• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

65

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Deskriptif

1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting untuk menilai kinerja perekonomian suatu negara, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Aktivitas perekonomian pada dasarnya adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi meningkat diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan turut meningkat. (Susanti, dkk; 2000). Pertumbuhan ekonomi atau yang lebih dikenal sebagai economic growth, dapat diukur dari kenaikan besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional pada periode tertentu. Nilai dari pendapatan nasional atau national income sebuah negara merupakan gambaran dari aktivitas ekonomi negara tersebut pada periode tertentu.

(2)

commit to user

Tabel 4.1

Perkembangan PDB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1984 2013 TAHUN PDB Harga Berlaku PDB Harga Konstan Laju Pertumbuhan Ekonomi (milyar Rp) (milyar Rp) (%) (1) (2) (3) (4) 1984 89.885,10 683.384,70 6,70 1985 96.997,90 701.254,80 2,60 1986 102.683,00 742.461,60 5,80 1987 124.816,90 779.032,20 5,10 1988 142.104,80 824.064,10 5,80 1989 167.184,70 885.519,40 8,90 1990 195.597,20 949.641,10 9,30 1991 227.450,20 1.018.062,60 8,70 1992 259.884,50 1.081.248,00 7,30 1993 329.775,80 1.151.490,20 7,30 1994 382.220,00 1.238.312,30 7,40 1995 454.514,10 1.340.101,60 8,20 1996 532.568,00 1.444.873,30 8,00 1997 627.685,50 1.512.780,90 4,60 1998 955.753,50 1.314.202,00 -13,10 1999 1.109.731,60 1.324.599,00 0,90 2000 1.389.769,90 1.389.770,20 4,80 2001 1.684.280,50 1.442.984,60 3,70 2002 1.821.833,40 1.506.124,40 4,40 2003 2.013.674,60 1.579.558,90 4,90 2004 2.295.826,20 1.654.825,70 4,90 2005 2.774.281,10 1.750.815,20 5,70 2006 3.339.216,80 1.847.292,90 5,50 2007 3.950.893,20 1.963.974,30 6,30 2008 4.948.688,40 2.082.456,00 6,10 2009 5.606.203,40 2.177.742,00 4,70 2010 6.446.851,90 2.310.700,00 6,20 2011 7.419.187,10 2.464.566,10 6,50 2012 8.229.439,40 2.618.938,40 6,20 2013 9.083.972,20 2.770.345,10 5,80

Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

Ekonomi dapat dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa di negara tersebut meningkat dari

(3)

commit to user

tahun ke tahun. Pertumbuhan Ekonomi secara rinci dari tahun ke tahun disajikan melalui Product Domestic Bruto (PDB) secara berkala. Pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian dibandingkan dengan tahun yang lalu, sebaliknya apabila negatif, berarti terjadi penurunan perekonomian dibanding dengan tahun yang lalu.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama periode 1984 2013 PDB Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 5,3 persen per tahun. Peningkatan PDB yang paling tinggi terjadi pada tahun 1990 (9,3 persen) dan terendah pada tahun 1998 (-13,10 persen). Kondisi ini disebabkan karena penurunan sumbangan sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran sebagai efek krisis yang masih terjadi di Indonesia.

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada pertengahan tahun 80-an mengalami penurunan sebagai akibat dari dampak negatif merosotnya harga minyak mentah internasional dan resesi ekonomi dunia pada tahun 1982. Beberapa negara lain di Asia seperti Malaysia, Filipina, Taiwan dan Thailand juga mengalami hal yang sama. Perekonomian nasional pada saat itu sangat tergantung pada pemasukan dolas AS dari hasil ekspor komoditi-komoditi primer khususnya minyak dan hasil pertanian. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini membuat perekonomian nasional tidak bisa menghindar dari pengaruh negatif ketidakstabilan harga

(4)

commit to user

dari komoditi-komoditi tersebut di pasar internasional. Faktor lain yang berpengaruh selain harga adalah ekspor Indonesia baik komoditas primer maupun barang-barang industri yang juga sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di negara-negara industri maju seperti Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat, yang merupakan pasar penting bagi ekspor Indonesia.

