• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL GURU PAI (PENDIDIKAN AGAMA ISLAM) DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL GURU PAI (PENDIDIKAN AGAMA ISLAM) DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

6) *) Zulaichah Ahmad adalah dosen prodi PAI UNMUH Jember 231 Zulaichah Ahmad 6)

Abstrak : Profil guru PAI adalah gambaran tentang perilaku kependidikan yang ditampilkan oleh guru PAI dari berbagai pengalamannya selama menjalankan tugas dan profesinya sebagai guru PAI. Perilaku kependidikan guru PAI sangat kompleks dan memerlukan kajian secara mendalam. Fenomena empiris menunjukkan bahwa pada saat ini banyak terdapat kasus kenakalan dikalangan pelajar, mulai dari isu perkelahian, tindak kekerasan, premanisme, tindak kriminal yang dilakukan pelajar, sebagaimana telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya. Timbulnya kasus-kasus tersebut bukan semata-mata karena kegagalan PAI di sekolah, akan tetapi bagaimana semua itu dapat menggerakkan guru PAI untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan metodologi PAI agar tidak hanya berjalan secara konvensional tradisional. Menghadapi tantangan era globalisasi perlu dipersiapkan calon guru PAI yang memiliki kompetensi paedagogik, professional, personal, sosial

Kata Kunci : Profil; Guru PAI; Tantangan Global.

PENDAHULUAN

Istilah profile (Inggris) semakna dengan shafhah al-syakhshiyah (Arab), yang berarti “gambaran yang jelas tentang (penampilan) nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dari berbagai pengalaman dirinya” ( Muhaimin, 2004 ). Profil guru PAI berarti gambaran yang jelas mengenai nilai-nilai (perilaku) kependidikan yang ditampilkan oleh guru PAI dari berbagai pengalamannya selama menjalankan tugas atau profesinya sebagai guru PAI.

Sebenarnya, agama Islam mengajarkan bahwa setiap umat Islam wajib mendakwahkan ajaran agama Islam kepada yang lain. Sebagaimana dipahami dari firman Allah Q.S. Al-Nahl ayat 125, Q.S. Al-Syura ayat 15, Q.S. Ali Imran ayat 104, Q.S. Al-Asr ayat 1-3. Di dalam hadits Nabi Saw. Juga disebutkan: “Sampaikanlah ajaran dariku walaupun sekedar satu ayat” (H.R. Bukhari).

(2)

Berdasarkan ayat dan hadits tersebut dapat dipahami bahwa siapapun dapat menjadi pendidik/guru PAI, asalkan dia memiliki pengetahuan (kemampuan) lebih, mampu mengimplisitkan nilai relevan (dalam pengetahuannya itu), yakni sebagai penganut agama yang patut dicontoh dalam agama yang diajarkan, dan bersedia menularkan pengetahuan agama serta nilainya kepada orang lain.

Namun demikian, pendidikan agama (PAI) tidak hanya menyangkut masalah transformasi ajaran dan nilainya kepada pihak lain, tetapi lebih merupakan masalah yang kompleks. Dalam arti, setiap pembelajaran PAI akan berhadapan dengan permasalahan yang kompleks, misalnya masalah peserta didik dengan berbagai latar belakangnya, dalam kondisi dan situasi apa ajaran itu diberikan, sarana apa yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan PAI, bagaimana cara atau pendekatan apa yang digunakan dalam pembelajarannya, bagaimana mengorganisasikan dan mengelola isi pembelajaran PAI tersebut, hasil apa yang diharapkan dari kegiatan PAI, dan seberapa jauh tingkat efektifitas, efisiensinya, serta usaha-usaha apa yang dilakukan untuk menimbulkan daya tarik bagi peserta didik dan sebagainya.

Atas dasar itulah, perilaku kependidikan dari guru PAI juga sangat kompleks pula, yang memerlukan kajian secara mandalam. Dalam kerangka kependidikan, secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku guru dipandang sebagai “sumber pengaruh”, sedangkan tingkah laku peserta didik (yang belajar) sebagai “efek” dari berbagai proses, tingkah laku dan kegiatan interaktif (Gage, 1964).

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH SEBAGAI KERANGKA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM.

