BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Persepektif/Paradigma Kajian
Paradigma adalah basis kepercayaan atau metafisika utama dari sistem
berpikir: basis dari ontologi, epistemologi dan metodelogi. Paradigma dalam
pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas
dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma
membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan
kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah (Salim, 2006: 96).
Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau cara
pandang untuk memahami dunia nyata. Patton mengatakan bahwa paradigma
adalah suatu pandangan dunia, suatu perspektif yang umum, suatu cara
mematahkan kompleksitas dalam dunia nyata. Dengan demikian, paradigma
sangat tertanam dalam sosialisasi pengikut dan praktisi: paradigma memberitahu
mereka apa yang penting, sah dan masuk akal. Paradigma juga normatif,
memberitahu praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu pertimbangan
eksistensial atau epistemologis yang panjang. Tapi itu adalah aspek paradigma
yang merupakan kedua kekuatan dalam membuat tindakan yang mungkin,
kelemahan mereka bahwa alasan untuk tindakan tersembunyi dalam asumsi
diragukan paradigma (Mulyana, 2004: 9)
Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan
dunia (world view) yang menentukan bagi pengamat sifat dari ‗dunia‘ sebagai
tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta
bagian-bagiannya (Hermawan, 2011:4).
Jadi, dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa paradigma penelitian
terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori.
Paradigma penelitian merupakan perspektif penelitian yang digunakan oleh
peneliti tentang bagaimana melihat realita (world views), mempelajari fenomena,
cara-cara yang digunakan dalam penelitian, dancara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.
Ada beberapa alasan peneliti dalam menentukan paradigma penelitian:
1. Paradigma penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang
akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian.
2. Paradigma penelitian menentukan rumusan masalah, tujuan penelitian
dan tipe penjelasan yang digunakan.
3. Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihan metode,
teknik penentuan subyek penelitian / sampling, teknik pengumpulan, teknik uji keabsahan data dan analisis data (Pujileksono, 2015 : 26)
Paradigma di dalam melakukan penelitian komunikasi ada tiga, yaitu
paradigma klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Namun
menurut Sendjaja, di dalam perkembangan ilmu saat ini paradigma klasik
merupakan gabungan dari paradigma positivis dan post-positivis
Paradigma positivistik atau klasik menggunakan metode empiris untuk
dapat menggambarkan fakta sosial sebagai realita atau objek penelitian.
Paradigma ini melihat fakta sosial sebagai realita, dimana realita ini memiliki
syarat yaitu: dapat diamati, dapat diukur dan dapat diulang. Paradigma ini
mempertanyakan suatu realita dengan ‗apa‘ atau menanyakan apa yang terjadi di masyarakat pada umumnya dan dalam hal ini peneliti tidak berinteraksi secara
langsung dengan objek penelitian. Hasil penelitian dapat ditentukan kualitasnya
melalui validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas dan objektivitas.
Paradigma ini digunakan dalam penelitian kuantitatif.
Paradigma pos-positivistik merupakan paradigma yang melakukan kritik
terhadap paradigma postivistik. Paradigma ini menganggap bahwa penelitian
memasukkan nilai-nilai sebagai pendapatnya sendiri. Realita yang diteliti berada
diluar dan peneliti berinteraksi dengan objek penelitian sehingga membuat
paradigma penelitian ini lebih bersifat kualitatif.
Paradigma kritis adalah paradigma yang melihat suatu realitas secara kritis
sebagai objek penelitian yang jaraknya dekat dengan peneliti. Realitas yang
dijadikan sebagai objek penelitian merupakan proses sejarah dan kekuatan sosial
yang semu dalam masyarakat. Penelitian ini sangat subjektif karena penilaian
terhadap suatu realitas berasal dari penelitian sendiri. Dalam memasukkan
penilaian dalam penelitian, peneliti juga melihat penilaian masyarakat pada
umumnya dan bersifat kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membangun kesadaran kolekftif demi mengubah struktur untuk menjadi lebih
baik. Paradigma penelitian ini melihat realitas yang terjadi tidak sesuai dengan
apa yang sebainya seperti ketimpangan, ketidakadilan, penindasan dan sebagainya
Penelitian paradigma konstruktivistik adalah paradigma yang melihat
suatu realita dibentuk oleh berbagai macam latar belakang sebagai bentuk
konstruksi realita tersebut. Penelitian ini mempertanyakan ‗mengapa‘ (why) akan suatu realitas itu terjadi yang dalam hal ini realitas berada di luar peneliti namun
dapat memahami melalui interaksi dengan realita sebagai objek penelitian. Jarak
antara peneliti dengan objek penelitian tidak terlalu dekat. Paradigma penelitian
yang bersifat kualitatif ini memasukkan nilai-nilai pendapat peneliti sehingga
menjadi subyektif.
Paradigma konstruktivis menjelaskan bahwa realitas merupakan
konstruksi individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan
antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu ini menjadi penentu dalam
dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu ini bukanlah
korban fakta sosial, namun sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang
kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya.
Paradigma konstruktivisme bertujuan untuk memahami apa yang menjadi
konstruksi suatu realitas yang membuat peneliti harus dapat mengetahui dan
menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut merekonstruksi realitas tersebut
(Pujileksono, 2015 : 27-29)
Paradigma yang peneliti gunakan adalah paradigma post-positivistik.
Paradigma post-positivistik merupakan paradigma yang melakukan kritik
terhadap paradigma positivistik. Paradigma ini menganggap bahwa penelitian
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai pribadi peneliti sendiri. Peneliti perlu
memasukkan nilai-nilai sebagai pendapatnya sendiri. Realita yang diteliti berada
diluar dan peneliti berinteraksi dengan objek penelitian sehingga membuat
paradigma penelitian ini lebih bersifat kualitatif.
Paradigma ini sesuai dengan masalah yang akan diteliti yaitu penerapan
pendidikan literasi media oleh Remotivi. Pendidikan literasi media yang
dilakukan oleh Remotivi merupakan merupakan fakta dan realitas sosial yang
benar adanya. Kebenaran dari realitas tersebut tidak akan di dapat jika peneliti
mengambil jarak atau tidak terlibat langsung dengan realitas. Paradigma ini
menuntut peneliti untuk interaktif dengan objek penelitian. Produk pendidikan
literasi media yang dihasilkan oleh Remotivi tidak hadir begitu saja, namun ada
proses yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu peneliti menggunakan
paradigma post-positivistik untuk mengetahui bagaimana Remotivi menerapkan
pendidikan literasi media dan bagaimana proses penerapan tersebut berlangsung
serta faktor-faktor apa saja yang mendukungnya.
2.2 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan acuan atau landasan berpikir peneliti dengan
basis pada bahan pustaka yang membahas tentang teori atau hasil penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dijalankan. Pencarian dan
penelusuran kepustakaan atau literatur yang berhubungan dengan masalah
penelitian sangat diperlukan. Penelitian tidak dilakukan di ruang kosong dan tidak
pula dapat dikerjakan dengan baik, tanpa basis teoritis yang jelas. Penelitian
kekinian sesungguhnya menelusuri atau meneruskan peta jalan yang telah dirintis
Adanya kajian pustaka,maka peneliti akan mempunyai landasan untuk
menentukan tujuan dan arah penelitian. Adapun kajian pustaka yang dianggap
relevan dalam penelitian ini adalah:
2.2.1 Pengertian Literasi
Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latinlittera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Namun demikian, literasi
utamanyaberhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan.
