• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV GUGUS III KECAMATAN BUSUNGBIU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV GUGUS III KECAMATAN BUSUNGBIU"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV

GUGUS III KECAMATAN BUSUNGBIU

Putu Budi susila

1

, Drs. Dewa Kade Tastra,M.Pd

2

, Drs. I Gst. Ngurah Japa, M.Pd

3

1,3

Jurusan PGSD,

2

Jurusan TP, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: (dodix_bsb@yahoo.co.id, tastradewa@yahoo.com

ngrjapa_pgsd@yahoo.co.id) @undiksha.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran matematika dalam pembelajaran konvensional. (2) kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran matematika dalam pembelajaran berbasis masalah. (3) perbedaan yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran Konvensional Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Gugus III Kecamatan Busungbiu. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD Negeri yang ada di gugus III Kecamatan Busungbiu yang berjumlah 141 orang. Sampel penelitian ini, yaitu siswa kelas IV SD Negeri 2 Bengkel yang berjumlah 16 orang dan siswa kelas IV SD Negeri 3 Bengkel yang berjumlah 15 orang. Data hasil belajar Matematika siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes essay dan data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelompok eksperimen tergolong tinggi dengan rata-rata 16,56, sedangkan hasil belajar siswa kelompok kontrol tergolong sedang dengan rata-rata 11,43. Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada siswa kelas IV gugus III kecamatan Busungbiu ( ,

tabel hitung t

t  thitung = 4,77 dan ttabel =2,43). Dengan demikian, model

pembelajaran berbasis masalah berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis matematika siswa.

Kata kunci: PBM, berpikir kritis.

Abstract

This study was aimed to determine (1) the students’ ability in critical thinking for mathematics in conventional learning, (2) the students’ ability in critical thinking for mathematics in problem-based learning, (3) a significant difference between a group of students who studied by using problem-based learning and a group of students who studied by using conventional learning through the students’ ability in critical thinking to the mathematics in the fourth grade of Gugus III at Busungbiu District. This study was quasi-experiment. The population was all the fourth grade students of elementary school in Gugus III at Busungbiu district which consist of 141 students. The sample of this research are the fourth grade students in SD Negeri 2 Bengkel which consist of 16 students and the fourth grade students in SD Negeri 3 Bengkel which consist of 15

(2)

students. The data was collected by using essay-test and was anylized by the descriptive statistic analyses and infrantial statistic (t-test). The result shous that the students’ learing result in the experimental group is high with the average 16,56. While the students’ learing result in control group is in the moderate with the a average 11,43. There are significant differences between the students’ ability of critical thinking who used problem-based learning and the students who used conventional learning model to the students in the fourth-grade students in Gugus III Busungbiu district ( ,

tabel hitung t

t  tvalue

= 4,77 dan ttable =2,43). It is concluded that problem-based learning is able to influence

the critical thinking of students’ ability for mathematics lesson. Keywords : PBL, critical thinking.

PENDAHULUAN

Matematika merupakan mata pelajaran yang mempunyai peranan penting, baik penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan lain. Akan tetapi, pada kenyataannya banyak siswa yang masih beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit, menakutkan dan membosankan, karena sifatnya yang abstrak. Hal ini dapat mengakibatkan siswa menjadi malas dan kurang berminat dalam mempelajari matematika, yang berdampak pada rendahnya kemampuan siswa berpikir secara matematis, sehingga berakibat pada kurangnya kemampuan siswa dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari. Seperti halnya ilmu yang lain matematika memiliki aspek kreatif dan juga aspek terapan atau praktik. Sebagaimana tercantum dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) bahwa diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan umum antara lain untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien serta mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataan dilapangan, pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru, pada umumnya lebih banyak menekankan pada aspek

pengetahuan dan pemahaman,

sedangkan aspek aplikasi, analisis, sintesis, dan bahkan evaluasi hanya

sebagian kecil dari pembelajaran yang dilakukan. Guru selama ini lebih banyak memberi ceramah dan latihan mengerjakan soal-soal tanpa memahami konsep secara mendalam. Keadaan tersebut akan menyebabkan siswa kurang terlatih untuk mengembangkan daya