Resesi ekonomi dunia terutama disebabkan oleh rendahnya laju pertumbuhan PDB di negara-negara industri maju yang mendominasi perdagangan dunia, sehingga mengakibatkan lemahnya permintaan dunia terhadap barang-barang ekspor dari Indonesia yang selanjutnya dapat menyebabkan defisit saldo perdagangan. Tanpa ada kompensasi yang cukup dari sumber-sumber yang lain, seperti investasi dan pinjaman luar-negeri defisit saldo neraca perdagangan membuat Indonesia kekurangan cadangan devisa (khususnya dollar AS).

Selama pertengahan pertama dekade 1990-an, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun sekitar 7,3% hingga 8,2%. Hal ini membuat Indonesia termasuk negara ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga Indonesia dianggap sebagai negara di Asia Timur yang berkinerja tinggi, namun krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi krisis ekonomi dan

(5)

commit to user

politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. S

pemerintah ternyata tak mampu bertahan lama, hingga akhirnya pada tahun 1998 bersamaan dengan meledaknya gejolak politik yang kuat yang menuntut Presiden Soeharto turun, krisis moneter juga semakin menjadi-jadi, sampai akhirnya berdampak pada inflasi yang meningkat drastis dan tak kalah mencengangkan lagi dengan perubahan pertumbuhan ekonomi yang tadinya menipis pada tahun 1997 yakni 4.6 % menjadi minus 13.10 %.

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mulai bangkit, hal ini ditunjukkan dengan cukup stabilnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

2. Penerimaan Pajak

Pencapaian dan penciptaan masyarakat yang sejahtera membutuhkan biaya yang cukup besar. Negara mencari biayanya dengan cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh, lebih-lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Perpajakan mempunyai dua peranan penting dalam suatu perekonomian, yaitu: sebagai

(6)

commit to user

sumber penerimaan bagi pemerintah dan sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah, antara lain untuk redistribusi pendapatan dan pengendalian ekonomi makro, sehingga dalam penentuan tingkat pajak (tax rate) minimal harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut. Sumber penerimaan pemerintah meliputi beberapa jenis, yaitu: Satu; Kekayaan negara (state asset); dengan catatan asset tersebut dijual atau disewakan kemudian hasil penjualan atau sewanya dimasukkan ke kas negara (privatisasi). Dua; Hutang; baik ke luar negeri maupun ke dalam negeri (obligasi). Tiga; Hibah (grant), hibah yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Empat; Pencetakan uang (money creation), berkaitan dengan inflation tax, nilai riil dari pemungutan pajak. Lima; Penerimaan pajak dan pungutan-pungutan resmi yang lain (Soetrisno, 1984)

Gambar 4.3 di bawah ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 30 tahun sejak 1984 sampai dengan 2013 penerimaan pajak Indonesia selalu mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 1999 terjadi penurunan penerimaan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun sebelumnya.

(7)

commit to user

Gambar 4.1

Perkembangan Jumlah Penerimaan Pajak di Indonesia Tahun 1984 - 2013 (dalam milyar rupiah)

Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

3. Inflasi

Inflasi adalah suatu peristiwa naiknya harga-harga secara umum dan terus menerus selama dua belas bulan atau satu tahun. Kenaikan harga yang terjadi karena menjelang perayaan hari raya atau hari besar tidak disebut sebagai inflasi, karena kenaikan harga-harga tersebut tidak mempunyai pengaruh lanjutan atau hanya bersifat sementara dan terjadi sekali saja. Lawan dari inflasi adalah deflasi, deflasi adalah peristiwa penurunan tingkat harga secara umum. Peristiwa deflasi jarang sekali terjadi pada suatu negara. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan meningkatnya tingkat pengangguran,

(8)

commit to user

sedangkan tingkat pengangguran adalah salah satu simbol dari rendahnya produksi nasional yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Gambar 4.2

Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tahun 1984 - 2013 (dalam persen)

Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

Gambar 4.2 dan tabel 4.2 memperlihatkan bahwa laju inflasi Indonesia pada tahun 1984 sampai 1996 dapat dikendalikan pada level satu digit, sayangnya akibat krisis moneter pada pertengahan 1997 membuat laju inflasi melejit hingga mencapai 77,63 % pada tahun 1998. Pasca krisis moneter, perekonomian Indonesia mulai mengalami perbaikan, sehingga laju inflasi kembali dapat dikendalikan oleh pemerintah walaupun beberapa kali sempat naik kembali. Pada tahun 2005 inflasi bahkan mencapai angka 17,11 %. Penyebab terjadinya hal tersebut diantaranya karena kenaikan harga BBM sampai 2 kali yaitu pada

(9)

commit to user

Bulan Maret dan Bulan Oktober 2005. Pada tahun 2008 juga terjadi hal serupa, Pemerintah menaikkan harga BBM pada Bulan Mei 2008 dan inflasi naik sampai angka 11,06 %. Selain itu pada tahun 2008 adalah saat dimana terjadinya krisis ekonomi global yang dimulai di Amerika dan akhirnya menular ke negara-negara lainnya. Pada tahun 2013, terjadi kenaikan harga BBM pada Bulan Juni, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya inflasi yang cukup tinggi di tahun tersebut, terutama pada Bulan Juli 2013.

