• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengawasan Internal Dan Pengawasan Eksternal Terhadap Kinerja Pemerintahan Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengawasan Internal Dan Pengawasan Eksternal Terhadap Kinerja Pemerintahan Kota Bandung."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGAWASAN INTERNAL

DAN PENGAWASAN EKSTERNAL

TERHADAP KINERJA PEMERINTAHAN KOTA BANDUNG

Oleh

AGUSTINUS WIDANARTO

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai perubahan untuk mengarah ke perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan harapan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih ditingkatkan. Namun dalam kenyataannya banyak pelayanan kepada masyarakat belum optimal.

Dari penelitian pendahuluan, diperoleh informasi tentang adanya temuan-temuan terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung yang belum sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan. Temuan selama lima tahun anggaran melalui Laporan Pert anggangjawaban (LPJ ) Wa li Kot a Bandung dan Laporan Akuntabilitas Kineja Pemerintah (LAKIP) Badan Pengawasan Daerah Kota Bandung yaitu sebagai berikut:

1. Tahun Anggaran 2003.

a. Temuan dari Fraksi Persatuan Pembangunan, yaitu belum adanya kejelasan tentang penggunaan pos bantuan keuangan organisasi kemasyarakatan (ormas) pada Bagian Pembangunan, pos bantuan pada Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), dan pos bantuan keuangan ormas.

b. Fraksi Persatuan Pembangunan melihat adanya pengucuran dana bantuan keuangan tersebut juga tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat.

c. Temuan dari Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) yaitu masalah penggunaan dana pada pos dana bagi hasil dan bantuan keuangan yang belum transparan.

d. Temuan Pansus DPRD Kota Bandung, yaitu menyoroti adanya 169 Sekolah Dasar di Kota Bandung yang kondisinya sangat memprihatinkan dan setiap tahun anggaran yang disediakan baru terealisasi Rp. 3 milyar dari kebutuhan sebesar Rp. 30 milyar.

e. Temuan dari Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung, bahwa di bidang pemerintahan kota, pelanggaran administrasi yang dilakukan aparatur Pemerintah Kota Bandung masih tinggi, yaitu 440 temuan. Selain itu, di bidang ekonomi, dari 3 Perusahaan Daerah yang dimiliki Kota Bandung, yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PD Badan Perkreditan Rakyat (PD BPR), dan PD Kebersihan, ternyata baru PDAM yang dapat memberikan kontribusi kepada pendapatan asli daerah, akan tetapi dari segi cakupan pelayanan masih belum memenuhi standar yang ada. Apalagi kondisi PD BPR walaupun beberapa kali dibantu APBD, tetapi tidak ada peningkatan kinerja, malah beban hutang perusahaan terus bertambah sehingga saat ini hampir tidak ada pelayanan perbankan di PD BPR.

2. Tahun Anggaran 2004.

Pada Tahun Anggaran 2004, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan adanya ketidak sesuaian dalam kinerja sebanyak 445 buah, terdiri dari aspek pemeriksaan di bidang Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) 150 temuan, SDM 70 temuan, Keuangan 84 temuan, Sarana -prasarana 105 temuan, dan Metode kerjasebanyak 36 temuan.

3. Tahun Anggaran 2005.

(3)

Secara kuantitatif jumlah pelanggaran itu menurun dibanding tahun 2004 yang mencapai 445 kasus pelanggaran. Pelanggaran itu meliputi tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sebanyak 38 temuan, SDM aparat sebanyak 79 temuan, masalah keuangan sebanyak 153 temuan, sarana dan prasarana 127 temuan, dan metode kerja sebanyak 8 temuan.

4. Tabun Anggaran 2006

Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan sebanyak 377 kas us t emuan/ pel anggaran. Tem uan ini j auh l ebi h s edi kit bi l a dibandingkan dengan temuan pada Tahun Anggaran 2005. Pelanggaran ini meliputi aspek Tupoksi 57 temuan, SDM aparat sebanyak 48 temuan, aspek Keuangan sebanyak 126 temuan, aspek Sarana -prasarana sebanyak 132 temuan, dan Metode kerja sebanyak 14 temuan.

5. Tabun Anggaran 2007.

Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung melakukan pemeriksaan kinerja Pemerintah Kota Bandung terhadap 81 (delapan puluh satu) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung pada Semester I dan Semester II, dengan mendapatkan temuan pelanggaran seluruhnya sebanyak 681, terdiri dari 368 temuan pada Semester I dan 313 temuan pada Semester II. Jumlah temuan tersebut justru jauh lebih banyak dibandingkan pada Tabun Anggaran 2006, dengan jumlah SKPD sebanyak 76. Temuan pada Tabun Anggaran 2007 ini terdiri dari aspek Tupoksi 110, aspek SDM aparat sebanyak 67, aspek Keuangan 274, aspek Sarana-prasarana 199, dan aspek Metode kerja sebanyak 31 temuan.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kota Bandung, pada Tahun Anggaran 2003 dan 2004 (berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999) dan pada Tahun Anggaran 2005, 2006 dan 2007 (berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004) masih diketemukan berbagai masalah. Padahal di dalam kedua undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan pembinaan dan pengawasan berdasarkan ketentuan Pasal 218 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan pada Tahun Anggaran 2007 dengan dilakukan pemeriksaan sebanyak dua kali, jumlah temuan yang diperoleh menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.

Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD Kota Bandung juga belum optimal. Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerint ahan Kot a Bandung dapat t erganggu, s ehi ngga vi s i dan misi pembangunan Kota Bandung tidak akan tercapai. Penelitian tentang pengaruh pengawasan internal dan pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan, agar dapat direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.

(4)

SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD. Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD sesuai fungsi pengawasan DPRD berkaitan dengan semua program/kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan APBD, termasuk kinerjanya. Adapun rumusan masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Seberapa besar pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung?

1.2. Rumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa perubahan untuk mengarah ke perbaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah dilakukan, dengan harapan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada mas yarakat. Namun dalam kenyataannya banyak pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah Kota Bandung belum optimal yang ditandai oleh akuntabilitas yang rendah, kualitas layanan yang kurang, Berta rendahnya produktivitas kerja.

Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat Kota Bandung juga belum optimal. Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Kota Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung tidak akan tercapai. Penelitian tentang seberapa besar pengaruh pengawasan internal dan pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan, agar dapat direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan problem sta tement penelitian ini sebagai berikut: Pengawasan internal oleh Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat belum efektif, sehingga, kinerja Pemerintah Kota Bandung belum optimal. Dalam kajian ini, kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintahan Kota Bandung dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Pengawasan internal dibatasi pada pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD oleh Bawasda. Sedangkan pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal yang dilakukan pada SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD dan masyarakat. Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD sesuai fungsi pengawasan DPRD berkaitan dengan semua program/kegiatan yang b erhubungan dengan penggunaan APBD, termasuk kinerjanya.

