• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru Millenial dalam Perspektif Pendidikan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Guru Millenial dalam Perspektif Pendidikan Islam"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Ach Tijani

IAIN Pontianak Email: [email protected]

Abstrak

Kajian ini berupaya membahas relasi era millenial dengan ketersediaan sosok guru yang relevan dengan perkembangan zaman. Era millenial satu sisi menyajikan berbagai kemudahan sebagai sebuah peluang, tapi di sisi lain juga terdapat tantangan yang relatif lebih besar dari peluang. Alienasi kehidupan manusia, arus informasi yang cepat, serta menurunnya tingkat kebersamaan menjadi tantangan yang harus dituntaskan. Sosok guru yang ideal sangat diharapkan kehadirannya dalam rangka mengimbangi tantangan tersebut dengan peluang yang ada. Melalui kajian analisis filosofis dari berbagai sumber kepustakaan, sosok guru millenial yang ideal dalam perpspektif pendidikan Islam harus memiliki tiga aspek penting seperti Ruhul Rabbani, akhlak wa suluk dan kafaah ‘ilmiyah wa al-idariyah wa al-ibtikariyah.

(2)

Abstract

This study seeks to discuss the relations of the millennial era with the availability of teacher figures that are relevant to the times. The one-sided millennial era presents convenience as an opportunity, but on the other hand there are challenges that are relatively greater than opportunities. The alienation of human life, the rapid flow of information, and the reduced level of togetherness are challenges that must be resolved. The ideal teacher figure is expected to be present in order to balance these challenges with existing opportunities. Through the study of philosophical analysis from various sources of literature, the figure of the ideal millennial teacher in the perspective of Islamic education must have three important aspects such as Ruhul Rabbani, akhlak wa suluk, and kafaah ‘ilmiyah wa al-idariyah wa al-ibtikariyah.

Keywords: Millenial, Millenial Teacher, Islamic Education

A. Pendahuluan

Profesi guru menjadi pilihan banyak orang di Indonesia. Data kemendikbud guru sekolah dasar terdapat 1.277.444 orang, SMP 585.066 orang, dan SMA 161.071 orang dengan jumlah total 2.023.581 orang.1 Sementara guru yang ada di bawah naungan kemenag tercatat

1.159.543 orang.2 Sehingga dengan demikian jumlah guru secara

keseluruhan 3.183.124 orang.

Kisaran jumlah profesi guru di atas berarti sebanding dengan kisaran 7% dari total jumlah penduduk 237.641.326 jiwa (sensus 2010).3

Jumlah tersebut terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk yang berkonsekuensi pada kebutuhan dan ketersediaan guru. Perbandingan data guru dan jumlah total penduduk tidak berarti hanya menunjuk pada tinginya persentase, tetapi juga menunjukkan 1 Lihat statistik data kemendikbud http://statistik.data.kemdikbud.go.id/index.php/ page/smp dikases Juni 2019.

2 http://emispendis.kemenag.go.id/emis2016v1/ diakses Juli 2019. 3 https://sp2010.bps.go.id diakses Juli 2019.

(3)

bahwa kehadiran guru adalah suatu kebutuhan kehidupan yang tidak dapat dielakkan.

Kehadiran guru yang sangat niscaya secara sosiologis, berbanding lurus dengan kebutuhan dasar kehidupan manusia itu sendiri. Guru menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, kehadiran Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas salah satu fungsinya adalah menjadi guru bagi umat manusia.4

Fungsi guru dalam diri Rasulullah disampaikan secara lugas dengan memberikan klarifikasi mengenai profil singkat pribadi Rasulullah yang bukan sebagai pembenci dan bukan pencari kesalahan. Akan tetapi, Rasulullah menunjuk dirinya sebagai seorang guru dan pemberi kemudahan.

Fakta jumlah guru di atas dan keniscayaan kehadirannya menjadi satu kegelisahan tersendiri ketika dihubungkan dengan pesan kenabian Muhammad Saw. Pilihan menjadi guru dan kehadiran guru itu sendiri sejatinya memangku suatu tugas kenabian berkelanjutan yang tidak dapat dimaknai secara sederhana. Guru tidak berarti hanya sebuah profesi duniawi, bukan juga hanya sebagai bagian dari strata sosial yang ada di masyarakat, apakah kemudian guru menjadi bagian dari strata elit atau sebaliknya. Hal yang seperti itu bukanlah persoalan fundamental dalam konstruk profil dari seorang guru.