Tabel 4.2

Perkembangan Inflasi Indonesia Tahun 1984 2013 (persen)

Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

Pada periode sebelum krisis, sampai dengan 1997, inflasi walaupun masih bertahan sekitar 11,5% per tahun, tetapi telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (rata-rata 6,62% setahun). Setelah krisis 1998, walaupun inflasi berhasil diturunkan menjadi rata-rata 8,15% setahun, tapi ternyata pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 4,66% setahun. Perbedaan ini

TAHUN INFLASI TAHUN INFLASI TAHUN INFLASI

1984 8,76 1994 9,24 2004 6,40 1985 4,31 1995 8,64 2005 17,11 1986 8,83 1996 6,47 2006 6,60 1987 8,90 1997 11,05 2007 6,59 1988 5,47 1998 77,63 2008 11,06 1989 5,97 1999 2,01 2009 2,78 1990 9,53 2000 9,35 2010 6,96 1991 9,52 2001 12,55 2011 3,79 1992 4,94 2002 10,03 2012 4,30 1993 9,77 2003 5,06 2013 8,38

(10)

commit to user

diduga akibat perbedaan kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah pada dua masa tersebut, terutama yang terkait dengan usaha menaikkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pada saat bersamaan menjaga inflasi pada tingkat yang rendah. Tidak mengherankan jika karakter hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak pernah berhenti diperdebatkan ( Sadikin, Ferry Imanudin, 2010).

Fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari

terlebih bagi masyarakat, karenanya pemerintah menetapkan target atau sasaran inflasi yang merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh pemerintah. Nota Kesepahaman antara pemerintah dan Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012 sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi ±1%.

Faktor yang menentukan tingkat inflasi setidaknya ada empat. Pertama, uang yang beredar baik itu uang tunai maupun

(11)

commit to user

giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasi karena dipicu oleh kebijakan pemerintah menarik subsidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat menengah ke bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, yaitu mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM.

4. Pengangguran

Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Pengangguran disebabkan karena pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya. Pengangguran di Indonesia menjadi masalah yang terus menerus membebani perekonomian.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia pada umumnya di bawah 5 persen. Pada tahun 1997, Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia sebesar 4,69 persen. Tingkat pengangguran sebesar 4,69 persen masih merupakan pengangguran dalam skala yang wajar. Di

(12)

commit to user

negara maju, tingkat pengangguran biasanya berkisar antara 2 3 persen, hal ini disebut tingkat pengangguran alamiah, yaitu suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan, artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 2 - 3 persen itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) (Sukirno, 2013).

Tabel 4.3

Perkembangan Jumlah Pengangguran Indonesia, Tahun 1984 2013 TAHUN Jumlah Pengang-guran (Juta orang) Tingkat Pengang-guran Terbuka /TPT (%) TAHUN Jumlah Pengang-guran (Juta orang) Tingkat Pengang-guran Terbuka /TPT (%) 1984 1,33 2,00 1999 6,03 6,36 1985 1,59 2,10 2000 5,81 6,08 1986 1,82 2,70 2001 8,01 8,10 1987 1,82 2,62 2002 9,13 9,06 1988 2,04 2,85 2003 9,94 9,67 1989 2,04 2,81 2004 10,25 9,86 1990 1,91 2,55 2005 10,85 10,26 1991 1,99 2,62 2006 11,1 10,45 1992 2,14 2,74 2007 10,55 9,75 1993 2,2 2,78 2008 9,43 8,46 1994 3,64 4,36 2009 9,26 8,14 1995 3,85 7,20 2010 8,59 7,41 1996 4,28 4,87 2011 8,12 6,80 1997 4,18 4,69 2012 7,61 6,32 1998 5,05 5,46 2013 7,17 5,92 Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

(13)

commit to user

Pergerakan tingkat pengangguran cenderung naik dari tahun 1980, namun semenjak tahun 2006 hingga sekarang tingkat pengangguran mengalami perlambatan. Pada tahun 2006 Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 10,45 persen dan pada tahun 2013 menjadi 5,92 persen.