nalarnya dalam memecahkan

permasalahan dan mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam kehidupan nyata sehingga kemampuan berpikir siswa berkembang tidak maksimal. Untuk itu, agar terjadi pengkontruksian pengetahuan secara bermakna, guru haruslah melatih siswa untuk berpikir lebih kritis dalam

menganalisis maupun dalam

memecahkan masalah yang ada. Dalam hal ini, kemampuan berpikir kritis yang dimaksud adalah usaha yang dilakukan untuk menguasai keterampilan tertentu dalam mengidentifikasi dan menggunakan standar dan kriteria dari bidang logika (Sudiarta, 2008). Siswa yang mampu berpikir kritis adalah siswa yang mampu memahami, memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi permasalahan serta meneliti permasalahan yang diberikan, sehingga mereka mampu menolong dirinya atau orang lain dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi (Rosalin, 2008). Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran yang lebih bermakna dan berpusat pada siswa, yang melibatkan keaktifan siswa tanpa mengabaikan potensi-potensi yang ada pada diri siswa. Potensi yang dimaksud adalah kemampuan dasar siswa dalam belajar matematika. Keterlibatan siswa sangat berguna dalam mengajar matematika, yang meliputi keterlibatan

(3)

secara lisan, keterlibatan secara fisik, dan keterlibatan secara tertulis atau simbolik (Sutawidjaja 1992/1993). Salah satu penyebab rendahnya hasil belajar matematika siswa adalah karena rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika, hal ini disebabkan: (1) siswa tidak mendapat kesempatan untuk menemukan sendiri suatu konsep pembelajaran karena guru menyajikan pembelajaran dengan metode ceramah, (2) dalam pembelajaran tidak dipergunakan media yang dapat membantu siswa dalam menguasai suatu konsep pembelajaran, (3) siswa mudah melupakan apa yang telah dipelajari karena siswa belajar hanya dengan hafalan. Rendahnya kualitas proses pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar matematika. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran dibutuhkan metode pembelajaran yang matang secara konseptual dan siap diimplementasikan. Salah satu metode yang dapat diimplementasikan yaitu pembelajaran berbasis masalah.

Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah pembelajaran yang memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk berpikir kritis dalam menyikapi setiap permasalahan yang dihadapinya terutama dalam proses pembelajarannya. Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni pendidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata (Trianto, 2009). Pembelajaran berbasis masalah menyarankan kepada siswa untuk mencari atau menemukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan, menjadikan masalah sebagai sebuah pertanyaan yang mengundang suatu jawaban (Sumiati, 2009). Metode pemecahan masalah merupakan suatu cara untuk mengembangkan gagasan-gagasan kreatif (Edmund, 2005). Menurut Sudjana (2005), teknik pemecahan masalah kritis (critical incident) merupakan teknik yang menggambarkan pengalaman atau masalah yang disusun untuk memancing

perhatian atau perasaan peserta latihan. Pemecahan masalah pada dasarnya adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya, Hudojo (dalam Aisyah, 2008). Pendekatan pemecahan masalah merupakan pedoman yang digunakan dalam mengajar yang sifatnya teoritis atau konseptual untuk melatih siswa

memecahkan masalah-masalah

matematika dengan menggunakan berbagai strategi dan langkah pemecahan masalah yang ada, Skemp (dalam Aisyah, dkk. 2008). Oleh karena itu dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu metode pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru siswa akan berdampak baik pada perkembangan kemampuan berpikir matematis siswa. Keunggulan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu model pembelajaran adalah: 1) realistik dengan kehidupan siswa, 2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa, 3) memupuk sifat inquiry siswa, 4) retensi konsep jadi kuat, 5) memupuk kemampuan problem solving (Trianto : 2009). Beberapa Langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah yaitu, 1) Oreintasi siswa pada masalah, 2) Mengorganisasi siswa untuk belajar, 3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, 4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Manfaat penerapan pembelajaran berbasis masalah adalah dapat menumbuhkan-kembangkan keterbukaan pikiran dan kemampuan berpikir kritis siswa, baik secara individual maupun secara kelompok karena hampir di setiap langkah pembelajarannya menuntut adanya keaktifan siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berpikir kritis yang dimaksud adalah proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental, seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah

(4)

(Rosalin, 2008). Kemampuan dalam berpikir kritis mencakup beberapa hal, yaitu (1) Kemampuan mengidentifikasi asumsi yang diberikan,(2) Kemampuan merumuskan pokok-pokok permasalahan, (3) Kemampuan menentukan akibat dari suatu ketentuan yang diambil, (4) Kemampuan mendeteksi adanya bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda, (5) Kemampuan mengungkap

data/definisi/teorema dalam

menyelesaikan masalah, (6) Kemampuan mengevaluasi argumen yang relevan dalam penyelesaian suatu masalah. Belajar berpikir kritis adalah belajar untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Karena belajar pada dasarnya suatu aktivitas yang disengaja dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dari tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau yang tadinya tidak terampil menjadi terampil (Siddiq, 2008). Dalam pembelajaran matematika agar mudah dimengerti oleh siswa, proses penalaran induktif dapat dilakukan pada awal pembelajaran dan kemudian dilanjutkan dengan proses penalaran deduktif untuk menguatkan pemahaman yang sudah dimiliki oleh siswa. Menurut Sutawidjaja (1992/1993) mengemukakan keterlibatan siswa sangat berguna dalam mengajar matematika. Keterlibatan yang dimaksud meliputi keterlibatan secara lisan, keterlibatan secara fisik, dan keterlibatan secara tertulis atau simbolik.

Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. Serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah. Berdasarkan tujuan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi matematika di sekolah dasar lebih mengutamakan pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Bertolak dari fungsi tersebut, pembelajaran matematika di sekolah dasar seharusnya diperkenalkan mulai dari masalah-masalah kontekstual yang dekat dengan kehidupan anak. Di samping itu, proses pembelajaran harus bersifat interaktif, mengingat pengalaman

anak dengan lingkungan sekitarnya berbeda. Melalui masalah kontekstual siswa dapat menggunakan strategi informal pemecahan masalah sesuai dengan pengalamannya. Apabila dikaitkan dengan tujuan dan karakteristik siswa, pembelajaran matematika di sekolah dasar lebih berorientasi pada permasalahan-permasalahan yang nyata dan dekat dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya siswa diberikan kebebasan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan bantuan peran guru sebagai fasilitator.

Namun harapan tersebut belum terlaksana di lapangan terutama pada mata pelajaran matematika. Dalam proses pembelajaran, guru kurang kreatif memberdayakan suasana pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa agar dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Kenyataannya peran guru belum

maksimal dalam menerapkan

pembelajaran yang bersifat konstruktivis sehingga pembelajaran yang yang dilakukan bersifat monoton. Hal ini menyebabkan pembelajaran yang dilakukan bersifat satu arah, dari guru ke siswa. Pola pembelajaran seperti ini merupakan pola pembelajaran lama atau pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional hanya peran guru yang lebih ditekankan dalam proses pembelajarannya dengan sedikit memperhatikan keaktifan siswa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran konvensional hanya mendorong siswa untuk menghafal konsep yang sudah siap pakai, dan siswa hanya dijejali konsep-konsep matematika tanpa ada proses untuk membentuk konsep apalagi memahami aplikasi dari konsep yang telah dipelajari. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi siswa, karena dalam pembelajaran siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika. Hal ini berdampak pada hasil belajar siswa yang cenderung rendah. Untuk menghindari hal tersebut, sudah

seyogyanya guru matematika

menciptakan suasana pembelajaran yang menarik dan tidak membosankan bagi

(5)

siswa, serta menghindari pembelajaran yang terpusat pada guru.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada penelitian yang dilakukan difokuskan pada pembelajaran berbasis masalah khususnya di sekolah dasar. Pembelajaran berbasis masalah yang dimaksud adalah model belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Dalam pembelajarannya diberikan permasalahan pada awal pelaksanaan pembelajaran oleh guru, untuk dipecahkan dan menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang ada. Pembelajaran berbasis masalah dapat memberikan pemahaman pada siswa lebih mendalam dari segi analisis teori maupun praktek.