Sebagai rumusan masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Seberapa besar pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung?

Selanjutnya secara lebih terperinci, rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung?

2. Seberapa besar pengaruh pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung?

(5)

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh konsep pengawasan, yang dapat dijadikan model pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang tepat dalam mendorong peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan pada dua aspek, yaitu kegunaan akademi (pengembangan ilmu), dan kegunaan praktis (guna laksana). Adapun kegunaan pada dua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1.4.1. Kegunaan Akademis

Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan Ilmu Administrasi, khususnya yang berhubungan dengan konsep pengawasan dan pengaruhnya terhadap kinerja Pemerintah Daerah.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perumusan kebijakan publik bagi Pemerintahan Kota Bandung, khususnya Badan Pengawasan Daerah dalam pelaksanaan pengawasan internal, dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat Kota Bandung dalam pelaksanaan pengawasan eksternal, guna meningkatkan kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam mensejahterakan masyarakat.

1.5. Kerangka Pemikiran

Konsep pengawasan internal dalam penelitian ini merujuk kepada Terry (1960: 530) yang berpendapat bahwa pengawasan internal merupakan proses m e n e n t u k a n s t a n d a r u n t u k p e n g a w a s a n , m e n gu k u r h a s i l p e k e r j a a n , membandingkan hasil pekerjaan dengan standar dan memastikan perbedaan bila ada perbedaan, serta mengoreksi penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan. perbaikan. Sedangkan konsep pengawasan eksternal merujuk pada Lembaga Administrasi Negara (1997: 161) yang menyatakan bahwa pengawasan eksternal terdiri dari pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. Adapun konsep kinerja pemerintah menggunakan pendapat dari Dwiyanto (2006: 49-51) yang menyatakan bahwa kinerja pemerintah meliputi produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.

(6)

penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan menjamin objektivitas pengawasan (Budiardjo dan Ambong, 1995:180).

Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan dikelola pengendaliannya. Dengan demikian kesesuaian pekerjaan dengan rencana selalu dapat dievaluasi dalam rangka menjamin tercapainya, kinerja yang diharapkan. Semakin baik pelaksanaan fungsi pengawasan internal oleh Bawasda a kan m endorong m anaj em en unt uk l ebi h m am pu m el akukan t indakan pengendalian yang diperlukan dalam usaha mencapai kinerja yang direncanakan. Demikian pula semakin baik pengawasan eksternal oleh Komisi DPRD dan mas yarakat, semakin rendah kemungkinan terjadinya pe nyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga pencapian kinerja lebih dapat dicapai. Paradigm dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1:

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal

Winardi (1990:587) menyatakan bahwa: "Pengawasan dapat ditujukan ke bidang interns mmaupun ke bidang ekstem". Pengawasan internal dari sisi pemerintah, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lingkungan internal organisasi pemerintah. Bila dirinci lebih lanjut, pengawasan internal dapat dipilah menjadi pengawasan internal dalam arti dan pengawasan internal dalam arti luas. Pengawasan internal dalam arti sempit adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawas yang berasal dari lingkungan internal organisasi atau lembaga negara yang diawasi. Sedangkan pengawasan internal dalam arti luas adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawas, yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah atau lembaga eksekutif.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (1996:161) membagi pengawasan internal ke dalam beberapa jenis, yaitu:

a. Pengawasan Melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya.

b. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan pengawasan, seperti Itjen, Itwilprop. BPKP dan Bapeka.

Pengawasan ekstemal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan demikian, dalam pengawasan ekstemal antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak lagi terdapat hubungan kedinasan. Bentuk pengawasan ini dapat dilaksanakan oleh legislatif (DPRD) mmaupun masyarakat.

Pengawasan eksternal, menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (1997:160-161), dapat dibedakan menjadi:

a. Pengawasan Legislatif (Wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat baik di pusat (DPR) mmaupun di daerah (DPRD). Pengawasan ini merupakan pengawasan politik (Waspol).

b. Pengawasan Masyarakat (Wasmas), ialah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Umar (2006:90) menjelaskan adanya tiga jenis pengawasan, yakni: pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat.

a. Pengawasan melekat.

Istilah pengawasan melekat secara formal diadopsi dari Instruksi Presiders No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dimana pada salah satu pasal yakni pasal 3 menjelaskan bahwa: "setiap pimpinan di semua tingkatan meningkatkan pengawasan melekat dan meningkatkan mutu di lingkungan tugas masing-masing.

b. Pengawasan fungsional

(8)

terhadap obyek yang diawasinya, dalam praktiknya aparat pengawas ini melakukan pemeriksaan dan melakukan tugas lainnya seperti melakukan verifikasi, konfirmasi, survei, assessment dan melakukan pemantauan (monitoring) atas sesuatu yang sedang dalam pengawasan.

c. Pengawasan masyarakat

Pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai socia l contr ol, yakni pengawasan yang tercipta karena adanya pengakuan dan kepatuhan pada norma kelompok yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.

Socia l contr ol adalah pengawasan yang dilakukan secara non-formal oleh publik atau masyarakat secara lebih luas misalnya kelompok penekan (pressure) organisasi asosiasi, LSM dan kelompok yang berkepentingan (stakeholders).

Secara umum, menurut Sarundajang (2006:240) fungsi pengawasan adalah untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu:

1. Meningkatkan kinerja organisasi;

2. Memberikan opini atas kinerja organisasi, dan

3. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada.

Ada kalanya bahwa pengawasan itu perlu dilakukan oleh Pimpinan. Tujuan dari pengawasan oleh pimpinan adalah untuk meyakinkan apakah usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan dalam manajemen ini sudah baik atau belum. Lagi pula pengawasan ini bukan sesuatu yang sekali dilakukan itu sudah selesai, akan tetapi secara terus menerus dilakukan dan pengawasan ini merupakan sesuatu yang m empun yai hubungan satu dengan yang lai n. Denga n kat a lai n bahwa pengawasan merupakan bagian yang terintegrasi dengan manajemen, sekalipun aparat dari pengawasan itu diusahakan sekecil mungkin.

Selanjutnya dalam prosedur, pelaksanaan dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak sempurna, metode pengawasan tersebut harus diterapkan. Apabila teriadi ketidak-sempumaan, hal ini berarti bahwa orang-orang yang bekerja di tempat itulah yang tidak efektif dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan tersebut. Oleh karena itu, maka pimpinan harus menaruh perhatian dengan menggunakan metode dan prosedur pengawasan yang bermanfaat, jika apabila pengawasan di sini tidak dilakukan secara efektif. Dengan demikian, maka pimpinan harus menentukan rencana, dan prosedur pengawasan yang dapat mencapai pada hasil tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, bahwa tujuan dari pengawasan adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan, bukan untuk mencari kesalahan dari orang-orang yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.

