48
KOMUNIKASI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA ORGANISASI
Oleh: Hana Silvana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Langlangbuana Bandung
ABSTRAK
Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas, serta memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah yang mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat mereka memberi sumbangan yang jelas mengenai bagaimana pemimpin seharusnya bertindak dalam setiap situasi yang dihadapi. Tanpa dapat dipungkiri peran ini membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundaknya tujuan kelompok diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit. Suatu organisasi hanya akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki sungguh-sungguh diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Sejauh budaya tersebut tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai yang dimiliki, maka proses perwujudan tidak akan berjalan begitu sulit. Perwujudan budaya bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti, bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehariannya. Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada sejauhmana oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Di samping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauhmana anggota meletakkan kepercayaannya pada pemimpin mereka.
Kata kunci: Komunikasi, kepemimpinan, budaya, organisasi, globalisasi.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Globalisasi yang dulu sering didengung-dengungkan dan diyakini belum akan berpengaruh dalam waktu
dekat kini telah menunjukkan
pengaruhnya yang sangat kuat. Era
pembangunan telah berjalan
sedemikian pesat dan hal ini tanpa dapat dipungkiri telah membawa pada sejumlah dampak, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Salah
49 satu bukti yang menunjukkan pesatnya
kemajuan itu adalah perdagangan dunia yang kini telah membawa
perubahan-perubahan pada sistem
pasar.
Pengaruh globalisasi akibatkan batas batas negara menjadi kabur sehingga setiap negara tidak bisa lagi secara kaku memperhatikan sistem yang mereka ambil. Budaya yang mendasari sistem yang ada pada
akhirnya juga turut memegang
pengaruh yang sangat besar. Hal ini terlihat pada budaya yang berkembang di negara Indonesia sendiri. Jika pada masa lalu budaya gotong-royong yang terlihat sangat jelas pada masa perjuangan masih sangat kuat melekat dalam diri orang-orang Indonesia, hal itu nampaknya kini harus dipertanya- kan lagi. Gempuran yang sangat kuat terhadap nilai mata uang Indonesia mendorong orang-orang dari satu golongan tertentu untuk menyelamat- kan diri sendiri tanpa memperhitung- kan pihak lain. Hal ini menimbulkan suatu tanda tanya adakah nilai-nilai individual yang pada dasarnya bukan nilai-nilai bangsa telah merasuki bangsa yang terkenal akan semangat gotong-royongnya.
Budaya yang pada dasarnya
merupakan nilai-nilai, kebiasaan,
ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins dan Coulter, 1996) semestinya mendasari setiap
gerak kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut
memiliki peran sebagai pemberi
identitas dan normative glue.
Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat
dihayati dengan sungguh-sungguh
oleh para anggotanya.
Namun kenyataan justru
menunjukkan, bahwa peran pemimpin dalam hal ini menjadi sangat tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan dan pada akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Jika kepercayaan telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan masing-masing individu berusaha menyelamat
50 kan diri masing-masing dalam situasi
yang sangat rumit dan ambigu.
Masalah kepemimpinan merupa- kan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas, serta memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya
seorang pemimpin maka tujuan
organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.
Jika melihat perkembangan ber- bagai teori mengenai kepemimpinan
yang ada, maka timbul suatu
kesadaran, bahwa perkembangan teori
kepemimpinan telah berkembang
sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan
anggota lain berusaha mencapai
tujuan.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep kepemim- pinan ideal dalam suatu organi- sasi?
2. Bagaimanakah pedoman komuni- kasi kepemimpinan yang dapat diterapkan pada organisasi?
Maksud dan Tujuan Kajian
Makalah ini memiliki maksud untuk menggali konsep kepemimpinan yang ideal dalam suatu organisasi dalam mewujudkan budaya organisasi yang berlaku dan menunjang kinerja organisasi.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk merumuskan suatu pedoman komunikasi kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam sebuah organisasi.