Gambar 4.3

Perkembangan Jumlah Pengangguran di Indonesia Tahun 1984 - 2013 (dalam juta orang)

Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

Data di atas merupakan data jumlah pengangguran di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun. Perubahan-perubahan terjadi walaupun tidak terlalu fluktuatif dalam kurun waktu tersebut, diantaranya akibat kondisi ekonomi yang kurang stabil karena adanya masalah-masalah tertentu seperti gejolak ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 hingga krisis global yang terjadi pada tahun 2008, namun secara tersirat, jika dilihat dari tabel tersebut

(14)

commit to user

tidak terdapat perubahan yang cukup signifikan akibat permasalahan-permasalahan tertentu.

Masalah pengangguran jika dibiarkan berlarut-larut pasti akan menimbulkan berbagai persoalan, diantaranya krisis sosial. Krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan maupun preman, dan meningkatnya kekerasan sosial yang bermunculan di masyarakat. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di Indonesia adalah terlalu banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal, sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri di sektor informal.

5. Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor yang krusial dalam membangun pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Saat ini, peradaban global memasuki era informasi, dimana nilai tambah dalam suatu masyarakat ditentukan oleh kreatifitas dan inovasi, atau yang disebut dengan knowledge economy. Pekerjaan yang semakin memiliki peran penting saat ini adalah pekerjaan yang diperankan oleh orang berpendidikan. Hal ini menuntut kerja ekstra dari negara untuk membangun kemampuan intelektual masyarakatnya melalui pendidikan, terlebih dalam konteks membangun keunggulan bangsa, pendidikan harus dilihat sebagai

(15)

commit to user

barang publik yang difasilitasi negara bukan dikapitalisasi swasta. Negara yang memperoleh demographic dividend juga akan menjadi percuma jika tidak didukung dengan pendidikan yang berkualitas.

Gambar 4.4

Perkembangan Penduduk usia 15 tahun keatas yang lulus SMA dan Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 1984 2013 (dalam persen)

Sumber : Berita Resmi Statistik, BPS, Berbagai Tahun

Masalah pendidikan masih menjadi masalah yang penyelesaiannya tidak berjalan signifikan di Indonesia saat ini. Pada tahun 2010 rata-rata lama waktu sekolah (years of schooling) Indonesia masih 7,9 tahun, sama dengan Kamboja dan masih dibawah Malaysia yang 10,1 tahun dan Jepang 11,6 tahun. Perlu upaya keras untuk meningkatkan lama sekolah ke minimal 9 tahun dan masih ditambah dengan tantangan untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas. Contohnya dalam hal menghadirkan kurikulum yang link&match dengan industri dan perekonomian,

(16)

commit to user

kualitas dan kesejahteraan guru, serta sarana dan prasarana yang

merata. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa dari variabel jumlah

lulusan SMA keatas semakin tahun semakin meningkat persentasenya. Ini menunjukkan kemauan atau kesadaran masyarakat untuk memperbaiki tingkat pendidikannya semakin baik, apalagi pada saat ini pemerintah menerapkan program Wajib Belajar selama 9 tahun. Anggaran untuk pendidikan di Indonesia pun terus ditingkatkan. Pendanaan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang sedang diterapkan saat ini cukup membantu, akan tetapi perlu dicermati pula mengenai distribusi serta sasaran dari pendanaan tersebut. Di wilayah-wilayah tertentu seorang siswa (dari kalangan mana saja baik kaya maupun miskin) dapat terbebas dari uang SPP dari SD Negeri hingga SMA Negeri, namun di wilayah-wilayah lain hal tersebut masih belum dapat

terlaksana. B. Analisis Uji Hipotesis

1. Uji Error Correction Model (ECM)

Error Correction Model (ECM) merupakan model ekonometrika dinamis yang digunakan pada data runtun waktu (time series). Estimasi pengaruh empat variabel independen dalam model teoritis di atas dilakukan dengan menggunakan Model

(17)

commit to user

Koreksi Kesalahan atau Error Correction Model (ECM), yang diformulasikan sebagai model ekonometrik sbb:

t t t t t t t t t t t ECT EDUC TAX UEMP INF EDUC TAX UEMP INF PDB 9 1 8 1 7 1 6 1 5 4 3 2 1 0 ) log( ) log( ) log( ) log( ) log( dimana :