Adapun sistembahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai
bahasa, tentunyatidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu
sendirimerupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi
tentunyaharus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi
sosialbudayanya.
Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi sebagai
penggunaan praktik-praktik situasisosial, dan historis, serta kulturaldalam
menciptakan danmenginterpretasikan makna melalui teks. Literasi
memerlukansetidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang
hubungan-hubunganantara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta
idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan
itu. Karena literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapatbervariasi di dalam komunitas dan kultur sebuah wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif,pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang
genre, danpengetahuan budaya
Memahami pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi
memerlukankemampuan yang kompleks. Adapun pengetahuan tentang genre
adalahpengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku atau digunakan dalam
komunitasmisalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Terdapat
tujuhunsur yang membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan
refleksi, danpenggunaan bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip
dari literasi.
2.2.2 Prinsip Pendidikan Literasi
Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu:
1. Literasi melibatkan interpretasi
Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak
interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa,
pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca atau pendengar
kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicaradalam bentuk
konsepsinya sendiri tentang dunia.
2. Literasi melibatkan kolaborasi
Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/pembicara
danmembaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai
suatu pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus
ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman
mereka terhadap pembaca/pendengarnya. Sementara pembaca/pendengar
mencurahkan motivasi, pengetahuan, danpengalaman mereka agar dapat membuat
teks penulis bermakna.
3. Literasi melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara
ituditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang
berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual.
Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisanmaupun tertulis.
4. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.
Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi
tertentu.Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan
salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistembudaya tersebut.
5. Literasi melibatkan pemecahan masalah.
Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi
yangmelingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu
melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara
katakata,frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan dunia. Upaya
membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk
pemecahan masalah.
6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.
Pembaca/pendengar dan penulis/pembicara memikirkan bahasa dan
hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka
berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka
katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa.
Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis)
melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan
baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/
diskursus.Dari poin diatas maka prinsip pendidikan literasi adalah literasi
melibatkan interpretasi, kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan
masalah,refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.
2.2.3 Tingkatan Literasi
Literasi tidaklah seragam karena literasi memiliki tingkatan-tingkatan
yangmenanjak. Jika seseorang sudah menguasai satu tahapan literasi maka ia
memilikipijakan untuk naik ke tingkatan literasi berikutnya. Wells (1987)
simbol-simbol yang digunakan (bahasa). Pada tingkat functional orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti
membaca buku manual. Pada tingkat informational orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan dengan bahasa. Sementara pada tingkat epistemic orang dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa. Dengan demikian
tingkatan literasi dimulai dari tingkatan paling bawah yaitu performative, functional, informational, dan epistemic.
2.2.4 Literasi Media
Literasi media berasal dari Bahasa Inggris yaitu “media literacy”, yang
terdiri dari dua suku kata. Media berarti media tempat pertukaran pesan dan
literacy yang berarti melek. Literasi media atau melek media dalam hal ini merujuk pada kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media
massa dalam konteks komunikasi massa.
Mulanya, istilah literasi menunjuk pada huruf, sehingga terkadang literasi
diterjemahkan sebagai keaksaraan. Hal ini sesuai dengan makna harfiah bahwa
literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Berdasarkan istilah, orang
yang iliterat atau biasa diterjemahkan buta aksara. Karena literasi pada dasarnya berkenaan dengan keaksaraan, orang yang memiliki kemampuan membaca dan
menulis disebut orang yang melek aksara atau melek huruf. Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah literasi ini dipergunakan secara longgar dan meluas, bukan
hanya berkenaan dengan kemampuan membaca dan menulis saja. Bahkan hingga
kita mengenal istilah literasi informasi, literasi media, literasi televisi atau juga
secara populer dinyatakan sebagai informasi, melek media, dan
melek-televisi (Iriantara, 2009: 4)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan tantangan
yang menuntut manusia memiliki kemampuan literasi lain, di luar melek-huruf.
Perkembangan ini mengakibatkan definisi dan makna literasi sudah berubah dan
akan terus berubah. Perkembangan makna literasi saat ini bukan hanya
berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis teks saja, karena kini
sehingga di dalam ―teks‖ tersebut secara bersama-sama muncul unsur-unsur kognitif, afektif dan intuitif. Pada dasarnya, apa yang dikemukakan tersebut
menunjukkan, literasi merupakaan wahana bagi seseorang untuk bisa
berkomunikasi dengan orang lain.
Menurut Varis, ada tiga perkara penting yang perlu kita perhatikan sejalan
dengan perkembangan literasi ini. Ketiga perkara tersebut adalah
(1) Kita harus bisa memahami proses belajar seperti apa yang bisa membuat
orang literate, selain itu juga harus bisa memahami seperti apa yang kompetensi-kompetensi komunikasi dan keterampilan media yang
bermakna dan penting pada masyarakat informasi;
(2) Kita perlu menganalisis peningkatan jumlah neo-iliterasi; dan
(3) Kita perlu mengkaji seperti apa keterampilan yang harus diberikan kepada
masyarakat saat ini seperti halnya kita menambahkan dengan apa yang
dikemukakan Kellner dan Sharebahwa literasi-literasi yang ada sekarang
ini seperti literasi media dan literasi informasi mengembangkan dan
mengubahrespons kita terhadap perubahan sosial dan budaya dan juga
kepentingan-kepentingan elit yang mengontrol institusi-institusi yang
hegemonis (Varis 1997: 4)
Aspen Media Literacy Leadership Institute (1992) mendefenisikan literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, meneliti, mengevaluasi dan
menciptakan media di dalam bermacam-macam wujud.Hal ini terkait kemampuan
setiap individu dalam beragam tahapan aktivitas literasi media (Tamburaka,
2013:9).
Para ahli mendefinisikan literasi media sebagai berikut:
1. Baran & Dennis memandang literasi media sebagai suatu rangkaian
gerakan melek media, yaitu: gerakan melek media dirancang untuk
meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan
keterampilan yang dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah
rangkaian-kita tidak melek media dalam semua situasi, setiap waktu dan
terhadap semua media- (Tamburaka 2013: 8)
2. Adam dan Hammmendefinisikan literasi media sebagai kemampuan
membaca, menulis, berbicara, mendengar, berpikir dan mengamati.
Mengamati utamanya merupakan bagian paling penting dan termasuk
kemampuan mengkritisi informasi visual yang diproduksi oleh televisi,
film, permainan internet, atau simulasi yang dibuat komputer(Potter, 2004:
30).
3. Alan Rubin menawarkan tiga definisi lain mengenai literasi media:
a. Pertama, dari National Leadership Confrence on Media Literacy, yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi,dan mengkomunikasikan pesan.
b. Kedua, adalah dari ahli media Paul Messaris, yaitu pengetahuan
tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat.
c. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Sut
Jhally, yaitu pemahaman akan budaya, ekonomi, politik dan
teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin
juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut lebih
menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran, dan
rasionalitas, yaitu proses kognisi terhadap informasi (Baran, 2003:
50).
