• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan masa depan Indonesia, karena dapat memberikan dampak ekonomi kepada sebagian penduduk Indonesia. Selain itu, produk perikanan adalah bahan makanan penting masyarakat pada umumnya, sehingga sektor perikanan menjadi salah satu sumber pendapatan negara di samping menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat di kawasan pantai terutama nelayan. Atas dasar pertimbangan ini perikanan perlu dipertahankan berkelanjutannya.

Perikanan tangkap adalah kegiatan yang sangat tergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumberdaya ikan dan lingkungannya. Keberlanjutan perikanan memerlukan pengelolaan sumberdaya ikan yang tepat, yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya ikan.

Dalam konteks pembangunan perikanan berkelanjutan, Charles (1994) dan Charles (2001) mengatakan bahwa keberlanjutan harus dilihat secara lengkap, tidak sekedar tingkat penangkapan perikanan tangkap atau biomas, tetapi aspek-aspek lain perikanan, seperti ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, komunitas nelayan dan pengelolaan kelembagaannya. Dengan demikian keberlanjutan perikanan tangkap harus dilihat dari empat aspek keberlanjutan, yaitu aspek keberlanjutan ekologi (memelihara keberlanjutan stok/biomass dan meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem), keberlanjutan sosio-ekonomi (kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu), keberlanjutan komunitas (keberlanjutan kesejahteraan komunitas) dan keberlanjutan kelembagaan (pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat). Kegiatan perikanan yang hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya, akan menimbulkan ketimpangan dan akan mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan itu sendiri. Kenyataan pada beberapa dekade terakhir yaitu pemanfaatan sumberdaya alam (lingkungan) yang terfokus untuk pembangunan atau ekonomi dengan menguras sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan

(2)

keberlanjutan sumberdaya dan tidak memperhatikan aspek sosial karena dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata, telah menimbulkan berbagai ketimpangan, seperti pencemaran, degradasi lingkungan bahkan penurunan stok sumberdaya ikan serta merebaknya berbagai persoalan sosial seperti konflik sosial antar nelayan karena perebutan sumberdaya yang semakin terbatas (Fauzi, 2004). Kondisi tersebut akan berakhir pada pendapatan yang semakin menurun dan nelayan terperangkap pada kemiskinan. Situasi ini dikenal dengan sebutan

Malthusian Overfishing (Nikijuluw, 2005). Hal ini bertentangan dengan

paradigma pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan (Purba, 2002 dan Fauzi, 2004).

Keberlanjutan perikanan juga sangat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam kontek pengelolaan perikanan, teknologi yang digunakan biasanya berkaitan dengan upaya meningkatkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi. Industri perikanan tangkap yang berorientasi komersial biasanya menggunakan alat tangkap yang sangat produktif dalam upaya penangkapannya walaupun kurang memperhatikan kelestarian sumberdaya, misal penggunaan pukat harimau yang sangat efektif dalam menangkap udang. Tingkat efektivitas yang dimiliki teknologi pukat harimau terbukti telah menimbulkan dampak ekologi dan sosial apabila dioperasikan pada daerah yang tidak tepat. Oleh karena itu kegiatan perikanan tangkap memerlukan teknologi yang tepat karena penggunaan teknologi dapat menentukan keberlanjutan perikanan. Secara khusus, teknologi akan menentukan keberlanjutan ekologi. Menurut Fauzi dan Buchary (2002) bahwa praktek perikanan yang unsustainable melalui destructive fishing practice di Indonesia, menimbulkan kerugian negara mencapai US$ 386.000/tahun atau 4 kali lebih besar dari manfaat yang diterima. Demikian juga yang terjadi terhadap 40.000 nelayan Atlantik Canada yang kehilangan pekerjaan karena penurunan drastis stok ikan cod di perairan Barat Daya Atlantik pada tahun 1990.

