnya.

Gambar 1. Diagram Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan

δ6 δ7 δ11 δ5 δ8 δ14 δ12 δ13 δ15 δ16 δ17 Be ra s Ja gu ng < 1 5 j am <S D Tl is trk Td jln PD R B δ2 δ9 δ1 Ub ik ay u ub ija la r δ4 δ3 Pn lu ar an H rph dp ta irb rs h Fas kes <g iz i Bt hr f Km tb ay i Ke te rs ed ia a Pa ng an Ak se s pa ng an da n pe nd ap at an Pe ny er ap an / Pe m an fa at an Pa ng an Mi sk in λ12 λ2 λ4 λ1 λ11 λ16 λ5 λ7 λ8 λ3 λ17 λ14 λ9 λ10 β2 γ21 β1 γ11 λ154 λ13 β3 λ6 δ6 δ7 δ11 δ5 δ8 δ14 δ12 δ13 δ15 δ16 δ17 Be ra s Ja gu ng < 1 5 j am <S D Tl is trk Td jln PD R B δ2 δ9 δ1 Ub ik ay u ub ija la r δ4 δ3 Pn lu ar an H rph dp ta irb rs h Fas kes <g iz i Bt hr f Km tb ay i Ke te rs ed ia a Pa ng an Ak se s pa ng an da n pe nd ap at an Pe ny er ap an / Pe m an fa at an Pa ng an Mi sk in λ12 λ2 λ4 λ1 λ11 λ16 λ5 λ7 λ8 λ3 λ17 λ14 λ9 λ10 β2 γ21 β1 γ11 λ154 λ13 β3 λ6 Be ra s Ja gu ng < 1 5 j am <S D Tl is trk Td jln PD R B δ2 δ9 δ1 Ub ik ay u ub ija la r δ4 δ3 Pn lu ar an H rph dp ta irb rs h Fas kes <g iz i Bt hr f Km tb ay i Ke te rs ed ia a Pa ng an Ak se s pa ng an da n pe nd ap at an Pe ny er ap an / Pe m an fa at an Pa ng an Mi sk in λ12 λ2 λ4 λ1 λ11 λ16 λ5 λ7 λ8 λ3 λ17 λ14 λ9 λ10 β2 γ21 β1 γ11 λ154 λ13 β3 λ6

(6)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model persamaan struktural kerawanan pangan dalam penelitian ini selain model secara nasional juga dilakukan pemodelan kerawanan pangan Jawa dan Luar Jawa. Karena kependudukan dan ketersediaan sumber daya alam antara Jawa dan Luar Jawa berbeda.

Gambaran Umum Data Indikator Kerawanan Pangan

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang cukup besar antara indikator harapan hidup dengan kematian bayi sebesar -0,92. Hal ini berarti semakin besar harapan hidup waktu lahir maka semakin kecil tingkat kematian bayi, sehingga analisis selanjutnya hanya digunakan salah satu indikator yaitu harapan hidup. Matriks korelasi ini digunakan dalam analisis lebih lanjut sebagai pengganti matrik ragam peragam (∑) dalam analisis peubah ganda, karena perbedaaan satuan pengukuran pada data yang dianalisis, yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman peubah.

Analisis deskriptif indikator kerawanan pangan menunjukkan, produksi beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar sebagai penyusun faktor laten SEDIA secara umum di Jawa lebih tinggi dibandingkan di Luar Jawa, sebaliknya persentase indikator lainnya di Jawa menunjukkan lebih kecil dibandingkan di Luar Jawa kecuali persentase (%) penduduk bekerja kurang dari 15 jam dalam satu minggu dan persentase (%) perempuan buta huruf lebih tinggi kabupaten di Jawa masing-masing sebesar 6.49 persen dan 20.45 persen, selain itu persentase (%) kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam di Jawa lebih simetrik dibandingkan di Luar Jawa, dan lebih beragam di Luar Jawa (Gambar 2). Produksi beras pada 75% kabupaten di Luar Jawa kurang dari 100.000 ton, sebaliknya produksi beras pada 75% kabupaten di Jawa lebih dari 100.000 ton (Gambar 3.)