51
TINJAUAN PUSTAKA
Kepemimpinan dalam Berbagai
Perspektif
Para ahli mencoba mendefinisi- kan pengertian kepemimpinan dengan berbagai aspek dan pendekatan. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam
kehidupan sehari-hari karena
menyangkut bidang yang sangat luas. Stogdill (1974) menyatakan, bahwa jumlah definisi tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang yang telah berusaha mendefinisi
kannya. Ia sendiri mengartikan
kepemimpinan sebagai proses atau
tindakan untuk mempengaruhi
aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fiedler (1967) adalah salah satu
ahli lain yang banyak meneliti
mengenai kepemimpinan menyatakan, bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap
sekelompok orang agar bekerja
bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.
Dari dua definisi yang telah di- ajukan tersebut secara jelas menunjuk- kan bagaimana kepemimpinan ter- sebut diartikan, yaitu berkaitan usaha
mempengaruhi dan menggunakan
wewenang. Pengertian tersebut
memberi suatu pemikiran, bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam
usaha untuk memotivasi orang
melakukan sesuatu seperti yang
diharapkan pemimpin.
Lebih detail lagi Yukl (1989) menjelaskan, bahwa pada dasarnya
fokus perhatian dalam berbagai
penelitian mengenai kepemimpinan
adalah mencoba mendalami
determinan-determinan kepemimpinan yang efektif. Para ahli perilaku telah berusaha untuk mengembangkan apa sifat, perilaku, sumber kekuasaan, atau aspek-aspek situasi yang menentukan bagaimana sebaiknya pemimpin dapat mempengaruhi pengikut dan agar mereka mencapai sasaran kelompok- nya. Jadi pada intinya, teori-teori ter- dahulu lebih meninjau kepemimpinan pada siapa yang memiliki keahlian
untuk mempengaruhi dan dalam
konteks di mana pengaruh itu diguna- kan. Perbedaannya terutama terletak
52
pada ketidak setujuan mengenai
identifikasi mengenai pemimpin dan proses kepemimpinan.
Lebih lanjut Yukl (1989)
menguraikan, beberapa teori yang meyakini, bahwa kepemimpinan tidak berbeda pada proses sosial yang terjadi di antara semua anggota
kelompok dan kepemimpinan di
pandang sebagai proses kolektif yang terbagi di antara para anggotanya. Pandangan yang lain berpendapat, bahwa pada dasarnya semua anggota kelompok memiliki peran tertentu yang mencakup peran kepemimpinan khusus. Intinya bahwa pemimpin dan
kepemimpinan tidak bisa hanya
dipandang sebagai proses mem-
pengaruhi dengan kekuasaan yang dimiliki tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemimpin menjadi partner bagi anggotanya guna mencapai tujuan
bersama. Jadi efektif tidaknya
pemimpin tergantung pada bagaimana anggota dilibatkan dalam pencapai sasaran organisasi.
Salah satu teori mengenai
kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat yang memandang, bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki
oleh orang kebanyakan, yaitu:
memiliki inteligensi yang tinggi,
berkharisma, mampu membuat
keputusan, antusias, memiliki
kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri. Banyak contoh mengenai pemimpin dengan karak-
teristik demikian, antara lain:
Mahatma Gandhi, Martin Luther, Jr., Joan of Arc, dsb. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin memiliki kesemua karakeristik ter- sebut, ada di antara mereka yang
hanya memiliki beberapa dari
karakteristik tersebut namun telah mampu menggerakkan banyak orang. Teori ini mendasarkan pemikiran, bahwa pemimpin itu dilahirkan.
Pandangan teori yang lebih baru
memperkenalkan kepemimpinan
situasional, yaitu keberhasilan
kepemimpinan melibatkan sesuatu
yang lebih kompleks dari hanya
sekedar sifat-sifat tertentu atau
perilaku-perilaku yang diinginkan.
Hubungan antara gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan ber- gantung pada sejumlah kondisi, satu
gaya kepemimpinan hanya tepat
diterapkan pada satu kondisi atau situasi tertentu (Robbins dan Coulter,
53 1996). Jadi dengan demikian seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan
dan kepekaan membaca situasi
sehingga ia tahu mana gaya yang paling tepat yang harus dia munculkan dalam situasi tersebut.
