KAITAN ANTARA KEMAMPUAN IBU DALAM MENSTIMULASI
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL OTONOMIDENGAN SEPARATION
ANXIETY PADA TODDLER
Esti Widiani1)Erlisa Candrawati2)
1,2)Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Tribhuwana Tunggadewi e-mail: diani.esti@gmail.com
ABSTRACT
Toddler is the second stage of psychosocial development after infant which is in the age range 18 months to 36 months. In order to avoid failure in passing the stage of psychosocial development of autonomy versus hesitation or shame it is necessary to provide good stimulation. The purpose of this research is to know the relationship of mother's ability to stimulate psychosocial development of autonomy with separation anxiety in toddler child. This research uses observational design with cross sectional approach. The research was conducted in Kemantren Village, Jabung Sub-district, Malang Regency. The technique used for sampling in this study is accidental sampling with the number of samples obtained as many as 168 respondents. The instrument used to measure the mother's ability is a modification of the Infant-Toddler Child Care HOME Inventory. The instrument used to measure separation anxiety is a modification of the Spence Children Anxiety Scale and Preschool Anxiety Scale. Data analysis used was spearman rank with statistically significant correlation between mother's ability to stimulate psychosocial autonomy development with separation anxiety at toddler with p = 0,000 (p <0,005). The BKB (Bina Keluarga Balita) group is recommended to be held at each Posyandu as a service center and learning center for mothers on early detection and developmental stimulation.
Keyword: Separation anxiet, Mother's ability to stimulate
ABSTRAK
otonomi dengan separation anxiety pada toddler dengan nilai p= 0,000 (p<0,005). Direkomendasikan kelompok BKB (Bina Keluarga Balita) perlu diadakan di setiap Posyandu sebagai pusat pelayanan dan pusat belajar bagi ibu-ibu mengenai deteksi dini dan stimulasi perkembangan.
Kata Kunci : separation anxiety; kemampuan ibu menstimulasi
PENDAHULUAN
Toddler merupakan tahapan
perkembangan psikososial kedua setelah
infant dimana berada pada rentang usia 18
bulan sampai 36 bulan (Sacco,2013).
Perkembangan psikososial pada tahap ini
disebut otonomi versus ragu-ragu dan
malu (autonomy versus doubt and shame)
(Sacco, 2013). Usia toddler tidak semua
mampu mencapai perkembangan
psikososial otonomi ini dengan baik.
Prevalensi masalah psikososial seperti
gangguan emosional sebesar 10% dan
gangguan tingkah laku pada anak sebesar
19 % (Jellinek et al., 1999 dalam Polaha et
al., 2010). Studi lain mengatakan bahwa
prevalensi masalah psikososial pada anak
usia 2-6 tahun sebesar 39,8% (Tarshis et
al., 2006). Di Netherlands prevalensi anak
yang mengalami masalah psikososial
sebesar 8-9% (Kruizinga et al., 2012).
Verhulst & Ende (1999) dalam Vogels
2008 menemukan bahwa anak dengan
masalah psikososial hanya 13 % saja yang
mendapatkan penanganan.
Anak yang tidak mampu mencapai
perkembangan psikososial otonomi akan
mengalami doubt and shame atau ragu-ragu
dan malu (Sacco, 2013; Osborne, 2009).
Malu merupakan barometer emosional
yang menjadi kunci dari orang
merasalayakatau tidak di hadapan orang
lain (Dickerson et al., 2004;
Dickerson&Kemeny, 2004; H.B.Lewis,
1971;M. Lewis,1992; Tangney&Fischer,
1995 dalam Mills et al., 2010). Malu
merupakan hal yang penting pada
perkembangan normal individu,
membantu untuk memotivasi perilaku
yang dapat diterima secara sosial (Mills et
al., 2010). Ketika malu menjadi emosi
yang dominan, hal tersebut bisa
menjadikan perilaku individu yang
maladaptif (Barrett, 1998;M.Lewis,
1992;Schore, 1996 dalam Mills et al.,
2010). Malu pada akhirnya bisa menjadi
faktor resiko terjadinya kecemasan dalam
interaksi sosial pada anak termasuk
didalamnya kecemasan berpisah (separation
anxiety) dengan orang tua (Mills, 2005
Prevalensi gangguan kecemasan pada
anak-anak menurut Costello et al.,
(2005); Velting et al., (2002) dalam Drake
& Ginsburg (2012) sebesar 10%.
