• Tidak ada hasil yang ditemukan

METABAHASA Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METABAHASA Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

METABAHASA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

METABAHASA: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Journal homepage: http://journal.stkipyasika.ac.id/index.php/metabahasa

Journal Email: metabahasayasika@gmail.com

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SISWA BIPA BALAI BAHASA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

RIDZKY FIRMANSYAH FAHMI

Universitas Siliwangi E-mail: zhukhie@gmail.com

ABSTRACT

This research is motivated by a misunderstanding experienced by BIPA students when interacting with Indonesian people. This misunderstanding was due to the shock of culture which caused the failure of intercultural communication. This research uses descriptive analytical method which aims to provide a description of the understanding of intercultural communication that is owned by BIPA students. The results of the study show that understanding intercultural communication makes the interaction and communication process smooth and lacks misunderstanding. Understanding of intercultural communication minimizes the appearance of negative perceptions or prejudices towards other cultures. Students can slowly adapt to new cultures.

Kayword: Communication cultural and student

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kesalahpahaman yang dialami siswa BIPA ketika berinteraksi dengan orang Indonesia. Kesalahpahaman tersebut akibat adanya kaget budaya yang menyebabkan gagalnya komunikasi antarbudaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang bertujuan memberikan deskripsi mengenai pemahaman komunikasi antarbudaya yang dimiliki siswa BIPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman komunikasi antarbudaya membuat interaksi dan proses komunikasi menjadi lancar dan minim kesalahapahaman. Pemahaman komunikasi antarbudaya meminimalkan munculnya anggapan atau prasangka negatif terhadap budaya lain. Siswa pun perlahan dapat beradaptasi dengan budaya baru.

Kata kunci: siswa BIPA, komunikasi antarbudaya

Article Received: 30 Desember 2018, Review process:01 Januari 2019 , Accepted: 05 Januari 2019, Article published: 30 Januari 2019

(2)

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan perwujudan sistem yang berfungsi mengoneksikan individu atau suatu kelompok masyarakat dengan individu atau kelompok masyarakat lainnya. Dalam berkomunikasi, manusia mempertimbangkan aspek yang berkorelasi dengan interaksi, seperti usia, jenis kelamin, dan latar belakang budaya (Musa, 2006). Setiap tempat memiliki karakteristik budaya tersendiri dan hal tersebut yang menjadikan setiap individu dari daerah tertentu memiliki kekhasan dalam proses berkomunikasi. Aspek budaya turut mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi sebab individu tersebut hidup dan tumbuh sesuai dengan budaya tempat dirinya tinggal.

Komunikasi yang dilakukan antarindividu yang berbeda budaya dapat terjadi dengan lancar jika terdapat pemahaman budaya atau pemahaman konteks dalam pesan yang disampaikan. Persoalan memahami budaya, terlebih memahami konteks pesan yang disampaikan memang terbilang tidak mudah. Hanya saja hal tersebut dapat dimediasi dengan bahasa gerak yang universal. Namun bahasa gerak acap kali menimbulkan pula berbagai tafsiran dan rentan berimplikasi pada kesalahpahaman. Itu sebabnya, pemahaman budaya perlu dilakukan, minimal mengetahui latar belakang budaya atau mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan individu dari budaya yang berbeda.

Penelitian sekait komunikasi antarbudaya telah dilakukan oleh Keles yang meneliti komunikasi antarbudaya pada siswa asing dalam program pertukaran pelajar. Keles (2013) meneliti hambatan komunikasi antarbudaya pada mahasiswa program pertukaran pelajar di Turki. Penelitian yang dilakukan mendeskripsikan tentang mengatasi hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang terlihat dalam bentuk sikap beberapa mahasiswa Eropa terhadap orang-orang Turki selama program pertukaran. Hasil penelitiannya menggambarkan pemahaman komunikasi antarbudaya harus dilibatkan dalam proses interaksi agar tumbuh empati dan menghargai terhadap budaya lain. Selain itu, komunikasi antarbudaya harus ditekankan pada kebijaksanaan dalam berpikir agar terjadi kematangan berpikir ketika berinteraksi dengan budaya baru. Kebijaksanaan dapat dibangun dengan cara menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain sehingga dapat terjalin sikap menghargai dari sudut pandang orang lain.