Crosby (1996) menyatakan,
bahwa berdasar pada pengalaman
pribadinya selama bertahun-tahun,
kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute).
Crosby (1996) tidak membahas
mengenai suatu gaya kepemimpinan tetentu, atau memberikan suatu resep bagi keberhasilan pemimpin, namun dia melihat praktek kepemimpinan
sebagai suatu penjabaran dari
keyakinan pemimpin yaitu suatu inti kompetensi personal yang tinggi yang
sungguh-sungguh dimiliki oleh
seorang pemimpin. Seorang pemimpin pada hakekatnya harus memegang teguh suatu gambaran besar dalam pikirannya baik yang berkaitan dengan budget dan finansial, kualitas produk, pelayanan, customers, peers, bosses, dan suppliers. Dia tidak pernah
kehilangan perhatian terhadap
kenyataan, bahwa kualitas kepemim- pinan tumbuh dan tercipta dari hubungan dengan orang lain dalam organisasi dan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu untuk menjaga hubungan tersebut. Penekanan yang ada adalah menyentuh pada hubungan emosi tidak hanya pada rasio saja. Jadi kepemimpinan lebih menyentuh pada
hati dan jiwa. Pemimpin yang
sesungguhnya adalah seseorang yang mengetahui, bahwa keberhasilannya tidak tergantung title-nya, tetapi pada pilihan yang mereka buat dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh.
Dalam hal ini Crosby (1996)
membantu orang untuk membuat pilihannya secara bijaksana. Lebih lanjut Crosby (1996) mengartikan kepemimpinan adalah secara sengaja menunbuhkan tindakan dalam diri orang dalam suatu cara yang terencana
yang bertujuan untuk memenuhi
agenda pemimpin. Dari definisi ini
terkandung pengertian, bahwa
memilih orang secara berhati-hati dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan yang ada dengan jelas dalam
pikiran, mendorong orang untuk
54 kan untuk peka terhadap segala yang
terjadi serta mengambil sikap tertentu untuk mengantisipasinya, yang ter- akhir adalah bahwa pemimpin harus memiliki agenda yang jelas mengenai apa dan bagaimana kehendak mereka.
Kepemimpinan yang absolut
menurut Crosby (1996) adalah
kepemimpinan yang memiliki:
1. Agenda yang nyata, seorang
pemimpin idealnya memiliki dua agenda: satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilaku- kan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan
tujuan yang dtentukan dapat
diukur.
2. Filosofi pribadi, seorang pemimpin
hendaknya memiliki filosofi
pelaksanaan yang bersifat
pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan filosofi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan.
3. Hubungan abadi (enduring
relationship), kehidupan organi- sasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan.
Kunci untuk menjaga suatu
hubungan adalah adanya peng-
hargaan terhadap orang lain,
memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya customers,
peers, coworkers, maupun
suppliers.
4. Duniawi (Worldly), mendunia
(being ‘worldly’) berkaitan dengan budaya selain, teknologi dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memanfaatkan teknologi-teknologi baru, memahami pasar
55 orang lain, budaya, kondisi dan
praktek-praktek bisnis yang ber- langsung. Berarti mengetahui apa yang sedang terjadi dan dapat mengumpulkan informasi yang bersifat up-to-date.
Dengan demikian jelaslah
bagaimana pandangan Crosby (1996) mengenai kepemimpinan. Hal ini
terutama dilandasi oleh adanya
tantangan di masa yang akan datang
yang menuntut adanya seorang
pemimpin yang sungguh-sungguh me- miliki komitmen dan prinsip hidup yang tegas dan terarah.
Drucker (1996) menekankan, bahwa seorang pimpinan hendaknya dapat mengambil sikap dalam meng- hadapi dunia di masa yang akan datang. Menurut Drucker (1996) pemimpin yang efektif tidak hanya sekedar mendelegasikan tugas, tetapi juga dapat melakukan apa yang mereka delegasikan kepada anak buahnya. Lebih lanjut Drucker (1996) menegaskan, bahwa kepemimpinan harus dipelajari dan dapat dipelajari.