Prevalensi separation anxiety anak pada
studi yang lain ditemukan sebesar 4 %
dan 50-75 % anak dengan separation
anxiety disoders berasal dari status sosial
ekonomi yang rendah (Masi et al., 2001).
Menurut Shear et al., (2006) bahwa
prevalensi anak- anak dengan separation
anxiety disoders sebesar 4,1%.
Faktor yang mempengaruhi anak
memiliki ketakutan dan kecemasan ketika
berpisah dengan orang tuanya adalah pola
asuh orang tua yang terlalu melindungi
anak dan kurangnya stimulasi
perkembangan psikososial otonomi yang
tepat. Salah satu penelitian menemukan
bahwa ibu yang terlalu melindungi anak
usia 2-3 tahun akan berdampak negatif
pada perkembangan sosial emosional
anak (Cooklin et al., 2013). Penelitian lain
menemukan bahwa anak-anak yang
dibesarkan dengan orang tua yang terlalu
melindungi dan kurang mendapatkan
kehangatan secara emosional, anak akan
mengembangkan rasa takut dan cemas
dalam aktivitas bersosialisasi (Bogels et al.,
2001). Gere et al., (2012) dalam
penelitiannya menemukan bahwa anak
yang orang tuanya terlalu melindungi
akan tumbuh menjadi anak yang memilki
kecemasan. Anakyang dibesarkan dalam
kondisi terlalu dilindungi oleh orang tua
akan mengembangkan kecemasan
berpisah dengan orang tuanya (separation
anxiety) (Ollendick & Benoit, 2012).
Anak yang mengalami kecemasan
berpisah memiliki resiko besar akan
mengalami gangguan mental di tahap
perkembangan berikutnya (Biederman et
al., 2005; Lewinsohn et al., 2008 dalam
Santucci & Ehrenreich-May, 2013).
Dalam penelitian lain dikatakan bahwa
efek yang diakibatkan pada anak yang
mengalami kecemasan berpisah adalah
gangguan tidur (Oxford et al., 2013).
Selain itu anak juga bisa mengalami
penolakan sekolah (school refusal) pada saat
anak masuk usia sekolah. Penolakan
sekolah dilaporkan pada sekitar 75 % dari
anak-anak dengan kecemasan berpisah,
dan kecemasan berpisah dilaporkan
terjadi sampai dengan 80 % dari
anak-anak dengan penolakan sekolah (Masi et
al., 2001).
Stimulasi yang tepat dapat
mengoptimalkan perkembangan anak
(Depkes, 2005). Pemberian stimulasi
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satu faktor yang terpenting adalah faktor
dengan anak (Depkes, 2005).Kemampuan
ibu yang baik tentang bagaimana cara
memberikan stimulasi perkembangan
anak ini akan membuat ibu secara
emosional menjadi lebih baik. Adanya
peningkatan harga diri ibu apabila ada
masalah dengan perkembangan anaknya,
karena ibu tahu apa penyebabnya dan
bagaimana cara untuk menstimulasinya
agar perkembangan anak kembali normal.
Selain itu juga mengurangi rasa bersalah
ibu pada anak ketika anak mengalami
penyimpangan perkembangan (Hall et al.,
2014). Perbaikan pada emosional ibu ini
akan membuat kondisi ibu secara fisik
menjadi lebih baik. Gejala psikosomatis
yang diakibatkan stress dan kecemasan
ibu maka berdampak pada perkembangan
anak.Sehingga pada akhirnya perilaku ibu
dalam merawat anak menjadi lebih baik.
