• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1 Lalu Lintas Komponen Lalu Lintas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1 Lalu Lintas Komponen Lalu Lintas"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7

STUDI PUSTAKA

2.1 Lalu Lintas

Menurut undang-undang no. 22 tahun 2009 lalu lintas didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan manusia di ruang lalu lintas jalan. Sedangkan definisi ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, manusia, dan atau barang yang berupa jalan serta fasilitas-fasilitas pendukung.

2.1.1 Komponen Lalu Lintas

Lalu lintas memiliki tiga komponen pembangun yaitu manusia sebagai pengguna, kendaraan dan jalan yang saling berinteraksi dalam pergerakan kendaraan yang memenuhi persyaratan kelayakan, mengikuti aturan lalu lintas yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang menyangkut lalu lintas dan angkutan jalan melalui jalan yang memenuhi persyaratan geometrik (MKJI 1997).

a. Manusia sebagai pengguna

Peran manusia dalam komponen adalah bisa sebagai pengemudi atau pejalan kaki yang dalam keadaan normal mempunyai kemampuan dan kesiagaan yang berbeda-beda (refleks, waktu reaksi, konsentrasi, dll). Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh keadaan fisik dan mental manusia tersebut, umur serta jenis kelamin dan pengaruh luar seperti cuaca, pengerangan / lampu jalan dan tata ruang

b. Kendaraan

Kendaraan digunakan oleh pengemudi mempunyai karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, percepatan, perlambatan, dimensi dan muatan yang membutuhkan ruang lalu lintas yang secukupnya untuk bisa bermanuver dalam lalu lintas, kendaraan sendiri merupakan unsur lalu lintas diatas roda c. Jalan

Jalan adalah lintasan yang direncanakan untuk dilalui oleh kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki. Jalan tersebut direncanakan untuk mampu mengalirkan aliran lalu lintas dengan lancar dan mampu mendukung beban muatan sumbu kendaraan serta aman, sehingga dapat meredam angka kecelakaan lalu lintas

(2)

2.1.2 Klasifikasi Kendaraan

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997 yang dikeluarkan oleh Bina Marga, klasifikasi kendaraan yang melintas di jalan raya adalah sebagai berikut :

a. Kendaraan Ringan (LV) adalah kendaraan ber as dua dengan 4 roda dan dengan jarak as 2,0-3,0 m (meliputi : mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up dan truk kecil sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

b. Kendaraan Berat (HV)adalah kendaraan bermotor dengan dan atau lebih dari 4 roda (meliputi : bis, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinas sesuai dengan sistem klasifikasi Bina Marga)

c. Sepeda Motor (MC) adalah kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi : sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

d. Kendaraan Tak Bermotor (UM) adalahkendaraan dengan roda yang digerkkan oleh orang atau hewan (meliputi : sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). Catatan : kendaraan tak bermotor dalam laporan ini tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu lintas tetapi sebagai unsur hambatan samping.

2.2 Kapasitas Jalan

Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua-lajur dua-arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur MKJI, (1997).

2.3 Simpang Tak Bersinyal

2.3.1 Kapasitas Simpang Tak Bersinyal

Kapasitas total untuk seluruh lengan simpang adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (C0) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor-faktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap kapasitas (MKJI, 1997)

(3)

Bentuk model kapasitas simpang tak bersinyal menjadi sebagai berikut :

...(2.1) Variabel-variabel masukan untuk perkiraan kapasitas (smp/jam) dengan menggunakan model tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Variabel masukan kapasitas Tipe

Variabel Uraian variabel dan nama masukan Faktor Model

Geometri Tipe simpang IT

Lebar rata-rata pendekat Wt FW

Tipe median jalan utama M FM

Lingkungan Kelas ukuran kota CS FCS

Tipe lingkungan jalan RE

Hambatan Samping SF

Rasio kendaraan tak bermotor PUM FRSU

Lalu lintas Rasio belok-kiri PLT FLT

Rasio belok-kanan PRT FRT

Rasio arus jalan minor QMI/Qtot FMI

(Sumber : MKJI 1997)

a. Kapasitas Dasar (C0)

Kapasitas dasar adalah kapasitas dari suatu persimpangan jalan total untuk suatu kondisi tertentu yang sudah ditentukan sebelumnya (kondisi dasar) Tabel 2.2 Kapasitas dasar (C0)