Dengan penerapan pengajaran berbasis masalah dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual, belajar peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri Ibrahim dan Nur (dalam Trianto : 2010). Dalam proses pembelajarannya siswa dihadapkan pada masalah yang penuh dengan makna dan siswa diharapkan mampu menggunakan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya, kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk diantaranya adalah kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan berbagai macam strategi untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada siswa kelas IV tahun pelajaran 2013/2014 di gugus III kecamatan Busungbiu.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena tidak semua variabel yang muncul dalam kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat. Populasi

penelitian ini adalah siswa Kelas IV sekolah dasar di gugus III Kecamatan Busungbiu. Sekolah dasar di gugus III Kecamatan Busungbiu berjumlah 8 Sekolah Dasar. Penentuan sampel kelas dilakukan dengan teknik random sampling. Untuk mengetahui kesetaraan kemampuan akademik pada populasi penelitian maka dilakukan Anava satu jalur terhadap data hasil belajar matematika siswa kelas IV pada semester ganjil.

Dari studi dokumentasi diperoleh 8 SD yang memiliki nilai rata-rata kelas tidak jauh berbeda, yaitu SD No. 1 Pelapuan, SD Negeri 2 Pelapuan, SD Negeri 1 Bengkel, SD Negeri 2 Bengkel, SD Negeri 3 Bengkel, SD Negeri 1 Umejero, SD Negeri 2 Umejero, SD Negeri 3 Umejero

Dari 8 kelas yang ada akan dipilih dua kelas secara acak untuk dijadikan sebagai sampel penelitian. Dari dua kelas tersebut, ditetapkan satu kelas sebagai kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan satu kelas sebagai kelompok kontrol dengan

menggunakan pembelajaran

konvensional. Dari pengundian yang dilakukan didapatkan sebagai kelompok eksperimen SD Negeri 2 Bengkel dan yang menjadi kelompok kontrol adalah SD Negeri 3 Bengkel.

Desain Penelitian yang digunakan adalah post-test only control group design. Alasan dipilih desain penelitian ini karena peneliti ingin mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis matematika antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika ranah kognitif yang dikumpulkan melalui tes essay berupa soal cerita. Tes essay yang digunakan telah melalui tahap uji coba sebelum diadakan penelitian oleh para pakarnya, sehingga validitas dan reliabilitas tes tersebut sudah teruji. Kemudian tes hasil uji coba tersebut selanjutnya diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan kontrol sebagai post-test untuk mengukur hasil belajar siswa.

(6)

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis data statistik deskriptif. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menghitung nilai mean, median, modus, standar deviasi, varian, skor maksimum, dan skor minimum. Setelah didapatkan deskripsi data (mean, median, dan modus) maka data yang diperoleh disajikan dalam bentuk grafik polygon distribusi frekuensi. Sedangkan teknik yang digunakan untuk menganalisis data untuk menguji hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan uji-t (polled varians). Untuk dapat melakukan uji hipotesis, ada beberapa persyaratan

yang harus dipenuhi dan perlu dibuktikan. Persyaratan yang dimaksud yaitu: (1) data yang dianalisis harus berdistribusi normal, (2) kedua data yang dianalisis harus bersifat homogen. Untuk dapat

membuktikan dan mememenuhi

persyaratan tersebut, maka dilakukanlah uji prasyarat analisis dengan melakukan uji normalitas data, dan uji homogenitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adapun hasil analisis statistik deskriptif hasil belajar matematika siswa disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi Data hasil belajar

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Data Statistik Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Mean 16,56 11,43 Median 17 10,7 Modus 18 9,50

Berdasarkan Tabel 1, didapatkan mean data hasil belajar Matematika kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan mean data hasil belajar kelompok kontrol (16,56 > 11,43).