Bukunya merupakan kumpulan pandangan dan pengalaman dari ahli maupun praktisi yang bergerak dalam
kehidupan organisasi, yang dengan pandangan masing-masing memberi
urun suara untuk menghadapi
kehidupan organisasi di masa yang akan datang. Dengan melihat per- cepatan akselerasi tekhnologi, kompe- tisi global, perubahan demografik telah menciptakan tipe organisasi baru
yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya.
Pendapat-pendapat di atas
nampaknya telah mewadahi peran apa
yang sebaiknya dibawakan oleh
pemimpin. Pada dasarnya kepemim- pinan menuntut kapabilitas yang tinggi. Pemimpin dalam hal ini menentukan di mana bisnis hendak
berlangsung, sasaran-sasaran yang
hendak dicapai baik intenal maupun
eksternal, aset dan skill yang
diperlukan, kesempatan dan risiko-risiko yang dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan, bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai. Dalam hal ini perubahan sosial, inovasi tekhnologi dan meningkatnya kompetisi merupa- kan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin. Oleh karena itu sangat dituntut, bahwa pemimpin
56 hendaknya memiliki talenta yang
tinggi (Watson, 1996).
Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen
yang jelas sehingga mampu
menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks. Pendapat mereka
memberi sumbangan yang jelas
mengenai bagaimana pemimpin
seharusnya bertindak dalam setiap
situasi yang dihadapi. Di atas
kesemuanya itu, bahwa setiap
pemimpin hendaknya tidak melupakan akar budaya yang mereka miliki. Dengan menggali budaya yang di-
miliki setidak-tidaknya orang
mengetahui kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki sehingga mereka mengetahui sikap yang harus diambil, terutama jika situasi dan kondisi lingkungan sudah sedemikian gawat (crucial).
Budaya Organisasi
Masalah budaya organisasi
(Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya
organisasi kembali digali guna
menggali kekuatan-kekuatan diri yang
telah dimiliki namun cenderung
diabaikan. Pada saat lingkungan
eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini
pula tidak dapat menyelesaikan
masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali budaya/kultur yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.
Berikut ini akan dibahas
beberapa hal yang berkaitan dengan
budaya, agar diperoleh suatu
gambaran mengenai budaya dengan berbagai aspeknya teruama dalam
konteks bagaimana budaya itu
diinternalisasikan kepada para
anggota-anggotanya sehingga dapat terwujud dalam pola perilaku sehari-hari.
Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat,
mengikat dan memotivasi setiap
individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari
penyelesaian dalam situasi yang
ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran, bahwa
57 setiap individu yang terlibat di
dalamnya akan bersama-sama
berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekat- nya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins dan Coulter (1996) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktek-praktek yang terus berlanjut; meng- arahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah.
Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan, bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentransmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini
dapat ditangkap, bahwa budaya
organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut.
Tanpa dapat dipungkiri, Deal dan Kennedy (1982) menambahkan, nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Ia merupakan esensi dari filosofi organisasi. Nilai memberikan suatu sense of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya.
Semakin kuat nilai-nilai itu
diinternalisasi, maka semakin kuat pula budaya mempengaruhi kehidupan
mereka. Terkadang budaya itu
sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk men- capainya.
Beberapa ahli menggunakan
istilah culture dan climate secara bergantian, namun pada hakekatnya keduanya memiliki arti yang berbeda.
Organizational climate memiliki
pengertian mengenai apa yang dirasa dan diamati mengenai bagaimana organisasi menjalankan fungsinya;
sedangkan organizational culture
memiliki pengertian yang lebih
mendalam, merupakan sebab utama bagi terciptanya gaya operasional
organisasi (Schultz dan Schultz,
1994). Dari pengertian tersebut dapat dipahami, bahwa budaya organisasi
58 mencakup aspek yang lebih luas dan
lebih mendalam dan justru menjadi suatu dasar bagi terciptanya suatu iklim organisasi yang ideal.
