I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi alam Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis merupakan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga Indonesia dikenal sebagai mega biodiversity country. Salah satu keanekaragaman hayati yang menjadi perhatian dunia selain hutan hujan tropis adalah terumbu karang. Terumbu karang Indonesia dengan luas 51.000 km2, (sekitar 51% terumbu karang di Asia atau 18% terumbu karang di dunia), menduduki peringkat terluas ke 2 di dunia setelah Australia. Terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia yang dikenal sebagai “Coral Triangle Center” (meliputi wilayah Indonesia bagian timur, sebagian Malaysia, Phillipina, Papua New Guinea dan Solomon seluas 5,7 juta km2) yang merupakan rumah bagi lebih dari 600 spesies karang dan 3000 spesies ikan karang, sehingga mendapat prioritas utama dunia untuk konservasi laut (TNC, 2006).
Akan tetapi dampak berbagai kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan telah mengancam keberadaan keanekaragaman hayati. Dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang Indonesia semakin meningkat dari 10% menjadi 50%. Hasil pemantauan COREMAP tahun 2000, kondisi terumbu karang di Indonesia 41% dalam keadaan buruk, 30% sedang, 23% bagus dan kira-kira hanya 6% yang kondisinya sangat bagus. Hal ini disebabkan selain oleh dampak perubahan iklim juga oleh kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang tidak bertanggung jawab, seperti penangkapan ikan berlebih, penggunaan alat tangkap yang merusak, penggunaan bom dan racun sianida, pencemaran, sedimentasi, penambangan dan pembangunan kontruksi pantai. Selain terumbu karang, hutan mangrove Indonesia juga mengalami penyusutan, dari 5,2 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha pada tahun 1987, dan 2,4 juta ha pada tahun 1993 akibat konversi lahan dan penggunaan sebagai bahan baku industri (Dahuri et al, 2001).
Demi menjaga keberadaan keanekaragaman hayati tersebut dilakukan konservasi, suatu upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati. Untuk itu pemerintah Indonesia berusaha memperbaiki sistem pengelolaan bagi terciptanya keseimbangan
antara pemanfaatan dan perlindungan untuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Dalam Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009 (DKP, 2005) disebutkan bahwa sasaran pembangunan kelautan antara lain adalah :
1). Meningkatnya luas kawasan konservasi laut;
2). Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, dan berbasis masyarakat;
3). Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut;
4). Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efisien dan berkelanjutan; dan
5). Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
Salah satu bentuk kawasan konservasi adalah taman nasional, suatu kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (McKinnon et al, 1993). Dalam UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) disebutkan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Bentuk dan sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan secara explicit tidak dibedakan dengan kawasan konservasi darat.
Kawasan konservasi laut pertama di Indonesia, yaitu Cagar Alam Laut Banda, ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tahun 1973. Sampai saat ini, telah ditetapkan kawasan konservasi laut seluas lebih dari 5,5 juta ha (meliputi kawasan cagar alam laut, taman nasional laut, suaka margasatwa laut dan taman wisata alam laut) yang tersebar di 42 lokasi, delapan diantaranya merupakan taman nasional laut yaitu Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Teluk Cendrawasih, Bunaken, Taka Bone Rate, Kepulauan Wakatobi, Kepulauan Togean dan Rawa Opa (Soemarsono, 1995; Supriharyono, 2000; Wiratno et al, 2004; dan Widada dan Kobayashi, 2006).
Mengingat luasan dan keragaman ekosistem yang ada, Taman Nasional Karimunjawa, Teluk Cendrawasih dan Laut Banda mendapat prioritas secara
nasional maupun regional Asia Timur oleh IUCN/CNPPA untuk dapat ditingkatkan sistem pengelolaannya (Bleakley dan Wells, 1995).
Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi seperti diamanatkan dalam pasal 34 UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan konservasi laut adalah Departemen Kehutanan. Namun dalam penjelasan pasal 13 (1) UU no 31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa penetapan kawasan konservasi, termasuk taman nasional perairan ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). DKP sampai saat ini telah menetapkan 14 kawasan konservasi laut daerah dengan total luas 1,495,967,53 ha, selain itu masih ada 10 calon lokasi lagi seluas 12,131,493,53ha dan diharapkan pada akhir tahun 2010 kawasan konservasi laut daerah dapat mencapai 10 juta ha (DKP, 2005). Hal ini menunjukkan adanya kewenangan ganda antara Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi laut.