Apabila divisualisasikan ke dalam bentuk grafik polygon sebaran data hasil belajar kelompok eksperimen, maka tampak seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik Polygon Data Hasil Belajar matematika Kelompok Eksperimen

Berdasarkan grafik polygon diatas, sebaran data hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen membentuk grafik juling negatif, yang artinya sebagian besar skor siswa cenderung tinggi.

Sedangkan sebaran data kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional (kelompok kontrol) apabila divisualisasikan ke dalam bentuk grafik polygon maka tampak seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Polygon Data Hasil Belajar matematika Kelompok Kontrol

Berdasarkan grafik polygon diatas, sebaran data hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen membentuk grafik juling positif, yang artinya sebagian besar skor siswa cenderung rendah.

Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan beberapa uji prasyarat. Uji prasyarat dilakukan

(7)

terhadap sebaran data hasil penelitian yang meliputi uji normalitas data skor hasil belajar matematika siswa. Uji normalitas dilakukan untuk membuktikan bahwa kedua sampel penelitian bedistribusi normal. Uji normalitas data hasil belajar matematika yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square

( 2

) dengan kriteria, apabila

2

hitung <

2

tabel maka data hasil belajar

matematika siswa berdistribusi normal. Adapun hasil perhitungan dari uji normalitas dapat disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Hasil Belajar matematika Siswa Kelompok Data Hasil Belajar

2hitung

2tabel Status

Kelompok Eksperimen 0,89 5,99 Normal

Kelompok Kontrol 1,57 5,99 Normal

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus chi-kuadrat, diperoleh

2hit data skor hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen adalah 0,89 dan

2tab dengan taraf signifikansi 5% dan db = 2 adalah 5,99. Hal ini berarti,

2hit data skor hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen lebih kecil dari

2tab (

2hit

2tab), sehingga data hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen berdistribusi normal.

hit 2

data skor hasil belajar matematika siswa kelompok kontrol adalah 1,57 dan tab

2

dengan taraf signifikansi 5% dan db = 2 adalah 5,99. Hal ini berarti,

2hit data skor hasil belajar

matematika kelompok kontrol lebih kecil dari

2tab (

2hit

2tab), sehingga data hasil belajar matematika siswa kelompok kontrol berdistribusi normal.

Setelah dilakukan uji prasyarat pertama yaitu uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji prasyarat yang ke dua yaitu uji homogenitas varians. Uji homogenitas varians data hasil belajar matematika dianalisis menggunakan uji F dengan kriteria kedua kelompok memiliki varians homogen jika Fhitung < Ftabel dengan derajat kebebasan untuk pembilang n1–1 dan derajat kebebasan untuk penyebut n2–1. Hasil uji homogenitas varians data hasil belajar matematika dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Varians Data Hasil Belajar IPA Kelompok Data Hasil Belajar F hitung F tabel Status Eksperimen

1,02 2,44 F(Homogen)hitung < Ftabel Kontrol

Berdasarkan tabel di atas, diketahui Fhit data hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen dan kontrol adalah 1,02 sedangkan Ftab (db pembilang = 14, db penyebut = 15, dan taraf signifikansi 5%) adalah 2,44. Hal ini berarti, varians data hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen dan kontrol adalah homogen.

Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. pada Uji hipotesis ini menggunakan uji–t

independent (sampel tak berkorelasi). Uji-t

sampel tak berkorelasi menggunakan rumus uji-t polled varians. Adapun hasil

(8)

analisis untuk uji-t dapat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis

Hasil Belajar Varians n Db thitung ttabel Kesimpulan Kelompok Eksperimen 9 16 29 4,77 2,045 thitung > ttabel (H0 ditolak) Kelompok Kontrol 8,9 15

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh thit sebesar 4,77, sedangkan ttab dengan db = 29 dan taraf signifikansi 5% adalah 2,045. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa, terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada siswa kelas IV gugus III kecamatan Busungbiu.