Ibu dapat memberikan stimulasi
perkembangan yang tepat pada anak usia
toddler (Hall et al., 2014). Kejadian
penyimpangan perkembangan anak
separation anxiety dapat diminimalkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain
korelasional. Variabel independent (bebas)
dalam penelitian ini adalah kemampuan
ibu memberikan stimulasi perkembangan
psikososial otonomi. Variabel dependent
(terikat) pada penelitian ini yaitu separation
anxiety. Tempat penelitian di Desa
Kemantren, Kecamatan Jabung,
Kabupaten Malang. Populasi dalam
penelitian ini adalah ibu yang mempunyai
anak usia toddler. Teknik yang digunakan
untuk pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah accidental sampling
dengan didapatkan 168 responden.
Instrumen yang digunakan untuk
mengukur kemampuan ibu dalam
menstimulasi perkembangan psikososial
otonomi dengan menggunakan kuesioner
yang merupakan modifikasi dari
Infant-Toddler Child Care HOME Inventory yang
sebelumnya telah dilakukan uji validitas
menggunakan Korelasi Product Moment
dengan nilai r lebih besar dari r tabel (r >
0, 602) dan uji reliabilitas dengannilai
Alpha Cronbach sebesar 0,957.Instrumen
yang digunakan untuk mengukur
separation anxiety dengan menggunakan
kuisioner yang merupakan modifikasi dari
Spence Children Anxiety Scale dan Preschool
Anxiety Scale yang sebelumnya telah
dilakukan uji validitas dengan nilai r lebih
besar dari r tabel (r > 0, 602) dan uji
reliabilitas dengan nilai Alpha Cronbach
sebesar 0,951.Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu uji spearman
HASIL
Responden penelitian yang memenuhi
kriteria inklusi yang telah ditetapkan
berjumlah 168 orang. Berdasarkan
Tabel 1 diketahui tahapan usia ibu
sebagian besar berada di usia dewasa
yakni sebanyak 120 (71,4%) dimana
tahapan usia dewasa merupakan tahap
perkembangan yang ciri utamanya adalah
melanjutkan keturunan sehingga pada
usia ini ibu sudah siap untuk mengasuh
anak. Pendidikan ibu diketahui sebagian
besar SMA sebanyak 57 orang
(33,9%).Pendidikan yang baik akan
mendukung kemampuan ibu dalam
menstimulasi anak.Sebagian besar ibu
bekerja sebanyak 94 orang (44%).
Pendapatan keluarga sebagian besar
rendah sebanyak 98 orang (58,3%)
dimana pendapatan keluarga yang rendah
dikhawatirkan dapat berdampak pada
pada pemenuhan nutrisi yang bergizi yang
dapat mempengaruhi perkembangan
anak.
Status pernikahan menikah sebanyak
167 orang (99,4%) dimana ibu yang
mendapat dukungan suami secara umum
lebih baik dalam memberikan stimulasi
pada anak. Jumlah anak yang dimiliki
sebagian besar 1 (satu) sebanyak 82 orang
(48,8%). Jumlah anak yang dimiliki cukup
tidak terlalu banyak sehingga
memungkinkan ibu memberikan stimulasi
perkembangan pada anak secara
baik.Urutan anak pada kelompok
perlakuan sebagian besar 1 (satu)
sebanyak 82 orang (48,8%). Status anak
sebagian besar anak kandung sebanyak
167 (99,4%).