Penelitian ini mendeskripsikan komunikasi antarbudaya siswa BIPA Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia. Fokus penelitian ini pada aspek yang

(3)

menjadi hambatan dan bentuk komunikasi antarbudaya yang terjadi pada siswa BIPA ketika berinteraksi baik dengan orang Indonesia maupun dengan sesama siswa BIPA lainnya dari negara yang berbeda.

PEMBAHASAN

Indonesia dan ASEAN

Persoalan budaya tak dapat dipisahkan dengan bahasa sebab bahasa menjadi salah satu unsur kebudayaan yang menunjang kehidupan manusia. Bahasa secara verbal (bunyi ujaran) menjadi sarana pendukung (utama) dalam interaksi sesama bangsa dan antarbangsa. Begitupun dengan bahasa Indonesia yang sedang disosialisasikan sebagai bahasa ASEAN. Peran Indonesia dalam percaturan politik sekaligus ekonomi ASEAN sangat potensial dan strategis. Tak jarang, banyak investor menyasar Indonesia sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Kekayaan alam Indonesia menarik banyak investor dan wisatawan, begitupun dengan keragaman budaya Indonesia banyak menarik wisatawan untuk mengeksplorasi dan mengakrabkan diri dengan budaya yang unik. Jika dilihat dari segi kekayaan alam, budaya, dan peran serta Indonesia dalam peta politik dunia khususnya ASEAN, Indonesia sangat mampu memimpin dan mengedepankan bahasanya. Pesona Indonesia tak berakhir hanya pada kekayaan alam dan budayanya saja. Bahasa Indonesia pun dilirik oleh bangsa asing, khususnya oleh warga negara dalam negara ASEAN untuk dipelajari. Melihat peran bahasa Indonesia yang makin diminati oleh warga negara asing, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya tarik luar biasa. Hal tersebut pun menjadi indikator yang menguatkan bahwa Indonesia memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam peta perpolitikan dunia. Itu sebabnya banyak warga negara asing belajar bahasa Indonesia dalam program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA).

Bahasa merupakan media komunikasi yang memudahkan pengiriman pesan antarpersonal. Bahasa menghubungkan milyaran orang di dunia untuk bisa saling berkomunikasi. Bahasa Indonesia dipelajari karena Indonesia memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam percaturan dunia. Terlebih dalam hal ekonomi, Indonesia menjadi tempat strategis untuk memiliki bidang usaha dan bekerja. Dalam hal budaya, Indonesia sangat kaya dan acap kali budaya Indonesia dijadikan bahan penelitian warga negara asing. Tak sedikit warga negara asing menikah dengan orang Indonesia karena ingin lebih dalam mengetahui dan mempelajari budaya Indonesia.

(4)

BIPA merupakan program yang sudah ada sejak sejak berpuluh tahun lalu. Warga negara asing belajar bahasa dan budaya Indonesia. Geliat BIPA akhir-akhir ini semakin memperkuat ketertarikan bangsa lain untuk bekomunikasi dalam bahasa Indonesia sekaligus mengenal budaya Indonesia. Dalam BIPA, tidak hanya interaksi persoalan bahasa yang menjadi penunjang komunikasi tetapi juga pemahaman atas budaya menjadi pendukung lancarnya proses berkomunikasi baik antara siswa asing dengan siswa asing maupun siswa asing dengan warga negara Indonesia.

