• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokard disertai elevasi segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokard (O’Gara et al., 2013). Sindroma ini merupakan spektrum klinis terberat dari sindroma koroner akut sebagai konsekuensi dari obstruksi total arteri koroner sehingga terjadi proses iskemik yang berat dan nekrosis miokard yang lebih luas (Rhee et al., 2011). Di Amerika Serikat, sindroma klinis ini mencakup 25%-40% dari seluruh presentasi klinis infark miokard dengan mortalitas selama perawatan di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas dalam 1 tahun mencapai 7%-18% (O’Gara et al., 2013). Studi di Cina mengemukakan mortalitas selama perawatan di rumah sakit sebesar 7.1% pada pasien IMA-EST. Walaupun terjadi penurunan insidensi dan mortalitas pada penderita infark miokard, tetapi besaran angkanya tidak signifikan (Li et al., 2015).

Patomekanisme yang mendasari IMA-EST adalah peningkatan dispersi repolarisasi. Pada awalnya, iskemia miokard menyebabkan perubahan metabolik dan pertukaran ion. Ion K+ akan lebih banyak keluar sel sehingga terjadi penurunan

konsentrasi K+ intraseluler. Abnormalitas pertukaran ion ini mengakibatkan

potensial membran relatif terdepolarisasi, penurunan amplitudo potensial aksi dan penurunan kecepatan fase 0 depolarisasi. Selain itu, ion Ca2+ juga menumpuk di

dalam sel karena pertukaran Ca2+ dengan Na+ serta pelepasan Ca2+ ke sitosol oleh

(2)

terjadi secara homogen di seluruh lapisan transmural, tetapi paling banyak terjadi pada epikardial dibandingkan dengan endokardial sehingga menyebabkan perbedaan durasi potensial aksi (Burton dan Cobbe, 2001). Perbedaan durasi potensial aksi ini akan meningkatkan dispersi repolarisasi antara epikardial dan endokardial yang dapat mencetuskan aritmia melalui mekanisme early afterdepolarization maupun reentri. Aritmia inilah yang menjadi penyebab terbanyak kematian pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (Akar dan Akar, 2007 dan Carmeliet, 1999). Kejadian aritmia ventrikel dalam 48 jam pertama disebabkan karena abnormalitas elektrik, sedangkan kejadian aritmia ventrikel setelah 48 jam lebih mencerminkan kegagalan ventrikel kiri yang parah dan berhubungan dengan peningkatan angka kematian (Rhee et al., 2011).

Secara mekanik, peningkatan dispersi repolarisasi juga berhubungan dengan disfungsi ventrikel berupa gangguan relaksasi (disfungsi diastolik) dan kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik). Hal ini berkaitan dengan perubahan penanganan dan siklus Ca2+ intraseluler (Sauer et al., 2014). Gangguan diastolik ini

terjadi sebelum terjadinya gangguan sistolik (Shah et al., 2014). Disfungsi diastolik berakibat pada hipertensi vena pulmonalis dan kongesti pulmonal sehingga akan muncul tanda dan gejala gagal jantung sementara disfungsi sistolik berakibat penurunan volume sekuncup dan curah jantung. Kerusakan miokardium yang lebih luas, yaitu lebih dari 40%, menyebabkan penurunan perfusi sistemik dan perfusi koroner yang selanjutnya dapat memperparah dan memperluas kondisi iskemia. Kondisi ini dapat berakibat pada syok kardiogenik dan kematian (Scirica dan Morrow, 2015). Tingkat kematian syok kardiogenik ini masih sangat tinggi, yaitu

(3)

sekitar 70% meskipun kateterisasi dan reperfusi invasif telah berkembang (Rhee et al., 2011). Pada IMA-EST, gangguan sistolik digambarkan sebagai ejeksi fraksi ventrikel kiri, sedangkan gabungan gangguan sistolik dan diastolik yang mencerminkan abnormalitas relaksasi miokardium digambarkan sebagai index Tei ventrikel kiri pada pasien IMA-EST (Abdelrahman, TM., 2014). Aritmia, kematian, gagal jantung akut, dan syok kardiogenik merupakan kejadian kardiovaskular mayor (KKM) yang dapat diprediksi sehingga dapat dilakukan tatalaksana untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas penderita IMA-EST.

Beberapa prediktor independen terjadinya kematian pada IMA-EST yang telah teridentifikasi antara lain: faktor usia, kelas Killip saat admisi, waktu hingga dilakukannya fibrinolisis, henti jantung, takikardi, hipotensi, lokasi infark di anterior, riwayat infark miokard sebelumnya, diabetes melitus, status merokok, fungsi ginjal dan kenaikan biomarka nekrosis miokard. Beberapa skor risiko yang telah dikembangkan adalah Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) yang secara spesifik dikembangkan untuk memprediksi kematian dalam 30 hari pada IMA-EST yang diterapi fibrinolitik dan skor Global Registry for Acute Coronary Events (GRACE) yang dibuat untuk memprediksi kematian selama perawatan di rumah sakit dan kematian dalam 6 bulan pada seluruh spektrum sindroma koroner akut (Morrow et al., 2000 dan Granger et al., 2003).