PDB = Produk Domestik Bruto INF = Inflasi

UEMP = Jumlah Pengangguran TAX = Penerimaan Pajak Pemerintah

EDUC = Tingkat Pendidikan

0 = Konstanta

1 4 = Pengaruh jangka panjang variabel independen

ut = Error Term

Log = Operator logaritma natural (basis e)

ECT = INFt-1 + log(UEMP)t-1+log(TAXt-1) + INFt-1 log(PDB)t-1 0 = 5 0 1 = 1 ; 2 = 2 ; 3 = 3 ; 4 = 4 5 = - 5(1 - 1) ; 6 = - 5(1 - 2) ; 7 = - 4(1 - 3) ; 8 = - 5(1 - 4) 9 = 5 (parameter penyesuaian) t = Error Term

Estimasi model koreksi kesalahan dengan memakai metode estimasi OLS, memperlihatkan hasil seperti tampak pada Tabel 4.4. Koefisien ECT terlihat memiliki nilai positif dan besarnya berkisar antara 0-1. Nilai koefisien ini, secara statistik signifikan. Oleh karena itu, masih dapat diterima kesimpulan bahwa model koreksi kesalahan merupakan model yang tepat atau

(18)

commit to user

sesuai dengan teori dan dapat dipergunakan untuk mengestimasi berbagai faktor yang diuji dalam model.

Tabel 4.4.

Hasil Estimasi Model Koreksi Kesalahan

Jangka Pendek : ) log( 0360 . 0 0029 . 0 3915 . 1 )

log(PDBt INFt UEMPt

) log( 2242 . 0 TAXt 0.0019 EDUCt ) log( 2276 . 0 2821 . 0 INFt 1 UEMPt 1

0.1609log(TAXt 1) 0.2604EDUCt 1 0.2907ECTt t Jangka Panjang : ) log( 2169 . 0 0296 . 0 7868 . 4 )

log(PDBt INFt UEMPt

0.4464log(TAXt) 0.1042EDUCt R2 = 0.8187; DW-Stat= 1.9223; F-Stat = 9.5332 Uji Diagnosis (1) Otokorelasi x2(3) = 0.7641; Prob. = 0,8580 (2) Linieritas F(2,17) = 0.5436; Prob. = 0.5905 (3) Normalitas x2(2) = 0.6436; Prob. = 0,7248 (4) Heteroskedastisitas x2(9) = 8.0293; Prob. = 0,5312 Keterangatatistik.

(19)

commit to user

2. Uji Asumsi CLRM

Uji asumsi CLRM ini dilakukan karena dalam model regresi perlu memperhatikan adanya penyimpangan-penyimpangan atas asumsi klasik, karena pada hakekatnya jika asumsi klasik tidak dipenuhi maka variabel- variabel yang menjelaskan akan menjadi tidak efisien.

a. Uji Normalitas

Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak (Ghozali, 2005). Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal.

Gambar 4.5

Hasil Uji Normalitas Residual Jarque-Bera

0 1 2 3 4 5 6 7 8 -0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 Series: Residuals Sample 1985 2013 Observations 29 Mean 1.68e-15 Median 0.005014 Maximum 0.074413 Minimum -0.046054 Std. Dev. 0.028575 Skewness 0.364915 Kurtosis 2.996095 Jarque-Bera 0.643640 Probability 0.724829

Pengujian untuk mengetahui apakah distribusi data normal atau tidak dilakukan dengan uji Jarque Bera atau J-B test, jika nilai J B hitung > J-B tabel, atau bisa dilihat dari nilai probability Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata 5 persen berarti

(20)

commit to user

data berdistribusi normal. Hasil Uji J-B dapat dilihat pada Gambar 4.5. Tabel diatas menunjukan bahwa JB-hitung sebesar 0,643. Nilai JB-hitung kemudian dibandingkan dengan 29 - 4 = 25, 37,652. Karena nilai JB-hitung (0,643 37,652) artinya semua data berdistribusi secara normal dan tidak terjadi penyimpangan, sehingga data yang dikumpulkan dapat diproses dengan metode-metode selanjutnya.

c. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan penganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya (Ghozali, 2011:110).

Dalam penelitian ini digunakan uji Breusch-Godfrey untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi.