Komunikasi Antarbudaya

Budaya berkaitan dengan cara manusia untuk hidup dengan sesama. Budaya membangun kebiasaan-kebiasaan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti menjalin persahabatan, melakukan interaksi bahasa dengan sesama, mendukung kegiatan ekonomi, memfasilitasi wacana masyarakat, dan berbagai hal lainnya. Semua aktivitas tersebut merupakan dampak fungsi budaya yang dipahami oleh manusia. Budaya mewujudkan diri melalui pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk aktivitas dan tindakan, konsep tertentu, dan hal lain yang berupa material seperti arsitektur. Budaya berkaitan erat dengan komunikasi karena budaya mendukung individu sebagai penyampai pesan dan makna pesan yang merupakan representasi dari identitas kelompok. Itu sebabnya komunikasi yang terjadi pada manusia sangat beragam karena bergantung pada beragamnya bentuk-bentuk budaya pada kelompok masyarakat itu. Budaya meliputi cara hidup suatu kelompok tertentu yang mengandung ide, praktik simbol, ekspresi, dan bentuk-bentuk yang tampak yang terus berubah sesuai kenginan kelompok mengidentitaskan dirinya (Jenks, 2013; Borhan, 2006). Perbedaan-perbedaan antarkelompok budaya tersebut dapat menimbulkan masalah jika tidak muncul sikap toleransi dalam proses interaksinya. Namun jika terdapat pemahaman mengenai budaya yang berbeda dengan mengedepankan penghormatan pada budaya yang berbeda, akan terjadi keharmonisan dalam interaksi. Pemahaman perbedaan dan penerimaaan atas budaya yang berbeda sangat diperlukan untuk membangun kerja sama di antara dua budaya yang berbeda dan melihat perilaku anggota kelompok pada budaya lain sebagai peluang untuk saling mengenal dan proses kebijaksanaan berpikir. Interaksi antarbudaya akan selalu terjadi karena setiap anggota kelompok budaya memiliki mobilitas serta ketergantungan pada budaya lain dalam aspek ekonomi dan sosial.

Interaksi antarbudaya yang berbeda itu dapat menyebabkan terjadinya komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya hubungan

(5)

di antara dua anggota kelompok yang berbeda. Ketika berinteraksi, kedua budaya saling bertukar dan terjadi proses menolak dan menerima. Komunikasi antarbudaya merupakan proses kemampuan untuk berpikir, mengidentifikasi perbedaan, dan membangun komunikasi dengan tepat antara individu atau kelompok dari budaya yang berbeda (Friedman, 2005). Proses-proses semacam itu wajar terjadi sebab dalam interaksi adanya perbedaan sudut pandang dan anggapan. Namun upaya meminimalkan stereotip dan prasangka buruk harus diprioritaskan. Kesadaran atas semua budaya memiliki maknanya tersendiri menjadi bekal penerimaan dalam interaksi budaya. Komunikasi antarbudaya dipahami sebagai medium yang menyadarkan perbedaan sebagai bentuk keragaman yang unik dan menarik, bukan untuk diperdebatkan dan mengunggulkan salah satunya. Kesadaran bahwa setiap budaya memiliki makna tersendiri yang dibangun atas kesadaran masyarakat pendukungnya dapat menjadi dasar komunikasi antarbudaya.

Proses komunikasi antarbudaya dapat digambarkan melalui sebuah model yang mencakup: Lingkaran kecil menggambarkan budaya yang dianut individu, lingkaran besar menggambar budaya masyarakat atau lingkungan tempat individu berada. Begitu pula dengan kotak kecil dan besar menggambarkan budaya individu dan lingkungannya yang lebih dominan seperti terlihat dalam bagan berikut (Devito dalam Sihabudin, 2013: 51).

Bagan 2 Model Komunikasi Antarbudaya

Bagan tersebut mendeskripsikan interaksi antara dua budaya yang merepresentasikan budaya individu dan kelompok. Kedua budaya tersebut berinteraksi dan saling memberikan dampaknya. Jika individu dalam budaya yang satu berinteraksi dengan individu atau kelompok pada budaya yang lain, akan terjadi pengenalan budaya yang berimplikasi pada bentuk-bentuk toleransi atas budaya yang berbeda.