Pendidikan Islam dapat didefinisikan sebagai: 1). Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seseorang atau sekelompok siswa dalam menanamkan ajaran dan/atau menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam. 2). Segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan dua orang atau lebih yang berdampak pada tertanamnya ajaran dan/atau tumbuh kembangnya nilai-nilai Islam pada salah satu atau beberapa pihak. 3). Keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam (Muhaimin, 2004).

Jika dilihat dari aspek program dan praktik pendidikan yang dilaksanakan, maka seluruh pendidikan Islam di Indonesia dapat

(3)

dibagi ke dalam 5 (lima) jenis, yaitu: 1). Pendidikan pondok pesantren; 2). Pendidikan madrasah, yang saat ini disebut sekolah umum yang berciri khas Islam dan pendidikan lanjutannya seperti IAIN/STAIN atau Perguruan Tinggi Islam yang bernaung di bawah Departemen Agama; 3). Pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam; 4). Pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah (Muchtar Buchori, 1989); dan 5). Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau forum-forum kajian keislaman, majlis ta’lim, dan sebagainya yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat.

Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dalam konteks kelima jenis pendidikan Islam termasuk jenis yang keempat, dan dalam konteks definisi pendidikan Islam tersebut diatas termasuk definisi yang pertama dan kedua. Karena itu, kurikulum PAI berarti seperangkat rencana kegiatan dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran PAI serta cara yang digunakan dan segenap kegiatan yang dilakukan oleh guru PAI untuk membantu seorang atau sekelompok siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dan/atau menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam. Termasuk juga di dalamnya segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada tertanamnya ajaran Islam dan/atau tumbuh kembangnya nilai-nilai Islam pada salah satu atau beberapa pihak. Pada yang terakhir ini biasanya terwujud dalam bentuk penciptaan suasana religius di sekolah.

Pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengantarkan peserta didik agar memiliki: 1). Kemantapan akidah dan kedalaman spiritual; 2). Keunggulan akhlak; 3). Wawasan pengembangan dan keluasan iptek; dan 4). Kematangan professional. Tugas PAI di sekolah selama ini terutama pada aspek pertama dan kedua, namun demikian bagaimana menjadikan aspek ketiga dan keempat sebagai perwujudan dari pengalaman keagamaan peserta didik, sebaliknya pengembangan aspek ketiga dan keempat diwarnai dan dijiwai oleh aspek pertama dan kedua. Inilah tantangan yang dihadapi oleh guru PAI dan sekaligus pesan-pesan besar pendidikan Islam yang harus diperjuangkan dalam mengembangkan atau mengaktualisasikan kurikulum PAI di sekolah umum.

Untuk mewujudkan keempat misi tersebut, maka disamping para siswa diberi bahasa dasar iptek yang kuat, seperti matematika, fisika, biologi, kimia, ilmu-ilmu sosial dasar, ilmu-ilmu budaya dasar,

(4)

dan sebagainya sebagaimana yang diberikan sejak jenjang pendidikan dasar hingga menengah, juga mereka harus diberi dasar-dasar agama yang kuat pada jenjang pendidikan tersebut (Mastuhu, 1995).

Berbagai kemampuan dasar tersebut merupakan acuan utama yang harus diperjuangkan oleh guru PAI, baik melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler maupun keterpaduan pembinaan, yang meliputi: keterpaduan kelembagaan, keterpaduan materi, keterpaduan wilayah pengembangan PAI antara aspek kognotif, afektif dan psikomotor, keterpaduan proses pendidikan, dan keterpaduan ketenagaan.

Karena itu mustahil PAI di sekolah akan berhasil kalau tidak dibarengi dengan sikap proaktif dari guru PAI, serta adanya keterpaduan pembinaan tersebut, apalagi dengan mengingat kecilnya jumlah jam pelajaran PAI (hanya dua jam pelajaran dalam seminggu).

BERBAGAI KRITIK TERHADAP PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH.

Fenomena empiris menunjukkan bahwa pada saat ini banyak terdapat kasus kenakalan dikalangan pelajar, mulai dari isu perkelahian pelajar, tindak kekerasan, premanisme, konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, tindak kriminalitas yang dilakukan pelajar, sebagaimana telah mewarnai halaman surat kabar, majalah, dan media massa lainnya.