Dari kasus-kasus tersebut di atas sangat jelas bahwa sebagai modal kerja, teknologi juga akan menentukan apakah pendapatan dan keuntungan dari usaha perikanan tangkap akan mendukung kesejahteraan komunitas secara berkelanjutan. Pasaribu (1994) menyatakan bahwa ada empat faktor penting

(3)

dalam teknologi penangkapan ikan yaitu jenis kapal, ukuran kapal, jenis alat tangkap yang digunakan dan tingkat keahlian yang dimiliki. Hasil dan mutu ikan dipengaruhi oleh cara penangkapan, alat tangkap, daerah penangkapan, musim dan penanganan pasca panen. Teknologi penanganan pasca panen sangat menentukan kualitas ikan yang akhirnya akan berpengaruh langsung terhadap harga.

Menurut Monintja et al. (2002), bahwa alat tangkap sebagai komponen teknologi yang dijadikan standar perbandingan untuk kepentingan keberlanjutan perikanan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kesteven (1973) pengembangan perikanan harus mempertimbangkan

bio-technico-socio-economic approach yaitu secara biologi tidak merusak atau

mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, secara teknis alat tangkap harus efektif untuk dioperasikan, secara sosial alat tangkap harus dapat diterima oleh masyarakat nelayan, secara ekonomi alat tangkap tersebut harus menguntungkan.

Berbagai pertimbangan tersebut di atas dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat mendukung terwujudnya perikanan yang berkelanjutan. Di samping itu, pengelolaan perikanan juga harus mengacu pada konsep pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab seperti dituangkan dalam Code of Conduct for

Responsible Fisheries (FAO, 1995).

Saat ini, perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini terlihat dari komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia yang masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 85%, dan hanya sekitar 15% di lakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Sampai dengan tahun 2003 struktur armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor (50%), berikutnya perahu motor tempel (26%) dan kapal motor (24%). Dari 24% kapal motor yang ada didominasi oleh kapal motor berukuran < 5 GT yaitu sekitar 72%, sekitar 14 % kapal motor berukuran 5 – 10 GT dan selebihnya kapal motor dengan ukuran

(4)

bervariasi dari 10 sampai dengan di atas 200 GT. Proporsi armada perikanan berukuran < 5 GT tersebut memberikan gambaran bahwa perikanan skala kecil berperan besar dalam perikanan nasional.

Perikanan tangkap skala kecil secara umum memiliki ciri-ciri teknologi tertentu. Ciri-ciri tersebut dapat berupa ukuran kapal atau jenis alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan setempat. Keragaan ukuran kapal dan alat tangkap menunjukkan spesifikasi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Sebagai contoh nelayan di Jawa Tengah terkonsentrasi pada jenis kapal berukuran kecil (5 – 10 GT) atau kurang dari 5 GT, di mana ukuran kapal < 10 GT umumnya menggunakan alat tangkap payang dan trammel net, ukuran kapal 10-20 GT menggunakan Cantrang, dan di atas 20 GT lazim menggunakan purse seine dan

gill net. Di Sumatera Utara, untuk ukuran kapal di bawah 10 GT alat tangkap

dominan adalah jaring dan pancing, ukuran kapal 10-20 GT menggunakan pukat langgar (Rachman et al., 2000).

Ada berbagai cara untuk membedakan skala perikanan tangkap. Menurut Smith (1983), dasar perbedaan tersebut mencakup perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial. Penggolongan jenis skala perikanan tersebut hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokkan juga dilakukan berdasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap dan jarak daerah penangkapan dari pantai. Di Indonesia skala usaha perikanan dibedakan atas ukuran kapal dan berdasarkan kapal bertenaga mesin atau tidak, di Filipina nelayan yang menggunakan kapal di atas 3 GT diklasifikasikan sebagai nelayan komersial, di Hongkong dan Singapura membedakannya berdasarkan

inshore dan offshore fisheries. Thailand membedakannya berdasarkan tipe alat

tangkap yang digunakan. Sementara Malaysia membedakannya berdasarkan bobot kapal, tipe alat tangkap yang digunakan dan area penangkapan (Smith, 1983).

Perikanan tangkap di Indonesia yang masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil memerlukan pengelolaan yang komprehensif agar kegiatan perikanan ini dapat berkelanjutan. Dengan memperhatikan karakteristik perikanan Pantai Utara Jawa Tengah khususnya kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dan perairan pantai Pasauran Kabupaten Serang serta adanya konsep

(5)

penilaian keberlanjutan perikanan yang lebih komprehensif, maka perlu untuk melihat bagaimana interaksi antar aspek keberlanjutan. Aspek-aspek tersebut adalah aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etik. Kelima aspek keberlanjutan itu dapat dijadikan satu patokan untuk melihat status keberlanjutan suatu kawasan perairan sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan atau keberlanjutan perikanan tangkap di kawasan tersebut.