Kaho (1982:143-144) menyatakan bahwa tujuan pengawasan adalah:

1. Untuk menjaga agar standar minimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tetap dipertahankan oleh pejabat-pejabat daerah;

2. Untuk mempertahankan atau menjaga mutu standar administrasi dengan cara menjalankan koordinasi antara pelbagai macam tingkatan pemerintah yang ada;

3. Untuk melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat daerah;

4. Untuk mengawasi pengeluaran atau penggunaan uang yang dilakukan oleh Pemeridtah Daerah, sebagai bagian dari manajemen dan perencanaan ekonomi nasional;

(9)

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari pengawasan adalah agar dalam pelaksanaan pekerjaan diperoleh hasil yang berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Selain mempunyai tujuan sebagaimana tersebut di atas, pengawasan juga mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dirinci paling sedikit menjadi empat macam. Keempat fungsi pengawasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.

2. Untuk mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan;

3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan, kelalaian dan kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan;

4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.

Keempat fungsi pengawasan tersebut selalu terdapat di dalam setiap bentuk pengawasan, baik yang berskala besar m maupun kecil. Agar suatu pengawasan dapat melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya, maka peranan pimpinan pun perlu mendapat perhatian dalam setiap proses pengawasan.

Luther Gulick dan L. Urwick (dalam Ndraha, 2003:197) berbicara tentang control sebagai proses sebagai berikut:

Proses tersebut berlangsung di bawah empat prinsip kontrol yang juga adalah prinsip organisasi. Keempat prinsip itu adalah (1) koordinasi sebagai hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu. situasi, (2) koordinasi dengan kontak langsung antar manusia yang berkepentingan, (3) koordinasi pada tahap awal setiap kegiatan, dan (4) koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus menerus. Jadi antara kontrol dengan koordinasi terdapat kaitan yang erat sekali.

Pengawasan dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap suatu organisasi atau kelompok masyarakat, baik internal mmaupun eksternal. Dilihat dari sudut ini, menurut Ndraha (2003:197) bahwa pengawasan dapat dilakukan misalnya oleh:

1. Atasan terhadap bawahan.

2. Unit kerja kontrol, baik internal mmaupun ekstemal terhadap organisasi yang berada di dalam lingkungan kompetensinya.

3. Konsumer atau pelanggan terhadap produser atau penjual.

4. Mekanisme built-in-control terhadap organisasi yang bersangkutan.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengawasan daerah dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standar yang telah disepakati dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara pemerintahan daerah.

Menurut Bellone (1980:268 -270) bahwa dalam sebuah organisasi (pemerintah), pengawasan merupakan masalah yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian, karena pengawasan merupakan upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.

(10)

kepercayaan publik dari pihak-pihak yang terkait dalam organisasi. Dalam sektor organisasi pemerintahan, terdapat 3 pilar utama, yakni: rakyat, wakil rakyat dan pemerintah. Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah diawasi oleh rakyat melalui wakil rakyat. Bahkan rakyat melalui LSM ikut mengawasi kinerj a pemerintah agar supaya berjalan sesuai dengan tujuan pemerintah.

Memperhatikan adanya berbagai konsep pengawasan di atas, jelaslah bahwa pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi termasuk diantaranya organisasi pemerintah, karena pengawasan dilakukan dalam upaya untuk meyakinkan bahwa implementasi suatu aturan/kebijakan telah sesuai dengan yang diharapkan. Pengawasan juga bermanfaat dalam penentuan keputusan selanjutnya dalam upaya untuk menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan, dan mencegah berulangnya kesalahan, penyimpangan.

2.2. Konsep Kinerja

Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu pr evious per for ma nce),

dibandingkan organisasi lain (benchma r king), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan.

Kinerja atau performance dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja. Rue dan Byars (1981:375) mendefinisikan bahwa: “Kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau degree of accomplishment”. Ini berarti kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Stolovitch (dalam Rivai, 2005:14) mengatakan bahwa: kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta". Sedangkan menurut Sedarmayanti (2001:50), bahwa performance yang diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti "prestasi kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja/tindakan, unjuk kerja, dan penampilan kerja".

Ndraha (2003:196) menjelaskan bahwa kerja dalam bahasa Inggris perfor m

berarti to a ct, to ca rr y out, to execute. Kata per formance mengandung arti luas. Beberapa artinya adalah entertaiment, the act of performing, the xecution or accomplishment of work act, etc.". Jadi performance bisa diartikan sebagai produk, dan dapat diartikan sebagai proses.

Menurut Mangkunegara (2000:67), bahwa: “pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Berdasarkan definisi kinerja yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi berdasarkan tugas dan kewajibannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Swanson (1999:73) membagi kinerja atas tiga tingkatan, yaitu kinerja organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu.

(11)

Kinerja proses menunjukkan apakah suatu proses yang dirancang dalam organisasi memungkinkan organisasi tersebut mencapai misinya dan tujuan para individu, didesain sebagai suatu sistem, kemampuan untuk menghasilkan, baik secara kuantitas, kualitas, dan tepat waktu, memberikan informasi dan factor-faktor manusia yang dibutuhkan untuk memelihara sistem tersebut, dan apakah proses pengembangan keahlian telah sesuai dengan tuntutan yang ada.

Kinerja individu berkaitan dengan apakah tujuan atau misi individu sesuai dengan misi organisasi, apakah individu menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil, apakah para individu memiliki kemampuan mental, fisik, dan emosi dalam bekerja, dan apakah mereka memiliki motivasi tinggi, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam bekerja.

Selanjutnya apabila dikaitkan dengan manajemen kinerja, Surya Dharma (2005:25) mengemukakan bahwa:

Manajemen Kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetansi yang telah ditentukan..

Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sarana akan dapat dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik pendek maupun panjang.

Bacal (2005:3) menjelaskan mengenai manajemen kinerja adalah: “Proses komunikasi yang berlangsung terus-menerus, yang dilaksanakan berdasarkan kemitraan, antara seorang karyawan dengan penyelia langsungnya”.

Lebih lanjut Bacal (2005:3-4) menyatakan bahwa manajemen kinerja meliputi upaya membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang: a) fungsi kerja esensial yang diharapkan dari karyawan; b) seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan bagi pencapaian tujuan organisasi; c) apa arti konkretnya “melakukan pekerjaan dengan baik”; d) bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang; e) bagaimana prestasi kerja akan diukur; dan f) mengenali berbagai hambatan kinerja dan menyingkirkannya.

Sistem manajemen kinerja terdiri dari beberapa komponen (Bacal, 2005:3 4), yaitu: 1. Perencanaan Kinerja

Titik awal manajemen kinerja: karyawan dan manajer bekerja sama untuk mengidentifikasikan, memahami, dan menyepakati apa yang seharusnya dikerjakan oleh karyawan, seberapa baiknya hal itu perlu dilaksanakan, mengapa, bilamana, dan seterusnya.