Budaya pada hakekatnya
merupakan pondasi bagi suatu
organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, pondasi itu tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bagaimana budaya itu seharusnya dibentuk. Dari berbagai pendapat tersebut yang tidak bisa dipungkiri adalah peran pimpinan.
Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk kultur- nya. Pertama-tama perusahaan tadi harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana
nilai-nilai itu diterapkan dalam
organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya.
Dalam hal ini Susanto (1997)
berpendapat, bahwa budaya organisasi pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini
manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui
tindakan-tindakannya; sosialisasi,
budaya yang ada hendaknya
terus-menerus disosialisasi baik oleh
anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-ritual yang ada, simbol-simbol, dan sebagainya.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendiri memiliki peran yang sangat besar, karena bagaimana visi dan misi organisasi yang bersangkutan tidak terlepas, tergantung pada bagaimana
nilai-nilai pendiri tersebut. Pada
akhirnya nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dan menjadi nafas bagi organisasi yang ada. Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan
Beckhard, 1996) menambahkan,
bahwa proses terjadinya budaya
perusahaan (organisasi) melalui tiga cara: (1) para wirausahawan meng- ambil dan mempertahankan
bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang
berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan, (2) mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka, (3)
59 perilaku mereka sendiri adalah model
peran yang mendorong anggota untuk
identifikasi dan internalisasi
keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada.
Budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang tidak kecil. Heskett dan Schlesinger (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan, bahwa pemimpin turut berperan dalam menciptakan
kondisi budaya yang menjamin
penciptaan prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas
mampu membaca apa yang
dikehendaki dari mereka sehingga mengetahui dengan tepat apa yang harus dilakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka.
Steere (dalam Hesselbein,
Goldsmith dan Beckhard, 1996)
berpendapat, bahwa budaya memiliki peran dalam memberi identifikasi dan
prinsip-prinsip yang mengarahkan
perilaku organisasi dan dalam
membuat keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat
menerima feedback atas prestasi
mereka, menjaga sistem reward dan
reinforcement yang diberlakukan
dalam organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi suatu identitas dan arah bagi keberlangsungan hidup organisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Pemimpin dalam Mewujud- kan Budaya Organisasi
Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia terlihat pada betapa rentannya masyarakat terhadap ber- bagai macam isu yang menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada dan betapa lemahnya peran pemimpin
sebagai sumber inspirasi bagi
kehidupan berbangsa. Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, sehingga dalam hal ini peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung
tuladha nampaknya tepat guna
menggambarkan bagaimana pola
60 anak buah. Efek yang timbul adalah
jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya.
Sejak awal ditegaskan bagai- mana peran pemimpin dalam men- ciptakan budaya yang kondusif dalam
organisasinya. Konsep metafora
budaya yang diperkenalkan oleh
Morgan (1986) memberi sumbangan
pemikiran bagaimana melihat
organisasi dari pandangan perwujudan budaya (the view of enactment). Pan- dangan ini menekankan bagaimana seseorang membentuk dan menyusun
realitas sosial yang ada dan
menekankan peran aktif seseorang
dalam menciptakan dunia yang
diinginkan. Pada akhirnya metafora budaya ini mendasari suatu konsep bagaimana budaya membentuk realitas yang terus berkelanjutan dalam suatu organisasi dan memberi dasar bagi
terbentuknya perilaku
anggota-anggotanya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda peran didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga
akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama.
Mampu tidaknya seseorang
tampil sebagai pemimpin tidak
terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Hal ini sejak awal telah diantisipasi oleh Crosby (1996). Ia menekankan perlunya seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strategi jangka pendek
yang hendak dicapai dengan
mengantisipasi kemungkinan-kemung- kinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut.
Hal di atas sesuai dengan pendapat Steere (dalam Hesselbein, Goldsmith, Beckhard, 1996), yang mengatakan, bahwa bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah
bertanggung jawab dalam pem-
bentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan mengidentifikasi dan meng- komunikasikan nilai-nilai dan prinsip
61 dasar yang memandu jalannya per-
usahaan dan pembentukan keputusan organisasi, menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan memberi
teladan, serta menguasai budaya
perusahaan secara keseluruhan,
mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya untuk memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi.