Tipe Simpang IT Kapasitas dasar (smp/jam) 322 2700 342 2900 324 atau 344 3200 422 2900 424 atau 444 3400 (Sumber : MKJI 1997)

(4)

b. Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW)

Faktor penyesuaian lebar pendekat adalah faktor penyesuaian yang digunakan untuk kapasitas dasar sehubungan dengan lebar pendekat persimpangan jalan Tabel 2.3 Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW)

Tipe Simpang Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW) 422 0,7 + 0,0866 Wi 424 atau 444 0,61 + 0,074 Wi 322 0,076 Wi 324 0,62 + 0,0646 Wi 342 0,0698 Wi (Sumber : MKJI 1997)

c. Faktor penyesuaian tipe median jalan utama (FM)

Faktor penyesuaian tipe median jalan utama adalah faktor penyesuaian yang digunakan untuk kapasitas dasar sehubungan dengan tipe median pada jalan utama

Tabel 2.4 Faktor penyesuaian tipe median jalan utama (FM)

Tipe Median

Faktor penyesuaian median (FM) Tidak ada median jalan utama 1,00 Ada median jalan utama, lebar < 3 m 1,05 Ada median jalan utama, lebar ≥ 3 m 1,20 (Sumber : MKJI 1997)

d. Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)

Faktor penyesuaian ukuran kota adalah faktor penyesuaian yang digunakan untuk kapasitas dasar sehubungan dengan ukuran kota

Tabel 2.5 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS) Ukuran kota Penduduk (Juta) FCS

Sangat kecil < 0,1 0,82

Kecil 0,1 - 0,5 0,88

Sedang 0,5 - 1,0 0,94

(5)

Ukuran kota Penduduk (Juta) FCS

Sangat besar > 3,0 1,05

(Sumber : MKJI 1997)

e. Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor (FRSU)

FRSU adalah faktor penyesuaian kapasitas dasar akibat dari tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tidak bermotor

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan (FRSU) Kelas tipe

lingkungan jalan RE

Kelas Hambatan Samping SF

Rasio Kendaraan tak bermotor pUM

0,0 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25 Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70 Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71 Permukiman Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72 Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73 Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses Terbatas Tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 (Sumber : MKJI 1997)

f. Faktor penyesuaian belok kiri (FLT)

Faktor penyesuaian belok kiri adalah faktor penyesuaian kapasitas dasar akibat belok kiri, dapat dicari dengan menggunakan rumus :

...(2.2)

Dan / atau dapat menggunakan grafik untuk menentukan FLT dengan variabel masukan adalah belok kiri dengan Gambar 2.1

(6)

Gambar 2.1 Grafik rasio belok kiri (Sumber : MKJI 1997)

g. Faktor penyesuaian belok kanan (FRT)

Faktor penyesuaian belok kanan adalah faktor penyesuaian kapasitas dasar akibat belok kanan, dapat dicari dengan menggunakan rumus :

...(2.3)

Dan / atau dapat menggunakan grafik untuk menentukan FRT dengan variabel masukan adalah belok kanan dengan menggunakan Gambar 2.2.

(7)

h. Faktor penyesuaian rasio arus minor (FMI)

Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor adalah faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat dari rasio arus jalan minor

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian rasio arus minor (FMI)

IT FMI PMI 422 1,19 × PMI2 - 1,19 × PMI + 1,19 0,1 - 0,9 424 16,6 × PMI 4 - 33,3 × PMI3 +25,3 × PMI2 - 8,6 × PMI +1,95 0,1 - 0,3 444 1,11 × PMI2 - 1,11 × PMI +1,11 0,3 - 0,9 322 1,19 × PMI 2 - 1,19 × PMI + 1,11 0,1 - 0,5 0,595 × PMI2 + 0,595 × PMI3 +0,74 0,5 - 0,9 342 1,19 × PMI 2 - 1,19 × PMI + PMI + 1,19 0,1 - 0,5 2,38 × PMI2 - 2,38 × PMI +1,49 0,5 - 0,9 324 16,6 × PMI 2 - 33,3 × PMI3 +25,3 × PMI2 - 8,6 PMI + 1,95 0,1 - 0,3 344 1,11 × PMI 2 - 11,1 × PMI +1,11 0,3 - 0,5 0,555 × PMI2 + 0,555 × PMI + 0,69 0,5 - 0,9 (Sumber : MKJI 1997)

Dan / atau dapat menggunakan grafik arus jalan minor untuk menentukan FMI dengan variabel masukan adalah rasio arus jalan minor (PMI)