2. Komunikasi Kinerja yang Berlangsung Terus-menerus

Sebuah proses dua arah yang bekerja sepanjang tahun untuk memastikan bahwa pelaksanaan tugas kerja berjalan sebagaimana mestinya, bahwa masalah dapat dikenali sebelum berkembang, dan bahwa baik manajer mmaupun karyawan selalu memperoleh informasi yang segar.

3. Pengumpulan Data, Pengamatan dan Dokumentasi

(12)

4. Pertemuan Evaluasi Kinerja

Suatu proses di mana manajer dan karyawan bekerja sama dalam menilai sampai sejauh mana karyawan telah mencapai sasaran yang telah disepakati dan bekerja sama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui. Biasanya merupakan suatu pertemuan tahunan.

5. Diagnosis Kinerja dan Bimbingan

Diagnosis Kinerja adalah proses pemecahan masalah dan komunikasi, yang digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab dasar yang sebenarnya dari permasalahan atau kegagalan kinerja, bagi perseorangan, suatu bagian, atau bahkan keseluruhan organisasi. Sedangkan bimbingan merupakan suatu proses di mana seseorang yang lebih berpengetahuan mengenai suatu hal, bekerja dengan seorang karyawan untuk membantunya mengembangkan pengetahuan dan keahlian dalam rangka meningkatkan kinerja.

Dal am p en yel en ggar aan pem eri nt ah an, p ada P as al 1 a ya t (2) P erat u r an Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi

Pemerintah, disebutkan bahwa: “Ki nerj a adal ah kel uaran/ has il dari

kegi at an/ p ro gr a m ya n g h e n d ak a t au t e l a h d i c ap a i s e hu bu n ga n d en ga n p e n ggu n a a n an gga r a n dengan kuantitas dan kualitas terukur”. Selanjutnya dikemukakan pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, bahwa: “Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.

Kinerja suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun organisasi perusahaan bergantung pada kinerja subyek pelaksananya. Menurut Weston (dalam Prawirosentono, 2008:140-142), bahwa di dalam suatu organisasi dikenal 3 jenis kinerja, yakni:

1. Kinerja Administratif (administrative performance)

Kinerja administratif berkaitan dengan kinerja administrasi organisasi. Termasuk didalamnya tentang struktur administratif yang mengatur hubungan otoritas (wewenang) dan tanggung-jawab dari orang yang menduduki jabatan atau bekerja pada unit-unit kerja yang terdapat dalam organisasi. Di samping itu, kinerja administratif berkaitan dengan kinerja dari mekanisme aliran informasi antar unit kerja dalam organisasi, agar tercapai sinkronisasi kerja antar unit kerja.

2. Kinerja Operasional (operational performance)

Kinerja operational berkaitan dengan efektivitas penggunaan setiap sumber daya yang digunakan perusahaan. Kemampuan mencapai efektivitas penggunaan sumber daya (modal, bahan baku, teknologi, d1l) bergantung kepada sumberdaya manusia yang mengerjakannya.

3. Kinerja Strategik (strategic performance)

Kinerja strategik suatu perusahaan dievaluasi atas ketepatan perusahaan dalam memilih lingkungannya dan kemampuan adaptasi (penyesuaian) perusahaan bersangkutan atas lingkungan hidupnya dimana dia beroperasi.

(13)

M e n u rut N d r a h a ( 2 0 03 : 1 96 ) b a h wa b e r d a s a rk a n t e o ri t e nt a n g pertanggungjawaban pemerintahan, dapat dikonstruksi peng ertian kinerja pemerintahan, bahwa:

Dari sudut accountability, kinerja adalah pelaksanaan tugas atau perintah (task a ccoplishment), dari segi obliga tion, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji (penetapan janji), dan dari segi ca use, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa) yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala resiko (konsekuensi) nya.

Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organi sasi dalam mencapai tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Pengukuran kinerja merupakan tahapan yang amat penting dalam sistem manajemen organisasi. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh organisasi. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa pengukuran kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu (previous performance), dibandingkan organisasi lain, dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Sementara. Simon (2000:196) berpendapat bahwa: “Setiap alat pengukuran kinerja mampu menjelaskan bentuk priontas yang berbeda, memungkinkan setiap pegawai untuk memasuki arah dan tujuan strategi dan mewujudkan strategi tersebut kemudian mengkomunikasikan arah dan tujuan bisnis mereka”.

Bagi setiap organisasi, pengukuran dan evaluasi kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Melalui pengukuran dan evaluasi kerja dapat ditentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam mencapai misinya. Kinerja organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada; apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja. yang diinginkannya, apakah memiliki kepemimpinan, modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya, dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan, serta sumberdayanya.

Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan penguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para. pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Adanya akuntabilitas akan mendorong organisasi pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan menuntut perbaikan dalam pelayanan publik. Efektivitas pengukuran kinerja pemerintahan hanya dapat menjadi kenyataan, jika dapat dirumuskan dan ditetapkan indicator yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi.

(14)

dan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tahun berikutnya. Dwiyanto (2006:47) mengemukakan bahwa:

Mengukur kinerja organisasi pelayanan publik sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.

Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dengan adanya informasi mengenai kinerja, maka penilaian dengan mudah dapat dilakukan dan dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan.

Ada berbagai perspektif dalam menyusun kinerja publik. Secara garis besar, berbagai parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pengguna jasa.

Gerakan Reinventing Government menuntut agar kinerja tidak lagi diukur dengan besarnya input dan bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mencapai output, tetapi dengan mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat atau pelanggannya (Osborne dan Gaebler, 1993; Barzesley, 1992; Osborne dan Plastrik, 1997.

Menurut Keban (2004: 1994-195), penilaian suatu kinerja selalu didasarkan pada kriteria atau indikator yang diilhami oleh suatu paradigm yang dianut. Apabila paradigm yang dianut lebih didasarkan pada manajemen klasik, maka kriteria karakter pegawai, sikap, dan tingkah laku pegawai akan menjadi penting. Bila paradigm yang dianut lebih berpengaruh pada manajemen sumber daya manusia, maka hasil dan partisipasi, inisiatif, dan perkembangan pegawai akan menjadi pusat perhatian. Sedangkan apabila organisasi menganut paradigm good governance, maka kedua-duanya akan menjadi sama pentingnya, karena selain harus bekerja professional dan akuntabel terhadap apa yang telah dijanjikan kepada publik, aspek transparansi, responsivitas, kepatuhan terhadap hokum, dan sebagainya, juga harus diperhatikan.