Hubungan antara kemampuan ibu
dalam menstimulasi perkembangan
psikososial otonomi dengan separation
anxiety pada toddler dapat dilihat pada
Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui
nilai p value < 0,05 sehingga secara
statistik ada hubungan yang bermakna
antara kemampuan ibu menstimulasi
perkembangan psikososial otonomi
dengan separation anxiety pada toddler. Nilai
r = -0,283 menunjukkan semakin baik
kemampuan ibu memberikan stimulasi,
maka semakin menurun separation anxiety
pada toddler.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar kemampuan ibu dalam
menstimulasi perkembangan psikososial
otonomi sebanyak 162 (96,4%) sangat
Tabel 1. Karakteristik Responden Ibu di Desa Kemantren Tahun 2017
Tabel 2. Hubungan Antara Kemampuan Ibu Dalam Menstimulasi Perkembangan Psikososial Otonomi Dengan Separation Anxiety Pada Toddler
Separation Anxiety
Kemampuan Ibu r = -0,283 p=0,000 n=168
Variabel Kategori Frekuensi %
Tahapan Usia
Remaja Akhir 3 1,8
Dewasa Muda 45 26,8
Dewasa 120 71,4
Total 168 100
Pendidikan SD 40 23,8
SMP 36 21,4
SMA 57 33,9
Diploma 13 7,7
S1 22 13,1
Total 168 100
Pekerjaan Tidak Bekerja 74 44
Bekerja 94 56
Total 168 100
Pendapatan Rendah 98 58,3
Tinggi 70 41,7
Total 168 100
Status Pernikahan
Janda/Cerai 1 0,6
Menikah 167 99,4
Total 168 100
Jumlah Anak
Satu 82 48,8
Dua 64 38,1
Tiga 14 8,3
Empat 7 4,2
Lima 1 0,6
Total 168 100
Urutan Anak
Satu 82 48,8
Dua 64 38,1
Tiga 14 8,3
Empat 7 4,2
Lima 1 0,6
Total 168 100
Status Anak
Kandung 167 99,4
Angkat 1 0,6
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
tahapan usia ibu sebagian besar usia
dewasa sebanyak 120 (71,4%) dimana
tahapan usia dewasa merupakan tahap
perkembangan yang ciri utamanya adalah
melanjutkan keturunan sehingga pada
usia pini ibu sudah siap untuk mengasuh
anak. Perkembangan tahap dewasa
(Generativity Versus Self-Absorption And
Stagnation) adalah tahap perkembangan
manusia dimana pada tahap ini
merupakan tahap dimana individu
mampu terlibat dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, pekerjaan, dan
mampu membimbing anaknya (Stuart,
2013).
Faktor lingkungan salah satunya keluarga
berpengaruh pada kemampuan ibu
memberikan stimulasi. Jumlah anak yang
dimilki sebagian besar 1 (satu) sebanyak
82 orang (48,8%) dimana jumlah anak
yang dimiliki cukup tidak terlalu banyak
sehingga memungkinkan ibu memberikan
stimulasi perkembangan psikososial
otonomi pada anak secara baik.
Status pernikahan menikah sebanyak
167 orang (99,4%) dimana ibu yang
mendapat dukungan suami secara umum
lebih baik dalam memberikan stimulasi
pada anak. Urutan anak yang dimilki
sebanyak 86 (50,6%) anak merupakan
anak ke dua dan seterusnya sehingga ibu
sudah mempunyai pengalaman dari anak
yang sebelum dalam memberikan
stimulasi perkembangan, sehingga pada
anak yang kedua ibu lebih baik dalam
memberikan stimulasi perkembangan.
Hal tersebut diatas sesuai dengan
pendapat yang mengatakan bahwa
lingkungan keluarga meliputi; pekerjaan
orang tua, pendapatan keluarga, jumlah
saudara yang juga termasuk anak urutan
ke berapa dalam keluarga, stabilitas
rumah tangga, kepribadian dan tingkat
stress atau depresi ayah ibu (Brown et al.,
2009), dan perceraian keluarga (da
Figueiredo, 2012). Lingkungan keluarga
akan sangat berpengaruh pada
kemampuan keluarga untuk memberikan
stimulasi pada anak, motivasi belajar,
ganjaran atau hukuman yang wajar, cinta
dan kasih sayang serta mempengaruhi
kualitas interaksi anak-orang tua (Kartner
et al., 2011).
Pendidikan ibu diketahui sebagian besar
SMA sebanyak 57 orang (33,9%) dan
perguruan tinggi sebanyak 35 (20,8%).
Pendidikan yang baik akan mendukung
kemampuan ibu dalam memberikan
otonomi dengan baik. Ibu yang
memperoleh pendidikan hingga
perguruan mempunyai kesempatan yang
besar untuk mencari ilmu tentang
pengasuhan anak lewat internet.