Tugas profetik yang melekat pada diri guru adalah orang yang mampu mengajari dan memberikan kemudahan. Sebaliknya, guru bukanlah orang yang memusuhi muridnya dan mengeksplorasi kelemahannya. Mengajar tanpa membenci, memberikan kemudahan tanpa merendahkan, keduanya menjadi dua tugas pokok yang secara filosofis hal tersebut harus juga menyatu menjadi diri dari seorang guru.

Dalam merumuskan sosok guru mulai dari unsur esensial kepada hal yang substansial menuju sikap dan aksi tentu memerlukan perbincangan dialektis antara hakikat, fakta, dan konteks yang

(4)

mengitari dari terminologi guru itu sendiri. Fakta di atas yang menunjukkan terdapat 3 juta lebih profesi guru di Indonesia serta keadaan zaman dan pertumbuhannya menjadi dua unsur yang turut penting dalam perumusan sosok guru di era ini. Untuk itu terminologi millennial dengan indikator khas seperti memuncaknya capaian teknologi yang secara implisit juga mempengaruhi gaya kehidupan manusia. Hal ini tentu menjadi landscape dari sosok guru yang diidealkan hadir saat ini.

Landscape millenial dengan kedigdyaan teknologi telah banyak

mempengaruhi kehidupan manusia. Mulai dari persoalan identitas, pemahaman agama, agama dan ruang publik, agama dan relevansinya dengan dunia kontemporer, cara belajar dan ilmu pengetahuan serta ideologi dan tren pemikiran. Sejumlah unsur tersebut menjadi isu penting di era ini setelah sebelumnya dunia ini dihebohkan dengan narasi dampak globalisasi. Kini globalisasi sudah hadir faktual sebagai sebuah peluang dan tantangan. Sehingga pendidikan Islam dalam konteks mempersiapkan guru yang ideal juga perlu didiskusikan.

Tabah Foundation5 dalam laporan hasil surveinya menunjukkan

bahwa sebagian besar masyarakat millenial masih memiliki kesadaran untuk mempertahankan identitasnya sebagai seorang muslim. Konsepsi identitas tersebut tidak selalu berkonsekuensi pada persoalan citra dan simbol. Identitas itu lebih sebagai standar etik kehidupan. Walau demikian sebagian besar masyarakat muslim millenial juga masih memerlukan ruang publik sebagai bagian dari hak keberagamaan. Di sisi lain, mayarakat millenial memandang bahwa Islam tetap sebagai agama yang relevan dengan zaman, tanpa terdapat di dalamnya unsur kekerasan sebagaimana yang banyak dituduhkan secara politik selama ini. Hal tersebut juga diperkuat dengan suatu keyakinan bahwa Islam menjadi kunci pengendali masa depan bangsa.

Dari sejumlah pertimbangan esensial, fakta, konteks dan espektasi di atas, sosok guru memang perlu dirumuskan kembali 5 Tabah Foundation, Muslim Millenial Attitudes on Religion & Religous Leadership Arab World. (Tabah Foundation: UAE 2016), 1-32

(5)

untuk menghadirkan sosok guru yang sesuai dengan zamannya. Untuk itu konsepsi guru millennial barangkali suatu tawaran wacana yang menarik, agar kemudian guru yang meluber dari sisi kuantitas dapat diikuti dengan kualitasnya, sehingga espektasi masyarakat millenial terhadap Islam sebagai kunci pengendali peradaban dapat diwujudkan.

Selanjutnya, wacana guru millenial ini dapat dibilang cukup luas. Hal ini tentu cukup tepat, karena yang dimaksudkan oleh penulis di sini adalah rumusan filosofis dari seorang guru di era millenial. Pemenuhan unsur filosofis tersebut hanya dapat dicapai apabila menggunakan argumentasi-argumentasi universal, apakah itu berupa ekspektasi maupun sejumlah kegundahan antisipatif yang disebabkan oleh landscape millenial itu sendiri. Untuk itu secara konkret fokus dari kajian adalah rumusan filosofis guru di era millenial dalam perspektif pendidikan Islam.

Dari sini dapat ditarik suatu rumusan bahwa: Pertama, bagaimana hakikat guru dalam Islam. Kedua, bagaimana menjadi sosok guru di era millenial. Rumusan pertama menghendaki rumusan esensial doktriner mengenai guru di dalam Islam. Kemudian yang kedua adalah respon adaptasi dari unsur doktriner, kesejarahan terhadap peluang dan tantangan yang hadir secara faktual dalam landscape era millenilal.