Salah satu kawasan konservasi laut yang ditetapkan Departemen Kehutanan pada tahun 1988 adalah Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ), yaitu suatu gugusan 22 pulau seluas 111.625 ha di Laut Jawa yang terletak sekitar 60 mil laut di sebelah utara Semarang. Martoyo (1998) menyebutkan sumberdaya alam di kawasan TNKJ meliputi ekosistim bahari yang terdiri atas terumbu karang dengan ikan hiasnya, rumput laut dan padang lamun, hutan mangrove; dan ekosistem daratan, yang meliputi hutan tropis dataran rendah dan hutan pantai. Menurut Dutton et al (1993), keanekaragaman sumberdaya perikanan di Kepulauan Karimunjawa tidak kalah dan bahkan berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan Kepulauan Seribu.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Karimunjawa masih tergolong rendah, dimana sekitar 90% masyarakat berpendidikan sampai tingkat sekolah dasar, dan 60,34% berprofesi sebagai nelayan (BTNK, 2008) dengan tingkat ketergantungan terhadap sektor perikanan 71,68% (Wibowo, 2006). Kegiatan utama pemanfaaan sumberdaya pesisir dan laut Karimunjawa meliputi penangkapan ikan, budidaya, dan pariwisata dimana tipe pemanfaatannya cenderung bersifat terbuka (open access), sehingga setiap orang berusaha untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut. Perikanan sebagai kegiatan utama masyarakat masih bersifat tradisional dan masih ditemukan kegiatan
penangkapan yang tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan kerusakan sumberdaya TNKJ.
Salah satu kerusakan sumberdaya yang dimonitor adalah terumbu karang, dimana berdasarkan hasil monitoring Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2003-2006 dan laporan BTNK (2007) terdapat penurunan rata-rata tutupan karang di kedalaman 10 m dari 60,30% pada tahun 2000 menjadi 46,03% pada tahun 2006. Menurut Supriharyono (2000), kerusakan habitat terumbu karang di Karimunjawa terjadi karena adanya praktek pengambilan karang hidup untuk hiasan aquarium, karang mati untuk bahan bangunan, penangkapan ikan hias dengan bahan beracun dan penangkapan ikan karang dengan bahan peledak. Hal ini menunjukkan kurang efektifnya sistem pengelolaan TNKJ saat ini karena partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian sumberdaya masih kurang.
Perkembangan implementasi otonomi daerah telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya alam di TNKJ dimana masyarakat setempat dapat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan. Pada tahun 2003, dengan inisiasi awal dari BTNK, telah dibentuk kader konservasi yang kemudian berkembang dengan adanya kelompok pelestari penyu dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di tiap desa. Pada bulan Oktober 2004 telah dibentuk suatu Forum Komunikasi Masyarakat Karimunjawa (FKMK), sebagai wadah organisasi masyarakat yang menangani masalah pengembangan dan pengelolaan kawasan TNKJ dimana pengurusnya merupakan wakil dari KSM.
Pada awal tahun 2005, dengan dukungan dari Pemda Kabupaten Jepara, WCS dan yayasan Taka; BTNK merevisi zonasi TNKJ yang dibuat secara bottom up berdasarkan aspirasi masyarakat. Akan tetapi implementasi rezonasi tersebut belum sepenuhnya berhasil karena masih ditemukan pelanggaran memasuki zona larangan oleh beberapa nelayan, terutama nelayan dari luar daerah. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan, tidak adanya batas zona yang jelas serta kurangnya sosialisasi zona tersebut. Sementara itu belum semua dinas/instansi terkait mengadopsi zonasi tersebut dan rencana pengelolaan TNKJ dalam pengembangan program kegiatan mereka sehingga pemanfaatan sumberdaya di kawasan TNKJ masih bersifat sektoral dan pengelolaannya menjadi kurang efektif. Ketidak-efektifan pengelolaan juga disebabkan adanya ambiguitas kepemilikan lahan, dimana sebagian besar pulau (70%) telah dimiliki perorangan. Bahkan pada awal tahun 2005 ramai dibicarakan penjualan terhadap tujuh pulau melalui website www.varealestate.co.uk yaitu Pulau
Bengkoang, Pulau Geleang, Pulau Kembar, Pulau Kumbang, Pulau Katang, Pulau Krakal Besar dan Pulau Krakal Kecil. Padahal perairan sekitar Pulau Geleang berada dalam zona perlindungan bahkan sebagian perairan Pulau Kumbang ada dalam zona inti. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap sistem zonasi TNKJ yang telah disusun bersama masyarakat.