Penelitian ini perlu dan sangat penting dilakukan mengingat perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Di samping itu, penilaian atribut-atribut pada masing-masing dimensi keberlanjutan untuk perikanan skala kecil yang berbeda karakteristiknya belum pernah dilakukan di Indonesia. Dalam disertasi ini dilakukan evaluasi keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di dua lokasi penelitian yang berbeda dengan metode multi variabel yang disebut multidimensional scaling (MDS). Metode ini relatif baru dikembangkan dan dikenal dengan nama Rapfish (Rapid Appraisal for

Fisheries). Beberapa contoh penggunaan Rapfish di Indonesia adalah Fauzi dan

Anna (2002a), Taryono (2003), Masydzulhak (2004), Susilo (2003). Metode Rapfish ini dapat dikembangkan dan diberi label/nama sesuai dengan fokus kajiannya. Susilo (2003) dengan metode Rapfish membuat indeks sustainability pembangunan pulau-pulau kecil dan dinamai dengan RAPSMILE (Rapid

Appraisal of Small Islands Development). Metode multidimensional scaling yang

digunakan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil ini akan dinamai RAPSMALLFISH (Rapid Appraisal of Small Scale Fisheries).

1.2 Perumusan Masalah

Beberapa isu penting tentang keberlanjutan perikanan tangkap diantaranya adalah isu sumberdaya, isu sosial dan ekonomi serta isu kelembagaan. Isu sumber daya meliputi kerusakan habitat, konflik penggunaan alat tangkap dan isu peningkatan upaya penangkapan (Kusnadi, 2002; FAO., 1999). Dalam konteks operasional, isu sumberdaya juga terkait dengan aspek teknologi (Monintja et al., 2002).

(6)

Isu sosial dan ekonomi meliputi isu konflik antar nelayan, yaitu nelayan asli dan pendatang, perebutan sumberdaya antar pengguna alat yang berbeda

tingkat teknologinya dan faktor lainnya, sedangkan isu ekonomi dapat berupa rendahnya harga produk perikanan di tingkat nelayan. McGoodwin (1990) yang

diacu dalam Alder et al. (2000) menyatakan bahwa dalam penilaian sistem manajemen perikanan, konsekuensi ekologis, sosial dan ekonomi juga dipertimbangkan secara seimbang, seperti halnya konsekuensi teknologi dan etika.

Isu kelembagaan antara lain mencakup terbatasnya peran formal dari kelompok nelayan dalam menentukan kebijakan pengelolaan perikanan. Isu yang dilaporkan mengisyaratkan bahwa masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan di wilayah pantai memiliki kapasitas yang rendah dalam penetuan kebijakan pengelolaan perikanan.

Pada masa lampau rekomendasi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield - MSY). Konsep ini diadopsi para pengelola perikanan nasional untuk menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan yaitu daya pulih dan laju eksploitasi agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.

Seperti diterangkan di atas bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap, agar keberlanjutannya terjamin sekurang-kurangnya harus mempertimbangkan aspek biologi, ekonomi dan sosial. Dari aspek biologi harus dapat menjaga kelestarian sumberdaya, secara ekonomi harus layak dan menguntungkan, dan dari aspek sosial dapat menyerap tenaga kerja dan pemerataan pendapatan.

Dalam masyarakat yang menganggap sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property), eksploitasi sumberdaya ikan cenderung sulit dikendalikan dan berkembang menuju kondisi padat atau lebih tangkap (Nikijuluw, 2002). Perkembangan buruk dapat semakin cepat jika setiap individu nelayan berpikiran bahwa upaya penangkapan ikan harus ditingkatkan untuk mengantisipasi ketidakpastian, baik akibat ketidakjelasan distribusi dan keberadaan sumberdaya ikan maupun akibat persaingan dengan nelayan lainnya.