Rumusan tersebut dirasa cukup untuk menghadirkan profil guru di era millenial, walau mungkin kajian ini tentu tidak cukup mempuni untuk mengatakan rumusan satu-satunya. Tetapi cukup layak untuk dihadirkan sebagai suatu wacana pendidikan Islam menuju idealitas guru untuk masa depan Islam.

B. Hakikat Guru dalam Pendidikan Islam

Guru adalah sosok yang bertanggung jawab terhadap proses pendidikan dan pembelajaran. Di dalam Islam seluruh amal dan pekerjaan bernilai ibadah di sisi Allah. Esensi ibadah terpancar

(6)

melalui niat, sehingga niat dalam rangkaian amal menjadi penentu, termasuk dalam persoalan pendidikan dan pembelajaran. Seluruh amal muaranya adalah persembahan kepada Allah Swt. Begitu pula seorang guru harus menempatkan proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukannya harus bermuara pada ridha Allah. Secara syariat, sampainya amal di hadapan Allah harus bermula dari niat yang iklash.6

Di dalam Fathul Bari Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa orang yang belajar suatu ilmu untuk tujuan dunia dan mengabaikan kepentingan akhirat, ia akan mendapatkannya dan tidak mendapatkan apa-apa di akhirat.7 Pernyataan ini menunjukkan bahwa proses

pendidikan dan pembelajaran yang membahas suatu ilmu tidak boleh hanya berpuncak pada urusan dunia. Tetapi juga harus menempatkan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan kepentingan akhirat.

Antara niat yang ikhlas dan puncak amal adalah dua hal yang saling berkaitan. Niat yang ikhlas adalah pijakan dan titik tolak setiap amal. Dalam persoalan niat, banyak orang sering mengabaikan, termasuk diabaikan oleh para guru. Padahal niat di dalam Islam merupakan bagian dari perkara yang besar. Niat yang ikhlas adalah fondasi amal, sehingga jika tanpa fondasi maka amal tidak akan pernah tegak, bahkan hanya akan menjadi angin yang lalu (habaan mantsura).8

Dengan demikian, posisi niat yang ikhlas dalam diri seorang guru adalah sangat fundamental untuk mencapai tujuan keridhaan dan diterimanya amal oleh Allah.

Selain dari unsur teologis dan eskatologis (niat dan puncak dari amal), terdapat unsur sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru. Seorang guru harus memiliki sifat kooperatif, mau bekerjasama dengan pihak mana pun, tanpa harus keluar dari koridor titik tolak dan tujuan amal di atas. Sikap kooperatif ini dalam bahasa al-Quran

6 Muhammad bin Ibrahim, Shifatul Mu’allim, (al-Kitabat al-Islamiyah: tt), h. 11. 7 Ibid, 12

8 Al-Rasul al-Mu’allim www.rasulullah.net, https://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_ books/single3/ar_Alrasoul_Almo3lem.pdf dikases Juli 2019, 1

(7)

disebut dengan al-ta’awun ‘alal birri wa al-taqwa. Berikutnya terdapat sifat bebas yang juga harus dimiliki oleh guru. Kebebasan yang dimaksud tidak terbelenggu dengan ikatan-ikatan material. Kelurusan dan keikhlasan niat harus berkonsekuensi pada keteguhan diri berpegang teguh kepada Allah dan melepaskan segala ikatan selain Allah. Inilah bentuk kebebasan yang sesungguhnya. Dan yang ketiga adalah sifat persamaan. Sifat ini menjadi dasar tindakan yang akan diberikan kepada setiap peserta didik sebagai hamba Allah tanpa diskriminatif.9

Sosok guru dalam pandangan Islam biasanya merupakan mani-festasi dari idealisasi manusia sempurna (insan kamil). Terminologi tersebut familiar dalam dunia taswuf, namun bukan berarti hanya ada di dalam persoalan kesufian. Dunia pendidikan Islam juga harus memiliki konsepsi ideal dari seorang guru. Melengkapi sejumlah unsur yang telah disebutkan di atas, seorang guru secara umum digambarkan dalam konsepsi yang lain sebagai sosok yang harus memiliki beberapa kriteria, di antaranya adalah sebagai berikut:10

Pertama, seorang guru itu memiliki ruh rabbani. Terminologi

ini sesuai dengan makna literalnya bahwa guru itu mewarisi ruh ketuhanan melalui warisan amanah kenabian sebagai sorang guru. Ruh Rabbani tersebut harus termanifes dalam bentuk tujuan, sikap, dan cara berfikir. Kedua, seorang guru harus memiliki rasa ikhlas. Ikhlas menjalankan tugas dengan mengharap keridhaan Allah.