Gambar 2. bekerja<15 jam/minggu Jawa L Jawa 80 70 60 50 40 30 20 10 0 (%)

(7)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 25

Gambar 3. Produksi beras

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan

Hasil analisis model LISREL dari indikator-indikator penyusun faktor laten dalam model pada tahap pertama yang mengikutsertakan sebanyak 16 indikator belum memenuhi kelayakan model baik untuk model nasional, Jawa dan Luar Jawa, artinya model tersebut ditolak karena tidak ada dukungan data, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelayakan Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan

Jumlah Indikator Uraian Nasional (n=265 Jawa (n=82) Luar Jawa (n=183) 16 indikator GFI AGFI 0.77 0.69 0.64 0.52 0.78 0.70 13 indikator GFI AGFI 0.84 0.77 0.69 0.54 0.83 0.75 12 indikator GFI AGFI 0.85 0.77 0.72 0.57 0.79 0.71

Tabel 2, menunjukkan nilai GFI dan AGFI pada 16 indikator dalam model yang masih dibawah yang disarankan dalam Sharma (1998) yaitu masing-masing sebesar 0.90 dan 0.80. Oleh karena itu dilakukan pemodelan kembali untuk meningkatkan kinerja model dengan menghilangkan koefisien jalur yang tidak nyata pada taraf alpha 5 persen atau nilai koefisien jalur terkecil dalam faktor laten seperti disajikan pada Tabel 3.

Jawa L Jawa 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 (Ton)

(8)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 26

Tabel 3 Hubungan Faktor Laten dengan Indikator pada Model dengan 16 Indikator

Nasional Jawa Luar Jawa Faktor

Laten Indikator Koefisien Nilai-t Koefisien Nilai-t Koefisien Nilai-t SEDIA Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar 0.27 -0.06 -0.10 -0.38 19.23** -0.35 -0.55 -1.86 0.15 0.83 0.34 0.03 24.98** 1.15 0.40 0.04 0.32 -0.09 -0.14 -.035 6.76** -0.51 -0,81 -1.70 AKSES %miskin %tdkSD %<15jam %tdlistrik %tdjalan PDRB Pnluaran -0.57 -0.40 -0.10 -0.86 -0.64 0.07 0.63 -9.36** -3.15** -0.85 -6.12** -5.04** -0.56 5.26** -0.55 -0.80 -0.46 -0.53 -0.35 0.22 0.49 -12.16** -5.11** -2.90** -3.50** -2.50* 1.61 3.37** -0.69 -0.40 -0.14 -0.84 -0.61 0.20 0.51 -2.07* -3.46** -1.28 -7.08** -5.51** 1.85 4.42** AKSES Hrphidup %tdairbrsh %>5kmfaskes %<gizi %wntbthrf 0.40 -0.52 -0.52 -0.46 -0.01 2.64** -1.77 -1.79 -1.77 -0.41 0.52 0.04 -0.48 -0.39 -0.61 17.55** 0.34 -4.01** -3.61** -5.23** 0.35 -0.40 -0.29 -0.29 -0.31 4.86** -1.43 -1.08 -1.18 -1.09 Keterangan :** Sangat Nyata pada Taraf Alpha 0.01 ( T = 2.576) * Sangat Nyata pada Taraf Alpha 0.05

Tabel 3, menunjukkan indikator produksi jagung, ubi kayu, ubi jalar bukan merupakan pengukur faktor laten SEDIA yang baik pada ketiga model tersebut, selain itu persentase (%) kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam dan PDRB per kapita untuk faktor laten AKSES, serta persentase (%) rumah tangga tanpa air bersih untuk faktor laten SERAP di Jawa dan semua indikator SERAP kecuali harapan hidup waktu lahir untuk model nasional dan Luar Jawa. Namun dalam pemodelan selanjutnya indikator yang tidak digunakan terutama indikator yang memiliki nilai koefisien jalur terkecil dalam setiap faktor laten.