Oleh karena itu seorang
pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang
didasari oleh keinginan untuk
mencapai kesejahteraan bersama.
Dengan visi yang jelas, ia dapat mem- pengaruhi orang lain agar dapat
memaksimalkan pengembangan
pribadi dan organisasi. Kesemua ini tidak terlepas dari personal mastering yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang akan tercantum dengan jelas dalam agenda pribadinya (Steere dan Pinchot dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996).
Pimpinan yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang
memiliki filosofi pribadi (personal philosophy) yang teguh, tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang
ada di sekitarnya. Meskipun
lingkungannya berubah demikian
cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah
yang hendak dituju. Personal
philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal tersebut hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik (Crosby, 1996). Dengan falsafah hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang
dimiliki pemimpinnya sehingga
mereka tidak akan segan-segan
mengikuti pemimpinnya.
Pendapat di atas diteguhkan oleh Pinchot, dan kawan-kawan (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard,
1996) yang mengatakan, bahwa
seorang pemimpin hendaknya
62 komitmen yang jelas, berbobot dalam
skala efektivitas: tidak mengenal lelah,
kreatif, kredibilitas, ketenangan,
kompetensi, kepedulian, karakter,
harga diri, semangat serta integritas yang tinggi. Kompetensi-kompetensi tersebut sangat penting mengingat hal mendasar yang melekat dalam peran pemimpin adalah dirinya sebagai arsitek budaya, tanggung jawabnya terhadap budaya yang tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Oleh karena itu seberapa besar nilai-nilai yang pada akhirnya tercipta pada budaya yang dimiliki organisasi akan diinternalisasi oleh anggota-anggota- nya dan terwujud dalam kehidupan organisasi. Dengan dasar inilah maka organisasi akan tetap hidup meskipun lingkungan berubah karena budaya
menjadi pondasi bagi bangunan
organisasi.
Kehidupan organisasi tidak
terlepas dari interaksi antara satu orang dengan orang lain. Interaksi tersebut tidak hanya terbatas pada anggota dengan anggota, anggota dengan pimpinan, tetapi dalam arti luas interaksi tersebut melibatkan orang-orang dengan siapa organisasi melakukan transaksinya yaitu dengan
klien atau customer, supplier, peers, dan sebagainya. Interaksi tersebut tentu saja tidak akan berlangsung lama jika tidak didasari oleh adanya penghargaan antara satu dengan yang lainnya. Seberapa besar nilai-nilai pelayanan dan sikap positif mendasari para anggotanya akan terbaca dalam
konteks hubungan yang terjalin.
Dalam hal inilah pemimpin menjadi suatu model bagi para anggotanya. Bagaimana ia bersikap tehadap orang lain, tidak hanya sekedar sebagai pimpinan yang memberi perintah
tetapi yang terpenting adalah
kemampuannya untuk menjalin secara
harmonis dengan tidak hanya
mengandalkan rasio semata tetapi mampu menempatkan emosi pada tempat yang semestinya (Crosby, 1996).
Agar hubungan yang terjalin tetap terjaga dengan harmonis, Weber memberikan suatu saran yaitu, bahwa pemimpin harus memberi peluang yang lebih banyak bagi orang lain untuk mencoba dan melakukan sendiri tanggung jawabnya. Ia juga harus memberi dorongan dan semangat
sehingga terbangkit motivasinya,
63 kan pemberdayaan pada orang lain.