Bertambahnya pengetahuan ibu tentang
bagaimana memberikan stimulasi
perkembangan anak ini akan membuat
ibu secara emosional menjadi lebih baik.
Meningkatnya harga diri ibu apabila ada
masalah dengan perkembangan anaknya,
karena ibu tahu apa penyebabnya dan
bagaimana cara untuk menstimulasinya
agar perkembangan anak kembali normal.
Selain itu juga mengurangi rasa bersalah
ibu pada anak ketika anak mengalami
penyimpangan perkembangan (Hall et al.,
2014). Perbaikan pada emosional ibu ini
akan membuat kondisi ibu secara fisik
menjadi lebih baik. Gejala psikosomatis
yang diakibatkan stress dan kecemasan
ibu pada perkembangan anak dapat
berkurang. Sehingga pada akhirnya
perilaku ibu dalam merawat anak menjadi
lebih baik. Ibu dapat memberikan
stimulasi perkembangan yang tepat pada
anak usia toddler (Hall et al., 2014).
Desa Kemantren sudah memiliki
4 kelompok BKB (Bina Keluarga Balita),
satu diantaranya sudah bagus dalam
pelaksanaannya. BKB sebagai upaya
promosi kesehatan masyarakat
merupakan salah satu kelompok yang
menyelenggarakan deteksi dini
perkembangan dan pemberian stimulasi
perkembangan. BKB adalah wadah
kegiatan keluarga yang mempunyai
balita-anak, bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan orangtua
(ayah dan ibu) dan anggota keluarga lain
untuk mengasuh dan membina tumbuh
kembang anak melalui kegiatan stimulasi
fisik, mental, intelektual, emosional,
spiritual, sosial, dan moral untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Peserta BKB adalah keluarga
yang memilki anak usia 0-5 tahun.
Kelompok BKB ini membantu ibu dalam
menambah pengetahuan tentang
stimulasi perkembangan.
Stimulasi memegang peranan penting
dalam menentukan perkembangan anak.
Stimulasi merupakan rangsangan yang
diberikan kepada anak oleh lingkungan,
khususnya ibunya agar anak dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal.
Stimulasi adalah cara terbaik untuk
mengembangkan kemampuan anak.
Stimulasi dapat diberikan setiap ada
kesempatan bersama anak melalui
kegiatan rumah tangga ataupun di luar
rumah tangga. Stimulasi ini juga dapat
dilakukan secara langsung oleh orang tua
sehingga anak merasa nyaman
mengeksplorasi diri terhadap
lingkungannya (el Moussaoui & Braster,
2011; Ota & Austin, 2013). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar tidak cemas sebanyak 72 (42,9%).
Secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara kemampuan ibu
menstimulasi perkembangan psikososial
otonomi dengan separation anxiety pada
toddler. Nilai r = -0,283 menunjukkan
semakin baik kemampuan memberikan
stimulasi ibu, maka semakin menurun
separation anxiety pada toddler. Kemampuan
stimulasi yang baik akan membuat
perkembangan psikososial otonomi anak
juga akan berkembang secara optimal.
Kecemasan berpisah merupakan salah
satu penyimpangan pada perkembangan
psikososial otonomi.Hal tersebut sesuai
dengan pendapat yang mengatakan
bahwa stimulasi pada anak dilakukan oleh
ibu dan ayah yang merupakan orang
terdekat dengan anak, pengganti ibu atau
pengasuh, anggota keluarga lain dan
kelompok masyarakat di lingkungan
rumah tangga masing-masing dan dalam
kehidupan sehari-hari. Kurangnya
stimulasi dapat menyebabkan
penyimpangan perkembangan bahkan
gangguan yang menetap (Depkes,
2005).Hal tersebut diatas juga sesuai
dengan pendapat yang mengatakan
bahwa pemberian stimulasi secara dini
adalah salah satu faktor yang berpengaruh
dalam upaya pendidikan anak, karena
pemberian stimulasi yang baik akan
mempengaruhi perkembangan anak
selanjutnya. Pemberian stimulasi yang
baik adalah pemberian stimulasi yang
disesuaikan dengan perkembangan usia
anak. Dengan stimulasi ini, maka seluruh
kemampuan anak, baik motorik kasar,
motorik halus, bahasa, maupun personal
sosial akan berkembang dengan baik.