Deskripsi data hasil penelitian data skor hasil belajar pada kelompok eksperimen yang dibelajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah menunjukkan bahwa skor yang didapatkan siswa cenderung tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.dalam proses pembelajaran yang dilakukan, yaitu Pertama, dalam proses pembelajaran siswa dihadapkan langsung permasalahan dan diberi kebebasan untuk menggali, menyelidiki, menganalisis permasalahan yang ditemukan dan memecahkan permasalahan tersebut secara secara individu maupun berkelompok. Kedua, dalam proses pembelajaran guru hanya berperan sebagai mediator dengan mengajukan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari, dan memfasilitasi atau membimbing siswa dalam melakukan penyelidikan terhadap permasalahan yang tersebut, sehingga siswa menemukan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga, melatih siswa dalam meningkatkan penguasaan konsep dan memecahkan permasalahan, sehingga mengarah pada tingkat kekritisan siswa dalam memecahkan

permasalahan matematika yang tinggi, dan berdampak pada hasil belajar matematika yang tinggi.

Merujuk pada uraian di atas, jika pembelajaran berbasis masalah diterapkan dengan efektif dan efisien pada pembelajaran matematika di sekolah dasar, akan memberikan manfaat berupa pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa yang sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Karena semakin tinggi tingkat kekritisan siswa dalam memecahkan masalah matematika maka, hasil belajar yang dicapai akan semakin baik. Hal ini tampak pada hasil berlajar siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah hasil belajar skor yang diperoleh siswa yang cenderung tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional dengan hasil belajar skor yang diperoleh siswa cenderung rendah. Hal ini disebabkan karena proses pembelajaran secara konvensional lebih didominasi dengan metode ceramah dan penugasan. Sistem pembelajaran konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) hanya dimungkinkan terjadi komunikasi satu arah, yakni dari guru ke siswa. Guru sebagai sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Kondisi demikian tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Siswa seakan mendengarkan guru bercerita di depan kelas menjelaskan materi yang sedang dibahas. Keadaan seperti ini sudah tentu membuat siswa bosan dan jenuh dalam belajar, akibatnya hanya sebagian kecil saja materi yang

(9)

dijelaskan guru dapat dipahami oleh siswa

karena pembelajaran yang dilakukan biasanya lebih didominasi dengan menggunakan metode ceramah dan penugasan yang biasanya dilakukan dengan proses yang sederhana. Hal tersebut sesuai dengan teori pembelajaran konvensional yang diungkap oleh Rasana (2009:21) bahwa, langkah-langkah pembelajaran konvensional antara lain; guru menyampaikan tujuan pembelajaran, guru memberikan informasi tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan, guru menyediakan waktu untuk tanya jawab, guru menugaskan siswa untuk menulis, dan guru menyimpulkan hasil belajar. Dari langkah-langkah tersebut, tampaknya siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran dan terkesan bahwa peran guru masih mendominasi sebagai satu-satunya sumber informasi. Siswa berperan sebagai pendengar yang pasif dan mengerjakan apa yang diinstruksikan guru serta melakukannya sesuai dengan yang dicontohkan. Hal demikian menyebabkan siswa cenderung menghafalkan setiap konsep yang diberikan guru tanpa memahami dan mengkaji lebih lanjut konsep-konsep yang diperolehnya. Kurang pahamnya siswa terhadap konsep-konsep dari materi yang diberikan akan berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa itu sendiri. Oleh karena itu, dari hasil analisis data yang didapat menunjukkan bahwa rata-rata skor hasil belajar matematika siswa dengan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada rata-rata

skor hasil

belajar matematika siswa yang belajar secara konvensional. Perbedaan hasil belajar ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, penerapan pembelajaran berbasis masalah yang efektif dan efisien membuat pembelajaran matematika lebih bermakna, karena siswa tidak hanya sekedar dituntut dapat menyelesaikan atau memecahkan suatu soal atau permasalahan matematika, namun siswa juga dituntut dapat menyusun soal atau pertanyaan sendiri lengkap dengan pemecahannya. Kedua, penerapan pembelajaran berbasis masalah dapat melatih siswa berfikir kritis, kreatif, analitis

dan produktif sehingga siswa terlatih tidak hanya dapat menyelesaikan persoalan yang ada namun juga dapat menciptakan persoalan atau permasalahan matematika baru, dengan demikian penguasaan siswa terhadap konsep-konsep matematika menjadi lebih mantap. Ketiga, penerapan metode pembelajaran berbasis masalah membuat siswa memiliki tanggung jawab lebih, yaitu siswa harus menguasai setiap indikator materi dan konsep-konsep matematika secara jalas, karena hanya dengan cara demikian siswa mampu memecahkan masalah matematika maupun masalah lainnya.