Jadi, dari uraian para ahli diatas dapat dipahami bahwa media dikonstruksi
dan mengkonstruksi realitas. Literasi media sebagai dampak yang ditimbulkan
pesan media baik itu dampak komersial maupun dampak ideologis dan politik.
Literasi media secara sederhana bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan
berbagai terpaan media. Istilah ini secara umum dikenal oleh masyarakat dengan
sebutan melek media. Literasi media juga berhubungan bagaimana khalayak dapat
mengambil kontrol atas media. Literasi media merupakan skill untuk menilai makna dalam setiap jenis pesan, mengorganisasikan makna itu hingga berguna,
Literasi media akan memberikan kontrol terhadap berbagai pandangan
yang diberikan oleh media. Literasi media sebagai gerakan melek media
dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat dalam memproses dan
menganalisa pesan yang ada di media massa. Pendidikan adalah salah satu
medium paling efektif untuk membangun kesadaran masyarakat akan literasi
media.
Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Penanggulangan
Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21 Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret, 2002, diperoleh gambaran
kesepakatan yang disebut 21 Century in A Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut, seperti disampaikan Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002) dalam
Tamburaka (2013:17-18), menyatakan bahwa literasi media mencakup:
1. Literasi Teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru seperti
internet agar bisa memiliki akses dan mengomunikasikan informasi
secara efektif.
2. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan,
menyaring, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal
tadi.
3. Kreativitas media; kemampuan yang terus meningkat pada individu
dimana pun berada untuk membuat dan mendistribusikan isi kepada
khalyak berapa pun ukuran khalayak.
4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk
memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara on-line
dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada
anak-anak.
Literasi media juga tidak terlepas dari berbagai unsur yang membentuknya
menjadi sebuah bidang pengatahuan. Yayasan Pengembangan Media Anak
1. Khalayak
2. Pemberdayaan, dan
3. Kritis
Berdasarkan Centre For Media Literacy (2003)literasi media bagi khalayak berguna untuk mengevaluasi dan berpikir kritis terhadap konten media
massa, mencakup :
1. Kemampuan mengkritik media.
2. Kemampuan memproduksi media.
3. Kemampuan mengajarkan sistem pembuatan media.
4. Kemampuan mengeksplorasi sistem pembuatan media.
5. Kemampuan mengeksplorasi berbagai posisi.
6. Kemampuan berpikir kritis atas isi media.
Ada empat komponen literasi media yaitu: 1) Acces (Akses) ;2) Analysis
(analisis), 3) Evaluation (Evaluasi); dan 4) Content Creation yang sama-sama menyatu sebagai suatu skill-based (kemampuan dasar) melek media.
Masing-masing komponen mendukung yang lainnya sebagai bagian dari suatu proses
pelajaran dinamis: belajar untuk menciptakan; keterampilan-keterampilan di
dalam analisis dan evaluasi membuka pintu-pintu itu kepada
penggunaan-penggunaan yang baru dari internet, mengembangkan kemampuan mengakses,
dan sebagainya (Tamburaka, 2013:21-23).
Tujuan utama dari kegiatan literasi media melalui pendidikan adalah
terciptanya peningkatan kemampuan masyarakat yang lebih jauh, yaitu bagaimana
masyarakat melihat media bukan seperti apa adanya teks media saja, namun juga
melihat pada konteks, tujuan penciptaan pesan dan proses produksi pesan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan literasi media seharusnya mengarahkan
juga melihat secara kritis keberadaan media. Dalam konteks ini, Konseptualisasi
literasi media melibatkan „critical‟ literacy, yaitu kemampuan refleksi, analisis
dan evaluasi oleh khalayak, bukan hanya terhadap isi dan elemen struktural dari
teks media, melainkan juga mampu melihat konteks sosial, ekonomi, politik dan
historis bagaimana pesan itu diciptakan, disebarkan dan digunakan oleh
khalayak(Gruba:2007, 167-170).
National Association for Media Literacy Education (NAMLE) pada tahun 2009, mengemukakan, Core Principles Media Literacy Education (prinsip dasar pendidikan literasi media), prinsip-prinsip tersebut termasuk:
1. Pendidikan literasi media memerlukan pemeriksaan aktif dan kritis
berpikir tentang pesan-pesan yang diterima dan ketika menciptakan.
2. Pendidikan literasi media memperluas konsep dari melek media di
dalam semua wujud dari media (yaitu membaca dan menulis).
3. Pendidikan literasi media membangun dan menguatkan
keterampilan-keterampilan dari berbagai zaman. Seperti literasi media cetak,
keterampilan-keterampilan mengharuskan terintegrasi, yang interaktif
dan praktik yang diulangi.
4. Pendidikan literasi media mengembangkan informasi yang ditautkan
merefleksikan partisipasi bagi suatu masyarakat yang demokratis.
5. Pendidikan literasi media mengenali bahwa media menjadi bagian dari
kultur dan berfungsi sebagai agen-agen sosialisasi.
6. Pendidikan literasi media menyatakan bahwa orang-orang
menggunakan keterampilan-keterampilan secara individu,
kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman untuk
membangun arti sendiri dari pesan-pesan media.
Pendidikan media dapat pula digambarkan secara konseptual. David
Buckingham dalam buku Media Education : Literacy, learning And Contemporary Culture (2007), David Buckingham memaparkan empat konsep utama yang terdiri dari: (1) Produksi; (2) Bahasa; (3) Penyajian; dan (4) Audience.
1. Produksi
Produksi melibatkan pengenalan bahwa teks-teks media secara sadar telah
dibuat. Beberapa teks media dibuat oleh individu yang bekerja sendirian, hanya
untuk diri mereka atau keluarga dan para teman mereka, tetapi mereka
kebanyakan dihasilkan dan secara komersil. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
diajukan berkaitan dengan produksi media, antara lain:
a. Technologies: what technologies are used to produce and distribute media texts? (terkait teknologi yang digunakan dan mendistribusikan teks-teks media).
b. Profesionals practices: Who makse media texts? (terkait praktik-praktik profesional jurnalisme).
c. The indsustry: Who owns the companies that buy and sell media and how do theymake a profit? (terkait industri media)
d. Connections between media: How do companies sell the same products accross different media? (terkait hubungan antar media).
e. Regulation: Who controls the production and distribution of media,
and are there laws about this? (terkait regulasi media)
f. Circulation and distribution: How do texts reach their audiences?
(terkait sirkulasi dan distribusi media).
g. Acces and participation: Whose are heard in the media and whose are
excluded (terkait akses dan partisipasi khalayak).