(7)

Secara spesifik permasalahan mendasar yang berkaitan dengan keberlanjutan perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumberdaya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima aspek besar yaitu aspek ekologi, sosial ekonomi, teknologi dan sumberdaya manusia dari perikanan tangkap. Di sisi lain untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya, nelayan kecil sebagai pelaku perikanan tangkap masih memiliki berbagai permasalahan klasik, yaitu terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan nelayan, terbatasnya armada dan alat tangkap, kurangnya modal usaha, manajemen usaha bersifat tradisional dan dengan teknologi terbatas, terbatasnya akses informasi dan pasar, terbatasnya prasarana, sarana dan institusi pendukung.

Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat dipahami, sampai saat ini kita masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis/ mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri. Kesulitan ini terutama ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi dari keseluruhan komponen secara holistik dari berbagai aspek seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etik (Fauzi dan Anna, 2002). Dengan kata lain bahwa, keberlanjutan perikanan tangkap, masih lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari spesies target terhadap referensi biologi atau pada beberapa kasus referensi ekologi seperti tingkat kematian ikan, spawning

biomass atau struktur umur (Smith, 1993 yang diacu dalam Fauzi dan Anna,

2002).

Pendekatan pendugaan stok ikan secara konvensional biasanya difokuskan pada aspek biologi untuk spesies tunggal dan jarang sekali memasukan isu ekologi, ekonomi, teknologi dan etik. Pendekatan yang demikian tidak dapat menjawab secara akurat pertanyaan dan solusi keberlanjutan perikanan secara komprehensif. Kode etik perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for

Responsible Fisheries) yang diperkenalkan FAO mengisyaratkan banyak faktor

(8)

Pelanggaran terhadap kesepakatan ini dapat berakibat pada keberlanjutan perikanan di suatu wilayah bahkan suatu negara.

Seperti diuraikan terdahulu bahwa secara empiris perkembangan teknologi ekploitasi sumberdaya perikanan di beberapa wilayah penangkapan ternyata telah memberikan dampak yang luas terhadap aspek-aspek keberlanjutan. Oleh karena itu, penilaian keberlanjutan sumberdaya perikanan sekarang ini telah berkembang tidak hanya pada aspek biologi-ekologi dan teknik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan etika. Kerangka dasar pemikiran ini dapat dipahami bahwa status aspek bio-ekologi stok sumberdaya perikanan adalah hasil akumulasi interaksi aspek sumberdaya perikanan dengan aspek-aspek lain.

Berdasarkan alur pikir di atas, dapat dikembangkan pola pemikiran bahwa kondisi status sumberdaya perikanan sangat dipengaruhi oleh hasil interaksi dengan teknologi penangkapan yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Aspek teknologi tersebut berhubungan dengan aspek ekonomi dan etika dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Sedangkan aspek ekonomi dan etika berkaitan dengan kondisi sosial nelayan dan masyarakat perikanan lainnya di lokasi tersebut. Hasil interaksi aspek-aspek tersebut, akan mencerminkan status keberlanjutan perikanan yang berbasis kelestarian/keberlanjutan sumberdaya perikanan. Oleh karena itu, untuk menilai keberlanjutan perikanan, perlu dilihat kondisi aspek-aspek lain seperti aspek teknis, sosial, ekonomi dan etika.

Salah satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk mengevaluasi status keberlanjutan dari perikanan tersebut adalah Rapfish. Dengan Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana yang disayaratkan dalam Code of Conduct for

Responsible Fiseries (FAO, 1995).

Perikanan di pantai utara Jawa, khususnya perikanan skala kecil di perairan pantai Kabupaten Tegal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan perikanan skala kecil di perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang namun diasumsikan memiliki permasalahan yang hampir serupa. Oleh karena itu analisis

(9)

ini diperlukan untuk mengetahui status keberlanjutan masing-masing daerah tersebut. Mengacu pada karakteristik perikanan di kedua lokasi dengan keragaman alat tangkap di masing-masing wilayah, maka kajian ini juga akan dikembangkan lebih lanjut dengan melihat kondisi masing-masing jenis alat tangkap.