Berbeda halnya dengan

pembelajaran secara konvensional yang membuat siswa lebih banyak belajar matematika secara hafalan. Sistem pembelajaran yang berlangsung hanya berpusat pada guru (teacher centered) sehingga hanya dimungkinkan terjadi komunikasi satu arah. Dalam hal ini guru sebagai sumber informasi dalam proses pembelajaran dan siswa sebagai penerima informasi yang disampaikan oleh guru. Kondisi demikian tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga siswa cepat merasa bosan dan jenuh dalam belajar, akibatnya hanya sebagian kecil saja materi yang dijelaskan guru dapat dipahami oleh siswa. Penerapan pembelajaran secara konvensional dengan metode ceramah dan penugasan yang dilakukan lebih banyak melibatkan aktivitas guru dalam proses pembelajaran sehingga mengakibatkan keaktifan siswa dalam belajar menjadi berkurang. Kondisi demikian menggambarkan siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran dan terkesan bahwa peran guru sangat mendominasi sebagai satu-satunya sumber informasi dalam pembelajaran. Dalam hal ini siswa hanya berperan penerima informasi dari guru sebagai pendengar yang pasif dan mengerjakan apa yang diinstruksikan guru serta melakukannya sesuai dengan yang dicontohkan. Hal demikian menyebabkan siswa cenderung menghafalkan setiap konsep yang diberikan tanpa memahami

(10)

dan mengkaji lebih lanjut konsep-konsep yang diperolehnya. Kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep dari materi yang diberikan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa yang rendah dan akan berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah. Jika dibandingkan dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah, siswa lebih dituntut untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran dan diharapkan mampu memecahkan masalah yang ada untuk ditemukan cara pemecahan masalah tersebut, sehingga pembelajaran yang dilakukan akan lebih bermakna bagi siswa. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang sangat penting dalam memanipulasi pembelajaran agar lebih efektif, sehingga keaktifan dan kreatifitas siswa yang lebih ditonjolkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan.

Hasil penelitian ini memberikan implikasi bahwa pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran matematika dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis matematika siswa.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, 1) Kemampuan berpikir matematika siswa kelompok eksperimen yang dibelajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah tergolong baik atau tinggi dengan. Jika digambarkan ke dalam grafik mengikuti kurva juling negatif, artinya sebagian besar skor hasil belajar matematika siswa cenderung tinggi. Kemampuan berpikir matematika siswa kelompok kontrol yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional tergolong cukup atau sedang. Jika digambarkan ke dalam grafik mengikuti kurve juling positif, artinya sebagian besar skor hasil belajar matematika siswa cenderung rendah. 2) Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada siswa kelas IV gugus III kecamatan Busungbiu. Rata-rata skor hasil belajar

kelompok eksperimen yang dibelajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah lebih besar dibandingkan dengan skor hasil belajar kelompok kontrol yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran matematika kelas IV Gugus III Kecamatan Busungbiu.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diajukan beberapa saran untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan matematika di SD, yaitu sebagai berikut. 1) Rasa ingin tahu siswa pada pembelajaran matematika harus lebih ditingkatkan lagi sehingga pembelajaran selanjutnya bisa lebih aktif lagi, disamping juga siswa diharapkan lebih berani dalam mengungkapkan pendapatnya dan mau bertanya pada saat proses belajar mengajar berlangsung. 2) Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran matematika yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daipada siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Karena itu disarankan kepada Sekolah Dasar di gugus III Kecamatan Busungbiu untuk menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah demi peningkatan kualitas dan tingkat kekritisan siswa dalam memecahkan permasalahan yang ditemui dalam belajar, karena semakin kritis siswa dalam belajar, tentunya hasil belajar yang dicapai akan semakin tinggi. 3) Disarankan pada guru-guru di Sekolah Dasar di gugus III Kecamatan Busungbiu agar dalam pelaksanaan proses pembelajaran hendaknya menerapkan model pembelajaran yang inovatif dan didukun dengan teknik belajar yang relevan, sehingga prestasi belajar siswa akan semakin meningkat. 4) Disarankan bagi peneliti lain yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bidang ilmi matematika maupun ilmu lainnya, agar memperhatikan kondisi siswa, waktu, dan kendala lainnya yang dalami dalam penelitian ini, sebagai bahan

(11)

penyempurnaan penelitian yang akan dilakukan.