Bolt berpendapat, bahwa pemimpin perlu mengembangkan tiga dimensi kepemim- pinan yaitu dimensi bisnis, kepemimpinan dan personal. Ketiga-tiganya memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satu dimensi tersebut yaitu personal, seorang pemimpin diharap-
kan memiliki kemampuan
self-empowered dan integration of work and life yang berarti ia harus selalu
memperhatikan baik kehidupan
pribadi dan kehidupan kerjanya
sehingga diperoleh keseimbangan
kerja dan sosial (Hesselbein,
Goldsmith dan Beckhard, 1996)
Di samping ketiga point di atas perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, maka yang tak kalah pentingnya
adalah, bahwa pemimpin harus
globalisasi (being worldly), dengan kata lain pemimpin dapat memanfaat- kan pengembangan tekhnologi baru, memahami budaya yang ada dan budaya yang lain, serta selalu tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan
informasi-informasi yang penting
(Crosby, 1996). Hal ini berarti pula, bahwa pemimpin diharapkan memiliki orientasi ke masa depan, mengingat masa depan memiliki kompleksitasnya
sendiri yang terkadang justru tak terbayangkan sebelumnya (Bornstein, dalam Hesselbein, Goldsmith, dan Beckhard, 1996). Di atas semua itu, pada dasarnya yang sangat dituntut pada diri seorang pemimpin adalah
self-leadership (Leider, dalam
Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996). Lebih lanjut dikatakan, bahwa tanpa self-leadership tidak mungkin seorang pemimpin dapat memimpin
orang lain. Seorang pemimpin
diharapkan dapat menjadi model peran bagi anggotanya karena tanpa dapat
dipungkiri dialah yang meng-
koordinasi orang lain agar
bersama-sama mencapai tujuan bersama.
Landasan utama bagi nilai-nilai
kebersamaan itu adalah kepercayaan penuh kepada pemimpin. Ketika kepercayaan itu menipis atau bahkan hilang sama sekali, maka yang timbul adalah keresahan dan pada akhirnya akan timbul kekacauan.
Pada dasarnya seorang
pemimpin menurut Myers (1983) adalah seseorang yang berfungsi mem- bantu mendefinisikan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan
64 kelompok terutama ketika timbul
ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama;
memberikan simbol identifikasi,
dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok
dapat dimantapkan dalam suatu
kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial. Ketika terjadi krisis nilai-nilai kebersamaan, maka pemimpin diharapkan mampu meng- ambil sikap sehingga arah tujuan yang hendak dicapai akan dapat kembali diluruskan.
Fenomena yang sedang
berlangsung di Indonesia akibat
goncangan terhadap nilai mata uang rupiah kini tidak lagi dipandang sekedar masalah moneter, namun ternyata lebih dalam dari hal itu.
Krisis kepercayaan yang terjadi
menunjukkan betapa masyarakat
mengalami suatu krisis dan hal ini membawa dampak yang sangat luas. Rentannya masyarakat terhadap isu-isu yang beredar menunjukkan, bahwa
masyarakat membutuhkan satu
pegangan ketika krisis terjadi. Dalam hal ini perlu dipertanyakan kembali adakah nilai-nilai berbagi keber-
samaan (shared meaning) telah
sungguh-sungguh diinternalisasi oleh
anggota-anggotanya, adakah
pemimpin telah sungguh-sungguh
menjadikan dirinya sebagai model
bagi proses belajar anggotanya,
adakah budaya yang ada sungguh-sungguh terwujud dalam pola perilaku anggota-anggotanya. Pertanyaan-per- tanyaan hendaknya perlu direnungkan kembali ketika kepercayaan telah sedemikian rendah.
Dengan demikian dapat
dikatakan, bahwa ada hubungan yang sangat vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, budaya mem- bantu membentuk anggota-anggotanya (Turner, 1994). Perwujudan budaya hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku para anggota serta semangat yang mendorongnya.
Pada akhirnya disadari, bahwa pemimpin hendaknya memiliki suatu
65 komitmen yang jelas, baik komitmen
pada diri pribadi maupun komitmen terhadap organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai keber- samaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sunguh terlihat pada spirit yang ada pada
anggotanya. Ketika peran ini
diabaikan, tidak akan heran jika keberadaan organisasi akan hancur
karena justru orang cenderung
meninggalkan budaya kebangsaan
yang dimiliki serta justru memakai budaya negara lain yang menurutnya dianggap lebih baik. Dalam situasi
yang demikian, refleksi dan
introspeksi perlu dilakukan semua
pihak dan keberanian mengakui
kekurangan adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipastikan anggota akan kembali timbul kepercayaan.