2. Bahasa
Setiap media mempunyai kombinasi bahasa-bahasa sendiri yang biasa
untuk menyampaikan pesan. Media cetak menggunakan tulisan dan gambar/foto
sedangkan media elektroonik seperti televisi menggunakan audio visual, radio
hanya terbatas pada audio bahkan jejaring sosial di internet lebih jauh lagi
memberikan ruang partisipasi umpan balik bahkan kemandirian dalam membuat
konten media. Pertanyaan kritis yang dapat diajukan terkait dengan bahasa, antara
a. Meanings: How does media use different forms of language to convey ideas or meanings? (konversi makna dari suatu pesan media).
b. Conventions: How do these uses of leanguages become familiar and generally accepted? ( kesepakatan bahasa yang sering digunakan media). c. Codes: How are the grammatical „rules‟ of media established and what
happens when they are broken? (kesepakatan bahasa yang sering digunakan media).
d. Codes: How are the grammatical „rules‟ of media established and what happens when they are broken? (kode-kode tertentu dalam media).
e. Genres: How do these conventions and codes operate in different types of media contexts? (Hubungan bahasa dan kode yang digunakan media). f. Choices: What are the effects of choosing certain forms of language. Such
as a certain type of camerea shot? (apa dampak pesan misalnya sudut pengambilan kamera).
g. Combinations: How is meaning conveyed through the combination or sequencing of images, sounds, or words? (kombinasi, gambar, suara dan
kata-kata).
h. Technologies: How do technologies affect the meanings that can be created? (Teknologi mempengaruhi perubahan makna).
3. Penyajian
Media menawarkan kepada khalayak suatu pandangan yang mewakili
dunia realitas namun telah dikonstruksi ulang. Produksi media melibatkan cara
memilih dan mengombinasikan perisriwa-peristiwa, pembuatan kejadian ke dalam
kisah-kisah, dan menciptakan karakter-karakter. Pertanyaan kritis yang diajukan
terkait cara penyajian media, antara lain:
a. Realism: Is text intended to be realistic? Why do some texts seem more relaistic than others? (kenyataan dari suatu pesan media).
b. Telling the truth: How do media claim to tell the truth about the world? (media sebagai sumber informasi).
d. Bias and objectivity: Do media texts support particular views about the world? Do they use moral or political values (bias dan objektivitas).
e. Stereotyping: How do media represent particular social groups? Are those represebtations accurate? (stereotip media terhadap suatu kelompok)
f. Interpretations: Why do audiences accepts some media representations as true, or rejects others as false? (interpretasi terhadap pesan media).
g. Influences: Do media representations affect our vies of particular social groups or issues? (Pengaruh pesan media terhadap kelompok sosial atau isu).
4. Khalayak
Mempelajari khalayak, dan bagaimana media diedarkan dan
dibagi-bagikan dalam keseluruhannya. Ini berarti memperhatikan perbedaan cara
penggunaan individu, menginterpretasikan, dan bereaksi terhadap media.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan, antara lain:
a. Targetting: How are media aimed at particular audiences? (khalayak sebagai target pesan media).
b. Address: How do the media speak to audiences? (cara media berkomunikasi dengan khalayak tertentu).
c. Circulation: How do media reach audiences? (cara media menjangkau khalayak).
d. Uses: How do audiences use media in their daily lives? What are their habits and parrents of use? (cara khalayak menggunakan media dalam kehidupan sehari-hari).
e. Making sense: How do audiences interpret media? What meanings do they make? (cara khalayak menafsirkan pesan media).
g. Social differences: What is the role of gender. Social class, age, and ethnic background in audience behavior? (perbedaan atau karakteristik sosial yang berbeda dari setiap khalayak) (Tamburaka, 2013:21-23).
Dalam e-literacy: Some Emerging Models (2011) pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam konsep literasi media kemudian dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Pertanyaan Mendasar dalam Konsep Literasi Media
Kata Kunci
5 Pertanyaan Penting 5 Konsep Penting
Kepengarangan
Sumber: David Buckingham dalam Tamburaka (2013: 23 )
Messaris menjelaskan komponen dari literasi media yaitu: a central component of media literacy should be an understanding of the representational conversations trough which the users of media create and share meaning
(Komponen utama literasi media harus memiliki pemahaman terhadap gambaran
Lebih lanjut James W. Potter menjelaskan tentang literasi media yaitu: a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter”. (Seperangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan
pesan-pesan yang diterima dan cara mengantisipasinya) (Potter, 2009:19).
Potter juga menjelaskan bahwa literasi media tidak hanya sebatas
pemahaman seseorang dalam menerima gambaran-gambaran yang disampaikan
oleh sebuah pesan, namun lebih kepada bagaimana literasi media sebagai sebuah
kontrol.
Adapun menurut Potter terdapat beberapa konsep dasar dalam literasi.
Pertama, literasi media merupakan sebuah kontinum, bukan sebuah kategori. Ada tingkatan-tingkatan tertentu dalam kontinum tersebut dan kita semua menempati
posisi di dalam kontinum melek media itu.Melek media merupakan sebuah
keterampilan potensial, yang selalu berubah sepanjang hidup seseorang dalam
perspektif sepanjang hayat. Artinya, setiap orang memiliki pemahaman tentang
media, meskipun berbeda tingkatan. Dimana, kekuatan dalam memahami media
ditentukan dari kualitas struktur pengetahuannya.
Kedua, literasi media bersifat multi-dimensional. Artinya, struktur pengetahuan seseorang berasal dari empat dimensi, yaitu kognitif yang mengacu
pada proses mental dan berpikir dalam kaitannya dengan fakta yang terdapat
dalam sebuah informasi. Dimensi emosional yakni kaitannya dengan perasaan.
Dimensi estetika mengacu kepada kemampuan untuk menikmati, memahami, dan
mengapresiasi konten media dari sudut pandang artistik dan dimensi moral
mengacu pada kemampuan untuk menyimpulkan nilai-nilai yang mendasari
pesan-pesan media.
Ketiga, tujuan dari literasi media merupakan memberikan kontrol akan pemaknaan sebuah pesan. Dalam hal ini, berhubungan dengan tingkat literasi
media seseorang. Dimana, semakin tinggi tingkatan literasi media seseorang,
maka makna yang diperoleh dari sebuah pesan akan semakin banyak. Namun
kesulitan dalam mengenali ketidakteraturan, memahami kontroversi,
mengapresiasi ironi dan satir atau membangun pandangan yang luas(Baran
2011:32-35).
2.2.4.1 Prinsip Literasi Media
Kita mengenal dunia lewat media, namun media tidak menyuguhkan
duniauntuk kita. Dalam kenyatannya untuk menjadi masyarakat yang
bertanggungjawab kita butuh literasi media. Untuk itu dibawah ini mengenai
prinsip dariliterasi media (Aufderheide, 2012: 29), yaitu:
1. All media are constructions.
2. The media construct reality
3. Audience negotiate meaning in media
4. Media have commercial implications
5. Media contain ideological and value messages
Prinsip tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;
1. Semua media terkonstruksi.
Konsep yang paling penting dalam pendidikan literasi media adalah
bahwamedia tidak menyajikan refleksi sederhana dari realitas kehidupan,
merekaadalah hasil dari sebuah produksi dan memiliki tujaun
tertentu.Keberhasilan produksi ini terletak pada kealamian mereka.
Namun,meskipun tampak alami, media sebenarnya adalah konstruksi
dengankehati-hatian yang telah mengalami berbagai determinan dan
keputusan.Tugas kita adalah untuk mengekspos kompleksitas media
sehingga terlihatmakna dibalik konten tersebut.
2. Media membentuk realitas.
Setiap orang berpikiran apakah dunia ini dan bagaimana cara kerjanya.
tentangkonstruksi media dengan sikap, interpretasi dan kesimpulan yang
sudahdibangun maka media sedang membangun realitasnya sendiri
daripemahaman itu.