Tabel 4.5 Hasil Uji Breusch-Godfrey (BG)

F-statistic 0.144331 Prob. F 0.9318 Obs*R-squared 0.764121 Prob.Chi-Square 0.8580

(21)

commit to user

Dari hasil perhitungan uji autokorelasi tabel diatas didapat nilai Obs*R-squared ata 0,7641 dan

37,652

hitung (0,7641 37,652), sehingga dapat disimpulkan pada model estimasi tidak ditemukan autokorelasi. Dapat juga dilihat dari probabilitas Chi Square yang nilainya 0,8580 lebih besar dari 0.05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terjadi autokorelasi.

d. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Artinya, setiap observasi mempunyai reliabilitas yang berbeda akibat perubahan dalam kondisi yang melatarbelakangi tidak terangkum dalam spesifikasi model (Ghozali, 2005). Dalam penelitian ini, untuk mendetekasi fenomena heteroskedastisitas digunakan Uji White. Hasil Uji White dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas (Uji White) F-statistic 0.808310 Prob. F 0.6146 Obs*R-squared 8.029327 Prob.Chi-Square 0.5312

Berdasarkan hasil perhitungan melaui uji heteroskedastisitas metode White menghasilkan nilai

Obs*R-squared 8,029

(22)

commit to user

8,029, sedangkan 29-4 = 15 sebesar

37,652, maka dapat disimp 8,029

tabel (37,652) sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi persamaan tersebut tidak terdapat gejala heteroskedastisitas. Kesimpulan juga dapat dilihat dari nilai probability Obs* R-squared : 0,5312>0,05, hal ini menunjukkan model ini tidak ada masalah heteroskedastisitas. e. Uji

Uji ini dilakukan untuk menguji ada tidaknya kesalahan spesifikasi dalam regresi. Uji linearitas dalam suatu model dapat dideteksi dengan menggunakn uji Ramsey Reset Test.

Tabel 4.7 Hasil Uji Spesifikasi Model

F-statistic 0.543535 Probability 0.5905 Obs*R-squared 8.029327 Probability 0.4071

Dapat dilihat dari probability F-hitung lebih besar dari 5905 > 0,05). Hal ini menandakan bahwa model yang digunakan berbentuk linear.

Seluruh uji diagnosis, yang meliputi uji normalitas residual, uji otokorelasi,uji heteroskedastisitas (homoskedastisitas), dan uji linieritas atau ketepatan spesifikasi model, memperlihatkan tidak terdapatnya penyimpangan asumsi klasik. Hal ini dapat dilihat dari seluruh probabilitas statistik uji diagnosis, yang memiliki nilai lebih besar dari 0,05.

(23)

commit to user

C. Pembahasan

Probabiliti koefisien regresi ECT sebesar 0,016 menunjukkan hasil yang signifikan dan bernilai positif memperlihatkan bahwa hubungan teoritis jangka panjang antara inflasi, pengangguran, penerimaan pajak dan pendidikan dengan pendapatan nasional adalah eksis dalam perekonomian Indonesia. Perubahan pada empat variabel tersebut pada suatu waktu tertentu akan memiliki pengaruh terhadap pendapatan nasional.

1. Penerimaan Pajak

Penerimaan Pajak dalam jangka pendek maupun jangka panjang memberikan pengaruh positif terhadap PDB Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat penerimaan pajak, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat juga. Dalam jangka pendek, apabila terjadi kenaikan pendapatan pajak sebesar 1 persen, maka pendapatan nasional akan naik sebesar 0,2242 persen, sedangkan dalam jangka panjang , apabila terjadi kenaikan pendapatan pajak sebesar 1 persen, maka pendapatan nasional akan naik sebesar 0,4464 persen. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis pada penelitian ini. Beberapa penelitian sebelumya juga menunjukkan hasil yang sama. Ardani dkk.(2009), juga menyimpulkan bahwa penerimaan pajak dan belanja pembangunan memberikan pengaruh positif dan

(24)

commit to user

signifikan. Demikian juga Alkadri (2006) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi adalah bantuan luar negeri, PMA, PMDN, penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan angkatan kerja. Berarti dalam pengelompokan yang disampaikan pada latar belakang penelitian diatas, Indonesia masuk dalam kelompok pertama yaitu masuk dalam kelompok negara yang tingkat penerimaan pajaknya memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Inflasi