Ketiga, sabar. Kesabaran adalah hal penting dalam persoalan

menjalankan tugas dan dalam menghadapi tantangan. Keempat, keju-juran dalam menyampaikan kebenaran sebagai bagian dari amanah yang diberikan oleh Allah. Kelima, melengkapi diri dengan berbagai macam pengetahuan. Artinya, seorang guru harus memiliki wawasan 9 Muhammad As’ad, Al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fil Islam, I (Kairo: Mu’assat Hindawi lil-Ta’lim wa Tsaqafah), 12

10 Dedi Iskandar, The Ethic of Lecturer Based on Islamic Perspective in Washliyah Universities (International Journal of Innovation and Economic Development: vol 3 June 2017), 37

(8)

yang luas. Tidak hanya terkonsentrasi pada satu keilmuan, tetapi harus memiliki kapasitas yang lain.

Keenam, menguasai berbagai macam metode mengajar. Ketujuh,

kemampuan mengatur murid. Kedelapan, memiliki pemahaman psiko-logi siswa. Kesembilan, responsif terhadap perkembangan zaman;

kesepuluh, memiliki sikap adil.

Dari sejumlah unsur dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang guru itu harus memiliki tiga aspek penting di dalam dirinya.

Aspek ilahiah yang merangkum sejumlah hal yang berkaitan langsung kepada Allah, seperti niat dan tujuan ridha Allah Swt.

Aspek etis yang berkaitan dengan sifat ikhlas, jujur, sabar, adil dan kemerdekaan.

Aspek wawasan dan keterampilan seperti kompetensi keilmuan, manajerial, daya reponsif dan inovatif.

Bagian pertama adalah bagian yang tetap qot’ie. Bagian kedua bersifat tetap secara konsepsi tetapi dapat saja beragam dalam implementasi. Sedangkan bagian yang ketiga murni berkembang, bahkan tidak boleh stagnan.

Konstruksi guru di atas tentu berjalan linier dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan Islam secara tegas adalah membentuk manusia yang baik yang bermakna hadirya keseimbangan dalam pertumbuhan kepribadian manusia, mulai dari aspek keruhanian, nalar, rasa, dan ketahanan tubuhnya.11 Dari tujuan

pendidikan tersebut, berarti seorang guru menjadi pelayan bagi anak didiknya untuk mengembangkan potensi spritual, intelektual, imajinasi, physical, saintifik, linguistik secara personal dalam kehidupan pribadi dan kehidupan komunal. Keseluruhan tujuan pendidikan yang holistik tersebut pada puncaknya ditujukan dan dipersembahkan kepada Allah, baik sesorang itu dalam kapasitas 11 Ghulam Sarwar, Issues in Islamic Education, (London: The Muslim Educational Trust, 1996), 9

(9)

dirinya, kelompok, maupun sebagai bagian dari manusia secara umum.12

Dalam pandangan yang lain, tujuan utama pendidikan Islam yang rigid seperti yang disampaikan di atas dalam bentuk sederhana dapat ditemukan dalam term adab. Term adab ini dapat dibilang sebagai simplifikasi dari kebaikan spritual dan material.13 Pendapat

ini sejalan dengan al-Ghazali, bahwa tujuan dari pendidikan adalah sampai pada kebahagiaan dekat (taqarrub) kepada Allah. Sisi spritual yang menjadi titik utama dari pendidikan, walau tentu juga tidak mengabaikan penyelamatan manusia dalam kehidupannya di dunia kepada kehidupan abadi di akhirat.14

Melihat dari dua pendapat ulama besar di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam tentu tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Sehingga dalam hal ini pendidikan Islam memiliki karateristik yang berbeda dengan sistem pendidikan yang lain. Pendidikan Islam tidak hanya bergelut pada persoalan pengetahuan dan keterampilan. Akan tetapi juga berupaya menanamkan secara mendalam nilai etis yang bersumber dari ajaran agama. Maka dari itu, seorang guru harus memiliki kecakapan yang sangat luas meliputi persoalan pengetahuan sampai pada penguasaan nilai-nilai ajaran agama.15