(8)

2.4 Simpang Bersinyal

Pada umumnya sinyal lalu-lintas dipergunakan untuk astu atau lebih dari alasan berikut (MKJI, 1997) :

a. Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalu-lintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu-lintas jam puncak;

b. Untuk memberi kesempatan pada kendaran dan/atau pejalan kaki dari jalan simpang (kecil) untuk /memotong jalan utam;

c. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu-lintas akibat tabrakan antara, kendaraan-kendaraan dari arah yang bertentangan

Untuk sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu-lintas terutama adalah fungsi dari keadaan geometrik dan tuntutan lalu-lintas. dengan menggunakan sinyal perancang dapat mendistribusikan kapasitas kepada berbagai pendekat melalui pengalokasian waktu hijau pada masing-masing pendekat. Maka dari itu untuk menghitung kapasitas dan perilaku lalu lintas, pertama-tama perlu ditentukan fase dan waktu sinyal yang paling sesuai untuk kondisi yang ditinjau

Gambar 2.4 Konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal (Sumber : MKJI, 1997)

(9)

Perhitungan dilakukan per satuan jam untuk satu atau lebih periode, misalnya didasarkan pada kondisi arus lalu-lintas rencana jam puncak pagi, siang dan sore. Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok-kiri QLT, lurus QST dan belok-kanan QRT) dikonversi dari kendaraan jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per-jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat dan terlawan sebagai berikut :

Jenis Kendaraan emp untuk tipe pendekat : Terlindung Terlawan Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0

Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3

Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4

(Sumber : MKJI 1997)

2.4.1 Kapasitas Simpang Bersinyal

Kapasitas pendekat simpang yang menggunakan sinyal lalu lintas dapat dinyatakan sebagai berikut :

...(2.3)

Di mana :

C = Kapasitas (smp/jam)

S = Arus jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat selama sinyal hijau (smp/jam hijau)

g = Waktu hijau (det)

c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap (yaitu antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama)

Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (S0) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnyam dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya

...(2.4) Tabel 2.8 ekivalen kendaraan penumpang tipe pendekat terlindung dan terlawan

(10)

Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We) :

...(2.5)

Faktor penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut ini : a. Ukuran kota (CS) : jutaan penduduk

b. Hambatan samping (SF) : kelas hambatan samping dari

lingkungan jalan dan kendaraan tak

bermotor

c. Kelandaian (G) : %naik(+) atau turun(-)

d. Parkir (P) : jarak garis henti – kendaraan parkir

pertama

e. Gerakan membelok (RT; LT) : % belok-kanan (RT) % belok-kiri (LT)

2.5 Bundaran Lalu Lintas

Berdasarkan MKJI 1997 kapasitas adalah adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan (tetap) pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (misal : rencana geometrik, lingkungan, komposisi lalu lintas dan sebagainya dengan catatan biasanya dinyatakan dalam kend/jam atau smp/jam)

Bundaran adalah salah satu bentuk persimpangan dan sarana pengontrol yang mengakomodasi arus lalu lintas dalam satu arah. Bundaran mempunyai prinsip bahwa prioritas ada pada arus yang sedang bersirkulasi (Sisiopiku dan Gunda dalam Guntur R. H. dkk, 2011). Persimpangan dimana lalu lintas searah mengelilingi pulau jalan yang berbentuk lingkaran dipertengahan persimpangan. Bundaran lalu lintas mempunyai kapasitas yang sama seperti persimpangan yang dikendalikan dengan lampu lalu lintas. Sebuah bundaran terdiri dari sebuah jalur lalu lintas terarah yang mengitari sebuah pulau yang berada di tengah persimpangan dimana dapat berupa pulau timbul ataupun rata. Jenis bundaran lalu lintas ini menciptakan suatu pergerakan yang berbentuk lingkaran (rotasi) arus lalu lintas, menggantikan gerakan berpotongan dengan serangkaian persilangan. Persilangan harus cukup panjangnya untuk memungkinkan gerakan persilangan untuk mengambil tempat sementara arus

(11)

berjalan terus pada kecepatan yang cukup untuk mempertahankan kapasitas bundaran tersebut