Koefisien inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang terlihat memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan nasional bruto perekonomian Indonesia, walaupun dengan pengaruh yang sangat kecil. Nilai elastisitas inflasi dalam jangka pendek sebesar 0,0029, berarti apabila terjadi inflasi sebesar satu persen maka PDB akan mengalami kenaikan sebesar 0,0029 persen. Dalam jangka panjang apabila terjadi inflasi sebesar satu persen maka PDB akan bergerak kurang lebih 0,0296 persen. Dilihat dari nilai koefisien regresi yang lebih kecil dari satu, berarti inflasi bersifat inelastis terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil tersebut tidak sesuai dengan hipotesis pada penelitian ini, tapi pada prinsipnya tidak semua inflasi berdampak negatif pada

(25)

commit to user

perekonomian, terutama jika terjadi inflasi ringan yaitu inflasi di bawah sepuluh persen. Inflasi ringan justru dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena inflasi mampu memberi semangat pada pengusaha, untuk lebih meningkatkan produksinya. Pengusaha bersemangat memperluas produksinya, karena dengan kenaikan harga yang terjadi para pengusaha mendapat lebih banyak keuntungan. Selain itu, peningkatan produksi memberi dampak positif lain, yaitu tersedianya lapangan kerja baru. Inflasi akan berdampak negatif jika nilainya melebihi sepuluh persen.

Inflasi memiliki dampak positif dan juga dampak negatif. 1. Dampak positif:

a. Peredaran / perputaran barang lebih cepat.

b. Produksi barang-barang bertambah, karena keuntungan pengusaha bertambah.

c. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi.

d. Pendapatan nominal bertambah, tetapi riil berkurang, karena kenaikan pendapatan kecil.

2. Dampak Negatif:

a. Harga barang-barang dan jasa naik.

b. Nilai dan kepercayaan terhadap uang akan turun atau berkurang.

(26)

commit to user

c. Menimbulkan tindakan spekulasi.

d. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar. e. Kesadaran menabung masyarakat berkurang.

Studi keterkaitan inflasi dan pertumbuhan ekonomi banyak menghasilkan temuan bahwa antar keduanya bisa berhubungan negatif atau bisa juga tidak ada korelasi yang signifikan. Karena itu keputusan masih dianggap tidak pasti, sehingga penelitian terhadap hal tersebut masih banyak dilakukan.

Pertumbuhan ekonomi global yang tidak stabil turut mendorong tekanan inflasi untuk jangka waktu pendek. Tingkat kenaikan harga yang tidak terkawal akan memperburuk tingkat inflasi dan tidak mustahil mampu melumpuhkan ekonomi negara itu. Dilihat dari sudut makro ekonomi, tingkat inflasi yang tinggi akan mengurangi daya saing sebuah negara. Tingkat inflasi yang rendah atau sederhana tidak memberi pengaruh buruk kepada pertumbuhan ekonomi, namun inflasi yang terlalu rendah dan terlalu tinggi dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Bukti statistik di Negara-negara berkembang Afrika dan Amerika Latin mengindikasikan bahwa pertumbuhan PDB berdampak negatif terhadap inflasi (Ericsson dkk, 2001). Bukti lain di Fiji, pertumbuhan ekonomi bisa mengurangi laju

(27)

commit to user

inflasi walau dalam derajad yang tidak terlalu signifikan (Gokal&Hanif, 2004). Pakar ekonomi bersepakat mengatakan bahwa tingkat inflasi yang tinggi berawal dari tingkat pertumbuhan penawaran uang yang tinggi. Namun, menurut Mubarik (2005), inflasi pada tahap kurang dari 9% dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Barro (1996), tidak ada hubungan yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi seandainya tahap inflasi yang dicapai adalah kurang dari 20%. Penelitian Fischer(1993), pada tahun 1985 mendapatkan hasil bahwa hubungan pertumbuhan ekonomi dengan inflasi adalah negatif pada jangka waktu panjang dan hubungan positif pada jangka waktu pendek. Kesimpulannya, tidak ada bukti yang pasti terhadap hubungan antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi pada jangka waktu pendek maupun dalam jangka waktu panjang (Antoni, 2010)

3. Pengangguran

Pengangguran dalam jangka pendek ternyata juga memiliki pengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap pendapatan nasional, sedangkan dalam jangka panjang justru memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan nasional bruto. Dalam jangka panjang, koefisien regresi pengangguran sebesar 0,2169 persen, artinya apabila