DAFTAR RUJUKAN

Aisyah, Nyimas, dkk. 2008.

Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Agung, A.A. Gede. 2012. Metodologi

Penelitian Pendidikan. Singaraja:

Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesa. ---.2010a. Metodologi Penelitian

Pendidikan. Singaraja: Fakultas

Ilmu Pendidikan, Undiksha Singaraja.

Arief Achmad. 2007. “Memahami Berpikir Kritis”. Tersedia pada http://re-searchengines.com/1007arief3.html; 05 Februari 2013; 21:40 wita.

Bachman, Edmund. 2005. Metode Belajar

Berpikir Kritis dan Inovatif. Jakarta:

Prestasi Pustakaraya.

Furqon. 1997. Statistika Terapan Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Hassoubah. 2004. “Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif”. Tersedia pada http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/J UR.PEND.MATEMATIKA/19510106 1976031TATANGMULYANA/File24 KemampuanBerpikirKritisdanKreatif Matematik.pdf; 05 Februari 2013; 22:23 wita.

Koyan, I Wayan. 2009. Statistik Dasar dan

Lanjut (Teknik Analisis Data Kuantitatif). Singaraja: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha. ---.2011. Asesmen Dalam

Pendidikan. Singaraja: Universitas

Pendidikan Ganesha Press.

Rosalin, Elin. 2008. Gagasan Merancang

Pembelajaran Kontekstual.

Bandung: PT Karsa Mandiri Persada.

Rosyada. 2004. “Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif”. Tersedia pada http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/J UR.PEND.MATEMATIKA/19510106 1976031TATANGMULYANA/File24 KemampuanBerpikirKritisdanKreatif Matematik.pdf; 05 Februari 2013; 22:23 wita. Siddiq, M. Djauhar. dkk. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sudjana. 2005. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung:

Falah Production.

Sugiyono. 2010. Statistika untuk

Penelitian. Bandung: CV

ALFABETA.

Sumiati, dkk. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima. Suprapto. 2007. “Keterampilan Berpikir

Kitis”. Tersedia pada

http://repository.upi.edu/operator/upl oad/sd045060146chapter2.pdf; 06 Februari 2013; 04:30 wita.

Sutawidjaja, Akbar. Dkk. 1992/1993.

Pendidikan Matematika 3. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Trianto. 2009. Mendesain Model

Pembelajaran Inovatif-Progresif.

Gambar

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Hasil Belajar matematika Siswa  Kelompok Data Hasil Belajar   2 hitung  2 tabel Status

Referensi

Dokumen terkait

Jika dihitung akumulasi sepanjang bulan Januari hingga Nopember 2014, total nilai impor Sumatera Utara mencapai US$4,62 miliar, mengalami penurunan sebesar 1,94 persen

atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul ”Perbedaan Tingkat Stres pada Pensiunan Pegawai Perhutani Surakarta

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Kepulauan Talaud mengalami penurunan sebanyak 531

Konsentrasi asap cair ampas tebu yang paling optimal dalam menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan kakap putih adalah pada konsentrasi 9% lama penyimpanan 24

2 Beasiswa diberikan paling lama 4 (empat) tahun dengan evaluasi perkembangan akademik setiap semester, dengan ketentr-nn Indeks Prestasi Kurnulatif ( ipKj

Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh sifat dinamika proses geomorfologi pantai yang besar seperti : perubahan garis pantai oleh manusia, dina- mika sedimen yang

Bila mengacu pada pada pengertian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal yang dimaksud adalah