Ada beberapa bentuk bundaran lalu lintas menurut MKJI 1997 yang biasa digunakan dalam pengendalian lali lintas persimpangan, yaitu :

a. Bundaran Lalu Lintas Kecil

Merupakan bundaran dengan diameter yang lebih kecil atau sama dengan 4 meter. Bundaran ini bermanfaat bila tingkat disiplin pemakai jalan tinggi, dan kapasitas pada lengan tidak terlalu tinggi. Bundaran lalu lintas kecil masih lebih baik apabila dibandingkan dengan persimpangan yang tidak memiliki sinyal (prioritas)

b. Bundaran Lalu Lintas Sedang

Bundaran lalu lintas yang memiliki ukuran diameter dari 4 s.d. 25 meter. Bundaran ini yang paling banyak digunakan di indonesia

c. Bundaran Konvensional

Bundaran konvensional memiliki diameter lebih dari 25 meter. Bundaran ini biasanya oleh pemerintah daerah dikombinasikan dengan monumen/patung/air mancur untuk memperindah kota. Kombinasi bundaran dengan monumen ini dapat dilakukan sepanjang objek tersebut tidak mengganggu jarak pandang

d. Kawasan Giratori

Merupakan kawasan tertentu yang dikelilingi oleh jalan, dapat diberlakukan prinsip bundaran untuk mengendalikan lalu lintas disekitar kawasan ini dengan menggunakan prinsip giratori, dimana arus lalu lintas dijadikan satu arah mengelilingi kawasan ini

Berdasarkan rencana geometrik nya bundaran lalu lintas memiliki tipe-tipe sebagai berikut : Tipe Bundaran Radius (m) Jumlah Lajur Masuk Lebar Lajur (m) Panjang Jalinan (m) Lebar Jalinan (m) R 10 - 11 10 1 3.5 23 7 R 10 - 22 10 2 7.0 27 9

(12)

R 14 - 22 14 2 7.0 31 9

R 20 - 22 20 2 7.0 43 9

(Sumber : MKJI,1997)

Dengan adanya tipe-tipe bundaran diatas maka untuk pemilihan tipe bundaran didasari beberapa point sebagai berikut (Taylor J.,2012) :

a. Bundaran efektif digunakan apabila digunakan untuk digunakan antara jalan-jalan yang berukuran dan tingkat arusnya sama

b. Bundaran sangat sesuai dengan persimpangan antara jalan dua lajur maupun jalan empat lajur

c. Perubahan menjadi bundaran dari simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal dapat dilandasi oleh keselamatan lalu lintas, yaitu mengurangi ataupun mencegah kecelakaan baik sesama kendaraan maupun pejalan kaki ketika kendaraan sedang berpotongan

d. Bundaran memiliki kelebihan yaitu mengurangi kecepatan laju kendaraan yang berpotongan dan menyadarkan pengguna kendaraan terhadap resiko bertabrakan

Ukuran Kota (Juta)

Arus Simpang Total (kend/jam) Tipe Bundaran

R 10 -11 R 14 -12 R 14 - 22 R 20 - 22 1,0 - 3,0 < 2.550 2.550 3.350 3.500 - 4.600 0,5 - 1,0 < 2.400 2.400 3.350 - 3.900 NA (Sumber : MKJI,1997)

2.5.1 Kapasitas Bundaran Lalu Lintas

Menurut MKJI 1997, Kapasitas total dari suatu bagian jalinan bundaran adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) untuk kondisi ideal dan faktor koreksi (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan sesungguhnya terhadap kapasitas.

Untuk menghitung kapasitas pada bundaran, dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

(13)

Berikut merupakan variabel-variabel dalam perhitungan kapasitas bundaran MKJI 1997 : Tipe Variabel Variabel Faktor Model Geometri

Lebar jalan masuk rata-rata E

Lebar Jalinan W

Panjang Jalinan L

Lebar / panjang W / L

Lingkungan

Kelas ukuran kota Cs

FCS Tipe lingkungan jalan RE

Hambatan samping SF

Lalu Lintas Rasio kendaraan tidak bermotor pUM FRSU

Rasio Jalinan pW

(Sumber : MKJI, 1997)

a. Parameter geometrik pada jalinan

Parameter geometrik pada jalinan meliputi lebar pendekat (W1,W2), lebar masuk rata-rata (WE), lebar jalinan (Ww) dan panjang jalinan (LW). Pada pendekat dan bagian jalinan yang sisi jalannya banyak digunakan untuk lahan parkir, lebar masuk pendekat pada masing-masing sisi yang dipakai parkir sebaiknya dikurangi 2 m.