(28)

commit to user

pengangguran naik 1 persen maka PDB akan naik sebesar 0,2169 persen. Penyebab dari hal ini adalah karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia berorientasi pada padat modal bukan padat karya. Dari distribusi persentase PDB menurut lapangan usaha, terlihat bahwa sektor industri yang dominan dalam menyumbang pendapatan, tetapi sektor tersebut hanya menyerap tenaga kerja tidak lebih dari 13 persen. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahwier (2005) dan penelitian yang dilakukan Wardhana (2006). Keduanya mempunyai hasil yang sama tentang pengaruh GDP dan tingkat pengangguran dimana kenaikan GDP tidak mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan kontribusi yang paling besar dalam pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri manufaktur dimana sektor tersebut merupakan pertumbuhan yang terjadi pada beberapa industri padat modal bukan padat karya.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, hubungan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi memang menunjukkan hasil yang berbeda, hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan jumlah pengangguran ada yang bersifat positif dan negatif. Pertumbuhan ekonomi melalui GDP yang bersifat positif dikarenakan pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi oleh peningkatan kapasitas produksi,

(29)

commit to user

sehingga pengangguran tetap meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ini berorientasi pada padat modal, di mana kegiatan produksi untuk memacu output dan menghasilkan pendapatan yang meningkat lebih diutamakan ketimbang pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada padat karya. Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada padat modal hanya akan mengutamakan pendapatan nasional yang besar tanpa memberikan kesempatan kerja yang lebih besar kepada pekerja, sehingga pertumbuhan ekonomi yang padat modal ini tidak berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja, hal tersebut mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan diikuti dengan jumlah pengangguran yang bertambah (Ghofari, 2010).

4. Pendidikan

Tingkat pendidikan dalam jangka pendek tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam jangka panjang kenaikan tingkat pendidikan akan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan nasional Indonesia, dimana apabila tingkat pendidikan naik 1 persen maka PDB akan naik sekitar 0,1042 persen. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasasti (2006) dalam

(30)

commit to user

penelitiannya memberikan hasil bahwa variabel penduduk tamat SMA positif dan signifikan dalam memberi pengaruh terhadap penerimaan PDRB suatu wilayah. Demikian juga penelitian oleh Pancawati,2000 dengan judul Pengaruh rasio capital tenaga kerja, tingkat pendidikan, stok capital dan pertumbuhan penduduk terhadap GDP Indonesia capital berpengaruh positif terhadap pertumbuhan output. Demikian juga penelitian oleh Suryanto (2009) menyimpulkan bahwa tenaga kerja, pengeluaran pemerintah dan tingkat pendidikan memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Gambar

Tabel 4.5 Hasil Uji Breusch-Godfrey  (BG)
Tabel 4.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas (Uji White)
tabel  (37,652)  sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa  model  regresi  persamaan  tersebut  tidak  terdapat  gejala  heteroskedastisitas

Referensi

Dokumen terkait

Nilai koefisien regresi variabel Edukasi Customer Service yaitu sebesar 1,054 dengan tanda positif menunjukkan adanya pengaruh yang searah antara Edukasi Customer Service

Berdasarkan Tabel 4.29 menunjukkan ukuran perusahaan (SIZE) memiliki nilai koefisien regresi yang arahnya positif sebesar 0,071 dengan signifikansi sebesar 0,000

Berdasarkan tabel 4.7 hasil dari pengolahan data, variabel growth opportunities memiliki koefisien regresi sebesar 0,054 dan nilai t hitung sebesar 1,553 lalu,

Koefisien regresi X 2 (cara berkomunikasi) sebesar 0,459 (b 2 ), menunjukkan besarnya pengaruh X 2 (cara berkomunikasi) terhadap keputusan pembelian, koefisien

Persamaan regresi tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan pola pengaruh variabel disiplin belajar (X 1 ). Koefisien regresi disiplin belajar sebesar 0,779

Arah korelasi dapat dilihat dari angka koefisien korelasi hasilnya positif atau negatif.Sesuai dengan hasil analisis, koeefisien korelasi lompat jauh bernilai

signifikan dan positif terhadap Nilai Perusahaan. 2) Pada tabel diatas diketahui bahwa Debt to Equity Ratio memiliki nilai koefisien regresi yang bernilai negatif

Arah korelasi dapat dilihat dari angka koefisien korelasi hasilnya positif atau negatif.Sesuai dengan hasil analisis, koeefisien korelasi tes lompat jauh bernilai