Pengukuran kinerja dengan demikian merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dansasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi mengenai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Pengungkapan dan pengukuran kinerja organisasi publik (pemerintah) pada saat ini menjadi sangat penting, karena dipergunakan sebagai salah satu cara untuk menunjukkan akuntabilitas organisasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya kepada publik.

Berdasarkan kepentingan untuk membangun good governance, banyak organisasi pemerintah berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan membangun dan mengembangkan sistem manajemen pemerintahan berbasis kinerja.

Focus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja sector publik yang berorientasi pada pengukuran hasil (outcome), tidak sekedar input dan output. Dalam istilah Osborne dan Gaebler (1992) disebut sebagai result-oriented government, yaitu pemerintahan yang membiayai outcomes bukan input. Konsep tersebut lahir sebagai reaksi dan ketidakpercayaan publik kepada kinerja pemerintah dan kebangkrutan birokrasi Amerika Serikat, sehingga memunculkan konsep reinventing government.

Prawirosentono (2008:27-32) dalam melakukan penilaian kinerja organisas i melakukan pendekatan dari perspektif pemberi layanan. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah:

(15)

Efektivitas adalah bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan

2. Otoritas dan Tanggungjawab.

Otoritas adalah wewenang yang dimiliki seseorang untuk memerintah pada orang lain agar melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dalam suatu organisasi. Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tanggung jawab adalah bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai akibat da ri kepemilikan wewenang tersebut. Bila ada wewenang berarti dengan sendirinya muncul tanggung jawab.

3. Disiplin.

Disiplin adalah taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. 4. Inislatif.

Inisiatif berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

Indikator kinerja penyelenggaraan pemerintahan menurut Mc. Donald dan Lawton (dalam Sadu Wasistiono dkk, 2002:47), adalah “output, oriented measures, throughout, efficiency and effectiveness”. Masih dalam buku yang sama, Sadu Wasistiono dkk. (2002:48) mengutip pendapat Lenvile mengenai tiga konsep yang biasa digunakan sebagai indikator kinerja untuk mengukur kinerja organisasi pemerintah, antara lain: r esponsiveness, r esponsibili ty, a nd accountability.

Dalam kaitan ini, Sadu Wasistiono dkk. ( 2002: 48-50) menjelaskan beberapa indikator yang kiranya dapat dijadikan ukuran yang menggambarkan dan menjelaskan tingkat pencapaian misi dan tujuan organisasi pemerintah sebagai berikut:

a) Indikator Produktivitas.

Produktivitas dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pemerintah. Namun produktivitas bukan satu-satunya indikator kinerja organisasi pemerintah karena produktivitas tidak akan mampu menggambarkan secara keseluruhan tingkat kemampuan pencapaian misi dan tujuan organisasi pemerintah. Namun ini bukan berarti bahwa produktivitas tidak lagi penting untuk menilai kinerja organisasi pemerintah. Produktivitas tetap merupakan salah satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang penting (Perry, 1990). Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai konsep efisiensi atau rasio antara output dan input. Konsep ini terasa terlalu sempit jika dikaitkan dengan misi dan tujuan organisasi pemerintah. Hatri (1990) mengusulkan bahwa konsep produktivitas tidak hanya mengukur efisiensi, tetapi diperluas sehingga mencakup efektivitas pelayanan.

b) Indikator Kualitas Layanan

Quality of ser vices atau kualitas layanan kini menjadi isu yang semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pemerintah. Kualitas layanan seringkali membentuk image masyarakat terhadap organisasi pemerintah. Banyak image negatif yang terbentuk mengenai organisasi pemerintah muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi pemerintah. Dengan demikian kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik.

(16)

menjadi satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang murah dan mudah dipergunakan. Kepuasan masyarakat dapat menjadi decibel meter s untuk menilai kinerja organisasi pemerintah.

c) Responsivitas.

Lenvile (1990) menyatakan bahwa responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas dalam konteks ini adalah menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Responsivitas perlu dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena, menggambarkan secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam menjalankan misi dan tujuannya. Responsivitas yang rendah, seperti ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, jelas menunjukkan kegagalan organisasi pemerintah dalam mewujudkan misi dan tujuannya. Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

d) Responsibilitas.

Lenvile (1990) menyatakan pula bahwa responsibilitas adalah apakah pelaksanaan kegiatan organisasi pemerintah itu dilakukan sesuai dengan prinsip -prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Karena itu responsibilitas bisa saja suatu ketika berbenturan dengan responsivitas. Keinginan seorang pejabat organisasi pemerintah untuk meningkatkan responsivitas bisa saja mengorbankan responsibilitas, manakala kebijakan dan prosedur administrasi yang ada dalam organisasinya ternyata tidak lagi memadai untuk menjawab dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Ini terjadi disebabkan dinamika masyarakat selalu lebih cepat dari perubahan organisasi.

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Dwiyanto, dkk. (2006: 49-51) bahwa ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu sebagai berikut:

1. Produktivitas.

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

2. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena, ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pulik.

(17)

Akibat akses terhadap infonnasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan m as yarakat. Responsi vit as yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memili ki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implicit (Lenvine,1990). Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Daerah Kota Bandung dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat Kota Bandung, serta kinerja Pemerintah Kota Bandung.

3.2. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan teknik eksplanatori (explanatory research), yaitu suatu penelitian yang bermaksud untuk menguji hipotesis dan menjelaskan hubungan sebab-akibat (Singarimbun dan Sofian Efendi, 1995:2).

3.3. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung, yaitu seluruh Perusahaan Daerah, Dinas Daerah, Sekretariat Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Sekretariat DPRD, serta kecamatan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang berjumlah 84 SKPD. Berdasarkan keadaan populasi yang kurang dari 100, maka penelitian ini ditetapkan sebagai penelitian sensus, dimana seluruh anggota populasi diteliti.

3.4. Rancangan Analisis Data

Analisis data kuantitatif dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) analisis deskriptif dengan menggunakan Label frekuensi untuk mendeskripsikan karakteristik variabel-variabel penelitian ; (2) analisis uji hipotesis dengan menggunakan statistik deskriptif (untuk kasus sensus) yang dilakukan untuk mengetahui hubungan korelasional dan hubungan kausal melalui analisis jalur (path analysis). Kelebihan dari analisis jalur adalah dapat menjelaskan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung, demikian pula besar pengaruhnya, dari variabel eksogenus (penyebab). Analisis jalur wring disebut pula sebagai causal modelling (Chun Li, 1981).