3. Audiens menegosiasikan makna dalam media.
Dasar pemahaman media adalah kesadaran tentang bagaimana
berinteraksidengan teks-teks media. Ketika melihat teks media akan
ditemui maknamelalui berbagai macam faktor: kebutuhan pribadi dan
kecemasan,kesenangan atau kesulitan sehari-hari, sikap rasial dan seksual,
keluargadan latar belakang budaya. Semua ini memiliki pengaruh pada
bagaimanakita memproses informasi. Misalnya, cara di mana dua siswa
menanggapisituasi komedi televisi (sitkom) tergantung pada pemahaman
masingmasing.Singkatnya, masing-masing dari menemukan atau
"negosiasi"makna dalam cara yang berbeda.
4. Media memiliki implikasi komersial.Kebanyakan produksi media di
negara ini bertujuan untuk bisnis danmencari untung. Walaupun disebut
dengan media publik – televisi publik,radio publik – harus menghasilkan uang untuk bertahan. Media massatidak berbicara kepada individu saja,
tetapi pada sekelompok orang ataudisebut juga dengan pasar demografi
(orang tua, muda, orang-orangdengan hobi yang berbeda). Semakin
banyak uang yang dikeluarkan olehdemografi yang beragam, semakin
bernilai target pasar oleh media massa.
5. Media mengandung pesan-pesan ideologis dan nilai. Literasi media
seseorang selalu waspada terhadap nilai-nilai yang dibawa oleh teks media
dan dampak ideologinya. Semua produk media memberikan nilai tidak
untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk nilai-nilai atau cara hidup.
Mereka biasanya menegaskan sistem sosial yang ada. Pesan-pesan
ideologis yang terkandung di dalamnya, narasi film Hollywood yang biasa
hampir tak terlihat untuk Amerika Utara, tetapi mereka akan jauh lebih
bernilai kepada orang-orang di negara berkembang. Media mainstream
khas Amerika Utara menyampaikan sejumlah pesan eksplisit dan implisit
ideologis, yang dapat mencakup beberapa atau semua hal berikut: sifat
"konsumerisme," kata peran yang tepat dari perempuan, penerimaan
otoritas, dan patriotisme tidak perlu diragukan lagi. Kita harus
menggunakan teknik decoding untuk mengungkap pesan-pesan ideologis dan nilai-nilai sistem.
Prinsip media ini harus disadari baik individu maupun kelompok agar
media yang mereka konsumsi tanpa disadari baik atau buruk memiliki tujuan
tertentu, sehingga konsumen bisa memproteksi diri sendiri dari hal-hal negatif
danmenerima hal-hal positif yang akan ditularkan oleh media.
2.2.4.2 Elemen dan Karakteristik Literasi Media
Awalnya literasi diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan
menggunakan simbol tertulis. Dengan perkembangan media tidak tercetak,
definisi ini harus diperluas lagi mencakup kemampuan untuk mengefektifkan
apapun bentuk dari komunikasi, khususnya keterlibatan komunikasi massa yang
disebut dengan literasi media. Silverblatt (1995) menyebutkan lima elemen dasar
yang menjadi karakteristik dari literasi media. Karakteristik tersebut adalah :
1. An awareness of the impact of media.
Tanggap akan dampak media bagi individu maupun masyarakat. Media
massa mengubah dunia dan orang-orang di dalamnya. Jika kita
mengabaikan dampak media bagi kehidupan kita, kita lebih berisiko
terperangkap dan terbawa arus perubahan tersebut ketimbang mengontrol
atau memimpinnya.
2. An understanding of the process of mass communication
Pemahaman tentang proses komunikasi massa. Jika kita mengetahui
komponen dari proses komunikasi massa dan bagimana komponen
tersebut berkaitan satu sama lain, kita dapat membuat perkiraan tentang
bagaimana mereka ―melayani‖ kita.
3. Strategies for analyzing and discussing media messages
Strategi dalam analisis dan diskusi pesan-pesan media. Untuk
fondasi,sebagai pemikiran dan refleksi awal. Jika kita menafsirkan makna,
kita harus memiliki alat yang memadai untuk mencapainya.
4. An understanding of media content as a text that provides insight into ourculture and our lives
Pemahaman isi media sebagai naskah yang menyediakan wawasan
kedalam budaya dan kehidupan kita. Kita mengenali segala yang
berkaitandengan budaya melalui komunikasi. Bagi budaya modern seperti
kita, pesan-pesan media semakin mendominasi kegiatan komunikasi,
membentuk pemahaman dan wawasan tentang budaya kita.
5. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content
Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media.
Literasi media bukan berarti hidup sebagai seorang pembeci media atau
selalu curiga terhadap dampak bahayanya dan terjadinya degradasi
budaya. Kemudian, dari lima tersebut Stanley J. Baran (2004)
menambahkan dua lagi elemen dasar literasi media, yaitu:
6. Understanding of the ethical and moral obligations of media practitioners.
Pemahaman etis dan kewajiban moral bagi para praktisi media. Kita harus
memahami peraturan resmi maupun tidak resmi pada pengoperasia
nmedia. Dengan kata lain, kita harus tahu secara respektif, kewajiban
etisdan keabsahannya.
7. Development of appropriate and effective production skills.
Pengembangan tentang keterampilan produksi yang efektif dan sesuai.
Literasi tradisional mengasumsikan bahwa mereka yang dapat
membacapasti bisa menulis. Literasi media juga mengasumsikan
demikian. Pemahaman kita tentang literasi (di setiap jenisnya) menyebut
tidak hanya untuk pemahaman yang efektif dan efisien tetapi juga untuk
penggunaannya yang efektif dan efisien. Karena itu, individu yang cakap
mengonsumsi media sepatutnya mengembangkan kemampuan
menghasilkan yang memungkinkan mereka menghasilkan
Elemen literasi media ini akan terasa penting bila sudah terjun
kedalamdunia media. Apapun pekerjaan saat ini umumnya selalu berhubungan
denganmedia contohnya saja untuk menyebarkan informasi, dalam pelatihan,
presentasiatau untuk tetap terhubung dengan klien dan cutomers. (Baran, 2004: 54-56)
Potter menjelaskan sembilan karakteristik dari literasi media atau deskripsi
tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan bertindak agar dinilai
melek media, yaitu:
1. Kecakapan dan Informasi merupakan hal yang penting. Dalam hal ini banyaknya informasi yang dimiliki akan berpengaruh pada kecakapan
seseorang dalam memahami informasi dengan baik. Kecakapan yang
dimaksud adalah kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi,
membuat sintesis dan ekspresi persuasif
2. Literasi media merupakan seperangkat perspektif di mana kita mengekspose diri kita sendiri terhadap media dan
menginterpretasikan makna dari pesan-pesan yang kita temukan.
Perspektif dibangun berdasarkan struktur pengetahuan media yang
dimiliki. Struktur pengetahuan ini berkaitan dengan multi aspek
diantaranya: organisasi, isi, dan efek terhadap individu dan institusi.
Dimana, ketika semakin baik struktur pendidikan yang dimiliki maka
akan semakin banyak fenomena media yang dapat dilihat.