Secara ringkas, permasalahan yang dihadapi dalam keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di perairan pantai Pasauran Serang dan Tegal meliputi berbagai hal diantaranya adalah kondisi perairan yang padat tangkap sehingga sumberdaya ikan (SDI) semakin terbatas, upaya penangkapan terus meningkat namun produktivitasnya semakin menurun sehingga pendapaan nelayan semakin menurun, konflik pemanfaatan SDI yang semakin meningkat yang berakibat pada peningkatan intensitas konflik sosial antar nelayan. Konflik pemanfaatan SDI yang terjadi saat ini juga diakibatkan oleh kurang jelasnya aturan dan belum efektifnya penegakan hukum. Di sisi lain partisipasi nelayan dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan masih relatif kecil. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil.

Berdasarkan analisis berbagai masalah di atas, setidaknya dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan penelitian tentang :

(1) Gambaran umum perikanan tangkap skala kecil di lokasi penelitian,

(2) Posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta hukum dan kelembagaan terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan alat tangkap yang digunakan,

(3) Posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta kelembagaan dan hukum terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan lokasi penangkapan,

(4) Upaya-upaya yang tepat dilakukan untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan skala kecil di kedua lokasi penelitian.

Rumusan permasalahan di atas memberi isyarat bahwa perikanan perlu dikelola secara bijaksana dan perlu menerapkan kebijakan yang menangani masalah-masalah signifikan. Hasil dan pembahasan butir 1 (gambaran umum perikanan tangkap) disajikan dalam Bab 4, sedangkan butir 2 (posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta hukum dan kelembagaan terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan alat tangkap yang

(10)

digunakan) dan butir 3 (posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta kelembagaan dan hukum terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan lokasi penangkapan) disajikan dalam Bab 5 sampai dengan Bab 9. Hasil dan pembahasan tentang upaya untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil disajikan dalam Bab 10.

Hasil analisis keberlanjutan perikanan tangkap ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan bagi pengelolaan perikanan nasional dan kebijakan lokal agar keberlanjutan perikanan dapat dipertahankan.

1.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ada 2, yaitu :

(1) Kegiatan perikanan tangkap skala kecil di perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang dan perairan Tegal, Kabupaten Tegal ditinjau dari beberapa dimensi sudah tidak menunjang keberlanjutan perikanan.

(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap adalah : 1) dimensi ekologi, 2) dimensi ekonomi, 3) dimensi teknologi, 4) dimensi sosial, 5) dimensi kelembagaan, hukum dan etika.

Dengan melakukan analisis multi-aspek keberlanjutan perikanan, dapat ditetapkan status perikanan diwilayah studi sehingga dapat disusun tindakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu analisis pengelolaan perikanan tangkap untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai kondisi perikanan tangkap yang diperlukan dalam menyusun kebijakan untuk mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis peluang keberlanjutan perikanan di kedua lokasi penelitian dengan membandingkan status pengelolaan perikanan berdasarkan analisis terhadap dimensi keberlanjutan perikanan seperti ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta hukum dan kelembagaan dengan pendekatan alat tangkap yang dioperasikan di lokasi penelitian. Tujuan khusus ini akan dicapai melalui beberapa tujuan antara (tahapan-tahapan) berikut :

(11)

1) Menentukan status perikanan tangkap skala kecil dalam perspektif keberlanjutan menurut dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta hukum dan kelembagaan di perairan pantai Pasauran Serang dan perairan pantai Tegal.

2) Mengidentifikasi kebijakan untuk mendukung keberlanjutan perikanan tangkap di lokasi penelitian.

Hasil penelitian ini juga dapat merekomendasikan tindakan pengelolaan perikanan berdasarkan dimensi keberlanjutan perikanan tangkap dan alat tangkap yang dioperasikan, atau rekomendasi untuk moratorium penerapan regulasi yang relevan di masing-masing wilayah.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam upaya pengembangan perikanan berkelanjutan, baik untuk praktisi, perguruan tinggi, para pengambil kebijakan (pemerintah) di tingkat pusat maupun daerah serta pihak terkait lainnya. Secara khusus, penelitian ini sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan kebijakan pembangunan perikanan yang secara nasional masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Di samping itu, penelitian ini juga dapat dijadikan strategi lokal dalam pengembangan perikanan berkelanjutan sesuai kondisi di lapangan.