Berdasarkan beberapa kali uji coba, maka pada model dengan 12 indikator untuk model nasional dan Jawa, sedangkan model luar Jawa pada model dengan 13 indikator meningkatkan nilai GFI dan AGFI pada model nasional masing-masing model seperti disajikan pada Tabel 4. Nilai GFI dan AGFI masing-masing sebesar 0.85 dan 0.77. Hal ini berarti persen keragaman sebesar 85 persen dijelaskan oleh model kerawanan pangan nasional. Ukuran kelayakan model secara lengkap disajikan pada Tabel 4.

(9)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 27

Tabel 4 Kelayakan Model Kerawanan Pangan Nasional, Jawa dan Luar Jawa

Kesesuaian Model Nasional Jawa Luar Jawa

Df 51 51 62 X2 (P-value) 280.20 (P=0.00) 188.10 (P=0.00) 243.47 RMSEA 0.13 0.18 0.13 GFI 0.85 0.72 0.83 AGFI 0.77 0.57 0.75 RMR 0.085 0.13 0.093

Tabel 4, menunjukkan bahwa nol ditolak yang dilihat dari nilai

X2-nya. Hal ini berarti model hipotesis belum cukup baik dalam

mengepas data. x2 sensitif terhadap ukuran contoh sehingga untuk

menilai kelayakan model ini perlu diperhatikan ukuran-ukuran kesesuaian yang lain seperti nilai GFI, AGFI dan RMR.

Model kabupaten di Jawa menunjukkan nilai GFI dan AGFI yang lebih rendah dibandingkan kedua model lainnya masing-masing sebesar 0.72 dan 0.57, menurut Bollen (1989) beberapa hasil simulasi oleh peneliti, nilai harapan GFI dan AGFI cenderung meningkat seiring peningkatan ukuran contoh, mengingat jumlah kabupaten di Jawa hanya 82 kabupaten (kurang dari 100). Sementara RMR dari ketiga model tersebut memiliki RMR paling kecil dari sekian model yang telah dicoba sehingga model ini yang paling mendekati kriteria ideal. Model persamaan struktural kerawanan pangan disajikan pada Gambar 4 s/d Gambar 6 .

(10)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 28

Gambar 4 Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan Nasional

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan Nasional merupakan gabungan dari dua bagian, yaitu (1) model struktural yang menjelaskan hubungan antara faktor laten dan (2) model pengukuran yang menghubungkan faktor laten dengan indikator-indikatornya. Gambar 4 menunjukkan model nasional semua pengaruh langsung bertanda positif dan nyata dari SEDIA ke AKSES sebesar 1.15(t=2.38) AKSES ke SERAP sebesar 1.64 (t=3.13) dan SEDIA ke SERAP sebesar 2.16(t=5.94). Namun bila dilihat tanda negatif pada koefisien jalur produksi per kapita ubikayu dan ubi jalar, memberikan isyarat bahwa faktor ketersediaan secara nasional belum terjamin, sehingga perlu diberlakukan pengawalan terhadap ketersediaan pangan.

SEDIA 1.00 AKSES -0.33 SERAP 1.82 Be ras 0.93 Ub ikay u 0.99 Ub ijala r 0.84 mis kin 0.68 tdk SD 0.85 tlis trk 0.25 tdk jln 0.52 Pnl uar an 0.61 hrph dp 0.84 Air brs h 0.72 Fas kes 0.73 krg izi 0.79 Ch i-S qua re= 280. 20, df =51 , P -va lue =0.0 000 0, RMS EA= 0.1 30 0.27 -0.10 -0.41 -0.57 -0.39 -0.86 -0.69 0.62 0.39 -0.52 -0.52 -0.46 1.15 2.16 1.64

(11)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 29

Gambar 5 Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan Kabupaten di Jawa Gambar 5, menunjukkan pengaruh langsung SEDIA ke AKSES pada model kabupaten di Jawa adalah positif dan nyata sebesar 6.01 (6.35), yang berarti dari faktor ketersediaan pangan per kapita kabupaten di Jawa dapat diakses, namun AKSES ke SERAP berpengaruh negatif dan nyata sebesar 1.31 (5.00) yang berarti dampak dari akses ke penyerapan belum berjalan dengan baik. Ini berarti tidak terdapat bukti yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa kabupaten di Jawa cukup tahan, namun sebaliknya kerawanan pangan dapat terjadi. Hal ini diperkuat dengan pengaruh langsung dari SEDIA ke SERAP yang bernilai positif namun tidak nyata sebesar 0.55 (1.93)