A S/P

A P/S

(6)

Komunikasi Antarbudaya Siswa BIPA

Siswa BIPA yang berada di Balai Bahasa merupakan siswa dari berbagai negara, di antaranya China, Jepang, Jerman, Polandia, Pakistan, Uzbekistan, Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Italia, Belanda, Papua New Guinea, Korea, dan beberapa negara lainnya. Siswa BIPA yang peristiwa tuturnya diamati dalam hal ini ialah siswa yang berasal dari Jepang, China, dan Australia pada level dasar.

Komunikasi yang diamati pada siswa BIPA tidak dilepaskan dari persoalan budaya asal negara siswa tersebut. Peristiwa komunikasi yang terjadi antara siswa BIPA dan warga negara Indonesia menggunakan bahasa lisan (verbal vokal) serta bahasa gerak dan gambar (verbal nonvokal). Ketika berkomunikasi dengan sesama siswa BIPA, beberapa siswa menggunakan bahasa Inggris namun sebagian lainnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris oleh siswa BIPA lebih disebabkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang masih rendah. Namun tidak semua siswa BIPA bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Siswa BIPA yang tidak menguasai bahasa Inggris, terlebih tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa lain, cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan siswa BIPA lainnya. Ada pula siswa BIPA yang tidak terlalu menguasai bahasa Indonesia, meminta guru untuk membantu berkomunikasi dengan siswa BIPA yang sedang berkomunikasi dengannya.

Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan sebagaimana bahasa Inggris pada siswa BIPA mengakibatkan adanya grup dalam pergaulan siswa BIPA. Kemunculan grup lebih disebabkan agar proses berkomunikasi menjadi lancar. Komunikasi yang dilakukan antarsiswa BIPA (baik yang menguasai bahasa Indonesia atau Inggris) cenderung pada topik menanyakan nama dan negara asal. Jika mereka sudah saling mengenal, topik komunikasi seputar menanyakan kabar dan kegiatan yang akan dilakukan. Hal ini sekait dengan budaya orang Indonesia yang acap kali bertanya: Mau ke mana. Begitupun dengan siswa BIPA akhirnya menjadi terbiasa dengan kalimat: Selamat siang, Apa kabar?

Mau ke mana?. Ada beberapa siswa yang sudah bisa menebak arah pertanyaan

orang Indonesia sehingga ketika ditanya: “Bagaimana kabar Anda?”, segera dilanjutkan dengan mengatakan: “Mau ke asrama.” (tanpa ada pertanyaan: “Mau ke mana?”). Pernyataan yang diungkapkan siswa tersebut ketika bertemu dengan orang Indonesia menunjukkan siswa telah mengetahui pertanyaan lanjutan setelah pertanyaan yang menanyakan kabar. Dapat disimpulkan bahwa siswa telah memiliki

(7)

pemahaman komunikasi antarbudaya dalam hal respons yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan lanjutan meski pertanyaan tersebut belum disampaikan. Setidaknya, siswa telah mengetahui kebiasaan percakapan orang Indonesia ketika bertemu orang yang dikenal untuk menyapa. Pemahaman komunikasi antarbudaya dalam peristiwa tutur tersebut mempunyai dua implikasi. Pertama, siswa dapat mudah beradaptasi dan mengidentifikasi ciri budaya dalam bentuk komunikasi lisan. Kedua, siswa sudah melakukan antisipasi dengan jawaban lanjutan terlebih dahulu karena ingin segera menyudahi obrolan yang cenderung sama dan bersifat pengulangan pada setiap orang. Poin kedua akan berimplikasi juga pada sikap siswa yang mungkin tidak mau terlibat terlalu panjang dengan obrolan sehingga memutuskan untuk segera menyudahi obrolan dengan mengucapkan kalimat tersebut.