Sebagai seorang ibu atau orang tua
hendaknya mengetahui dan mampu
memberikan stimulasi terhadap anak
sesuai dengan kelompok
perkembangannya di lingkungan
keluarganya (el Moussaoui & Braster,
2011).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara kemampuan ibu
menstimulasi perkembangan psikososial
otonomi dengan separation anxiety pada
toddler dimana semakin baik kemampuan
ibu, maka semakin menurun separation
anxiety pada toddler.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam menyusun penelitian ini, penulis
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu
dalam kesempatan ini penulis dengan
rendah hati mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada DRPM
Ristek Dikti yang telah memberikan dana
pada penelitian ini dan semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan jurnal ini.
REFERENSI
Allen, J. L., Blatter-Meunier, J., Ursprung,
A., & Schneider, S. (2010). The
Separation Anxiety Daily Diary:
Child Version: Feasibility and
Psychometric Properties. Child
Psychiatry And Human
Development, 41(6): 649-662.
Bogels, S. M., van Oosten, A., Muris, P.,
& Smulders, D. (2001). Familial
Correlates of Social Anxiety in
Children and Adolescents.
Behaviour Research And Therapy,
39(3): 273-287.
Brown, G. L., Mangelsdorf, S. C., Neff,
C., Schoppe-Sullivan, S. J., &
Frosch, C. A. (2009). Young
Children’s Self-Concepts:
Associations with Child Temperament, Mothers’ and Fathers’ Parenting, and Triadic Family Interaction. Merrill-Palmer
Quarterly, 55(2): 184-216.
Cooklin, A. R., Giallo, R., D’Esposito, F., Crawford, S., & Nicholson, J.
M. (2013). Postpartum Maternal
Separation Anxiety,
Overprotective Parenting, and
Children’s Social-Emotional
Well-Being: Longitudinal
Evidence From an Australian
Cohort. Journal Of Family
Psychology: JFP: Journal Of The
Division Of Family Psychology Of
The American Psychological
Association (Division 43), 27(4):
618-628.
Da Figueiredo, C.,Rodrigues Sequeira, &
Dias, F. V. (2012). Families:
Influences in Children’s
Development and Behaviour, From Parents And Teachers’ Point of View. Psychology
Research, 2(12): 693-705.
Depkes RI. (2005). Pedoman Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Balita. Dirjen
Pembinaan Kesehatan
Masyarakat. Direktorat Bina
Kesehatan Keluarga. Jakarta
Drake, K. L., & Ginsburg, G. S. (2012).
Family Factors in the
Development, Treatment, and
Prevention of Childhood
Anxiety Disorders. Clinical Child
And Family Psychology Review,
El Moussaoui, N., & Braster, S. (2011).
Perceptions and Practices of Stimulating Children’s Cognitive Development Among Moroccan
Immigrant Mothers. Journal Of
Child & Family Studies, 20(3),
370-383
Gere, M. K., Villabø, M. A., Torgersen,
S., & Kendall, P. C. (2012).
Overprotective Parenting and
Child Anxiety: The Role of
Co-Occurring Child Behavior
Problems. Journal Of Anxiety
Disorders, 26(6): 642-649.
Hall, K.,B.Nurs R.G.N.H.V.Cert, &
Grundy, S., R.M.N. (2014). An
Analysis of Time 4u, a
Therapeutic Group for Women
with Postnatal Depression.
Community Practitioner, 87(9):
25-28.
Hidayat, A.A.A.(2008). Pengantar Ilmu
Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Salemba Medika.
Jakarta.
Kartner, J., Borke, J., Maasmeier, K.,
Keller, H., & Kleis, A. (2011).
Sociocultural Influences on the
Development of
Self-Recognition and Self-Regulation
in Costa Rican and Mexican
Toddlers. Journal Of Cognitive
Education & Psychology, 10(1):
96-112.
Keliat, B.A., Helena, N., Farida, P.(2011).