Untuk dapat menghitung lebar masuk rata-rata, dapat menggunakan perhitungan dibawah ini :

...(2.7)

Dimana :

WE : Lebar masuk rata-rata

W1 : Lebar jalur pada kaki simpang

W2 : Lebar dari puncak median ke ujung bundaran Tabel 2.11 Variabel perhitungan bundaran

(14)

b. Kapasitas dasar (Co)

Variabel masukan untuk kapasitas dasar yaitu lebar jalinan (WW), rasio lebar masuk rata-rata / lebar jalinan (WE/WW), rasio menjalin (PW) dan rasio lebar/panjang jalinan (WW/LW), dapat menggunakan bantuan gambar sebagai berikut :

c. Faktor lebar jalinan (WW)

Faktor lebar jalinan adalah faktor lebar efektif bagian jalinan pada bagian tersempit. Lebar masing-masing sisi dengan banyaknya hambatan samping sebaiknya dikurangi 2 m. Untuk faktor-WW = 135 × WW1,3 dapat digunakan dengan bantuan gambar 2.6 dibawah ini :

(15)

Gambar 2.6 Grafik perbandingan lebar jalinan dengan faktor-WW (Sumber :MKJI 1997)

d. Faktor lebar masuk rata-rata dengan lebar jalinan

Faktor lebar masuk rata-rata dengan lebar jalinan atau faktor- =

dapat ditentukan juga dengan gambar 2.7 dibawah ini :

Gambar 2.7 Grafik perbandingan lebar masuk rata-rata dan lebar jalinan dengan faktor- = (Sumber : MKJI 1997)

(16)

Faktor rasio jalinan adalah faktor rasio antara arus jalinan total dan arus total atau faktor-PW = (1-PW/3)0,5 menggunakan gambar 2.8 dibawah ini :

Gambar 2.8 Grafik perbandingan rasio jalinan dengan faktor-PW = (Sumber : MKJI 1997)

Dengan rasio jalinan (PW) menggunakan rumus : Tabel 2.12 Rasio jalinan

Bagian Jalinan

Arus LL sesungguhnya Arus LL Jalinan Rasio Jalinan

(Q) (QW) (pw)

AB QAB = a+b+c+g+j+k QWAB = a+b+g+k QWAB/QAB BC QBC = d+e+f+a+b+j QWBC = d+e+b+j QWBC/QBC CD QCD =g+h+i+d+e+a QWCD = g+h+e+a QWCD/QCD DA QDA = j+k+l+d+g+h QWDA = j+k+h+d QWDA/QDA (Sumber : MKJI 1997)

(17)

Gambar 2.9 Bagian jalinan bundaran (Sumber : MKJI, 1997)

f. Faktor lebar jalinan dengan panjang jalinan

Faktor lebar jalinan dengan panjang jalinan yaitu lebar efektif dengan panjang efektif dalam sebuah jalian atau faktor- = menggunakan gambar 2.10 dibawah ini :

Gambar 2.10 Grafik perbandingan lebar jalinan dan panjang jalinan dengan faktor-= (Sumber : MKJI 1997)

2.5.2 Derajat Kejenuhan Bundaran

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997 Derajat kejenuhan (DS) adalah rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Untuk menghitung derajat kejenuhan pada suatu ruas jalan perkotaan atau dalam kasus ini pada bundaran adalah sebagai berikut :

...(2.8)

Dimana :

(18)

C = Kapasitas (smp/jam)

2.5.3 Faktor Penyesuaian

Faktor penyesuaian untuk jalinan bundaran terdiri dari tipe lingkungan jalan, hambatan samping, kendaraan tak bermotor dan ukuran kota yang ditunjukkan dengan tabel-tabel dibawah ini :

Tabel 2.13 Tipe Lingkungan Jalan dan Hambatan Samping Kelas tipe

lingkungan jalan RE

Kelas Hambatan Samping SF

Rasio Kendaraan tak bermotor pUM

0,0 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25 Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70 Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71 Permukiman Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72 Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73 Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses Terbatas Tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 (Sumber : MKJI,1997)

Tabel 2.14 Tipe Lingkungan Jalan

Komersial Guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. Permukiman Guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan

kaki dan kendaraan

Akses Terbatas Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb.) (Sumber : MKJI,1997)

Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota Ukuran Kota Jumlah Penduduk (Juta) Sangat Kecil < 0,1 Kecil 0,1 - 0,5 Sedang 0,5 - 1,0 Besar 1,0 - 3,0 Sangat Besar > 3,0 (Sumber : MKJI,1997)

(19)

2.6 Bundaran Bersinyal

Menurut Taylor J. (2012), geometrik bundaran bersinyal sama dengan standart geometrik bundaran tidak bersinyal, dengan tambahan sinyal lalu lintas pada setiap lengan dan pada pulau. Menurut TLSM, (2005) dalam Azhar A-M. dan Svante B. (2011), sinyal lalu lintas untuk bundaran mengurangi angka kecelakaan sebesar 28%.