Bentuk komunikasi antarbudaya lainnya yang terlihat di antara siswa BIPA ialah komunikasi yang terjadi antara siswa BIPA dan mahasiswa Indonesia. Intensitas senyum dalam berkomunikasi yang dilakukan orang Indonesia cenderung sering. Sementara bagi siswa BIPA, di negaranya jika banyak tersenyum ketika berkomunikasi menandakan suatu hal yang kurang pantas. Siswa tersebut akan merasa dilecehkan jika lawan tutur terlalu sering tersenyum ketika sebab akan dinilai negatif yaitu menggoda. Sementara bagi mahasiswa Indonesia, tersenyum merupakan bagian dari keramahan. Bukan hanya pada persoalan gerak wajah saja, tetapi hal yang lebih besar mencakup kontak fisik sebisa mungkin harus dihindari. Beberapa siswa akan menghindari kontak fisik di antara sesama siswa dan dengan orang yang baru dikenal (orang Indonesia). Bahkan sesama siswa dari negara asal pun tak akan melakukan banyak kontak fisik jika hubungan mereka tidak begitu akrab. Jika di antara mereka ada yang melakukan kontak fisik maka siswa tersebut akan menjadi canggung, kaku, dan proses komunikasi verbal menjadi terhambat. Bahkan untuk bersalaman pun sebisa mungkin menunggu reaksi terlebih dahulu dari siswa sebab pernah suatu kali siswa ditugasi mewawancarai mahasiswa Indonesia. Di akhir wawancara, mahasiswa Indonesia menyodorkan tangan untuk bersalaman seraya mengucapkan salam (selamat siang) dan siswa tersebut menjawab salam seraya sambil bersalaman (karena situasi). Namun setelah itu, siswa tersebut segera mengelap tangannya.

Selain beberapa komunikasi tersebut, ada juga kebiasaan beberapa orang Indonesia ketika bertemu orang asing di tempat umum. Begitupun dengan

(8)

mahasiswa Indonesia yang ditemui oleh siswa BIPA ketika mereka ditugasi untuk melakukan wawancara kepada mahasiswa Indonesia. Setelah wawancara, mahasiswa Indonesia akan meminta untuk berfoto bersama. Ada juga yang memfoto selama proses wawancara. Bagi siswa yang berasal dari Australia, hal itu tidak membuat mereka nyaman karena memfoto wajah merupakan bagian dari privasi. Terlebih dewasa ini banyaknya unggahan aktivitas pribadi ke media sosial seperti twitter, facebook, dan instagram. Hal itu membuat siswa tidak tidak nyaman karena wajah mereka akan terpublikasikan di media sosial tanpa mereka tahu apa dan bagaimana unggahan serta tanggapan pada kolom komentar di media sosial tersebut. Namun mereka terjebak dalam situasi dan tidak bisa menolak dan merasa harus memenuhi permintaan berfoto karena mahasiswa Indonesia sudah membantu menjawab pertanyaan. Beberapa siswa mengeluhkan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan foto dan kontak fisik (seperti menepuk bahu sebagai tanda pertemanan).

Dalam beberapa peristiwa komunikasi antarbudaya pada siswa BIPA, tampak komunikasi antarbudaya yang berbeda. Komunikasi antarbudaya ini dapat mengalami perubahan makna pesan ketika pesan dikodekan oleh pengirim pesan dalam satu budaya tertentu dan diteafsirkan oleh penerima pesan dalam budayanya sendiri (Samovar dan Porter, 1997). Sifat kepribadian individu tersebut memengaruhi dalam interaksi dengan budaya lain. Ciri kepribadian tersebut dapat berubah ketika terjadi interaksi dengan budaya lain yang didasarkan adanya tingkat kecerdasan budaya yang dimiliki individu ketika berinteraksi (Yeke, 2016). Itulah yang akan mengakibatkan gagalnya komunikasi antarbudaya. Agar persoalan kesalahpahaman dan gagalnya penyampaian suatu pesan tidak terjadi dalam interaksi, perlu dipahami komunikasi antarbudaya kepada siswa BIPA. Siswa yang memiliki pemahaman komunikasi antarbudaya dapat melakukan antisipasi jika mereka merasa tidak nyaman dan kurang berterima dengan beberapa kondisi yang bisa dinegosiasikan seperti beberapa contoh peristiwa di atas. Siswa yang memiliki pemahaman komunikasi antarbudaya dapat memberi alasan yang logis dan sopan ketika berinteraksi dengan lawan tuturnya.