Timbulnya kasus-kasus tersebut memang bukanlah semata-mata karena kegagalan PAI di sekolah, akan tetapi bagaimana semuanya itu dapat menggerakkan guru PAI untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan metodiologi PAI agar tidak hanya berjalan secara konvensional-tradisional.

Berbagai kritik terhadap pelaksanaan PAI yang berlangsung di sekolah, yang patut dicermati adalah sebagai berikut:

1. PAI lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata, serta amalan-amalan ibadah praktis, dan lebih berorientasi pada belajar tentang agama, kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa.

2. Metodologi PAI tidak kunjung berubah, ia berjalan secara konvensional-tradisional dan monoton.

3. Kegiatan PAI kebanyakan bersifat menyendiri, kurang berinteraksi dengan yang lain, bersifat marjinal dan periferal.

(5)

4. Pendekatan PAI cenderung normatif, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya.

5. Guru PAI terlalu terpaku pada GBPP mata pelajaran PAI.

6. Guru PAI lebih bernuansa guru spiritual/moral, dan kurang diimbangi dengan nuansa intelektual dan professional, dan suasana hubungan antara guru PAI dan siswa lebih berperspektif doktriner, kurang tercipta suasana hubungan kritis-dinamis yang dapat berimplikasi dan berkonsekuensi pada peningkatan daya kreatifitas, etos ilmu, dan etos kerja/amal.

Berbagai kritik tersebut bukanlah bertendensi untuk mendeskreditkan PAI di sekolah, tetapi lebih berperspektif ke depan untuk peningkatan dan pengembangannya karena bagaimanapun PAI dirasakan sangat urgen dan mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan keimanan dan ketakwaan para siswa. Apalagi di dalam No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan Agama wajib diberikan pada setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan.

Berbagai tantangan dan kritikan tersebut perlu dicarikan solusi pemecahannya mulai dari penggalian kembali akar permasalahannya sampai dengan perbaikan dan penyempurnaan dimensi-dimensi operasionalnya. Oleh karena itu diperlukan sikap proaktif guru PAI, dalam arti guru PAI harus mampu keluar dari struktur, kondisi, dan aturan yang ada, untuk berusaha mencari jalan baru, atau berada dalam perspektif “mengubah” sesuai dengan konteknya.

Guru PAI yang proaktif akan berusaha untuk melakukan hal-hal, antara lain sebagai berikut:

1. Mendudukkan GBPP sebagai ancer-ancer, bukan pedoman yang baku, sehingga berimplikasi pada keberanian guru PAI untuk melakukan analisis materi, tugas, dan jenjang belajar secara kontekstual.

2. Melakukan seleksi materi, mana yang perlu diberikan di dalam kelas atau di sekolah lewat kegiatan intra dan ekstrakurikuler, dan mana pula yang perlu dilakukan di luar sekolah untuk diserahkan kepada keluarga dan/atau masyarakat melalui pembinaan secara terpadu.

3. Mampu menggerakkan guru-guru lain (teman sejawat) untuk ikut serta (berpartisipasi aktif dalam) membina pendidikan agama di sekolah, sehingga tercipta suasana religius di sekolah tersebut.

(6)

4. Selalu mencari model-model pembelajaran PAI atau mengembangkan metodologi PAI secara kontekstual yang dapat menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

5. Siap untuk mengembangkan profesi secara berkesinambungan, agar ilmu dan keahliannya tidak cepat tua (out of date), sebagai implikasinya guru PAI akan concern dan komitmen dalam peningkatan studi lanjut, mengikuti kegiatan-kegiatan seminar, diskusi, pelatihan dan lain-lain.

6. Berusaha melakukan rekayasa fisik, psikis, sosial, dan spiritual dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran PAI di sekolah.

ASUMSI TENTANG KEBERHASILAN GURU PAI DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL.

Berbicara tentang penyiapan calon guru PAI tidak bias terlepas dari kajian terhadap berbagai asumsi yang melandasi keberhasilan pendidik agama.Secara ideal untuk melacak masalah ini dapat mengacu pada perilaku Nabi Saw., karena beliaulah satu-satunya pendidik yang berhasil.