Penambahan sinyal atau lampu lalu lintas pada bundaran menambah kontrol dari simpang tersebut. Jarak yang dibutuhkan pengendara untuk menjaga kendaraan sebelum memasuki lengan atau bundaran dapat dihilangkan serta dapat mengatur fase dan waktu fase-fase untuk mendapatkan flow lalu lintas yang maksimal pada persimpangan. Juga penambahan sinyal lalu lintas pada bundaran memberikan keamanan dan kenyamanan untuk pejalan kaki.

Dibawah ini adalah struktur pergerakan yang digunakan untuk bundaran bersinyal pada bundaran pondok indah. Lengan simpang adalah A, B, C, D dan fase dalam bundaran adalah E, F, G, H

Gambar 2.11 Detail-detail rambu dan marka jalan bundaran (Sumber : Taylor J., 2012)

(20)

Dapat dilihat pada gambar untuk pergerakan umum kendaraan yang melewati bundaran bersinyal bergerak mengikuti arah jarum jam. Untuk waktu kuning pada bundaran bersinyal pada umumnya memiliki waktu 2-3 detik, dengan begitu kendaraan terakhir di lengan tertentu memiliki waktu untuk masuk ke bundaran tanpa harus memperhitungkan celah atau gap tertentu kendaraan yang sedang berada pada bundaran.

Menurut The County Surveyors’ Society (1997) dalam Natalizio E. (2005), Alasan penambahan sinyal lalu lintas pada bundaran survey mereka di 49 jalan yang menggunakan bundaran bersinyal antara lain :

a. Kontrol antrian 42% b. Peningkatan kapasitas 39% c. Penurunan angka kecelakaan 17%

d. Berdekatan dengan tempat yang memiliki lampu lalu lintas 16% e. Alasan Lain 13%

2.6.1 Kapasitas Bundaran Bersinyal

Bundaran yang memiliki sinyal lalu lintas memiliki beberapa keuntungan yaitu seperti pengendara tidak perlu lagi memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memasuki bundaran dan mengatur antrian sehingga mempengaruhi kapasitas bundaran tersebut ketika saturated flow period (Taylor J., 2012).

Gambar 2.12 Pergerakan umum bundaran (sumber : Taylor J. 2012)

(21)

Tetapi penambahan sinyal ini membuat arus lalu lintas pada bundaran hampir sama seperti simpang bersinyal biasa karena arus kendaraan diatur oleh lampu lalu lintas, yang akhirnya tidak efektif ketika kepadatan lalu lintas pada simpang rendah dan mengakibatkan kendaraan harus berhenti pada fase tertentu sedangkan kepadatan kendaraan yang terjadi di kaki simpang bundaran sangat rendah. Kapasitas bundaran bersinyal mengadaptasi dari perhitungan simpang bersinyal, sehingga menurut AKÇELIK R. (2011) dalam Taylor J. (2012) Entry capacity yang digunakan agar bundaran bersinyal bekerja dengan efektif dan baik adalah sebagai berikut :

...(2.9)

Dimana :

Q = Capacity (veh/hr)

s = Saturation flow rate (queue discharge)(veh/hr) u = Proportion of time vehicles can depart from the queue Tl = Total lane

Tp = Total phase

Untuk mendapatkan saturation flow rate untuk kendaraan yang memasuki bundaran bersinyal dapat digunakan rumus sebagai berikut :

...(2.10)

Dimana :

hs = queue discharge headway (seconds)

Menurut Shao C., (2012) untuk mendapatkan queue discharge headway dapat digunakan rumus sebagai berikut :

(22)

Dimana :

tr = waktu respon pengendara (seconds) Lhj = space antrian per kendaraan (meter) vs = kecepatan kendaraan di antrian

Untuk mendapatkan nilai queue discharge headway untuk perhitungan maka diperlukan beberapa sample agar nilai dapat mewakili dengan rumus berikut :

...(2.12)

Dimana :