Komunikasi antarbudaya yang terjadi pada siswa BIPA berlangsung dalam situasi tidak formal. Komunikasi antarbudaya pada siswa BIPA tidak luput dari persoalan hambatan yang mungkin saja menimbulkan kesalahpahaman. Setidaknya terdapat enam hambatan dalam komunikasi antarbudaya, yaitu kecemasan, asumsi kesamaan atau perbedaan, etnosentrisme, stereotip dan prasangka, komunikasi

(9)

nonverbal, dan bahasa (Barna, 1997). Hambatan komunikasi antarbudaya yang terjadi pada siswa BIPA adalah kecemasan, stereotip, komunikasi nonverbal, dan bahasa. Siswa BIPA dengan latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda memungkinkan terjadinya hambatan atau perbedaan dalam proses komunikasi, baik yang disebabkan oleh faktor bahasa maupun faktor budaya yang berkait dengan peristiwa komunikasi. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan semantik pada peristiwa komunikasi yang disebabkan salah pengertian atas bahasa. Ketika berkomunikasi, siswa BIPA merepresentasikan budayanya masing-masing, meskipun mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Itu sebabnya, peristiwa komunikasi siswa BIPA bukan hanya persoalan bahasa namun juga pada persoalan budaya sebab jika terdapat kesalahan tafsir budaya dapat berakibat fatal.

Kesadaran budaya melibatkan pula aspek afektif ketika belajar bahasa kedua (Harzati, 2015). Budaya menjadi pendukung dalam komunikasi antarbudaya sebab melalui budaya, peristiwa komunikasi menjadi lebih nyata dan jelas. Namun budaya pun dapat menjadi penghambat dalam peristiwa komunikasi antarbudaya sebab kebiasaan tertentu dapat membatasi siswa dalam peristiwa komunikasi. Misalnya, kecenderungan siswa Australia (bermula dari kebiasaan – budaya setempat) akan berkomentar tentang penting atau tidaknya mempelajari suatu materi. Dengan lugas, mereka akan mengatakan apa pentingnya belajar materi ini dan apakah materi ini akan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sementara siswa Asia, khususnya Jepang yang cenderung pemalu akan merasa apa yang dilakukan oleh siswa Australia hanya memberikan pengaruh buruk dalam sebuah pembelajaran dan komunikasi. Persoalan budaya yang menjadi ciri atau identitas personal merupakan hal yang harus banyak dipelajari dalam pembelajaran BIPA. Persoalan tafsir bahasa dan cara komunikasi menjadi satu hambatan dalam pelaksanaan kelas BIPA. Untuk mengatasi itu, komunikasi antarbudaya perlu dipahamai oleh siswa BIPA agar tidak muncul prasangka sehingga terjadi kesalahpahaman. Saling memahami, menahan diri, dan mengormati merupakan kunci utama terwujudnya pemahaman komunikasi antarbudaya, untuk menciptakan pemahaman tersebut, mesti difasilitasi melalui berbagai kegiatan bersama yang disertai dengan pembahasan mengenai budaya di dunia yang beragam. Komunikasi antarbudaya siswa BIPA merupakan proses komunikasi yang membangun, memelihara, dan membangun kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk bahasa. Komunikasi antarbudaya siswa BIPA menjadi alat perekat masyarakat, dalam hal ini antarsiswa BIPA di Indonesia.