Mengingat kita adalah manusia biasa yang tidak sama dengan Nabi Saw., sehingga kita mempunyai kemampuan terbatas untuk meniru segala-galanya dari beliau, walaupun hal itu tetap kita cita-citakan. Karena itu, dalam melacak asumsi-asumsi keberhasilan guru PAI perlu meneladani beberapa hal yang dianggap esensial, yang dari padanya diharapkan dapat mendekatkan antara realitas (perilaku guru PAI yang ada) dan idealitas (Nabi Muhammad Saw. sebagai pendidik).

Perlu dimaklumi bahwa keberhasilan Nabi Saw. sebagai pendidik didahului dengan bekal kepribadian (personality) yang berkualitas unggul. Sebelum beliau menjalankan tugas risalahnya, beliau sudah dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur, berkepribadian unggul, sehingga beliau dijuluki sebagai al-amin, orang yang sangat jujur, dapat dipercaya, dan sangat dicintai semua orang (Syed Mahmudunnasir, 1993).

Beliau juga dikenal sebagai seorang yang sangat peduli terhadap masalah sosial religius. Sebelum beliau menjalankan tugas risalahnya,bertahun-tahun beliau lebih dahulu terlibat dalam pemikiran dan kontemplasi yang mendalam dan kadang-kadang sangat menegangkan dalam membaca masyarakat komersial kota Mekah yang zalim itu.

(7)

Dilihat dari sisi tersebut, ternyata seseorang yang akan menjalankan tugas-tugas tertentu diperlukan adanya berbagai kesiapan dan kemampuan, sehingga dalam perjalanan tugasnya siap menghadapi berbagai tantangan dan siap serta mampu menghadapi, merespon dan memecahkannya dengan penuh kearifan dan kebijakan. Karena itulah, para ulama sebagai pewaris Nabi juga telah memformulasikan sifat-sifat, ciri-ciri esensial dari pendidik ideal, yang seharusnya dimiliki oleh guru PAI agar dalam menjalankan tugas-tugas kependidikannya dapat berhasil secara optimal.

Para ulama telah memformulasikan sifat-sifat, ciri-ciri, dan tugas-tugas guru yang diharapkan agar berhasil dalam menjalankan tugas-tugas kependidikannya, dan pada intinya sifat-sifat, ciri-ciri, dan tugas-tugas tersebut terkait dengan aspek personal-religious, sosial-religius, dan professional-religius. Aspek personal menyangkut pribadi guru PAI, sehingga perlu menatap dan mengaca dirinya serta memahami konsep dirinya sebagai guru yang patut digugu dan ditiru. Dilihat dari dimensi personalnya, Imam al-Ghazali (t.t), Al-Nahlawy (1979), Al-abrasyi (1969), Al-Kailany (1986), Al-Qurasyi (1984), menyatakan bahwa seorang guru harus meneladani Rosulullah, dalam arti tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya bersifat Rabbani, ikhlas dalam bekerja atau bekerja karena mencari keridlaan Allah, menjaga harga diri dan kehormatan, menjadi teladan bagi peserta didiknya, menerapkan ilmunya dalam bentuk perbuatan, sabar dalam mengajarkan ilmunya kepada peserta didik dan tidak mau meremehkan mata pelajaran lainnya.

Aspek sosial menyangkut misi yang diemban oleh guru/pendidik adalah misi kemanusiaan, dalam arti tugas mengajar dan mendidik adalah tugas pemanusiaan manusia. Dilihat dari dimensi sosialnya, Imam Al-Ghazali, Al-Nahlawy, Al-Abrasyi, Al-Kailany, Al-Qurasyi, menyatakan bahwa seorang guru harus bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap peserta didik, mampu menahan diri, menahan amarah, lapang dada, sabar, dan tidak mudah marah karena hal sepele, mampu mencegah peserta didik dari akhlak yang tercela (sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tidak tunjuk hidung, dan bersikap adil diantara peserta didiknya.