Relasi sosok guru dan pendidikan Islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Ketangguhan sistem dan nilai filosofis pendidikan Islam harus beriringan dengan ketuhan sosok guru itu sendiri. Dengan demikian dapat dikonseptualkan bahwa guru adalah pelayan serta pelanjut 12 First World Conference on Muslim Education,( Jedda-Mecca : King Abdul Aziz University, 1977), 9

13 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1978), 1

14 Dikutip oleh Nabil Nofal, “Al-Ghazali (A.D. 1058-1111; A.H. 450-505)”, Prospects: The Quarterly Review of Comparative Education (Paris: UNESCO International Bureau of Education vol. XXIII, no. ¾, 1993), 563

15 Syed Sajjad Hussain dan Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), 1

(10)

dari misi kerasulan yang harus memiliki kepribadian utuh dalam memahami linieritas urusan dunia dan akhirat. Penyedia jalan bagi manusia dari dunia menuju akhirat tempat menerima segala imbalan, baik pahala kebaikan maupun balasan dari keburukan.

C. Millenial: Peluang dan Tantangan

Kata millenial berasal dari bahasa Inggris yang artinya seribu tahun.16 Term ini kemudian menjadi cukup populer yang

peng-gunaannya banyak dikaitkan dengan kelompok manusia yang lahir sekitar antara tahun 1986 sampai dengan tahun 1996. Pendapat yang lain menyatakan bahwa kata millenial menunjuk kepada kelompok manusia yang lahir setelah tahun 1980. Pada penggunaan yang lain kata millenial berarti menunjuk pada generasi yang menyukai tren perkembangan teknologi komunikasi yang relatif baru. Digambarkan secara konkret bahwa generasi ini sangat lekat dengan teknologi komunikasi, mulai dari bagun hingga tidur kembali17.

Makna millenial dari sudut pandang pertumbuhan peradaban bermakna pada era setelah era global atau modern. Karena itu, kata millinel juga dapat diartikan serupa dengan era postmodern. Era ini muncul sebagai akibat dari sikap berlebihan umat manusia terhadap akalnya, hingga jatuh pada kondisi yang sangat materialistis. Sementara moral, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan banyak diabaikan. Di sinilah manusia merasa teralienasi oleh keadaan yang dibuatnya sendiri. Sepi dalam keramaian dan ramai dalam kesepian.

Terkait dengan hal di atas, millenial itu terdapat beberapa ciri, antara lain :1) kebebasan, 2) personalisasi, 3) kecepatan informasi yang instan 4) suka belajar, 5) bekerja dengan lingkungan inovatif, 6) aktif berkolaborasi dan 7) hyper technology.18 Ciri-ciri tersebut melekat

16 John M Echol, An English-Indonesian Dictionary (London: Cornell University Press, 1975), 380

17 Wiliam Korblum, Sociology in a Changing World, (USA: Wadsworth, 2012), 350 18 Don Tanscot, Grown Up Digital, (New York: MC Grahil, 2009)

(11)

pada generasi saat ini. Jika merujuk pada pendapat di atas, kelompok manusia yang hidup setelah tahun 1980 juga menjadi bagian dari generasi millenial. Namun, jika dilihat secara maknawi, generasi millenial ini bisa jadi menjangkau pada mereka yang lahir sebelum 1980 jika merujuk pada kecenderungannya semata.

Pendapat lain mengatakan bahwa generasi millenial juga memiliki ciri generasi yang terbiasa berfikir out of the box, kepercayan diri yang tinggi, suka berselancar di dunia maya, kurang bersosialisasi, lemah dalam kebersamaan, dan cenderung bebas dan kebarat-baratan.19

Dalam ciri-ciri yang disebutkan terdapat hal-hal yang positif, tetapi juga terdapat unsur yang negatif. Hal yang positif menjadi peluang, sementara yang negatif tentu menjadi tantangan.

Sejatinya, era millenial tidak saja sebagai bagian dari tantangan pendidikan Islam, namun secara eksplisit justru juga menjadi bagian dari tantangan dunia Islam. Dunia Islam yang dimaksudkan adalah skala yang lebih luas dari sekadar pendidikan Islam itu sendiri, dimana maknanya mencakup seluruh masyarakat muslim dunia mulai dari persoalan politik, ekonomi, budaya dan bahkan keimanan itu sendiri.20 Berkaitan dengan semangat hidup generasi millenial di atas,

maka segala dampak yang berakar dari akibat era tersebut juga turut menjadi tanggungan dari dunia Islam secara keseluruhan. Artinya, millenial dan segala dampaknya tidak hanya berdampak langsung pada persoalan pendidikan saja tetapi juga sangat terbuka berdampak pada sektor kehidupan umat Islam lainnya.