= queue discharge headway rata-rata

= queue discharge headway

= jumlah sample

Dan untuk mendapatkan waktu kendaraan untuk lepas dari antrian pada simpang dapat digunakan rumus berikut :

...(2.13)

Dimana :

g = waktu hijau efektif (detik) c = waktu siklus (detik)

Ada tiga point yang membedakan kapasitas bundaran bersinyal dan simpang bersinyal berkaitan dengan kapasitas yang bisa ditanggung yaitu :

a. Geometrik dari simpang tersebut, baik itu bundaran atau simpang bersinyal b. Kemampuan untuk menampung kendaraan yang masuk dari lengan simpang

ke bundaran

c. Penggunaan geometrik dari bundaran untuk penggunaan fase lebih efektif saat tidak ada kendaraan atau kepadatan lalu lintas pada bundaran rendah

(23)

2.7 Lampu Lalu Lintas

Sinyal lalu lintas atau biasa disebut dengan lampu lalu lintas menurut UU no. 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan : alat pemberi isyarat lalu lintas APILL adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas yang terpasang pada persimpangan jalan, zebra cross, dan tempat arus lalu lintas lainnya. Lampu ini berfungsi untuk menandakan kendaraan kapan harus berjalan dan kapan harus berhenti secara bergantian dari berbagai arah. Pengaturan lalu lintas pada simpang dimaksudkan untuk mengatur gerak kendaraan agar bergerak secara bergantian sehingga tidak saling mengganggu dan mengurangi konflik arus lalu lintas yang ada

Tujuan pemasangan lampu lalu lintas menurut MKJI 1997 adalah sebagai berikut :

a. Menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalu lintas yang berlawanan, sehingga kapasitas persimpangan dapat dipertahankan selama keadaan lalu lintas puncak

b. Menurunkan frekuensi kecelakaan

c. Mempermudah menyebrangi jalan utama bagi kendaraan dan pejalan kaki dari jalan minor

2.7.1 Jenis Lampu Lalu Lintas

Berdasarkan cakupannya lampu lalu lintas terbagi menjadi tiga yaitu : a. Lampu lalu lintas terpisah

Pengoperasian lampu lalu lintas terpisah ini ditempatkan pada suatu persimpangan saja tanpa memperhitungkan dan mempertimbangkan simpang-simpang yang lainnya

b. Lampu lalu lintas terkoordinasi

Untuk pengeoperasian lampu lalu lintas ini pemasangannya pada suatu simpang mempertimbangkan beberapa simpang lainnya yang terdapat pada arah tertentu

c. Lampu lalu lintas jaringan

Pengoperasian lampu lalu lintas jaringan ini pemasangannya pada suatu simpang mempertimbangkan beberapa simpang lainnya yang terdapat pada satu kawasan yang sama

(24)

Berdasarkan cara pengoperasian waktu pada lampu lalu lintas terbagi menjadi dua yaitu:

a. Fixed time traffic signal

Lampu lalu lintas yang menggunakan fixed time traffic signal pada pengoperasiannya menggunakan waktu yang tidak berubah

b. Actuated traffic signal

Lampu lalu lintas yang menggunakan Actuated traffic signal pada pengoperasiannya menggunakan pengaturan waktu tertentu dan dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan kedatangan kendaraan dari berbagai simpang

Tujuan pemasangan sinyal lalu lintas pada persimpangan antara lain menghindari hambatan karena adanya perbedaan arus jalan bagi pergerakan kendaraan dan memfasilitasi persimpangan antara jalan utama untuk kendaraan dan pejalan kaki dengan jalan sekunder sehingga kelancaran arus lalu lintas dapat terjamin.

Menurut Dryland D. R.(2007), berdasarkan pemodelan yang ada, sinyal lalu lintas hanya dibutuhkan pada jam puncak pagi hari (AM Period). Namun untuk lampu lalu lintas yang bekerja hanya sebagian waktu membutuhkan biaya yang beragam sehingga sinyal lalu lintas harus menyala selama 24 jam sehari agar tidak terjadi kebingungan publik. Menurut The County Surveyors’ Society (1997) dalam Ridding C. (2009), survei terbaru menunjukkan lampu lalu lintas yang menggunakan sebagian waktu turun dari 36% pada tahun 1997 menjadi 14% pada tahun 2009