Dan aspek professional menyangkut peran profesi dari guru, dalam arti ia memiliki kualifikasi professional sebagai seorang guru/pendidik. Dilihat dari dimensi profesionalnya, Imam Al-Ghazali, Al-Nahlawy, Al-Abrasyi, Al-Kailany, Al-Qurasyi menyatakan bahwa seorang guru harus mempelajari kehidupan psikis (tabeat, minat, kebiasaan, perasaan dan kemampuan) peserta didik selaras dengan

(8)

masa perkembangannya sehingga dalam menyajikan pelajaran akan tepat pada sasarannya, menguasai bidang yang diajarkan serta berusaha memahami dan mengembangkannya, mempunyai kemampuan mengajar, dan tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan kehidupan modern yang dapat mempengaruhi sikap, pola pikir dan tingkah laku peserta didik, serta mampu mencari solusi yang bersifat Islami dalam menghadapi masalah tersebut.

Kata religius selalu dikaitkan dengan masing-masing kemampuan tersebut menunjukkan adanya komitmen guru PAI sebagai kriteria umum, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dipecahkan dan didudukkan dalam perspektif Islam.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 8-12) yang menjelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yang dimaksud kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Dari berbagai pendapat para ulama dan Undang-undang No.14/2005 tentang Guru dan Dosen dapat dipahami bahwa ada beberapa kemampuan dan perilaku yang perlu dipersiapkan oleh calon guru, yang sekaligus merupakan profil guru PAI yang diharapkan agar dalam menjalankan tugas-tugas kependidikannya dapat berhasi secara optimal.

Medly (1979), sebagaimana dikutip oleh Noeng Muhadjir (1987), telah melacak sejarah penelitian tentang efektifitas keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya, yang dibagi dalam empat fase. Pada fase pertama, seorang mengasumsikan bahwa efektifitas guru/pendidik berdasarkan kepribadiannya. Persepsi orang pada fase tersebut tentang guru/pendidik yang baik, difokuskan

(9)

pada kepribadian yang menarik, meyakinkan, dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan di sekolah dan dalam kehidupan masyarakat. Pada fase kedua, orang mengasumsikan bahwa efektifitas guru terletak pada metode mengajarnya yang baik sehingga usaha penelitian pada fase ini terarah pada usaha eksperimen metode. Namun demikian, eksperimentasi untuk mencari metode yang baik ternyata tidak pernah berhasil atau setidak-tidaknya inkonklusif. Pada fase ketiga, efektifitas guru dilihat pada yang dikerjakan guru dalam belajarnya siswa, sehingga fokus penelitiannya bukan lagi masalah karakteristik guru (fase pertama), tetapi pada pola tingkah laku yang stabil, pada teaching styles, dan pada dimension of classroom climate. Pola tingkah laku tersebut menyangkut kejelasan, keragaman, antusiasme, berorientasi pada tugas, kritis, tutwuri (teacher indirectness), memberi kesempatan belajar, menerapkan criteria pada bahan yang dipelajari dan memberi komentar berstruktur. Pada fase keempat, mengasumsikan bahwa efektifitas guru bergantung pada kompetensinya, dalam arti munculnya penampilan (performance) yang menggambarkan bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi). Model ini tidak hanya menanyakan bagamana guru berbuat (fase ketiga), tetapi juga menanyakan kapan dan mengapa berbuat demikian dan sekaligus mampu mempertanggungjawabkan alternatif pilihannya. Dari hasil pelacakan Medly tersebut, dapat dipahami bahwa ada persepsi yang berbeda mengenai guru yang berhasil dalam menjalankan tugas kependidikannya. Ada yang berasumsi bahwa kepribadian guru yang menjamin keberhasilannya, yang lain menyebut metode, iklim interaksi dan yang lain lagi menyebut kompetensi atau kemampuan/penampilan. Berbagai persepsi tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural dan politik yang berkembang dan dominant pada masing-masing fase sehingga menimbulkan pandangan atau persepsi yang parsial dalam melihat efektifitas keberhasilan guru.

Bila hasil pelacakan Medly tersebut dikaitkan dengan profil guru yang diharapkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama dan Undang-undang tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan aspek yang mendasari efektifitas keberhasilan guru tersebut perlu dipahami, dilaksanakan, dan diterapkan secara bersamaan dan utuh. Oleh karena itu asumsi yang mendasari keberhasilan guru PAI dalam menjalankan tugas kependidikannya akan dilihat dan dipahami secara utuh pula.