3. Literasi harus dikempangkan, no one is born media literate. Media dan dunia nyata akan terus mengalami perubahan. Maka, dibutuhkan
pengembangan terhadap struktur pengetahuan sebagai proses jangka
panjang untuk mencapai tahapan literasi media yang lengkap.
4. Literasi media bersifat multi dimensi. Dalam struktur pengetahuan, tidak hanya dibutuhkan elemen kognitif saja, namun perlu adanya
kesinambungan antara empat elemen yaitu, emosional, estetika, dan
moral.
lebih luas lagi yaitu mengkonstruksikan makna dan pengalaman dari
konteks ekonomi, politik, budaya dan lainnya.
6. Orang yang melek media bias memahami bahwa maksud dari literasi media adalah kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya dan menciptakan makna. Menjadi melek media adalah kemampuan dalam melakukan kontrol terhadap terpaan media dan
mengkonstruksikan makna dari pesan-pesan yang disampaikan oleh
media.
7. Literasi media harus terkait dengan nilai-nilai. Masterman menegaskan bahwa pendidikan media tidak berusaha untuk
memaksakan nilai-nilai budaya yang spesifik, tidak pula berusaha
untuk memaksakan gagasan-gagasan tentang apa yang ―baik‖ atau
―buruk‖.
8. Orang yang melek media meningkat terpaan mindfulnya. Seseorang yang memiliki perspektif kuat tentang fenomena media sangat
berpotensi untuk bertindak melek media. Seperangkat struktur
pengetahuan tidak akan menginfikasikan melek media, namun orang
harus secara proaktif dalam menggunakan informasi. Dengan begitu,
orang yang melek media akan menggunakan lebih sedikit waktu dan
semakin sadar dalam tujuan dalam menggunakan media.
9. Orang yang melek media mampu memahami bahwa literasi media merupakan sebuah kontinum, bukan kategori. Literasi media bukan sebuah kategori dimana seseorang dikatakan melek media atau tidak
melek media. Literasi media setidaknya dipahami sebagai sebuah
kontinum, seperti thermometer di mana ada tingkatan atau derajat.
Orang diposisikan di sekitar kontinum yang didasarkan pada kekuatan
perspektif mereka tentang media. Kekuatan perspektif seseorang
didasarkan pada jumlah dan kualitas struktur-struktur pengetahuan,
dan mutu struktur-struktur pengetahuan didasarkan pada tingkat
2.2.4.3 Model Literasi Media
Literasi media tidak dapat dilakukan secara instan. Terdapat beberapa
proses model literasi dalam mewujudkan literasi media:
(1) NeedAssessment merupakan proses pertama yang dilakukan oleh
penggerak literasi media. Proses ini dilalui untuk memberi konteks bagi
program yang akan dikerjakan, dimana terdapat beberapa hal yang
diperoleh melalui need assessment antara lain: siapa sasaran program dan bagaimana kriterianya, sejauh mana tingkat literasi media yang sudah
dimiliki oleh sasaran, sejauh mana tingkat literasi media yang sudah
dimiliki oleh sasaran, sejauh mana kebutuhan sasaran akan literasi media.
Beberapa komponen tersebut akan menjadi bagian penting dalam proses
literasi media.
(2) Pasca-need Assessment. Tujuannya untuk penentuan tujuan pendidikan literasi media yang bergerak untuk mencapai tujuan kognisi, kemampuan
afeksi, hingga kemampuan psikomotor. Untuk mencapai ketiga komponen
tersebut, maka dibutuhkan metode yang berbeda-beda. Salah satu metode
yang dilakukan adalah metode top-down seperti ceramah, seminar, diskusi, pelatihan, dan dongeng yang cocok diterapkan untuk menempuh tujuan
kognisi. Selain itu, metode bottom-up dapat dilakukan untuk membawa khalayak dalam memahami literasi media dan pemantauan media dengan
cara memberikan konteks terhadap program literasi media, dalam hal ini
adalah terkait kebutuhan sasaran media, yang dibuktikan oleh keberhasilan
program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan sasaran(Poerwaningtias
dkk, 2013:59).
Model literasi media memerlukan kesadaran dalam proses pengolahan
informasi. Menurut Potter, dalam model literasi media menekankan pada empat
faktor utama yaitu:
1. Knowledge Structure
Struktur pengetahuan merupakan dasar dalam membangun literasi
isi media, industri, dunia nyata, dan dirinya sendiri. Melalui struktur
pengetahuan yang dimiliki seseorang, maka akan sadar dan lebih baik
dalam mengolah terhadap informasi yang diperoleh.
2. Personal Locus
Merupakan salah satu energi yang digunakan dalam proses perolehan
informasi. Dimana semakin seseorang secara sadar dalam memproses
suatu pesan, maka semakin tinggi tingkat literasi yang dimiliki. Ini
artinya seseorang akan lebih peduli dalam mencari fakta-fakta dari
pesan yang diperoleh.
3. Competence and Skill
Dalam literasi media, kompetensi dan keahlian ini akan bekerja sama
secara terus menerus. Tentunya kompetensi maupun keahlian bagian yang
lebih penting dalam memproses informasi. Contohnya, keahlian ini
menjadi penting karena akan membantu dalam menganalisis dan
mengevaluasi pesan yang telah disaring, dimana akan membentuk makna
dengan keahlian tersebut baik secara induktif, deduktif, pengelompokan,
dan perpaduan antara semuanya. Intinya, pesan yang akan dihasilkan
secara berbeda-beda melalui fakta-fakta yang ada dihasilkan dari
kompetensi dan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing individu.
4. Information – Processing Tasks
Adapun tahapan dalam memproses informasi, antara lain: (1) Filtering.
Membuat keputusan mana pesan yang harus dibuang dan diterima. (2)
Meaning matching, dasar penggunaan dalam mengenali penempatan makna simbol-simbol. (3) Meaning Construction, dimana pembentukan pesan setelah melewati tahap pengenalan terhadap
simbol-simbol pesan, maka kita akan menafsirkan pesan tidak hanya
2.2.5 Pendidikan Literasi Media
Pendidikan adalah instrumen fundamental dalam menggerakkan literasi
media agar publik dapat cerdas dan berdaya di hadapan media. Hal tersebut telah
menjadikan pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas dan menjadikan
pendidikan sebagai element yang berhubungan langsung dengan hidup dan
kehidupan manusia. Pendidikan kemampuan (skill) dan pengetahuan (knowledge) merupakan salah satu modal yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk dapat
memahami literasi media sebagai kebutuhan fundamental.
Terkait pendidikan literasi media, Pendidikan tidak dimaknai dalam
kerangka kurikulum dan dunia sekolah saja, namun lebih dari itu pendidikan
adalah proses belajar seumur hidup. Seperti yang dikemukakan John Dewey,
seorang filsuf dalam dunia pendidikan bahwa dalam masyarakat industri, sekolah
harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah
dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang
hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan
pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah,
dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian
menjemput.
Secara umum ada dua pandangan teoritis yang berkaitan dengan tujuan
pendidikan sebagai usaha peningkatan kemampuan dan keilmuan, serta upaya
untuk meningkatkan hubungan positif dengan hidup dan kehidupan manusia:
Pertama pandangan yang berorientasi pada kemasyarakatan yang cenderung mengutamakan peningkatan kualitas komunitas masyarakat dan yang
kedua lebih berorientasi pada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. (Daud, Mohd, 2003: 165)
John Dewey memandang pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial
membangun masa depan yang lebih baik. Dalam konteks memahami media
penyiaran, pendidikan adalah keniscayaan dimiliki masyarakat.
Dalam persepektif ini, terdapat berbagai pengertian pendidikan.
1. Pendidikan diartikan sebagai bentuk usaha manusia dewasa yang telah
sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan
menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada
generasi muda untuk mengubah dan meningkatkan. (Prasetya, 2000:
13)(Prasetya, Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, PTAIN, PTAIS, Cetakan ke-dua, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), p. 13.
2. M. Ngalim Purwanto mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
meningkatkan kemampuan individu khususnya anak yang berupa
pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak
dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri
dan bagi masyarakat. (Purwanto, 2003: 11). ( M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, Edisi Kedua, Cetakan Kelimabelas, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2003), p. 11.
3. Para tokoh UNESCO menemukan pengertian pendidikan ― education is now engaged is preparinment for a tipe society which does not yet exist ―,
atau pendidikan sekarang ini sibuk mempersiapkan manusia bagi suatu
tipe masyarakat yang belum ada. Menurut Garten. V. Good dalam
dictionary of education mengemukakan bahwa pendidikan mengandung pengertian sebagai suatu proses perkembangan kecakapan seorang dalam
bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakat dan professional
dimana seorang dipengaruhi oleh suatu yang terpimpin. (Djumransjah,
2004: 23) (M. Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cetakan Pertama, (Malang; Bayu Media Publishing, 2004), p. 23.
Mengacu dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwasannya pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh orang
dewasa secara sadar yang telah memiliki dasar pengetahuan hidup yang lebih dari
cukup untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan serta pengetahuan tentang
kemampuan (inside competence dan outside competence) generasi muda dalam segala segi kehidupan baik secara jasmani maupun rohani dengan berbagai sarana
agar generasi muda selanjutnya lebih berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat,
bangsa dan negaranya.
Perkembangan pendidikan literasi media, menurut penelitian Buckingham
dan Domaille (2002), kini cenderung bergeser dari pendekatan yang berbasis
―inokulasi‖ atau pencegahan menuju pendekatan yang berbasis pemberdayaan.
Dengan demikian yang perlu diberlakukan bukan memperkecil sentuhan warga
masyarakat dengan media massa melainkan bagaimana warga masyarakat
memiliki kekuatan untuk bisa mengonsumsi media massa secara cerdas. Diyakini,
kekuatan tersebut adalah pengetahuan media atau ringkasnya memiliki
kemampuan atau kompetensi melek-media.
Sebagai gerakan pemberdayaan, upaya penguatan khalayak ini pun pada
dasarnya mengikuti prinsip dan proses pemberdayaan pada umumnya, hasil kajian
Pungente (2002) menunjukkan, salah satu faktor pendukung keberhasilan
pengembangan literasi media adalah menjadikan literasi media sebagai gerakan
akar-rumput (grass-root) dan inisiatif kalangan pendidik untuk melakukan berbagai lobi. Lebih lanjut Pungente mengatakan ada faktor lain yang dipandang
menunjang keberhasilan pengembangan literasi media, yaitu adanya kerjasama
dari berbagai kalangan, ketersediaan pendidik yang akan mengembangkan literasi
media, dan dukungan dari institusi yang berwenang.
Bila ada faktor pendorong atau pendukung, tentu pula akan ada faktor
penghambat. Kajian Buckingham dan Domaille (2002) di 52 negara menunjukkan
bahwa penghambat pengembangan literasi media ini adalah:
1. Konservatisme sistem pendidikan
2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai
penting untuk dipelajari
3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yang melekat
Pendidikan literasi pada beberapa negara kebanyakan dilakukan dalam
kerangka pendidikan persekolahan. Namun, hasil penelitian Buckingham dan
Domaille (2002) menunjukkan bahwa di negara-negara di luar Eropa khususnya
Amerika Serikat dan Amerika Latin, Pendidikan media yang paling menarik dan
produktif dilakukan di luar sistem persekolahan. Kedua peneliti dari Institute of
Education University of London tersebut menunjukkan, pendidikan media
tersebut dilaksanakan dalam konteks kegiatan-kegiatan kepemudaan dan kegiatan
kemasyarakatan pada tingkat lokal.
Keberhasilan pendidikan media ditentukan oleh berbagai faktor yang tidak
hanya melibatkan dunia pendidikan namun juga profesional media dan dukungan
kelembagaan. Hal yang terpenting dari penelitian tersebut adalah literasi media
sebagai gerakan akar-rumput. Kebutuhan pentingnya pendidikan media itu
datangnya dari masyarakat sendiri dan merupakan gerakan yang berkembang di
tengah masyarakat.
Secara umum dan mendasar, tujuan pendidikan (education) merujuk pada Taksonomi Bloom yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956.
Bloom dalam taksonominya membagi tujuan sebuah penyelenggaraan pendidikan
ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognisi (cognitive domain), ranah afeksi
(affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Tiga ranah ini yang kemudian akan menentukan materi atau substansi pendidikan. Ranah kognisi
(cognitive domain) meliputi pengetahuan (knowledge) dan pengembangan intelektualitas. Termasuk di dalamnya kemampuan mengenali dan mengingat
konsep, pola-pola atau model, dan fakta yang turut membangun dalam
pengembangan intelektualitas seseorang. Pada ranah afeksi (affective domain),
terkait erat dengan sikap seseorang baik secara emosional seperti perasaan, nilai,
apresiasi, penerimaan, motivasi, maupun tindakan. Sementara, ranah psikomotor
(psychomotor domain) bergerak pada wilayah physical movement atau lebih sederhananya pada tataran perilaku. Domain ini merupakan domain yang cukup
sulit dicapai karena membutuhkan kecakapan, keterampilan, dan latihan yang
Dalam pendidikan literasi media, tiga ranah tersebutlah yang kemudian
menjadi rujukan dalam menetapkan tujuan tiap-tiap program literasi media.
Sebagaimana disebutkan Art Silverblatt, hasil atau dampak (outcome) sebuah pendidikan literasi media seharusnya dapat mengembangkan kesadaran kritis,
diskusi, pilihan yang kritis, dan aksi sosial.
Pertama, kesadaran kritis (critical awareness), berkenaan dengan bagaimana seseorang menjadi memiliki pengetahuan tentang media (produksi,
konsumsi, dan distribusi atau ekonomi politik media) dan menjadi waspada
terhadap interaksi sehari-harinya dengan media termasuk pada pengaruh media.
Kedua, diskusi adalah kunci dalam menginterpretasi pesan media di mana proses memaknai ini penting dalam mengembangkan perspektif kritis. Kegiatan
diskusi seperti ini berada pada ranah afektif, dimana seseorang dapat
menunjukkan sikapnya. Sementara pilihan kritis (critical choice) mengacu pada pilihan-pilihan personal khalayak terkait program acara di media atau pilihan
akses informasi. Terakhir, aksi sosial (social action), yaitu tindakan atau perilaku yang dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang literasi media, seperti
mematikan televisi ketika program yang ditayangkan dianggap tidak sesuai, atau
menulis surat pembaca pada surat kabar mengenai berita yang tidak etis, atau
boikot terhadap program televisi tertentu, atau bahkan pada tataran menjadi
aktivis penggerak literasi media. Empat outcomes yang disebut Silverblatt di atas sebagai tujuan-tujuan yang seharusnya dicapai dalam pendidikan literasi media
ini.