2.8 Road Map dan Perbandingan antara Penelitian ini dengan Penelitian

Sebelumnya

Tabel 2.16 Road Map Penelitian

Indikator Natalizi o E., 2005 Dryland D. R. 2007 Ridding C., 2009 Guntur R. H. dkk 2011 Azhar A-M dkk 2011 AKÇELIK R., 2011 Taylor J. 2012 Apriani S. Dkk 2013 Simpang Bundar

an Bundaran Bundaran Bundaran Bundaran Bundaran Bundaran Bundaran

(25)

Indikator Natalizi o E., 2005 Dryland D. R. 2007 Ridding C., 2009 Guntur R. H. dkk 2011 Azhar A-M dkk 2011 AKÇELIK R., 2011 Taylor J. 2012 Apriani S. Dkk 2013

Lokasi Italia Australia Inggris Indonesia Swedia Australia Australia Indonesia

Metode aaSIDR A v. 1.0.4 - - MKJI 1997 TRANSYT SIDRA INTERSECTIO N LinSig Models MKJI 1997

Berdasarkan tabel diatas yang dapat diambil untuk dijadikan perbandingan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Apriani S., Dkk., (2013) telah melakukan penelitian tentang bundaran tak bersinyal yang terletak di kabupaten Garut. Penelitian ini membahas kapasitas, derajat kejenuhan dan tundaan menggunakan metodologi penelitian MKJI, (1997).

b. Taylor J., (2012) melakukan penelitian tentang bundaran bersinyal yang terletak di Queensland, Australia dan membahas Standard Phasing dan UK

Phasing menggunakan metode AKÇELIK R., (2011) dan LinSig Models

untuk membandingkan kapasitas, tundaan dan waktu siklus antara bundaran bersinyal dan bundaran tak bersinyal

c. Guntur R. H., Dkk., (2011) melakukan penelitian tentang bundaran tak bersinyal di simpang bundaran Ketapang Cepu, menggunakan metode MKJI, (1997) untuk mencari arus lalu lintas (Q), kapasitas (C), derajat kejenuhan (DS) dan menganalisa kondisi eksisting bundaran, kemudian membandingkan analisa terukur dan terhitung

Perbedaan ketiga penelitian diatas dengan penelitian yang akan penulis bahas, penelitian ini mengenai bundaran bersinyal yang terletak di Pondok Indah, menggunakan hitungan manual dari MKJI, (1997) dan hitungan manual dari AKÇELIK R., (2011) untuk mendapatkan kapasitas (C) terhitung yang kemudian dibandingkan dengan volume lalu lintas terhitung berdasarkan survey dan dimasukkan ke perhitungan derajat kejenuhan (DS) MKJI, (1997).

(26)

2.9 Hipotesa Awal Penelitian

Hipotesa awal dari penelitian ini adalah kapasitas teoritis dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997) lebih kecil dari perhitungan kapasitas AKÇELIK R., (2011) akibat dari penambahan lampu lalu lintas serta kapasitas teoritis memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan volume lalu lintas berdasarkan survey

Gambar

Tabel 2.1 Variabel masukan kapasitas  Tipe
Tabel 2.4 Faktor penyesuaian tipe median jalan utama (F M )
Gambar 2.1 Grafik rasio belok kiri (Sumber : MKJI 1997)  g.  Faktor penyesuaian belok kanan (F RT )
Tabel 2.7 Faktor penyesuaian rasio arus minor (F MI )
+7

Referensi

Dokumen terkait

DS : Rasio dari arus Lalulintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat.

DS : Rasio dari arus lalu lintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat.

Penelitian ini akan mengevaluasi tingkat pelayanan jalan berdasarkan nilai Derajat Kejenuhan (DS), yaitu rasio antara volume lalu lintas yang lewat dengan kapasitas aktual suaru

Analisis kinerja ruas jalan perkotaan, dengan indikator kinerja yaitu arus lalu lintas (Q), kapasitas (C), derajat kejenuhan/ Degree of Saturation (DS), kecepatan arus bebas yang

Menurut MKJI, derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas pada bagian jalan tertentu, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja

nilai derajat kejenuhan (DS) pada umumnya masih berada di nilai batas 0.54 (MKJI, 1997) dengan tingkat pelayanan jalan berada pada kategori B kondisi arus lalu lintas

Pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997) menjelaskan bahwa kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan (tetap) pada suatu bagian jalan

Berdasarkan perhitungan arus lalu lintas dan kapasitas maka didapat derajat kejenuhan Ruas Jalan Mangga dua sebagai berikut :.. Derajat kejenuhan merupakan salah satu