Dampak millenial tersebut memang tidak dapat dielakkan, namun tidak juga harus diratapi dan terlalu dikhawatirkan. Hal yang lebih penting dari itu adalah kesiapan untuk menghadapinya. Millenial yang juga berarti era setelah globalisasi dapat dimaknai sebagai dampak dari globalisasi itu sendiri. Globalisasi tidak selalu

19 Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Millenial (Concencia:tt)

20 Abdul Aziz OthmanAl-Waijri, The Islamic World and Millenium Challenges, (ISESCO: tt),11

(12)

berkonotasi negatif. Karena selain terdapat tantangan juga terbuka di dalamnya sejumlah peluang.21

Adanya tantangan dan peluang pada era millenial ini meng-hendaki suatu sikap yang positif. Positif dalam artian, tidak boleh terlalu khawatir dengan berbagai macam tantangan, tetapi juga tidak perlu terlalu percaya diri dengan terbukanya berbagai macam peluang.

Kedua sayap antara peluang dan tantangan di atas harus betul-betul dicermati. Perubahan dan karakteristik zaman dalam kehidupan manusia adalah hal yang lumrah. Sebagaimana dulu juga terdapat era jahiliah, kemudian bergerak ke masa kenabian, menyusul era khilafah, hingga kemudian sampailah pada era saat ini. Pergerakan tersebut adalah keniscayaan. Sebagaimana juga August Comte mengandaikan kehidupan manusia menjadi tiga episode kehidupan manusia dari tahapan teologis, metafisik, kemudian sampailah pada tahapan positivis.22

Pergerakan tersebut terus membutuhkan perhatian untuk sebuah kesempurnaan. Hal ini sebagaimana postivisme yang pada awalnya adalah puncak dari pencapaian keilmuan manusia, namun kemudian melahirkan kritik terhadapnya berupa pos-positivisme. Maka, kehadiran era millenial dengan segala cirinya tersebut, di mana salah satunya yang dapat merepresentasikan dari kekurangan pada konstruk millenial ini terdapat pada kuatnya kecenderungan manusia pada akal dan keterikatan terhadap teknologi. Nilai-nilai kebersamaan tidak dapat lagi terbangun, sehingga peluang persoalan kronis lainnya juga berpotensi muncul.

Sampai saat ini, jika melihat pada kondisi generasi muslim millenial, masih dapat dikatakan terdapat peluang yang besar untuk 21 , Ramezan Jahanian dan Zuhreh Suleyman, Globalization and Its Effect on Education, (International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences, vol.3 Januari 2014), 346

22 Abudin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), 173-174

(13)

bebas dari cengkraman millenial yang cenderung robotik. Misalnya, dalam laporan Tabah Foundation23 menunjukkan, sebagian besar

masyarakat millenial masih memiliki kesadaran untuk memper-tahankan identitasnya, terutama yang berkaitan dengan spritualitas dan keimanannya. Hal yang mengagumkan dari kesadaran tersebut diikuti dengan pemahaman yang universal, sehingga upaya memper-tahankan identitas tidak selalu beriringan dengan sikap emosional pada persoalan citra dan simbol. Identitas itu lebih dimaknai sebagai standar etik kehidupan. Di sinilah generasi muslim di era millenial ini dirasa cukup gaul dan siap menerima berbagai tantangan yang kemungkinan muncul dari berbagai pihak.

Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam dan seluruh elemen yang ada di dalamnya cukup kembali saja kepada sifat dan karakteristik asli dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu: pertama, kembali kepada al-Quran dan semangat qurani. Kedua, kembali kepada Sunah sebagai kontrol fundamental pada tataran praksis, berupa perhatian yang cukup terhadap akhlak dan karakter generasi muda Islam. Ketiga, integralistik pendidikan Islam dengan kehidupan kekinian. Pendidikan Islam tidak boleh abai dengan kemajuan teknologi yang kini digandrungi oleh generasi millenial. Pendidikan Islam harus hadir tidak saja sebagai

user, tetapi harus ditingkatkan menjadi creator. Keempat, pendidikan

Islam juga sebagai laboratorium enterpreneurship untuk mengimbangi serbuan ekonomi global akibat dari membuncahnya kemajuan teknologi24.