(10)

SIMPULAN

Bahasa merupakan salah satu hambatan dalam peristiwa komunikasi sesama siswa BIPA. Hal ini disebabkan kemampuan bahasa Indonesia siswa yang berbeda sehingga kemampuan menafsirkan bahasa pun berbeda-beda, selain memang pengaruh budaya asal. Selain menjadi faktor penghambat, bahasa Indonesia menjadi pendukung peristiwa komunikasi sesama siswa BIPA sebab tidak semua siswa BIPA dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Peristiwa komunikasi dapat berlangsung jika adanya kebutuhan yang sama atas suatu hal. Dalam peristiwa komunikasi siswa BIPA, terdapat pola-pola tersendiri yang berkaitan dengan budaya negara asal siswa BIPA. Namun, pemahaman komunikasi antarbudaya dapat menjadi medium komunikasi dan meminimalkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Barna, L. M. (1997). Stumbling blocks in intercultural communication. In Samovar, L. A. (1997).

Intercultural communication (eighth ed). Belmont, ca: Wadsworth Publishing.

Borhan, Z.A. (2006). Pemikiran Tun Abdul Razak terhadap Kebudayaan. “Wacana budaya”. Kuala Lumpur: Pustaka Wira Sdn Bhd.

Friedman, V.J. (2005). Negotiating reality: A theory of action approach to intercultural competence. Management Learning, Vol. 36 (1).

Jenks, C. (2013). Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harzari, A. (2015). Intercultural communication and discourse analysis: The case of Aviation English. Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 192.

Keles, Y. (2013). What intercultural communication barriers do exchange students of Erasmus Program have during their stay in Turkey, Mugla?. Procedia -

Social and Behavioral Sciences, Vol. 70.

Musa, H.H. (2006). Teori Ilmu dan Bahasa: Satu Pandangan Alternatif dari

Sudut Pengajian Melayu Islam demi Meningkatkan yang Terlanjur. “Wacana

budaya”. Kuala Lumpur: Pustaka Wira Sdn Bhd.

Nasrullah, R. (2012). Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Samovar, L. A. (1997). Intercultural Communication: A Reader (eighth ed). Belmont, ca: Wadsworth Publishing Company.

(11)

Sihabudin, A. (2013). Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Mutidimensi. Jakarta: Bumi Aksara.

Yeke, S. (2016). Relationships Between Personality Traits, Cultural Intelligence and Intercultural Communication Competence. Procedia - Social and

Referensi

Dokumen terkait

Padahal sekretaris adalah pekerjaan yang longtime (terus menerus) dan beban kerjanya bisa dikatakan berat tetapi upah yang diterima oleh sekretaris di Bank Syariah

SMA Cenderawasih II adalah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Untuk pencatatan pembayaran siswa pada tiap bulannya, baik yang sudah terjadwal maupun tidak oleh Bagian

Asas tersebut menekankan bahwa realitas tidaklah objektif akan tetapi terejawantahkan dalam pengalaman badaniah (embodied experience). Pengalaman badaniah itu kemudian

LAPORAN LABA RUGI DAN PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN BULANAN PT BANK MESTIKA

Misi utama pendidikan adalah pewarisan ilmu pengetahuan (Transfer of Knowledge), pewarisan budaya (Transfer of Culture), dan pewarisan nilai (Transfer of Value). Karenanya,

Hasil sosialisasi dan pelatihan dapat menambah pengetahuan para kader desa untuk menyampaikan kembali ke masyarakat secara lebih luas baik pembuatan sanitizer

Pada tahap evaluasi penelitian ini, dilakukan beberapa perbandingan hasil temu kembali pada kueri uji berdasarkan metode pembobotan TF- IDF, TF-RIDF dan TF-F1. Kueri yang

Metode Penelitian: Desain penelitian observasional analitik dengan cross sectional dan teknik quasi eksperimental one group pre and post test design. Alat ukur