Dengan menperhitungkan berbagai tantangan PAI serta identifikasi profil guru PAI sebagaimana uraian diatas, maka guru PAI

(10)

dapat mengembangkan strategi penyelenggaraan PAI di sekolah guna mengantisipasi berbagai tantangan tersebut, dengan cara-cara sebagai berikut:

Menurut Towaf (1996), guru PAI perlu:1. Mengoptimalkan fungsi PAI di sekolah;2. Memantapkan PAI sebagai program pendidikan;3. Mengembangkan profesionalisme dalam pengelolaan PAI di sekolah;4. Melaksanakan dan memanfaatkan hasil penelitian.

Menurut Soedjatmoko (1976) dan Mochtar Buchori (1992), kegiatan PAI perlu diinteraksikan dan bersinkronisasi secara berarti dengan pendidikan non agama, dan/atau guru PAI dengan guru-guru mata pelajaran lainnya dalam melaksanakan dan menciptakan suasana PAI di sekolah. Menurut Tarmizi Taher (1996), mendorong pihak orang tua dan masyarakat agar memberikan perhatian terhadap pendidikan bagi anak-anak mereka di rumah, dan guru-guru mata pelajaran umum diupayakan untuk ikut brtpartisipasi dalam membantu keberhasilan PAI, baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler sehingga PAI dipolakan sebagai gerakan bersama.

Menurut Atho’ Mudzhar (1992), guru PAI perlu: 1). Membangun kembali sistem teologi yang perlu ditawarkan kepada masyarakat; 2). Melakukan transformasi pengertian akhlak yang tidak hanya berarti seperangkat aturan mengenai sopan santun, tetapi keseluruhan kepribadian muslim (kemandirian, kejujuran, kedisiplinan, sikap tanggung jawab, sikap tanpa pamrih, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis, dan suka bekerja keras); 3). Melakukan transformasi sikap guru PAI dan umat Islam pada umumnya terhadap kitab suci, yang tidak hanya menekankan aspek membaca dalam bentuk lafdziyah (arabnya) serta mengejar pahala bacaan setiap hurufnya, tetapi juga dibarengi dengan pemahaman makna dan kandungannya serta semangat ajarannya; 4). Dalam hal ibadah perlu ada reorientasi agar pelaksanaannya tidak menjadi rutinitas dan sekadar memenuhi formalitas (aspek eksoteris), tetapi lebih merupakan proses sadar untuk pembentukan kepribadian (aspek esoteris); 5. Dalam bidang hukum perlu adanya reinterpretasi dengan memperhatikan jiwa dan dinamika hukum Islam; 6. Perlu melakukan integrasi antara ilmu dan amal.Menurut Ahmad Tafsir (1992), guru PAI dan guru pada umumnya perlu mengembalikan citra dan martabat guru itu sendiri yang dianggap rendah, yang disebabkan pengaruh pandangan rasionalisme, materialisme, dan pragmatisme, serta pengaruh dari masyarakat itu sendiri yang telah rusak juga oleh pengaruh pandangan tersebut, dan mereka telah menggunakan pertimbangan yang semata-mata rasional, ekonomis, dan relatif.

(11)

Berbagai macam pendapat diatas, menggarisbawahi perlunya guru PAI untuk: 1). Memiliki semangat jihad dalam menjalankan profesinya sebagai guru PAI, dan/atau memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, karena bagaimanapun seperangkat kompetensi professional yang dimiliki oleh guru PAI adalah penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah sikap atau etos profesionalisme dari guru PAI itu sendiri; 2). Menguasai ilmu-ilmu agama dan wawasan pengembangannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosio-kultural yang mengitarinya; 3). Menguasai ketrampilan untuk membangkitkan minat siswa kepada pemahaman ajaran agama dan mengembangkan wawasannya, serta internalisasi terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya yang pada gilirannya tergerak dan tumbuh motivasinya untuk mengaktualisasikan dan merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan Allah, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 4). Siap mengembangkan profesinya yang berkesi-nambungan, agar ilmunya/keahliannya tidak cepat out of date. Sebagai implikasinya guru PAI perlu meningkatkan studi lanjut, mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, pelatihan dan sebagainya yang mendukung pengembangan profesionalismenya.

Berbagai tuntutan terhadap guru PAI tersebut akan menjadi sia-sia, bila tidak didukung oleh penghargaan yang memadai dari masyarakat (orang tua) dan pemerintah, baik dari segi material maupun non material.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut diatas, dapat disimpulkan:

1. PAI sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diprogramkan untuk semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan.