Uraian di atas telah memperlihatkan millenial dari sisi peluang dan tantangan secara berimbang. Sehingga di sini ada suatu kepastian untuk melangkah. Bahwa makna peluang itu bukan sekadar pintu yang terbuka tanpa penjagaan, tetapi tentunya keberanian itu sendiri untuk melintasi pintu-pintu yang terbuka. Walaupun mungkin tanpa diketahui juga akan muncul tantangan berikutnya. Begitu juga dengan 23 Tabah Foundation, Muslim Millenial Attitudes on Religion & Religous Leadership Arab World. (Tabah Foundation: UAE 2016), 1-32

(14)

tantangan. Bukan berarti tertutupnya pintu peluang, tetapi ketakutan untuk bertindak. Intinya peluang itu adalah kemauan untuk menjadi aktor, sementara tantangan merupakan keterperangahan dan ketidakberdayaan untuk terus menjadi penonton.

D. Kesimpulan

Kehadiran profesi guru yang melimpah di negeri seperti pada data yang disajikan di awal tulisan ini adalah satu berkah. Karena dapat diartikan bahwa tugas profetik terus berjalan berkelanjutan. Artinya, generasi penerus tetap berada dalam garansi yang cukup memadai untuk menjalani kehidupan yang tidak mudah. Keberadaan guru yang secara kuantitas memadai tersebut perlu diimbangi dengan ketahanan kualitasnya. Kualitasnya perlu terus disegarkan, mengingat situasi zaman juga berkemas dari mulai yang sederhana hingga menjadi hingar bingar seperti era millenial saat ini.

Tantangan millenial begitu minim nyaris tidak terlihat diban-dingkan dentuman kekhawatiran yang dimunculkannya. Misalnya, maraknya gaya personalisasi yang kerap menurunkan tingkat keber-samaan turut menjadi unsur yang cukup dikhawatirkan. Begitu juga dengan keterikatan masyarakat millenial dengan teknologi informasi akan meningkatkan kepercayaan diri yang berlebihan tanpa dasar pendalaman. Mengingat informasi yang mereka terima terkemas instan tanpa memperlihatkan tahapan prosesnya. Karena itu masyarakat millenial kerap menjadi masyarakat yang terombang ambing oleh arus informasi, hingga tidak jelas mana yang fakta dan mana yang sekadar opini. Hal ini tidak hanya mengancam persoalan informasi biasa, tetapi juga dapat mengancam pada validitas pengetahuan tentang keyakinan dan keimanan.

Berangkat dari data dan ulasan kajian di atas maka hal yang mesti disiapkan adalah sosok guru yang tangguh serta relevan dengan zaman. Sosok guru yang mampu memberi pelajaran bukan mencari kesalahan dan memberi kemudahan tanpa merendahkan. Rumusan

(15)

guru yang dimaksudkan kemudian dalam hal ini disebut dengan rumusan guru millenial yang dapat dideskripsikan pada beberpa hal sebagai berikut :

Pertama, guru millenial itu adalah guru yang memiliki Ruhul

Rabbani. Guru adalah emanasi ketuhanan dalam aspek

meng-ayomi dan memelihara. Makna turunan berikutnya berkaitan denganmisi kenabian yaitu dalam aspek pengajaran.Dua aspek tersebuttermanifestasipada kepemilikan pondasi dan tujuan yang tetap. Pondasi itu berupa niat yang ikhlash (lillahi ta’ala) sedangkan tujuannya adalah mengaharap dan kedekatan kepada Allah (ridha

wa taqarrub ilallah). Bagian ini bersifat final dan mengikat, tidak

tergantikan oleh apapun (qot’ie muthlaq).

Kedua, guru millenial harusberkepribadian sholeh dan berakh-lak mulia (suluk waberakh-lakhlaq, moral and ethic). Bentuk konkret dari bagian ini seperti, sabar, jujur dan adil sebagai standar etik yang sudah tetap secara konsepsional namun tentu tidak menutup kemungkinan akan beragamdalam prakteknya (tsabi fi haddil ma’ruf wa qabil niqasy

fil ‘amaliyyat). Keragaman amaliyah sangat bergantung dengan norma

setempat, sehingga dapat saja terjadi perbedaan antara tempat yang satu dengan yang lain.