Co-management atau collaborative management, sering disebut juga participatory management, joint management, shared-management, multi-stakeholder management atau round-table agreement adalah bentuk pengelolaan yang mengakomodasi kepentingan semua pihak dengan mekanisme kerjasama, yang didorong oleh pengakuan hak yang melekat pada setiap pihak, dalam rangka mencapai tujuan bersama, sehingga dimungkinkan semua pihak dapat ikut berpartisipasi untuk berbagi wewenang, tanggung jawab dan keuntungan dalam proses pengelolaan (Borrini-Feyerabend, 1996; NRTEE, 1999). Namun belum semua pihak menyadari arti penting co-management bagi kelestarian fungsi ekologis TNKJ dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat, untuk itu perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang dapat menyatukan berbagai aspirasi dan kepentingan stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya TNKJ dan mensinergikan kegiatan mereka dengan mengikuti prinsip co-management yang semestinya, yaitu adanya kerelaan, kesetaraan peran dan saling kepercayaan, partisipasi aktif, komitmen untuk berbagi disertai adanya dukungan kelembagaan (Wiratno et al, 2004 dan WWF, 2006).
Adapun alasan pemilihan lokasi TNKJ sebagai tempat studi, adalah : 1). Karimunjawa merupakan satu-satunya kawasan konservasi laut berupa
taman nasional di Jawa Tengah yang kondisinya cukup baik (Dutton et al, 1993) dan mendapat prioritas nasional maupun regional Asia Timur (Kelleher dan Kenchington 1992, Bleakley dan Wells. 1995);
2). Karimunjawa merupakan salah satu kawasan unggulan untuk pengembangan pariwisata Jawa Tengah bersama dua lokasi lain, yaitu Borobudur dan Sangiran (Perda Jawa Tengah Nomor 14 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Jateng);
3). Permasalahan pengelolaan yang disebabkan oleh terbatasnya kapasitas pengelolaan, kurangnya pemahaman dan dukungan dari instansi teknis terkait, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam usaha konservasi serta lemahnya koordinasi antar lembaga (Rao,1998; Purwanti, 2000; BTNK, 2004a).
1.2. Rumusan Masalah
Karimunjawa semula ditetapkan sebagai cagar alam laut berdasarkan SK Menhut No. 123/Kpts-II/1986 tanggal 9 April 1986 tentang Penunjukkan Kepulauan Karimunjawa dan perairan laut disekitarnya seluas 111.625 ha yang terletak di Dati II Jepara, sebagai Cagar Alam laut. Hal ini dilakukan mengingat keindahan alam laut yang khas dengan keanekaragaman terumbu karang serta pantai pasir putih yang landai tempat bertelur penyu. Pada tahun 1999 melalui SK Menhut No. 78/ Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999 tentang Perubahan Cagar Alam Karimunjawa dan perairan laut disekitarnya yang terletak di Kabupaten Jepara, Propinsi Dari I Jawa Tengah seluas 111.625 ha menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (BTNK, 2004a). Sasaran utama penetapan taman nasional adalah untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya alam agar proses-proses ekologis di dalamnya dapat terus berlangsung, dan mempertahankan produksi dan jasa bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan (Hardjasoemantri, 1993 dan Agardhy, 1997).
Akan tetapi pemanfaatan TNKJ selama ini kurang memperhatikan kelestarian fungsi kawasan, seperti adanya pelanggaran zona dan kegiatan eksploitasi yang cenderung merusak SDAHE. Sedangkan pengelolaan TNKJ oleh BTNK kurang efektif karena keterbatasan sarana dan prasarana serta dukungan instansi teknis terkait. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001 telah memberi peluang pemerintah daerah untuk ikut serta dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam guna peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Jika hal ini tidak diatur lebih lanjut akan menggangu pencapaian tujuan konservasi akibat adanya kerusakan lingkungan sehingga pemanfaatan sumberdaya tidak dapat berlanjut.
Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan dan untuk mensinkronkan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dalam kawasan TNKJ dilakukan pendekatan co-management. Permenhut no: P.19/ 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam merupakan pedoman pelaksanaan kolaborasi yang dimaksudkan untuk membantu meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam bagi kesejahteraan masyarakat (pasal 2), dimana dalam pelaksanaan proses kerjasama para pihak yang bersepakat tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan (pasal 4 ayat
1) dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk kesepakatan bersama (pasal 5 ayat 1).
Kerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam TNKJ telah berlangsung saat ini, akan tetapi hal ini belum bisa dikategorikan sebagai pengelolaan kolaboratif karena belum sepenuhnya memenuhi prinsip-prinsip kolaborasi tersebut diatas. Selain itu menurut Putro (18 Februari 2007, komunikasi pribadi), dalam co-management dibutuhkan adanya mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan distribusi tanggung-jawab antara pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya secara formal.