2. Mengingat pentingnya mata pelajaran PAI dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan keimanan dan ketakwaan siswa, maka diperlukan guru PAI yang memiliki kompetensi yang memadai.

(12)

3. Maraknya kasus kenakalan siswa dan kritikan tentang kegagalan pembelajaran PAI di sekolah, merupakan akat pemacu bagi guru PAI untuk lebih bersikap pro-aktif meningkatkan etos kerja dan menjalin kinerja dengan pihak-pihak lain (guru non-PAI) untuk ikut serta (berpartisipasi aktif dalam) membina kehidupan beragama siswa di sekolah.

4. Program Studi PAI sebagai LPTKI harus dapat menyiapkan tenaga kependidikan/guru PAI yang memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan era globalisasi.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al-Nahlawy, 1979, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al- Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’. Mesir: Dar al-Fikr.

Ahmad Tafsir, 1992, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad, t.t., Ihya’Ulum al-Din. Beirut-Libanon: Dar al-Ma;rifah. Gage, N.L. (Ed.), 1964, Handbook of Research on Teaching. Chicago:

Rand McNally.

M.Atho’ Mudzhar, Perlunya Transformasi Kehidupan Beragama di Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Sehari HAB Depag Kodya Malang, 26-2-1992.

Mastuhu, 1995, Menggagas Epistemologi Islam dalam Upaya Menemukan Paradigma Pendidikan Islam Alternatif. Bandung: Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati. Mochtar Buchori, 1992, Posisi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam

dalam Kurikulum Perguruan Tinggi Umum. Makalah pada Seminar Nasional di IKIP Malang, 24-2-1992. Muhaimin, et.al., 2004, Paradigma Pendidikan Islam Upaya

Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhammad Athiyah al-Abrosyi, 1979, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha. Mesir: Isa al-Babi al-Halabi.

Noeng Muhadjir, 1997, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Soedjatmiko,1976, Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Kehidupan Sosial. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Bangsa , Jakarta, 28-1-1976.

Syed Mahmudunnasir, 1993, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(14)

Taher, Tarmizi, 1996, Prospek Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dalam Pembangunan Nasional. Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III, Ujung Pandang, 4-3-1996.

Towaf, Siti Malikhah, 1996, Pembinaan Kampus sebagai Lembaga Pendidikan Ilmiyah Edukatif yang Religius. Makalah dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III,Ujung Pandang, 4-3-1996.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas

Undang-undang RI No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Jakarta: Depdiknas

Referensi

Dokumen terkait

PERNYATAAN Kreativiatas Guru Pendidikan Agama Islam Guru PAI selalu menggunakan metode ceramah menerangkan dalam mengajar Guru PAI menggunakan metode tanya jawab dalam mengajar

Pada tahap ini seorang guru PAI haruslah melakukan berbagai teknik penting untuk mendukung kesuksesan pembelajaran melalui metode drill tersebut, yaitu; (1) guru PAI

Dari uraian ini dirumuskan permasalahan penelitian: (1) apakah terdapat perbedaan kompetensi guru PAI MTs yang tersertifikasi dan guru PAI MTs yang belum tersertifikasi?, (2)

Calon guru PAI harus memiliki pemahaman yang mendalam terkait bagaimana Rosulullah mengajarkan islam kepada para sahabat, dengan demikian calon guru PAI dapat

Masalah pokok tesis ini adalah Efektivitas Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP dalam Meningkatkan Kompetensi Guru PAI di Kota

Dalam ekskalasi mutu pembelajaran PAI, alhasil strategi guru PAI untuk medukung program itu yakni dini guru menyiapkan pemograman pembelajaran menyudahi tujuan dan tujuan Prota, Promes,

Fungsi dan tujuan pelaksanaan kegiatan KKG PAI adalah sebagai berikut: 1 Fungsi KKG PAI Kelompok Kerja Guru Pendidikan Agama Islam SD berfungsi sebagai: a Forum komunikasi antar

KELOMPOK KERJA GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KKG PAI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DATA GURU PAI NON ASN KECAMATAN NATAR TAHUN 1445 H/2024 M NO NAMA NUPTK NO AKUN TUGAS KET