Justru ketika pemimpin mau
menyadari kelemahannya, maka pada saat itu dukungan dari anggota akan
muncul karena pada dasarnya
masyarakat Indonesia adalah
masyarakat pemaaf yang mudah
melupakan suatu kesalahan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pemimpin adalah sekelompok
kecil orang yang terpilih dari berjuta orang karena potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Tanpa dapat dipungkiri peran ini
membawa sejumlah tantangan
yang harus diatasi karena di pundak mereka tujuan kelompok diletakkan. Meskipun demikian
keberhasilan dan kegagalan
organisasi tidak semata-mata
tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit.
2. Suatu organisasi hanya akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai keber- samaan yang dimiliki sungguh-sungguh diinternalisasi dan budaya
yang menjadi pondasi bagi
keberlangsungan hidup organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang
66 dimiliki. Sejauh budaya tersebut
tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai yang dimiliki, maka proses perwujudan tidak akan berjalan begitu sulit.
3. Perwujudan budaya bukanlah
proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti, bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehariannya.
4. Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada
sejauhmana oganisasi mampu
bertahan dalam situasi yang sulit. Di samping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauhmana anggota meletak-
kan kepercayaannya pada
pemimpin mereka. Ketika dalam
situasi yang turbulance,
kepercayaan anggota lemah, maka hal itu merupakan indikasi, bahwa peran pemimpin dipertanyakan dan budaya yang diinternalisasi mengalami suatu tantangan. 5. Dengan demikian dapat dipahami
bagaimana sebenarnya peran
pemimpin seharusnya. Kini yang terpenting dalam melihat
teori-teori kepemimpin tidak lagi
didasarkan pada gaya pemimpin semata-mata, namun yang ter-
penting adalah mampukah
pemimpin menggunakan emosinya dan tidak semata-mata mengandal- kan rasio karena hal ini berarti dengan komitmen yang tinggi
didasarkan pada hati nurani,
pemimpin menjalankan perannya.
Saran
Dari uraian di atas dapat disarankan:
1. Agar pemimpin hendaknya
memiliki suatu komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen ter- hadap organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sungguh terlihat pada spirit yang ada pada anggotanya. 2. Agar organisasi tetap selalu ber-
jalan dengan baik, perlu dilakukan refleksi dan introspeksi oleh semua pihak dan keberanian mengakui
67
kekurangan adalah tindakan
bijaksana sehingga dapat dipasti- kan semua anggota akan kembali penuh kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Crosby, P., (1996). The Absolutes of Leadership, Jossey-Bass Pub., San Francisco.
Deal, T. dan Kennedy, A. (1982), Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life, Addison-Wesley Pub.Co.
Drucker, P.T., (1996). Foreward. The Leader of The Future, The Drucker Foundation, New York. Fiedler, F.E., (1967). A Theory of Leadership Effectiveness, Mc Graw-Hill, New York.
Hesselbein, F., Goldsmith, M. dan
Beckhard, R., (1996). The
Leader of The Future, The Drucker Foundation, New York. Morgan, G., (1986). Images of
Organization. Sage Publ.,
Beverly Hills.
Robbins, S.P., dan Coulter, M.,(1996).
Management (ed.), Prentice
Hall. Inc., New Jersey.
Stogdill, R.M., (1974). Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research, The Free Press, New York.
Schultz, D. & Schultz, S., (1994), Theories of Personality. (5th.ed) CA Brooks/Cole, Pacific Grove.
Susanto, A.B., (1997). Budaya
Perusahaan, PT.Elex Media
Komputindo, Jakarta
Turner, C.H., (1994). Corporate
Culture: How to Generate
Organisational Strength and Lasting Commercial Advantage, Piatkus, London.
Watson, C.M., (1996). Dynamics of Leadership, Jaico Publ. House, Bombay.
Yukl, G. (1989). Managerial
Leadership: A Review and
Research, Journal of