1) Perguruan tinggi

(1) Memberi sumbangan teoritis aspek keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Indonesia.

(2) Sebagai bahan pembanding bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengoptimalkan perikanan tangkap yang berwawasan lingkungan dan mendukung pembangunan perikanan berkelanjutan.

(3) Dapat mendorong peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih dalam atau yang serupa dalam sektor lain.

2) Pemerintah dan pihak terkait

(1) Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan keberadaan perikanan tangkap skala kecil dan keberlanjutannya sesuai dinamika dan tuntutan pembanguan berkelanjutan.

(12)

(2) Memberikan kejelasan kepada pihak-pihak terkait dalam menentukan prioritas dalam kegiatan pembangunan perikanan berkelanjutan secara komprehensif.

1.6 Kerangka Pemikiran

Salah satu isu pembangunan perikanan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dengan keberlangsungan sumberdaya perikanan, di mana dalam beberapa dekade belakangan ini pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran tanpa memperhatikan aspek kelestarian. Di sisi lain kondisi sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya di wilayah pantai cenderung mulai berkurang, sehingga hasil tangkapan beberapa jenis ikan terus mengalami penurunan. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena semakin banyaknya komunitas pemanfaat sumberdaya atau semakin efektifnya alat tangkap yang digunakan, sementara kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity) sumberdaya perikanan semakin menurun. Di samping dapat menurunkan tingkat produktivitas dan pendapatan nelayan, kondisi seperti ini dapat juga memicu terjadinya dampak sosial berupa konflik antar nelayan di wilayah pantai.

Peningkatan jumlah penduduk yang memanfaatkan sumberdaya perikanan menyebabkan tingginya tekanan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Menurut Kusumastanto (2000), fenomena ini memerlukan suatu rumusan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan secara komprehensif dan memenuhi kriteria pembangunan terpadu berkelanjutan yaitu secara ekonomi harus efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan dan dapat diterima, dan secara ekologi tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally friendly).

Dari penjelasan di atas, perikanan merupakan salah satu aktifitas ekonomi sumberdaya yang sangat kompleks, mengingat ketersediaan dan kelestarian sumberdaya ikan yang dimanfaatkan sangat dipengaruhi oleh cara dan tingkat pemanfaatannya yang dapat berdampak negatif dimasa datang. Di sisi lain ada banyak pihak yang sekedar meningkatkan produksi tanpa berpikir kelestarian

(13)

sumberdaya ikan walaupun disadari hal ini akan berdampak pula pada keberlanjutan.

Untuk mewujudkan konsep pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, dibutuhkan kajian terhadap isu permasalahan yang terdapat di wilayah penelitian secara komprehensif yang mencakup aspek ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan etika termasuk kelembagaan sebagai pengkoordinasi dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya secara keseluruhan. Keterpaduan aspek-aspek keberlanjutan di atas dapat menggambarkan keberlanjutan perikanan, karena aspek-aspek tersebut telah mencakup semua aspek keberlanjutan perikanan sekaligus merupakan tolok ukur pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya hasil identifikasi isu dan permasalahan perikanan tersebut kemudian diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan masing-masing aspek, yang akhirnya diperoleh agregat faktor untuk masing-masing-masing-masing aspek keberlanjutan. Dengan cara demikian dapat diperoleh masukan untuk menganalisis keberlanjutan dan selanjutnya dapat dirumuskan upaya-upaya yang dapat ditempuh dalam menyusun kebijakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di wilayah penelitian. Berdasarkan hipotesis dasar bahwa “Keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dipengaruhi berbagai aspek keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika/manajemen), kondisi sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih (overfishing) memberikan keuntungan yang tidak optimum sehingga mengancam keberlanjutan perikanan”, maka penelitian Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil ini perlu di lakukan.