Dalam penelitian sensus seperti penelitian ini, hipotesis penelitian tidak diuji melalui hipotesis statistik, taraf signifikansi alpha (α) maupun statistik uji, seperti uji F dan uji t (Sugiyono, 2003: 112). Hal ini disebabkan hal-hal ini hanya digunakan pada penelitian sampling yang dimaksudkan untuk menggeneralisasi hasil uji kepada populasinya. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diuji dengan menggunakan Koefisien Korelasi Multipel atau Ry.x1x2. Jika nilai Ry.x1x2 > 0,20

maka hipotesis penelitian diterima. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara individual atau parsial diuji dengan menggunakan Koefisien Jalur atau Py.xi. Jika

nilai Py.xi > 0,20 maka hipotesis penelitian diterima. Nilai 0,20 adalah nilai batas kelas

(19)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal

Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal dianalisis melalui koefisien korelasi rx2x1 sebagaimana tampak dari hasil analisis jalur pada gambar berikut ini:

X1

Rx2x1 = 0,2239

X2

Gambar 2. Hubungan Pengawasan Internal dengan Eksternal

Dimana : X2 = Pengawasan Internal

X2 = Pengawasan Ekstemal

Hubungan korelasional antara Pengawasan Internal (XI) dengan Pengawasan Eksternal

(X2) ditunjukkan oleh koefisien korelasi rx2x1 = 0,2239. Merujuk kepada nilai mutlak dari

koefisien korelasi di atas menunjukkan bahwa keeratan hubungan diantara kedua variabel tergolong rendah, yaitu antara 0,20 — 0,40. Tampak bahwa arah hubungan antar variabel adalah positif yang menunjukkan bahwa SKPD dengan derajat Pengawasan Internal yang lebih tinggi berkecenderungan mempunyai derajat Pengawasan Eksternal yang lebih tinggi pula, demikian juga sebaliknya. Walaupun demikian, derajat kecenderungan tersebut relatif lemah. Hasil uji menunjukkan adanya hubungan antara Pengawasan Internal (X1) dengan Pengawasan Eksternal

(X2) antar SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Tampak nilai korelasi = 0,2239 lebih

besar daripada rbatas = 0,20.

Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Hasil analisis mengenai pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal dapat dilihat pada diagram jalur di bawah ini.

Gambar 3.

(20)

Persamaan struktural

Y = PYXI*Xl + PYX2*X2 + 6 Y = 0,4807% + 0,2122*X2 6

(R2 = 0,3217 atau 32,17% dan R = 0,5672)

dimana : Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung X1 = Pengawasan Internal

X2 = Pengawasan Eksternal

Besarnya pengaruh Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap

Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) secara simultan adalah sebesar R2 = 0,3217 = 32,17%. Merujuk kepada nilai koefisien korelasi multipel (VR2) yaitu sebesar R = 0,5672 menunjukkan bahwa pengaruh secara bersama-sama atau secara simultan dari kedua variabel penyebab tersebut terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong moderat atau cukup kuat, yaitu 0,40 – 0,70. Dari hasil uji diperoleh bahwa Rhitung lebih besar daripada Rbatas = 0,20 (nilai batas

bawah kelas kategori kekuatan pengaruh yang lemah; Guilford; 1956:145) yang menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara simultan

terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diterima. Besarnya pengaruh, dengan kata lain juga menunjukkan besarnya variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat dijelaskan oleh kedua variabel penyebab di atas secara simultan, yaitu sebesar 32,17%. Sisa variasi, sebesar p2yε = 0,6783 atau 67,83% atau 1–R2, dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak diteliti. Pengaruh langsung dan tidak langsung yang mengurai besar pengaruh total kedua variabel di atas dapat dilihat selengkapnya pada tabel berikut:

Tabel 1.

Distribusi Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

dimana :

Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung X1= Pengawasan Internal

X2 = Pengawasan Eksternal

Tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh terbesar terletak pada pengaruh langsung dari Pengawasan Internal, yaitu. sebesar 23,10%; sementara kontribusi pengaruh terkecil pada pengaruh tidak langsung, baik dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal maupun dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal (2,28%). Adanya korelasi yang positif, walaupun relatif rendah, antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal membuat kontribusi pengaruh tidak langsung bernilai positif dan sama besar. Secara total, pengaruh Pengawasan Internal (25,39%) relatif lebih tinggi daripada. pengaruh Pengawasan Eksternal (6,79%).

Pengaruh Pengawasan Internal (X1) secara parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota

(21)

P2YXI = (0,4807)2 x 100% = 23,10%. Dari hasil uji diperoleh bahwa pyxl lebih besar daripada

Pbatas = 0,20 (nilai pbatas adalah batas kelas kategori kekuatan pengaruh lemah) yang menunjukkan

bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh secara individual atau parsial terhadap Kinerja

Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh dari Pengawasan Internal (X1) secara parsial diterima. Merujuk kepada nilai koefisien

jalur yaitu sebesar |pyxI| = 0,4807 menunjukkan bahwa pengaruh Pengawasan Internal (X1)

secara parsial tergolong cukup kuat; yaitu. antara 0,40 — 0,70. Arah pengaruh Pengawasan Internal yang positif secara parsial menunjukkan bahwa pengawasan internal yang lebih baik pada suatu SKPD, pada derajat pengawasan eksternal yang sama, cenderung mampu menghasilkan kinerja yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Pengaruh Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y)

disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.

Hasil Uji Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

0,5672 32,17% Cukup Kuat R>0,20 Hipotesis diterima

secara parsial, sedangkan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara parsial terhadap

Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) walaupun relatif lemah. Keberpengaruhan Pengawasan Eksternal (X2) yang lemah ini menggambarkan bahwa derajat pengawasan eksternal yang lebih

tinggi, pada derajat pengawasan internal yang sama, relatif belum cukup menjamin pencapaian kinerja SKPD yang lebih baik. Walaupun demikian, tampak bahwa secara deskriptif, arah pengaruh Pengawasan Eksternal sesuai secara teoritis. Hal ini menggambarkan bahwa Pengawasan Eksternal belum efektif dalam meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota Bandung.

(22)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Sebagai temuan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung, pada lingkungan SKPD-SKPD Pemerintah Kota Bandung mempunyai tingkat kesesuaian yang cukup tinggi dan relevan dengan fakta penelitian yang ada. Hal ini tercermin dari nilai koefisien determinasi pada model, yaitu sebesar R2 = 32,17%. Artinya, besarnya pengaruh secara bersama-sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 32,17%. Dengan kata lain, dari sekian faktor yang secara teoritis mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung; 32,17% variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat dijelaskan oleh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal. Besarnya pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti di luar Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 67,83%. Relatif besarnya pengaruh faktor luar menunjukkan bahwa hasil pemodelan ini masih membuka peluang dilakukannya penelitian lanjutan untuk menyertakan faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam analisis pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heryati (2007:185) yang menyimpulkan bahwa pengawasan berpengaruh terhadap kinerja sebesar 63%, ini berarti kinerja pegawai dipengaruhi sangat signifikan oleh pengawasan, walaupun masih ada variabel lain yang juga mempengaruhi, yakni sebesar 37%.