SEDIA -0.02 AKSES 1.57 SERAP -0.58 Be ras 1. 05 Jag ung 1.35 mis kin 0.75 kr15j am 0.84 tdk SD 0.38 tlis trk 0.74 tdk jln 0.88 Pnl uar an 0.78 hrph dp 0.70 Fa ske s 0.72 krg izi 0.79 Wn tbt hrf 0.59

Ch

i-Squa

re

=280.

20

, df

=5

1,

P

-v

alue

=0

.0

000

0,

RMS

EA

=0

.1

30

1.00 4.90 -0.50 -0.39 -0.78 -0.50 -0.34 0.47 0.54 -0.53 -0.46 -0.64 6. 01 0.55 -1.31

(12)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 30

Hal ini berarti faktor ketersediaan, akses pangan dan pendapatan untuk dapat diserap masih perlu perhatian yang serius, artinya ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk jaminan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, sehingga kabupaten di Jawa, masih terjadi peluang terjadinya kerawanan pangan.

Gambar 6. Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan Kabupaten di Luar Jawa Gambar 6, menunjukkan semua faktor laten berpengaruh positif namun tidak nyata, hal ini mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan pangan di Luar Jawa belum seperti di Jawa. Ini berarti tidak

SE DIA 1.0 0 AKSE S -1.03 SER AP 0.92 Be ras 0.91 Ub ika yu 0.98 Ub ija lar 0.87 mi ski n 0.52 PD RB 0.96 td kS D 0.88 tlis trk 0.27 td kjl n 0. 62 Pn luar an 0.74 hrp hd p 0.85 Ai rb rs h 0.78 Fa ske s 0.86 krg izi 0.88 Ch i-Sq ua re =2 43 .4 7, d f=6 2, P -va lue =0.0 000 0, RMS EA =0 .1 27 0.3 1 -0.1 5 -0.3 6 -0. 69 0.1 9 -0. 35 -0. 85 -0. 62 0.5 1 0. 38 -0 .47 -0 .37 -0 .35 1.4 2 0.73 0.24

(13)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 31

terdapat bukti yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa ketahanan pangan di Luar Jawa terwujud, namun sebaliknya kerawanan pangan terjadi. Hal ini sesuai dengan hasil pemetaan oleh Badan Ketahanan Pangan terdapat 100 kabupaten yang dinyatakan rawan pangan di Indonesia, dan sebanyak 89 kabupaten diantaranya terdapat di Luar Jawa. Koefisien jalur dan uji beda nyata dalam model pengukuran kerawanan pangan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Penilaian Validitas Indikator Pengukur Faktor Laten pada Model

Nasional Jawa Luar Jawa Faktor

Laten Indikator Koefisien Nilai-t Koefisien Nilai-t Koefisien Nilai-t SEDIA Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar 0.27 - -0.10 -0.41 9.47** - - 0.54 -1.24 1.00 4.69 - - 163.44** 2.98** - - 0.31 - -0.15 -0.36 6.08** - -0.91 -1.83 AKSES %miskin %tdkSD %<15jam %tdlistrik %tdjalan PDRB Pnluaran -0.57 -0.39 - -0.86 -0.69 - 0.62 -21.57 ** -3.18** - -5.51** 5.00** 4.54** -050 -0.78 -0.39 -0.50 -0.34 - 0.47 -3.16** -2.85** -1.66 -1.99* -1.41 - 1.81 -0.69 -0.35 - -0.85 -0.62 0.19 0.51 1.98* -2.88** - -6.45** -4.80** 1.45 3.90** AKSES Hrphidup %tdairbrsh %>5kmfaskes %<gizi %wntbthrf 0.39 -0.52 -0.52 -0.46 - 3.86** -2.01* -2.03* -1.94 - 0.54 - -0.53 -0.46 -0.64 8.55** - -2.28* -1.90 -2.91** 0.38 -0.47 -0.37 -0.35 - 3.99* -1.39 -1.22 -1.31 - Keterangan:** Sangat Nyata pada Taraf Alpha 0.05( T = 2.576) *Nyata pada Taraf Alpha 0.05 (T=1.96).