Ketiga, memiliki kecakapan dasar keilmuan, administrasi, ke-cerdaan menejerial serta gagasan untuk selalu berinovasi dalam merespon tantangan zaman (kafaah al-ilmiyah,wa al-idariyah wal

ibtikariyah). Bagian ini adalah bagian yang terus mengalami dinamika

secara keseluruhan, sebagaimana konteks keilmuan akan terus ber-kembang mengikuti perber-kembangan dan kebutuhan manusia. Begitu juga dari aspek administrasi, dari sisi perkembangan teknologi yang semula berbasis manual konvensional kini telah beralih berbasis digital. Di sisi lain guru memiliki tanggung jawab untuk merespon keadaan yang terus bergulir dan mengalami perubahan, disinilah aspek inovasi tersebut menjadi suatu kepribadian bagi seorang guru.

(16)

Tiga aspek di atas mencerminkan guru yang siap kembali kepada prinsip kehidupan dan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu kembali kepada Al-Quran dan Sunah sebagai sumber ajaran tauhid dan inspirasi moral kehidupan di dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. Berikutnya juga mencerminkan pandangan linearitas aspek duniawi dan ukhrawi secara berimbang, sehingga kehidupan di era millenial ini harus direbut dengan cara menjadi creator bukan menjadi user. Wallahu a’lam bil showab.

Daftar Pustaka

As’ad, Muhammad, Al-Tarbiyahwa al-Ta’limfil Islam, Kairo: Mu’assatHindawilil-Ta’limwaTsaqafah tt

Al-Waijri, Abdul Aziz Othman, The Islamic World and Millenium

Challenges, ISESCO: tt

al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib, Aims and Objectives of Islamic

Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1978

Echol, John M, An English-Indonesian Dictionary, London: Cornell University Press, 1975

Hussain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education , Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979

Iskandar, Dedi, The Ethic of Lecturer Based on Islamic Perspective in

Washliyah Universities International Journal of Innovation and

Economic Development: vol 3 June 2017

Jahanian, Ramezan dan Zuhreh Suleyman, Globalization and Its Effect

on Education, International Journal of Academic Research in

Accounting, Finance and Management Sciences, vol.3 Januari 2014

Korblum, Wiliam, Sociology in a Changing World, USA: Wadsworth, 2012

(17)

Muhammad bin Ibrahim, ShifatulMu’allim, al-Kitabat al-Islamiyah: tt Nata, Abudin, Pendidikan Islam di Era Millenial, Concencia:tt

___________, Sosiologi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014

Nofal, Nabil, Prospects: The Quarterly Review of Comparative Education (Paris: UNESCO International Bureau of Education vol. XXIII, no. ¾, 1993

Sarwar, Ghulam, Issues in Islamic Education, London: The Muslim Educational Trust, 1996

Tanscot, Don, Grown Up Digital, New York: MC Grahil, 2009

Tabah Foundation, Muslim Millenial Attitudes on Religion & Religous

Leadership Arab World. Tabah Foundation: UAE 2016

First World Conference on Muslim Education, Jedda-Mecca : King Abdul

Aziz University, 1977

Internet

http://statistik.data.kemdikbud.go.id/index.php/page/smp dikases Juni 2019.

http://emispendis.kemenag.go.id/emis2016v1/ diakses Juli 2019 https://sp2010.bps.go.id diakses 2019

Al-Rasul al-Mu’allim www.rasulullah.net, https://d1.islamhouse.com/

data/ar/ih_books/single3/ar_Alrasoul_Almo3lem.pdf dikases Juli 2019

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah menyiapkan manusia untuk lebih arif

Pendidikan Islam perspektif Islam berkemajuan juga termotivasi oleh misi Muhammadiyah untuk kehidupan umat dan bangsa yaitu: Menegakkan tauhid yang murni, Menyebarkan

Ajaran Islam pun demikian, Perempuan adalah peletak dasar budi pekerti maka seharusnyalah perempuan mendapatkan pendidikan yang sebenarnya baik

Seperti telah dijelaskan pada teori di atas, bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam secara keseluruhan, karena tujuan pendidikan

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa kurikulum pendidikan agama Islam khususnya SMP adalah seperangkat rencana kegiatan dan pengaturan mengenai

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwasanya sangat besar pengaruhnya bagi guru pendidikan agama Islam (PAI) untuk mengetahui motivasi dari setiap siswanya dalam menerima

Apa kendala yang dihadapi dalam integrasi pendidikan antikorupsi ke dalam perkuliahan agama islam adanya perbedaan atau pertentangan pendapat dari hukum ajaran Islam

Filsafat pendidikan Islam memandang masyarakat dan pendidikan sebagai dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat membutuhkan pendidikan dan pendidikan