Hasil penelitian mengenai adanya pengaruh pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal, secara simultan terhadap kinerja sesuai dengan pendapat Terry (1960:395) yang menyatakan bahwa dengan adanya pengawasan dapat diamati apakah pelaksanaan suatu pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan atau sebaliknya, dan bila terjadi penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan, akan dapat dengan cepat ditanggulangi guna pencapaian tujuan yang direncanakan. Fungsi pengawasan dalam membantu manajemen meliputi tiga hal, yaitu: (1) meningkatkan kinerja organisasi, (2) memberikan opini atas kinerja organisasi dan (3) mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada. Fungsi ini dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan manajemen secara cepat dan memberikan nilai tambah bagipeningkatan kinerja penyelenggara, baik secara internal maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197).

Faktor-faktor lain di luar pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang diduga ikut mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung terutama adalah kinerja aparatur. Sebagaimana merujuk kepada Weston (dalam Prawirosentono, 1999:140-142), bahwa kineda suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun organisasi perusahaan bergantung pada kinerja subyek pelaksananya, baik dalam kegiatan strategik, operational, maupun administratif. Kinerja unit-unit organisasi dimana seseorang atau sekelompok orang berada di dalamnya merupakan pencerminan dari kinerja somber daya manusianya. Selain dipengaruhi oleh kinerja aparatur, kinerja pemerintah Kota Bandung sebagaimana merujuk kepada Swanson (1999:73) diduga juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik dan budaya. Demikian pula struktur organisasi, kebijakan organisasi dan kepemimpman atasan, ketersediaan anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif

(23)

SKPD, adanya pengaruh secara bersama-sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal menunjukkan bahwa upaya peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat dilakukan melalui usaha-usaha perbaikan Pengawasan Internal dan penyelarasan Pengawasan Eksternal sesuai tujuan pencapaian kinerja. Upaya perbaikan dan penyelarasan seyogyanya dilakukan dengan mengacu pada hasil analisis deskriptif mengenai kesenjangan-kesenjangan yang masih ada, baik yang berkaitan dengan teknik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal, selaras dengan pencapaian kinerja yang diharapkan.

Hasil analisis yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal menunjukkan masih adanya kesenjangan atau disparitas di antara faktor-faktor pembentuk kinerja pemerintah. Pengawasan internal yang lebih intensif tidak cenderung seiring sejalan dengan pengawasan eksternal yang lebih intensif, demikian pula sebaliknya. Hal ini menandakan perlunya perbaikan mekanisme pengawasan secara strategik yang memadukan pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara sinergis dalam upaya peningkatan kinerja di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.

Tidak adanya hubungan kedinasan antara Bawasda selaku pengawas internal dengan DPRD dan masyarakat selaku pengawas eksternal semestinya tidak menjadi hambatan bagi upaya pengawasan secara sinergis di antara keduanya. Sebagaimana merujuk kepada pendapat Budiardjo dan Ambong (1995:180), dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD diberikan kekuasaan untuk memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Peran DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi pengawasan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran DPRD dan masyarakat dalam pengawasan eksternal ini cenderung kurang sinergis dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda. Dimungkinkan bahwa hal ini dalam rangka menjaga objektivitas masing-masing pelaku pengawasan. Akan tetapi jika tujuan pengawasan menjadi tujuan bersama, sesungguhnya sangat memungkinkan bagi Bawasda dan DPRD dan masyarakat menjalankan fungsi pengawasannya secara sinergis, baik melalui interaksi komunikasi maupun koordinasi dengan tetap menjaga kemandiriannya masing-masing. Dengan demikian diharapkan kombinasi pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara terpadu dari Bawasda dan DPRD Serta masyarakat, dapat mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah secara lebih baik yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas perbaikan pengawasan internal dan pengawasan ekstemal, maka upaya yang dilakukan seyogyanya lebih diarahkan pada optimalisasi komponen-komponen kinerja yang relatif paling senjang. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terdapat tujuh (7) indikator kinerja yang dinilai belum optimal relatif dibandingkan dengan dua belas (12) indikator lainnya. Indikator-indikator tersebut adalah:

Tabel 3

Prioritas Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung

Dimensi/Indikator Bobot Prioritas

Produktivitas 63,4% I

(24)

dan kualitas

Dari tabel di atas, urut-urutan prioritas optimalisasi kinerja adalah: 1) Meningkatkan kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan; 2) Meningkatkan kepuasan pelayanan dengan meminimalisasi tingkat keluhan; 3) Meningkatkan kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan; 4) Meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM;

5) Memperbaiki sistem penentuan tarif retribusi pelayanan dan menekan kebocoran penerimaan retribusi atas pelayanan;

6) Meningkatkan keterampilan SDM dalam memberikan pelayanan melalui pelatihan pelayanan; dan

7) Memperbaiki kemampuan jajaran manajemen dalam perencanaan strategic terutama dalam menyusun berbagai skenario cara pencapaian kinerja yang diharapkan.

Alokasi anggaran untuk memberikan pelayanan kepada masing-masing SKPD belum semuanya terpenuhi. Ketersediaan anggaran penting agar SKPD dapat memberikan pelayanan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Terlebih sistem anggaran yang digunakan adalah sistem anggaran berbasis kinerja dimana anggaran digunakan untuk menunjang kinerja yang mengedepankan efisiensi dan efektivitas. Kurang tersedianya alokasi anggaran yang diperlukan akan berekses kepada tidak optimalnya pelayanan kepada masyarakat, baik dalam wujud keterbatasan sarana dan prasarana serta tidak berjalannya program pelayanan sebagaimana yang diharapkan.

Dari hasil pengamatan terungkap adanya keluhan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan SKPD. Keluhan masyarakat lebih banyak terarah pada kurang terpeliharanya infrastruktur yang ada, seperti misalnya jalan yang rusak dan buruknya saluran drainase. Demikian juga keluhan atas lambatnya perbaikan infrastruktur yang rusak.

Berkaitan dengan kecukupan sarana dan prasarana di masing-masing SKPD, penelitian ini mengungkap bahwa sarana prasarana di lingkungan SKPD cukup memadai, khususnya ketersediaan alat komunikasi. Walaupun demikian, kecukupan sarana dan prasarana tersebut seyogyanya tidak hanya disesuaikan dengan standarisasi sarana dan prasarana sesuai dengan peraturan yang ada, namun juga menyesuaikan dengan penyediaan sarana dan prasarana sesuai penyelenggaraan pelayanan prima yang diharapkan oleh masyarakat.

(25)

rangka peningkatan kualitas SDM yang dapat menunjang pelayanan prima.