Hasil pendugaan koefisien jalur pada model pengukuran pada Tabel 5 menunjukkan indikator penyusun faktor laten SEDIA hanya produksi beras per kapita yang memberikan pengaruh yang sangat nyata pada taraf alpha 1 persen terhadap faktor laten yang dijelaskannya (nilai t lebih besar 2,576) serta bertanda sesuai dengan yang diharapkan dalam model, demikian pula produksi jagung per kapita pada model di Jawa. Sementara produksi ubi kayu per kapita dan ubi jalar bukan merupakan indikator yang tepat untuk mengukur faktor laten SEDIA.

(14)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 32

Indikator persentase (%) kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam/minggu dan PDRB per kapita merupakan indikator yang tidak tepat dalam mengukur faktor laten AKSES pada model, serta persentase (%) desa tanpa akses jalan dan pengeluaran riil per kapita pada model di Jawa, hal ini ditunjukkan oleh pengaruh yang tidak nyata pada indikator tersebut, sedangkan untuk faktor laten SERAP hanya indikator harapan hidup saja yang sesuai untuk model di luar Jawa, sebaliknya untuk model di nasional dan Jawa valid untuk semua indikator SERAP kecuali untuk indikator persentase (%) balita kurang gizi yang tidak nyata.

Validitas indikator dalam mengukur faktor laten, dilihat dari koefisien jalur lebih dari 0.5 terdapat pada indikator persentase (%) penduduk miskin dan persentase (%) rumah tangga tanpa listrik untuk faktor laten AKSES pada ketiga model, serta produksi beras per kapita untuk faktor laten SEDIA. Selanjutnya persentase (%) desa tanpa akses jalan dan pengeluaran riil per kapita untuk faktor laten AKSES pada model nasional dan Luar Jawa, persentase (%) rumah tangga tanpa air bersih dan persentase (%) rumah tangga > 5 km dari puskesmas untuk faktor laten SERAP pada model nasional, semua indikator faktor laten SERAP kecuali persentase (%) balita kurang gizi untuk model di Jawa. Hal ini menunjukkan indikator tersebut handal dalam mengukur faktor laten. Selanjutnya koefisien kehandalan konstruk untuk model kerawanan pangan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil Penilaian Kehandalan Faktor Laten Pada Model

Faktor Laten Nasional Jawa Luar Jawa

SEDIA 0.02 0.93 0.01

AKSES 0.49 0.55 0.49

SERAP 0.17 0.14 0.16

Tabel 6, menunjukkan faktor laten AKSES adalah cukup handal karena memiliki kehandalan konstruk sekitar 0.5, yang berarti indikator-indikator penyusun cukup handal dalam mengukur faktor laten AKSES, demikian pula untuk faktor laten SEDIA pada model kabupaten di Jawa. Sebaliknya faktor laten SERAP dikatakan tidak handal, karena memiliki nilai kehandalan konstruk yang sangat jauh dari nilai kehandalan konstruk yang disarankan Sharma (1996) adalah minimal 0.5.

(15)

Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009 33 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional dan Jawa menunjukkan ketersedian pangan berpengaruh positif dan nyata terhadap AKSES, dan akses berpengaruh postif terhadap penyerapan, tetapi pengaruh langsung dari ketersediaan terhadap penyerapan pangan negatif dan tidak nyata. Ini berarti ketersediaan pangan tidak diikuti oleh penyerapan yang baik, hal ini menunjukkan terjadinya rawan pangan. Model di Luar Jawa menunjukkan ketersediaan berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap akses pangan dan pendapatan. Ini berarti kabupaten di Luar Jawa pada umumnya belum mampu menopang kebutuhan pangan untuk wilayahnya.

2. Indikator yang memenuhi validitas dan kehandalan dalam mengukur faktor laten antara lain indikator produksi beras, persentase (%) penduduk miskin, persentase (%) rumah tangga tanpa listrik, persentase (%) desa tanpa akses jalan, pengeluaran riil perkapita, persentase (%) rumah tangga tanpa air bersih untuk model nasional dan Luar Jawa, produksi ubi kayu, persentase (%) kepala rumah tangga tidak tamat SD, dan semua indikator untuk faktor laten SERAP pada model di Jawa.

Saran

1. Model yang dihasilkan masih merupakan model yang sederhana dan hasil evaluasi model belum memuaskan secara keseluruhan, oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan model yang lebih baik melalui perbandingan metode pendugaan yang digunakan dalam analisis.

2. Tambahan indikator pengeluaran riil per kapita dibutuhkan dalam penyusunan peta kerawanan pangan karena terbukti valid dan handal dalam mengukur faktor laten AKSES, disamping indikator lainnya yang telah ada perlu diupayakan pengumpulan datanya secara lengkap sehingga dapat menggambarkan konsep kerawanan pangan.

(16)

Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan 34

DAFTAR PUSTAKA

Purnomo,A. 2002. Model Persamaan Struktural Pembangunan Berkelanjutan Daerah. Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Bachrudin,A dan HL.Tobing, 2003. Analisis Data Untuk Penelitian Survei Dengan Menggunakan LISREL 8.30. Jurusan Statistika, FMIPA, UNPAD Bandung.

Badan Pusat Statistik, 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003; Buku 2 : Kabupaten. Badan Pusat Statistika, Jakarta. Bollen KA. 1989. Structural Equation With Laten Variables. Canada: J

Willey.

Dewan Ketahanan Pangan R.I. dan Program Pangan Dunia PBB. 2004. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Departemen Pertanian Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta.

Hair, JR dkk. 1995. Multivariate Data Analysis With Readings. Fourth Edition. New Jersey.

Joreskog, K.G. dan D. Sorbom, 1996. LISREL 8 : User’s Reference

Guide. Scientific Software International, Inc, Chicago.

Sharma, S. 1996. Applied Mulrivariate Techniques. Jonn Wiley & Sons, Inc. Canada.

Gambar

Tabel 1  Faktor Laten dan Indikator Model Persamaan  Struktural Kerawanan Pangan  No.  Faktor Laten  Indikator/Peubah Manifest
Gambar 1. Diagram Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan
Gambar 2.  bekerja&lt;15 jam/minggu
Tabel 2. Kelayakan Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan  Jumlah Indikator  Uraian  Nasional (n=265  Jawa (n=82)  Luar Jawa (n=183)  16  indikator        GFI        AGFI  0.77 0.69  0.64         0.52  0.78 0.70  13 indikator        GFI        AGFI  0
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sensor suhu LM 35 mempunyai keluaran impedansi yang rendah dan linieritas yang tinggi sehingga dapat dengan mudah dihubungkan dengan rangkaian

Sistem pendukung keputusan atau Decision Support System (DSS) adalah sistem informasi interaktif yang menyediakan informasi, pemodelan, dan pemanipulasian data yang

Berdasarkan hasil tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa dari 30 responden yang dijadikan sampel, terdapat hampir sebagian responden (26,7%) mengalami anemia.

tanah sekitar 60 Hektar dengan nilai Rp 69,5 milyar yang berlokasi di Cikampek, Kabupaten Karawang, Perseroan telah melaporkan transaksi tersebut kepada Bapepam-LK dan BEI pada

 Untuk Kasus 2 dimana properti material yang digunakan merupakan material mutu tinggi (Gambar 2b), persyaratan kekangan dari CSA A23.3-04 memberikan persyaratan yang paling ketat

Oleh karena itu dilakukan dengan cara mentransformasikan data dari domain waktu-jarak (T-X) menjadi domain frekuensi- bilangan gelombang (F-K) agar informasi data

Jalur perpindahan lepasan zat radioaktif di atmosfer ke kompartemen lingkungan yang ada di daerah sekitar lokasi calon tapak PLTN Muria, Ujungwatu, Jepara meliputi : jalur

Pemegang Unit Penyertaan akan mendapatkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang akan disampaikan paling lambat 7 (tujuh) Hari Bursa setelah (i) aplikasi