Dilihat dari latar belakang penelitian dan permasalahan umum yang dihadapi dalam pengelolaaan TNKJ, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun konsep co-management TNKJ untuk kegiatan pemanfaatan perikanan dan pariwisata. Pertanyaan yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah : 1). Sejauh mana kegiatan pemanfaatan dari sektor perikanan dan pariwisata
dapat menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati TNKJ; 2). Bagaimana dukungan kelembagaan pengelolaan TNKJ, dilihat dari
peraturan, SDM, dana dan penegakan hukum dapat mendukung co-management TNKJ; dan
3). Bagaimana persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKJ; 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan pengelolaan diatas, penelitian ini bertujuan : 1). Menganalisis potensi SDAHE TNKJ dan kegiatan perikanan dan pariwisata
di TNKJ;
2). Menganalisis kebijakan dan kelembagaan pengelolaan TNKJ;
3). Menganalisis persepsi dan partisipasi stakeholder dalam pengelolaan TNKJ; dan
4). Mengidentifikasi faktor kunci co-management ; dan
5). Menyusun konsep co-management TNKJ dalam pemanfaatan perikanan dan pariwisata.
Keluaran penelitian merupakan suatu arahan kebijakan sebagai rekomendasi untuk penataan kegiatan pemanfaatan kawasan TNKJ bagi sektor perikanan dan pariwisata. Secara rinci manfaat dari penelitian ini adalah :
1). Bagi pemerintah; sebagai suatu sumbangan pemikiran tentang komponen yang harus disiapkan dalam penyusunan co-management kawasan konservasi;
2). Bagi masyarakat; sebagai bahan informasi tentang peluang (ruang) berpartisipasi dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bagi kelangsungan hidupnya; dan
3). Bagi ilmu pengetahuan; sebagai acuan dan referensi bagi peneliti lainnya untuk mengembangkan pengetahuan tentang co-management sebagai pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara lebih komprehensif.
1.4. Kerangka Pemikiran
Pengelolaan taman nasional, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 ayat 1 UU no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAHE) dan pasal 35 PP no. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dilaksanakan oleh pemerintah; untuk tujuan kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun pola pengelolaan SDA yang terpusat dan tidak memberi ruang bagi peran serta masyarakat secara adil dan setara ternyata pemerintah tidak mampu melindungi kawasan konservasi beserta keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.
TNKJ ditetapkan sebagai KPA karena potensi keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Pengelolaan TNKJ bertujuan melindungi sistem penyangga kehidupan, melestarikan keanekaragaman plasma nutfah dan menjamin pemanfaatan yang lestari. Namun pemanfaataan potensi SDAHE TNKJ untuk kegiatan perikanan dan pariwisata cenderung merusak keutuhan SDAHE TNKJ sehingga dapat menggangu fungsi kawasan. Sementara kelembagaan pengelolaan TNKJ belum mampu melindungi dan mengamankan kawasan karena keterbatasan kapasitas dan dukungan lembaga terkait. Co-management sebagai suatu pendekatan pengelolaan berbasis kemitraan akan ditelaah kemungkinannya untuk digunakan sebagai pendekatan dalam pengelolaan TNKJ sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Agar co-management dapat berjalan efektif, maka digunakan prinsip-prinsip co-management sebagai batu uji partisipasi stakeholders (Wiratno et al, 2004) dan adanya kerelaan dan kesadaran dari stakeholder untuk saling menghormati, saling menghargai, saling percaya, dan saling memberikan kemanfaatan (permenhut no: P.19/ 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA), ada dukungan kelembagaan dan mekanisme peningkatan kapasitas (NRM, 2002 dan WWF, 2006).
Gambar 1 Kerangka pemikiran. 1.5. Novelty
Penerapan co-management dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah banyak diterapkan. Namun demikian, berbagai prinsip dari co-management itu sendiri belum sepenuhnya diterapkan; atau kalaupun ada, penerapannya sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi setempat. Selain itu penerapan co-management dalam pengelolaan kawasan konservasi tidak selalu diikuti dengan perumusan kebijakan penataan kelembagaannya sehingga masing-masing stakeholders berjalan sendiri-sendiri. Novelty penelitian ini adalah mencoba memperbaiki kekurangan dan kelemahan penerapan konsep co-management dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam pengaturan kegiatan perikanan dan pariwisata.