Secara teoritis kerangka pemikiran/penelitian ini dirancang untuk melihat kinerja perikanan tangkap skala kecil saat ini, dan kemudian berdasarkan kinerja yang ada dapat dilakukan berbagai strategi untuk perbaikan di masa depan atau berbagai alternatif pemecahan permasalahannya. Secara teknis operasional, kerangka pemikiran dibangun berdasarkan pada isu pengelolaan perikanan di wilayah penelitian. Isu pengelolaan perikanan tersebut merupakan fenomena yang timbul dari kondisi sumberdaya perikanan, tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan, penggunaan teknologi penangkapan, etika pemanfaatan sumberdaya perikanan dan dampak ekonomi sosial saat ini.

(14)

Status sumberdaya perikanan sebagai dasar keberlanjutan perikanan tangkap merupakan refleksi dari hasil interaksi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penilaian keberlanjutan perikanan didasarkan pada ketersediaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan yang dipengaruhi berbagai aspek, di mana aspek biologi dan ekologi sebagai indikator utama. Dengan adanya perubahan paradigma pembangunan menjadi pembangunan berkelanjutan, maka keberlanjutan perikanan mencakup lebih banyak aspek yang dilibatkan. Aspek-aspek tersebut adalah aspek biologi/ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika atau hukum dan kelembagaan.

Dalam aspek biologi dan ekologi, indikator keberlanjutannya telah ditetapkan relatif baku. Tidak demikian halnya pada aspek lain. Oleh karena itu, perlu dikembangkan indikator keberlanjutan pada setiap aspeknya. Salah satu indikator pembangunan perikanan berkelanjutan telah dikembangkan oleh FAO dalam rangka implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries. Berdasarkan indikator tersebut dapat dilakukan analisis status masing-masing aspek keberlanjutan, apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan perikanan dalam suatu wilayah tertentu.

Hasil analisis ini sangat penting agar dapat merumuskan kebijakan yang secara spesifik dapat dilakukan untuk aspek tertentu, sehingga kebijakan tersebut akan lebih mampu untuk memecahkan permasalahan, agar pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dapat diwujudkan.

Untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, maka dibutuhkan strategi pengelolaan perikanan yang tepat. Dilihat dari perspektif keberlanjutannya, belum ada kajian yang komprehensif yang sekaligus mencakup berbagai dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan hukum/kelembagaan, padahal kondisi dimensi-dimensi tersebut dapat menggambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap dan dapat dijadikan sebagai pertimbagan pembangunan perikanan ke depan.

Penelitian ini mengacu pada teknik Rapfish (Rapid Appraissal for

Fisheries) yaitu teknik analisis untuk mengevaluasi keberlanjutan perikanan

secara multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi yaitu menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur dengan menggunakan

(15)

multidimensional scaling (MDS). Aspek dalam Rapfish menyangkut aspek

keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etika atau kelembagaan dan hukum. Setiap aspek memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan

sustainability sebagaimana yang disyaratkan oleh FAO-CCRF 1995. Dengan

Rapfish, atribut-atribut tersebut diadaptasikan dari atribut yang telah dikembangkan oleh Pitcher and Preikshot (2001) yang telah terbukti sejalan dengan indikator FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries.

Kerangka pemikiran dalam rangka pemecahan masalah keberlanjutan perikanan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.1.

Menurut Fauzi dan Anna (2002) secara makro paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya telah mengalami pergeseran dari paradigma konservasi yang mengutamakan aspek biologi ke paradigma rasionalisasi (ekonomi) dan kemudian ke paradigma sosial / komunitas. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Charles (1994) di mana pandangan pembangunan perikanan berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut yaitu aspek biologi, ekonomi dan sosial.

Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2002) menyatakan bahwa konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan mengandung aspek-aspek sebagai berikut (1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yakni memelihara keberlanjutan stok/biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta peningkatan kapasitas dan ekosistem menjadi perhatian utama, (2) Keberlanjutan sosio-ekonomi (socio-economic sustainability) yakni pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi pelaku perikanan, (3) Keberlanjutan komunitas/masyarakat (community

sustainability), mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi

komunitas atau masyarakat menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan, (4) keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yakni keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Dengan melihat aspek-aspek tersebut sama pentingnya maka kebijakan pembangunan perikanan berkelanjutan harus mampu memelihara tingkat yang

(16)

Mulai Selesai Analisis Kondisi Perikanan Tangkap Skala Kecil Saat Ini Permasalahan Rapfish