Manajemen Keperawatan Psikososial
& Kader Kesehatan Jiwa
(CMHN).EGC. Jakarta
Kruizinga, I., Jansen, W., de Haan, C. L.,
& Raat, H. (2012). Reliability
and Validity of the KIPPPI: an
Early Detection Tool for
Psychosocial Problems in
Toddlers. Plos One, 7(11):
e49633.
Masi, G., Mucci, M., & Millepiedi, S.
(2001). Separation Anxiety
Disorder in Children and
Adolescents: Epidemiology,
Diagnosis and Management.
CNS Drugs, 15(2): 93-104.
Michail, M., & Birchwood, M. (2013).
Social Anxiety Disorder and
Shame Cognitions in Psychosis.
Psychological Medicine, 43(1):
133-42.
Mills, R. L., Arbeau, K. A., Lall, D. K., &
de Jaeger, A. E. (2010).
Parenting and Child
Characteristics in the Prediction
of Shame in Early and Middle
Childhood. Merrill-Palmer
Quarterly, 56(4): 500-528.
Moldovan, O. D. (2013). The Separation
Children. Journal Plus Education /
Educatia Plus, 9(2): 97-104.
Ollendick, T., & Benoit, K. (2012). A
Parent-Child Interactional
Model of Social Anxiety
Disorder in Youth. Clinical Child
& Family Psychology Review, 15(1):
81-91.
Osborne, J. W. (2009). Commentary on
Retirement, Identity, and Erikson’s Developmental Stage Model. Canadian Journal On
Aging, 28(4): 295-301.
Ota, C. L., & Austin, A. B. (2013).
Training and mentoring: Family child care providers’ use of linguistic inputs in conversations
with children. Early Childhood
Research Quarterly, 28(4), 972-983.
Oxford, M. L., Fleming, C. B., Nelson, E.
M., Kelly, J. F., & Spieker, S. J.
(2013). Randomized trial of
Promoting First Relationships: Effects on Maltreated Toddlers’ Separation Distress and Sleep
Regulation after Reunification.
Children & Youth Services Review,
35(12): 1988-1992.
Polaha, J., Dalton, W. T., & Allen, S.
(2011). The Prevalence of
Emotional and Behavior
Problems in Pediatric Primary
Care Serving Rural Children.
Journal Of Pediatric Psychology,
36(6): 652-660.
Sacco, R. G. (2013). Re-Envisaging the
Eight Developmental Stages of
Erik Erikson: The Fibonacci
Life-Chart Method (Flcm).
Journal of Educational and
Developmental Psychology, 3(1):
140-146.
Santucci, L., & Ehrenreich-May, J. (2013).
A Randomized Controlled Trial
of the Child Anxiety Multi-Day
Program (CAMP) for
Kecemasan berpisah Disorder.
Child Psychiatry & Human
Development, 44(3): 439-451.
Shear, K., Jin, R., Ayelet, M. R., Walters,
E. E., & Kessler, R. C. (2006).
Prevalence and Correlates of
Estimated DSM-IV Child and
Adult Separation Anxiety
Disorder in The National
Comorbidity Survey Replication.
The American Journal of Psychiatry,
163(6): 1074-83.
Stuart, G. W. (2013). Principles and practice
of Psychiatric Nursing. (10th ed).
St. Louis: Mosby Year Book
Tarshis, T. P., Jutte, D. P., &
Huffman, L. C. 2006. Provider
Recognition of Psychosocial
Problems in Low-Income
Health Care For The Poor And
Underserved, 17(2): 342-357.
Vogels, A. C., Jacobusse, G. W.,
Hoekstra, F., Brugman, E.,
Crone, M., & Reijneveld, S. A.
(2008). Identification of
Children with Psychosocial
Problems Differed Between
Preventive Child Health Care
Professionals. Journal Of Clinical
Epidemiology, 61(11): 1144-1151.
Wang, M., & Saudino, K. J. (2012).
Genetic and Environmental
Contributions to Stability and
Change of Sleep Problems in
Toddlerhood. Journal Of Pediatric