Peningkatan dispersi repolarisasi dapat dideteksi dengan pemanjangan interval T peak-T end (Tp-Te) pada EKG 12 sandapan. T peak menggambarkan saat terjadi repolarisasi menyeluruh sel epikardium sedangkan T end terjadi saat repolarisasi menyeluruh sel M, suatu populasi sel diantara epikardial dan

(4)

endokardial. Interval Tp-Te merupakan interval waktu yang diukur dari puncak gelombang T ke akhir gelombang T. Interval ini menggambarkan parameter dispersi repolarisasi transmural (DRT) (Gupta et al., 2008).

Beberapa studi telah mengemukakan bahwa pemanjangan Tp-Te berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel pada pasien sindroma Brugada (Castro et al., 2006), kejadian torsade de pointes pada sindroma long QT (Yamaguchi et al., 2003), dan kejadian takikardia ventrikel dan kematian jantung mendadak pada kardiomiopati hipertrofi (Shimizu et al., 2002). Penelitian lain juga menyebutkan pemanjangan Tp-Te juga berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel pada pasien IMA-EST tetapi tidak berhubungan dengan kematian dalam 30 hari (Dey et al., 2014). Hasil berbeda diungkapkan Tatlisu et al (2014) yang menemukan pemanjangan Tp-Te berhubungan dengan kematian saat perawatan di rumah sakit maupun jangka panjang pada studi kohort 448 pasien IMA-EST. Pemanjangan interval Tp-Te juga berhubungan dengan fungsi sistolik dan fungsi diastolik ventrikel kiri pada pasien IMA-EST (Abdelrahman, TM., 2014). Sauer et al (2012) menunjukkan peningkatan Tp-Te berhubungan dengan kecepatan e’ dan rasio E/e’. Peningkatan Tp-Te juga berhubungan dengan peningkatan heterogenitas durasi kontraksi miokardium (Sauer et al.,2014)

Penelitian sebelumnya telah menjelaskan hubungan Tp-Te dengan aritmia ventrikel, kematian, disfungsi sistolik, dan disfungsi diastolik. Akan tetapi, belum terdapat penelitian tentang interval Tp-Te sebagai faktor risiko kejadian gagal jantung dan syok kardiogenik pada IMA-EST sehingga penelitian perlu dilakukan

(5)

untuk mengetahui apakah interval Tp-Te yang lebih panjang dapat meningkatkan risiko KKM pada IMA-EST.

I.2. Perumusan Masalah

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) menyebabkan perubahan potensial aksi berupa penurunan K+ intraseluler dan peningkatan Ca2+

intraseluler yang terjadi inhomogen antara epikardial, endokardial, dan sel M. Perbedaan durasi potensial aksi ini akan meningkatkan dispersi repolarisasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan aritmia, disfungsi ventrikel baik diastolik berupa gagal jantung akut maupun gabungan sistolik dan diastolik berupa syok kardiogenik yang dapat berujung pada kematian. Pemeriksaan penunjang yang dapat mendeteksi gangguan repolarisasi ini perlu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mendeteksi potensi timbulnya KKM.

Salah satu parameter noninvasif EKG yang diajukan untuk menghitung dispersi repolarisasi transmural ini adalah interval Tp-Te. Interval Tp-Te telah terbukti mengalami pemanjangan pada pasien dengan IMA-EST. Beberapa penelitian telah berhasil menemukan hubungan yang signifikan antara pemanjangan interval Tp-Te dengan kejadian aritmia ventrikel, kematian selama perawatan rumah sakit, disfungsi sistolik dan diastolik. Namun demikian, hubungan interval Tp-Te yang lebih panjang saat admisi di UGD berperan sebagai faktor risiko KKM selama perawatan pada pasien IMA-EST belum ditetapkan sehingga masih diperlukan penelitian yang mendukung hasil penelitian tersebut.

(6)

I.3. Pertanyaan Penelitian

Apakah interval Tp-Te yang lebih panjang saat admisi di UGD meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien dengan IMA-EST selama perawatan di rumah sakit?

I.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemanjangan interval Tp-Te, yang diukur pada saat admisi di UGD, akan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien dengan IMA-EST selama perawatan di rumah sakit.

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah memberikan tambahan bukti ilmiah interval Tp-Te saat admisi di UGD dapat meningkatkan risiko KKM pada pasien IMA-EST selama perawatan di rumah sakit.

I.6. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian tentang hubungan interval Tp-Te terhadap KKM selama perawatan di rumah sakit maupun dalam 30 hari adalah sebagai berikut.