Tujuan pertama dapat dikategorikan ke dalam ranah kognisi, ranah afeksi
pada tujuan kedua, dan ranah psikomotor pada tujuan ketiga dan keempat.
Meskipun demikian, perlu diberi catatan bahwa tiap-tiap tujuan tersebut, apakah
termasuk pada domain kognitif atau afektif atau psikomotor, tidak dapat ditarik
batas yang benar-benar jelas. Ketiga ranah tersebut pada praktiknya bisa sangat
2.2.6 Media Massa
Perkembangan media massa tidak terlepas dari ilmu komunikasi yang
pada intinya bertujuan untuk menyampaikan pesan karena pada dasarnya media
berfungsi untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Sejarah perjanalan
media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media
massa. Hal ini terjadi karena media massa sebagai bagian dari subsistem
komunikasi Indonesia dalam sistem sosial Indonesia, akan dipengaruhi oleh
subsistem sosial lainnya, termasuk ideology, ekonomi, politik dan pemerintahan
negara dimana media massa itu berada. Kini media massa menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari masyarakat.
Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan
pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan dari media massa dibandingkan dengan jenis komunikasi lain adalah ia
bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu
menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nuruddin,
2004: 8)
Adapun bentuk media antara lain media elektronik (radio, televisi),
mediacetak (surat kabar, majalah, tabloid), buku, film dan internet (Bungin 2008,
85). Media massa dalam konteks jurnalistik pada dasarnya terbatas pada tiga
jenismedia yaitu:
1. Media cetak, yang terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah, buletin/
Jurnaldan sebagainya.
2. Media elektronik, yang terdiri dari radio dan televisi.
3. Media online, yaitu media internet seperti website, blog dan lainsebagainya.
Dalam menjalankan paradigmanya sebagai institusi pelopor
1. Sebagai institusi pencerahan masyarakat,
2. Menjadi media informasi,
3. Sebagai media hiburan (Bungin 2008, 85)
Dennis McQuail (1987) menjelaskan beberapa asumsi pokok terkait media
massa antara lain:
1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang
menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta menghidupkan
industri lain yang terkait. Media juga merupakan industri tersendiri
yang memiliki norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut
dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di pihak lain, institusi
media diatur oleh masyarakat.
2. Media massa merupakan sumber kekuatan – alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai
pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
3. Media merupakan lokasi (atau norma) yang semakin berperan untuk
menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang
bertaraf nasional maupun internasional.
4. Media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan
kebudayaan, bukan hanya sebagai pengembangan bentuk seni dan
simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode,
gaya hidup dan norma-norma.
5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk
memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi
masyarakat dan kelompok secara kolektif. Dimana media juga
mempunyai peran dalam menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian
normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan (Nuruddin,
2004:31-32).
Reese dan Shoemaker mangatakan bahwa ada hirarki yang mempengaruhi
level ekstramedia, dan terakhir level ideologi. Kelima level ini berpengaruh atas
pesan atau isi yang disampaikan oleh media.
Hubungan antara media dengan pihak yang bekerja di dalamnya dan
bagaimana hubungan dengan media itu sendiri juga perlu menjadi perhatian.
Rosenbaum, Beentjes, dan Konig membuat mapping di mana literasi media bergerak dalam hubungan antara produser, media dan user.
Gambar 2.1 Hubungan Media dan Pekerja Media
Gambar di atas menjelaskan bahwa media mempengaruhi produser
maupun khalayak, pun sebaliknya. Media mempengaruhi pikiran produser tentang
produksi media. Sementara produser juga mengkonstruksikan isi media. Media
mempengaruhi khalayak dalam level sosial dan individual. Meski demikian,
khalayak memiliki kemampuan untuk meng-handle media.
Kemampuan tersebut berkaitan dengan bagaimana memilih media yang
tepat, mengatur penggunaan media, kemampuan untuk memobilisasi media, serta
bagaimana menginterpretasikan isi media. Literasi media bergerak dalam keempat
hubungan diatas.
Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Dimana dalam menjalankan paradigmanya
media massa memiliki peran yaitu: (1) sebagai institusi pencerahan masyarakat,
yaotu perannya sebagai media edukasi. Artinya media massa menjadi media untuk
mendidik masyarakat menjadi cerdas dan memiliki keterbukaan pikiran dalam
informasi. (2) media massa menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat
menyampaikan informasi kepada masyarakat. Artinya, media mampu menjadikan
masyarakat menjadi masyarakat informatif ketika media juga ikut dalam
penyampaian informasi secara benar, jujur, dan berkualitas bagi masyarakat. (3)
terakhir, media massa sebagai media hiburan. Artinya, sebagai agent of change,
media massa menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya.
Dimana agent of change yang dimaksud adalah sebagai pendorong berkembangnya budaya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Media massa dalam kaitannya dengan literasi media memiliki beberapa
arti;Pertama, sebagai alat dan materi untuk mentransmisikan informasi. Kedua,
medium untuk merekam dan melindungi informasi. Ketiga, informasi atau pesan-pesan yang didistribusikan di media.
Adapun karakteristik komunikasi massa seperti:
1. Komunikasi berlangsung satu arah.
2. Komunikasi bertindak atas nama lembaga dan pesan-pesan yang
disampaikan merupakan hasil kerja sama.
3. Pesan-pesan bersifat umum (untuk orang banyak).
4. Menciptakan keserempakan.
5. Komunikasi bersifat heterogen
6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis.
7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (Bungin 2013:85-86).
Menurut Cangara, terdapat beberapa karakteristik media massa, antara
lain:
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari
banyak orang, yakni mulai dai pengumpulan, pengolahan sampai pada
2. Bersifat satu arah,artinya komunikasi yang dilakukan kurang
memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalaupun
terjadi reaksi umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak
karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana
informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang
sama.
4. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan suku bangsa
(Tamburaka, 2013:41)
Keberadaan media massa dalam kehidupan masyarakat pada akhirnya
mampu membuat pengaruh besar. Ketika media massa telah mengambil ruang
dalam kehidupan masyarakat, maka kemungkinan besar hal yang terjadi adalah
ketergantungan bagi masyarakat akan media massa, terutama media elektronik
seperti televisi. Ketergantungan yang tinggi akan media massa tentunya membawa
masyarakat pada perubahan gaya hidup dan budaya.
Seperti yang dijelaskan Bungin bahwa media massa memiliki peran
sebagai edukasi, media informasi, maupun hiburan. Namun, disisi lain dapat
dilihat bahwa media massa tidak dapat terlepas dari masalah keuntungan. Media
massa cenderung menampilkan tayangan-tayangan yang lebih disukai oleh
audience daripada memperhatikan informasi yang disajikan. Oleh karena keuntungan menjadi prioritas utama, maka media massa akan lebih cenderung
2.3 Model Teoritis
Berbasis WEB (Remotivi.or.id)
Pendidikan Literasi Media
Remotivi