Atribut Sensitif (Bab 10)

Status Keberlanjutan Perikanan (Bab 10)

Alternatif Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Skala Kecil

(Bab 10) Data :

Primer dan Sekunder

1. Ketersediaan SDI terbatas 2. Pendapatan menurun 3. Konflik pemanfaatan SDI 4. Partisipasi nelayan rendah 5. Aturan/hukum belum efektif

Dimensi hukum/ kelembagaan ((Bab 9) Dimensi Teknologi (Bab 8) Dimensi sosial (Bab 7) Dimensi ekonomi (Bab 6) Dimensi ekologi (Bab 5) Keterangan : : Batasan penelitian ... : Batasan analisis Rapfish --- : Implementasi kebijakan

Gambar 1.1 Kerangka pikir pemecahan masalah keberlanjutan perikanan di perairan Pasauran Serang dan Tegal.

(17)

Menurut Alder et al. (2000) bahwa dalam pembangunan perikanan berkelanjutan, pendekatan yang digunakan harus holistik yaitu pendekatan yang harus mengakomodir berbagai aspek yang menentukan keberlanjutan secara utuh. Aspek tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosiologi dan aspek etika. Dari setiap aspek ada beberapa atribut yang harus dipenuhi karena merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator keberlanjutan.

Aspek-aspek yang sekaligus menjadi variabel dan indikator penelitian adalah sebagai berikut :

(1) Aspek ekologi : tingkat eksploitasi, discard dan by catch (persentase ikan yang dibuang), tekanan pemanfaatan perairan, perubahan ukuran ikan yang tertangkap selama 10 tahun terakhir, perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir, dan pemanfaatan pariwisata bahari.

(2) Aspek ekonomi : keuntungan, kontribusi perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB, pendapatan perkapita daerah, kepemilikan (penerima keuntungan dari kepemilikan), tingkat subsidi, alternatif pekerjaan dan pendapatan, dan pemasaran perikanan, rata-rata penghasilan relatif anak buah kapal (ABK) terhadap upah minimum regional (UMR), penerimaan relatif antar setiap alat tangkap terhadap waktu bekerja, transfer keuntungan antara orang/pelaku ekonomi lokal dan orang/pelaku ekonomi luar daerah, dan penyerapan tenaga kerja.

(3) Aspek sosial : jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dibandingkan jumlah penduduk di wilayah masing-masing, pengetahuan lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status dan frekuensi konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, frekuensi pertemuan antar warga berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, sosialisasi pekerjaan, frekuensi penyuluhan dan pelatihan, dan pertumbuhan pekerja/RTP pengeksploitasi sumberdaya ikan (SDI) dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir.

(4) Aspek teknologi : tempat pendaratan, lama trip penangkapan, jenis (sifat) alat tangkap, selektifitas alat tangkap, penggunaan alat bantu penangkapan (FADs), ukuran kapal/perahu penangkapan, penanganan pasca panen, penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif.

(18)

(5) Aspek kelembagaan, hukum dan etika : ketersediaan peraturan formal pengelolaan perikanan, keadilan dalam hukum, ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas lokal, demokrasi dalam penentuan kebijakan, illegal fishing, peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan, ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan, ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal, peranan kelembagaan lokal (informal) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan, dan manfaat aturan formal untuk nelayan.

Aspek-aspek ini diperlukan sebagai prasyarat dari dipenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Gambar

Gambar 1.1   Kerangka pikir pemecahan masalah keberlanjutan perikanan di  perairan Pasauran Serang dan Tegal

Referensi

Dokumen terkait

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Penataan promosi statis ialah suatu kegiatan untuk mempertunjukkan, memamerkan atau memperlihatkan hasil praktek atau produk lainnya berupa merchandise kepada masyarakat

Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapat Sudjana (2008, p.56) bahwa evaluasi produk mengukur dan menginterpretasi penca- paian program selama pelaksanaan program

yang sangat besar seperti: (1) pengembangan kompetensi guru (matematika) dalam pendidikan dan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat merefleksikan pada

Logo merupakan lambang yang dapat memasuki alam pikiran/suatu penerapan image yang secara tepat dipikiran pembaca ketika nama produk tersebut disebutkan (dibaca),