1. Haarmark et al. (2009) melakukan penelitian kohort prospektif terhadap 101 pasien IMA-EST yang menjalani IKP primer. Studi tersebut mengungkapan interval Tp-Te preIKP dengan nilai batas 100 mdet dapat memprediksi

(7)

kematian karena semua sebab dalam pengamatannya yakni 22+7 bulan (hazard ratio, 10,5 [1,7-20,4]).

2. Dey et al. (2014) dalam publikasinya yang berjudul T peak – T end interval: marker for arrhythmic events at 30 days following ST elevation myocardial infarction menemukan interval Tp-Te > 100 mdet sebelum dilakukan tindakan reperfusi meningkatkan risiko kejadian aritmia dengan RO 13,21 (1,16-150,57,IK 95%), tetapi tidak meningkatkan risiko kematian dalam 30 hari. Penelitian ini melibatkan 216 pasien yang terdiri dari 52,3% menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) primer, 26,4% menjalani trombolisis, dan sisanya menjalani IKP penyelamatan.

3. Tatlisu et al. (2014) melakukan studi observasional prospektif terhadap 488 pasien IMA-EST yang menjalani IKP primer selama rata-rata 21,1+10,2 bulan dengan hasil bahwa interval Tp-Te dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas selama perawatan di rumah sakit dan jangka panjang dengan RO 1,018 (1,004-1,033, IK 95%).

4. Abdelrahman (2014) melakukan analisis data secara prospektif pada 564 pasien yang dirawat di ICCU sejak Januari 2012 sampai dengan Desember 2013. Penelitian tersebut menunjukkan kelompok yang memiliki derajat aritmia Lown > 3 memilki interval Tp-Te yang lebih panjang dibandingkan dengan kelompok yang memiliki derajat aritmia Lown <3 (86+16 mdet vs 62+14 mdet, p=0,001). Pengukuran interval Tp-Te dilakukan sebelum pasien dipulangkan saat kondisi stabil, sementara derajat aritmia ditentukan berdasarkan pemeriksaan holter 1 bulan pasca keluar dari rumah sakit.

(8)

Kelompok dengan derajat aritmia Lown > 3 juga memiliki fungsi ventrikel kiri yang lebih buruk, diantaranya: memiliki ejeksi fraksi yang lebih rendah (44+1,5% vs 61+4%, p=0,001), memiliki diameter diastolik akhir ventrikel kiri yang lebih besar (56+2,4 mm vs 47+1,2 mm, p=0,001), serta memiliki indeks Tei ventrikel kiri yang lebih tinggi (0,64+0,68 vs 0,52+0,13, p=0,001).

5. Shentar et al., (2015) melakukan studi kasus-kontrol secara prospektif pada 50 pasien IMA-EST dengan onset dalam 6 jam yang menjalani trombolisis dengan 1,5 juta unit streptokinase dan 50 orang sebagai kontrol. Pengukuran interval Tp-Te dilakukan saat admisi rumah sakit. Studi tersebut menemukan bahwa interval Tp-Te pada kelompok IMA-EST lebih tinggi (110+4 mdet vs 80+0,6 mdet, p<0,001). Diantara pasien IMA-EST, interval Tp-Te>100 mdet memilki nilai prediktor untuk kejadian fibrilasi ventrikel.

Penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan hubungan interval Tp-Te dengan kejadian aritmia, kematian, fungsi sistolik dan diastolik. Sejauh penelusuran kami, belum terdapat penelitian yang mengungkapkan hubungan antara pemanjangan interval Tp-Te yang diukur saat admisi di UGD dengan kejadian kardiovaskular mayor yang terdiri atas kematian, syok kardiogenik, gagal jantung, dan aritmia ventrikel.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dibutuhkan sebuah sistem yang dapat membantu pegawai dari mulai pendaftaran,poli gigi, poli umum, pemberian obat sampai pelaporan, Metode yang digunakan

• Ambil entres dari pohon induk betina atau jantan terpilih dengan ukuran diameter ba- tang sama dengan batang bawah, batang sudah sedikit mengayu, mempunyai daun yang

Marketing Pada Agen Tour Kaye Bromo menggunakan SDLC, berikut ini adalah skema yang digunakan berikut ini adalah gambar skema metodologi penelitian yang diterapkan... Analis:

Seseorang siswa yang belajar dengan motivasi kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh penuh, gairah atau semangat. Sebaliknya, belajar

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sikap kemandirian siswa pada siklus I sebanyak 84,1% dengan kriteria mandiri dan pada siklus II sebanyak 98,75%, sehingga mengalami

Sampah-sampah ini berasal dari limbah buangan rumah tangga yang sengaja oleh warga dibuang ke sungai atau ke pinggir sungai yang membuat tanah-tanah di pinggir sungai

Hasil panen yang dapat diperoleh dari sistem hidroponik yaitu lima sampai sepuluh kali lipat lebih banyak daripada hasil panen yang diperoleh dengan sistem budidaya

Secara horizontal dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, adat dan perbedaan