Berkaitan dengan penghasilan, telah ada kesesuaian antara penghasilan dengan pelayanan yang diberikan oleh SKPD. Walaupun demikian kesesuaian ini relatif terjadi pada beberapa SKPD saja atau masih belum merata. pada SKPD-SKPD yang memang berpotensi menerima penghasilan atas pelayanannya. Adapun untuk SKPD-SKPD yang kurang berorientasi penghasilan, maka seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanannya.

Selanjutnya, dari hasil penelitian terungkap ada kecenderungan bahwa masing-masing SKPD memang menggunakan keterampilan yang sesuai dengan profesinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini mengingat dalam kebijakan pengembangan pegawainya, Pemerintah Kota Bandung sudah mengarahkannya pada pengembangan jabatan fungsional yang sejalan dengan optimalisasi pelayanan. Peningkatan keterampilan aparatur dalam memberikan pelayanan sesuai profesinya perlu didorong terus-menerus. Hal ini karena keterampilan merupakan faktor penunjang lancarnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi SKPD dalam memberikan pelayanan.

Dalam penentuan strategi peningkatan kinerja, adanya beberapa pilihan bagi SKPD untuk menemukan strategi yang tepat relatif cukup tersedia. Walaupun demikian, agar strategi yang dipilih benar-benar dapat meningkatkan kinerja, hal ini harus ditunjang dengan ketersediaan sarana, dan prasarana serta adanya sistem penilaian kinerja yang jelas dan adil.

Berdasarkan Misi Kota Bandung yang dituangkan ke dalam Rencana Stratejik (RENSTRA) Kota Bandung Tahun 2004-2008, misi yang bersesuaian dengan upaya peningkatan kinerja pemerintah Kota Bandung adalah misi ke-5 dan ke-6.

Misi ke-5 adalah meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat. Pemberdayaan aparatur pemerintah dikembangkan dalam rangka peningkatan kompetensi dan profesionalisme sebagai pelayan masyarakat. Misi ini didasarkan atas kondisi obyektif bahwa kualitas pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada masyarakat belum optimal, sehingga menyebabkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kota belum memenuhi harapan. Dari dasar misi ke-5 ini tersirat bahwa kualitas pelayanan dari aparatur pemerintah merupakan faktor penentu bagi pemberdayaan masyarakat.

(26)

manajemen kepala sekolah, diklat manajemen pemerintahan, serta diklat manajemen pengawas TK dan SD.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan kinerjanya masih terbatas pada pemberdayaan aparatur pemerintah melalui usaha-usaha untuk meningkatkan keterampilan aparatur dalam memberikan pelayanan. Pemerintah tampaknya belum mampu membangun sistem pelayanan yang efektif dan efisien bagi masyarakat akibat terbatasnya alokasi anggaran. Keterbatasan ini juga berekses pada kurang tersedianya sarana-prasarana dan SDM. Relatif masih rendahnya kesesuaian antara penghasilan dengan pelayanan yang diberikan mengkondisikan pemerintah untuk bergantung pada sumber pembiayaan di luar penghasilan atas pelayanan. Relatif masih tingginya keluhan masyarakat atas pelayanan pemerintah menjadi tanda bahwa meningkatnya keterampilan aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan dinilai belumlah memadai. Sementara upaya membangun sistem pelayanan yang lebih baik terbentur kepada keterbatasan anggaran. Dapat dikemukakan bahwa dalam upayanya untuk meningkatkan kinerja, pemerintah masih cenderung mempertahankan sistem pelayanan yang ada. Seyogyanya pemerintah dapat berinisiatif untuk melakukan perubahan atas sistem pelayanan jika dinilai membatasi terjaminnya kualitas pelayanan yang lebih baik.

Misi ke-6 Pemerintah Kota Bandung adalah mengembangkan sistem keuangan kota, yang mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sistem pembiayaan terdiri atas: Pertama, pembiayaan yang bersumber dari pemerintah sebagai kebijakan fiskal daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APED). Kedua, pembiayaan yang bersumber dari swasta dan dunia usaha dalam bentuk investasi, dan Ketiga, pembiayaan yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk swadaya masyarakat.

Hasil penelitian yang mengungkapkan adanya keterbatasan alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya berhasil memberdayakan sumber-sumber pembiayaan dalam rangka peningkatan pelayanan. Pemerintah Kota Bandung masih mengandalkan sumber pembiayaan sendiri yang terbatas untuk membiayai program-program peningkatan pelayanan. Pemerintah belum memiliki kemampuan untuk melibatkan investasi swasta dan swadaya masyarakat sebagai sumber pembiayaan lainnya dalam rangka peningkatan pelayanan. Kebijakan pembangunan yang menjadi dasar strategi pembangunan belum dapat menjadi arah penentu peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Kebijakan Rencana Stratejik (RENSTRA) Kota Bandung Tahun 2004-2008, kebijakan pemerintah dalam peningkatan pelayanan terbatas pada mengupayakan terjadinya peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Demikian pula dalam bidang pembiayaan kota, kebijakan pemerintah lebih dibatasi pada mendorong petumbuhan dan pengembahgan potensi pembangunan kota.

Dari temuan ini, dapat disusun model pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung atas komponen-komponen yang menyusunnya sebagai berikut:

1. Merancang sistem pelayanan yang lebih efektif, efisien, profesional, akuntabel dan transparan dengan menyertakan investasi swasta dan swadaya masyarakat.

2. Memperbesar alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan dengan mendorong peningkatan penghasilan atas pelayanan.

3. Menyesuaikan kapasitas serta kualitas SDM dan sarana-prasarana yang diperlukan sesuai kebutuhan sistem.

Gambar

Tabel di atas menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1secara parsial, sedangkan Pengawasan Eksternal (X) berpengaruh cukup erat ) berpengaruh secara parsial terhadap
Gambar 4.4 Implementasi Upaya Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Perbaikan Pengawasan Internal
Tabel 4.5. Prioritas Peningkatan Pengawasan Eksternal di Kota Bandung
Tabel 4.Posisi Temuan Penelitian dalam Pengembangan Teori 6

Referensi

Dokumen terkait

--- Pada hari ini, Senin tanggal Dua puluh tiga Juli tahun Dua ribu dua belas pukul sepuluh Waktu Indonesia Barat, berdasarkan Surat Perintah Kakorlantas Polri Nomor: Sprin / 20 / I /

Define quality, describe the four types of quality costs, discuss the approaches used for quality cost measurement, and prepare a quality cost report.. Explain why quality

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2015 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Pergerakan wanita Indonesia masa pergerakan nasional terbagi menjadi tiga periode yakni periode sebelum tahun 1920, periode tahun 1920-1930 dan periode sesudah tahun 1930 dengan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka (studi literatur), yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-

Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurtut fleming (1987: 234) adalah prenyebab atau alat yang

perusahaan swasta dalam penyelenggaraan data/informasi geospasial dalam upaya pencapaian tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan, perlu diatur

Inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain