• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. periode terakhir dalam hidup manusia. Lansia dibagi menjadi dua bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. periode terakhir dalam hidup manusia. Lansia dibagi menjadi dua bagian"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai manusia, menjadi tua adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Masa tua ditandai dengan usia lanjut yang merupakan periode terakhir dalam hidup manusia. Lansia dibagi menjadi dua bagian yaitu lansia dini berusia antara 60 – 70 tahun dan lansia berusia 70 tahun sampai akhir kehidupan (Hurlock, 2002). Menurut Badan Pusat Statistik Kota Medan berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk lansia di kota Medan mencapai 117.216 orang (5.59%) yang meningkat jumlahnya dari tahun 2005 sebesar 77.837 orang (3.85%). Masa lansia dialami dengan cara yang berbeda-beda, ada lansia yang mampu melihat arti penting masa lansia tersebut sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan untuk berkembang dan berbahagia, namun ada juga lansia yang memandang masa tua dengan sikap pasrah, keputusasaan dan penolakan, yang akan mempercepat proses kemerosotan mental dan jasmani mereka sendiri (Calhoun, 1995). Masa lansia sering diidentikkan dengan masa pensiun (Papalia, 2008).

Pensiun adalah sebuah konsep sosial yang memiliki beragam pengertian (Newman, 2006). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna

(2)

Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Pensiun dapat menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup (Schwartz dalam Hurlock, 2002). Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai masa transisi ke pola hidup baru, maupun merupakan akhir pola hidupnya, apalagi karena usianya sudah lanjut dan harus diperhentikan (Agustina, 2008).

Francis (2001) mengemukakan bahwa pensiun dapat diartikan sebagai masa tenang karena lepasnya aktivitas yang rutin dan masa menikmati masa tua dengan keluarga, namun ada juga lansia yang memandang pensiun sebagai masa kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya yang sudah tidak berguna dan tidak kompeten lagi. Noesyirwan (dalam Rosyid, 2003) mengemukakan bahwa secara teknis, pensiun berarti berakhirnya suatu masa kerja, tetapi secara psikologis dan sosiologis pensiun mempunyai makna dan dampak yang tidak sama pada semua orang. Secara psikologis, pensiun dapat dikaitkan dengan kepribadian, peran (well being), makna hidup, stress, persiapan menghadapi pensiun maupun pandangan yang positif lansia setelah tidak lagi bekerja. Sedangkan secara sosiologis, pensiun dapat berdampak kepada keluarga, pemenuhan kebutuhan sehari-hari, hubungan pertemanan dan situasi lingkungan.

Masa pensiun dapat memberikan efek positif dan efek negatif bagi lansia. Efek positif pada masa pensiun muncul karena lansia melakukan

(3)

penyesuaian diri yang baik, sehingga lansia mengalami tahap ego integrity. Ego integrity diartikan sebagai pengetahuan tentang makna hidup, keseimbangan antara kebutuhan pribadi dengan orang lain, memberikan yang terbaik dalam perilaku dan mencapai prestasi (Santrock, 1998). Efek negatif masa pensiun muncul karena penyesuaian diri yang buruk, sehingga lansia mengalami despair. Despair diartikan sebagai kondisi dimana tidak adanya harapan dan sebuah perasaan bahwa segala sesuatu adalah salah serta tidak akan berakhir dengan baik. Despair pada masa pensiun dapat menambah kecemasan pada lansia (Santrock, 1998). Tanpa adanya stimulus kondisi pensiun, kebanyakan lansia telah mengalami kecemasan akan tugas perkembangannya. Perasaan seperti loneliness dan isolasi sosial akan muncul, dimana hal tersebut merupakan efek utama dalam menghadapi pensiun. Perasaan-perasaan seperti ini cukup kritis dalam perjalanan hidup pensiunan dan kelak akan mempengaruhi Psychological Well Being-nya (Papalia, 2001).

Psychological Well Being (PWB) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1995). Ryff dan Keyes (1995) memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai Psychological Well Being (PWB) dalam pendapatnya yang tercantum pada kutipan berikut:

“Comprehensive accounts of psychological well being need (to) probe people’s sense of whether their lives has purpose, whether they’re realizing their given potential, what is the quality of their ties to

(4)

others, and if they feel in charge of their own lives.”(Ryff & Keyes, 1995).

Berdasarkan kutipan di depan, dapat disimpulkan bahwa Psychological Well Being (PWB) memandang sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah mereka menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, dan sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Psychological Well Being (PWB) adalah suatu kondisi psikologis individu yang ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif. Ryff (1989) mengkonstruksikan aspek-aspek Psychological Well Being (PWB), antara lain: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pengembangan pribadi.

Hasil penelitian Psychological Well Being pada 80 orang lansia di Semarang menunjukkan bahwa 28.75% atau 23 orang berada dalam kategori tinggi, 50% atau 40 orang dalam kategori sedang dan 21.25% atau 17 orang dalam kategori rendah. Umumnya, mereka yang berada dalam kategori Psychological Well Being yang tinggi dapat aktif memenuhi kebutuhan, mampu menahan tekanan sosial, dan menunjukkan sikap positif terhadap diri sendiri. Lansia yang berada dalam kategori Psychological Well Being sedang juga memiliki penguasaan dan hubungan positif terhadap lingkungan termasuk keluarga, penerimaan diri, serta pengembangan pribadi dan tujuan hidup yang cukup baik. Lansia yang berada dalam kategori Psychological

(5)

Well Being yang rendah biasanya mengalami kesulitan dalam meningkatkan dan mengembangkan diri, sulit mengembangkan perilaku dan sikap yang baik, serta merasa bahwa hidup mereka tidak bermakna. Berdasarkan pengamatan, lansia dalam kategori tersebut dapat berkomunikasi dengan orang lain, tetapi mereka merasa kurang dalam kemampuan fisik yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari sehingga mereka tidak dapat mencapai Psychological Well Being yang baik (Ratri, 2010).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being (PWB), salah satu diantaranya adalah religiusitas. Religiusitas biasanya didefinisikan sebagai pemahaman ilmu agama, efek yang harus dilakukan dengan hubungan atau perasaan emosional, dan/atau perilaku, seperti kehadiran di tempat ibadah, membaca kitab suci, dan ibadah (Cornwall et al., 1986). Menurut Kwon (2003), religiusitas didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang percaya dan memandang hal-hal yang terjadi sehari-hari berdasarkan sudut pandang agama, serta menerapkan keyakinan agamanya pada kehidupan sehari-hari.

Salah satu faktor yang mempengaruhi religiusitas adalah faktor alami, yang berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman emosional dalam beragama (Thouless, 2000). Seperti yang diutarakan Ibu R, jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) X di Medan, sambil menunggu anggota yang lain untuk berlatih paduan suara, dalam kutipan berikut (komunikasi personal, 3 November 2013) :

“kami-kami ini kan udah tua, udah enggak kerja lagi. Jarang keluar rumah juga. Jadi yaa.. lewat kegiatan-kegiatan di gereja inilah bisa

(6)

ngumpul ramai-ramai sama teman-teman yang lain, ketawa-ketawa, cerita-cerita sambil menyalurkan talenta suara yang Tuhan kasi sama kita. Orang Batak kan gitu, kalo udah jumpa pasti tak ada habisnya yang dibicarakan. Tentu cerita soal kedekatan kita sama Tuhan dan menghadapi masa-masa tua ini.”

Berdasarkan komunikasi personal di depan, pensiunan khususnya pada lansia Batak Toba dapat saling berbagi cerita, berkumpul bersama teman-teman dan melakukan kegiatan yang menyenangkan. Berbagai jenis pengalaman emosional dalam beragama yang berbeda pada setiap individu dapat dirasakan, dan para pensiunan dapat berbagi pengalaman tersebut dalam ruang lingkup maupun kelompok kerohanian. Perasaan, pengalaman, dan sensasi dalam beragama merupakan perwujudan dimensi pengalaman.

Dimensi lainnya dari religiusitas adalah dimensi pengetahuan dan dimensi konsekuensi. Dimensi pengetahuan menjelaskan seseorang yang memiliki pengetahuan akan dasar keyakinan dan ajaran agama, kitab suci, ritual dan tradisi dalam agamanya. Dimensi konsekuensi yang mengacu pada sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilaku seseorang (Glock dan Stark, 1962). Berdasarkan kedua hal ini, para lansia bersaksi tentang ajaran agama dan pengetahuan dalam beragama yang diterima sepanjang kehidupannya di masa yang lalu kepada generasi berikutnya, seperti yang tertulis dalam Alkitab:

“..juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan kuasa-Mu kepada angkatan ini, keperkasaanMu kepada semua orang yang akan datang.” (Mazmur 71:18).

(7)

Drs. Soeparno Brotoraharjo, MM, APU memberikan pandangan yang berhubungan dengan religiusitas dan masa pensiun dalam kutipan berikut :

“Agar tetap sehat, bugar dan produktif, pensiunan harus selalu menjaga kesehatan fisik, baik jiwa maupun raga, menerima dan menghargai kondisi diri sendiri, melibatkan diri dalam kegiatan sosial atau religius. Kegiatan pengamalan kasih kepada Tuhan dan sesama ini akan dapat memberikan ketenangan hati di hari tua, suasana yang menakutkan akan diubah menjadi penuh pengharapan dan kebahagiaan sehingga masa-masa pensiun akan terasa indah, damai dan sejahtera. Para pensiunan dapat merasakan walaupun hanya sedikit, gambaran kehidupan surgawi di dunia, dalam kehidupan keluarga masing-masing, dalam bermasyarakat, dan bahkan dalam lingkungan yang lebih luas lagi.”

(Muda Berkarya, Tua Bahagia, 2007).

Salah satu hal yang berhubungan dengan masa tua adalah kesehatan yang menurun dan semakin buruk, dimana lansia cenderung berorientasi pada kematian. Pertanyaan seperti ‘kapan saya akan mati?’ atau ‘apakah saya akan masuk surga atau tinggal dalam neraka?’ menyelimuti pikiran lansia, padahal mereka tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menduga jawabannya dengan tepat (Hurlock, 2002). Pikiran tentang kebenaran adanya surga maupun neraka merupakan bagian dari dimensi keyakinan (Glock dan Stark, 1962).

Lansia juga dapat berpartisipasi dalam beberapa praktik atau pelaksanaan sejumlah kegiatan dalam masa pensiun sebagai bentuk dari salah satu dimensi religiusitas, yaitu dimensi peribadatan (Glock dan Stark, 1962). Beberapa praktik atau kegiatan tersebut, antara lain: kelompok PA (Penelaahan Alkitab), persekutuan doa lansia, persekutuan para janda, partangiangan (dalam bahasa Batak Toba yang berarti kebaktian) yang

(8)

dilaksanakan oleh gereja setiap minggu dan kumpulan marga yang biasanya dilaksanakan setiap bulan, STM (Serikat Tolong Menolong) di lingkungan rumah, kelompok paduan suara, dsb.

Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak memiliki 6 (enam) suku bangsa, antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Bangun dalam Koentjaraningrat, 2002). Diantara masyarakat Suku Batak, masyarakat dengan latar belakang suku Batak Toba memiliki jumlah terbesar atau mayoritas di kota Medan. Terdapat beberapa ciri khas masyarakat Batak Toba, seperti berbicara dengan nada tinggi, sangat ekspresif sehingga terkadang terkesan emosional, memahami silsilah marga (tarombo) untuk mengetahui letak kekerabatan dengan marga lain, dan dalam pekerjaan biasanya memperlihatkan sikap arogan.

Agama yang dianut pada umumnya dalam Suku Batak Toba adalah Kristen. Agama dan budaya dalam Batak Toba hampir tidak dapat

dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dalam tata cara ibadah Minggu di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), yang merupakan gereja Batak

terbesar di dunia saat ini, menggunakan Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak), Buku Ende sebagai pedoman lagu/nyanyian dalam bahasa Batak Toba, serta bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar dalam penyampaian khotbah. Aturan dan Peraturan HKBP memberikan beberapa posisi pengurus dalam gereja yaitu Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrouw, Diakones, Evangelis, dan

(9)

Penatua. Posisi pengurus yang pada umumnya diterima oleh lansia adalah Sintua (yang berarti Penatua) karena hanya pada posisi inilah seorang warga jemaat dapat menjadi pengurus di gereja tanpa harus memiliki latar belakang pendidikan dari Sekolah Tinggi Teologia (STT).

Lansia juga dapat mengambil bagian dari salah satu tugas gereja Batak Toba yang menjadi dasar pelayanan di dalamnya, yaitu Marturia, Diakonia, dan Koinonia. Marturia (dalam bahasa Yunani : martyria) adalah istilah yang dipakai dalam melakukan aktivitas kesaksian iman, pengabaran maupun praktek penyampaian informasi mengenai ajaran Kristen kepada orang lain. Marturia tidak hanya bermakna bersaksi secara benar dan tepat tentang hal - hal yang pernah dilihat dan didengar, tetapi juga memperbincangkan kembali pengalaman - pengalaman dan peristiwa yang dialami sebelumnya, serta tidak terbatas dalam gedung gereja. Diakonia (dalam bahasa Latin : diaconus) adalah suatu peranan dalam gereja yang umumnya diasosiasikan dengan pelayanan dalam berbagai bidang yang berbeda-beda. Pada masa kini, Diakonia memberi bantuan seperti pengobatan, panti asuhan, pendidikan, maupun penyediaan lapangan pekerjaan bagi mereka yang berkekurangan. Diakonia harus membawa perubahan kepada masyarakat dan dapat menjadi salah satu bentuk kepedulian gereja kepada masyarakat luas. Koinonia (anglikisasi dari bahasa Yunani : “κοινωνία”) berarti kelompok dengan partisipasi intim dan mempererat persaudaraan dimana semua orang menjadi satu di dalam Tuhan. Setiap anggota harus memperhatikan satu sama lain tanpa

(10)

membedakan suku, ras, golongan, dan jenis kelamin, dan latar belakang lainnya. Bentuk kegiatan seperti Penelaahan Alkitab (PA), diskusi, retreat, dikembangkan secara kreatif dan semua kegiatan tersebut harus bertujuan membantu lansia untuk mampu menyikapi tantangan dalam hidup.

Wolfgang Bock, SJ dalam bukunya mengenai penuntun untuk menikmati dan menghayati kehidupan di usia lanjut, mengatakan :

“Masa pensiun adalah masa yang wajar dan layak. Sebaiknya, biarpun sudah tua, manusia selama mungkin melakukan suatu kegiatan melalui hal-hal yang menarik dan berguna. Tidak ada batas umur selama badan masih kuat dan akal budi masih cukup jernih serta hati masih bersukacita, karena pada dasarnya, kaum manula suka merasa dibutuhkan dan itulah yang menjadi dorongan kuat yang membuat mereka aktif dan penuh semangat.

(Usia Lanjut yang Berahmat dan Berdaya Pikat, 2010).

Dengan demikian, berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di depan, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan Suku Batak Toba.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada pengaruh religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan suku Batak Toba?”

(11)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan suku Batak Toba.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi 2 (dua) manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan, dan dalam rangka perluasan teori terutama yang berkaitan dengan Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pensiunan suku Batak Toba mengenai pengaruh religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB). Selain itu juga, dapat dijadikan sebagai informasi tambahan bagi penelitian berikutnya yang berhubungan dengan Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan suku Batak Toba.

(12)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat antara lain: teori mengenai Psychological Well Being (PWB), religiusitas, masa pensiun, dan lansia. Bab ini diakhiri dengan memaparkan hipotesa penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode-metode dasar yang digunakan dalam penelitian yang mencakup metode penelitian kuantitatif, yaitu: identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, populasi dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Dalam analisa data akan dipaparkan mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil uji asumsi, hasil utama

(13)

penelitian, deskripsi data penelitian, dan hasil analisa tambahan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Dalam kesimpulan akan dijabarkan kesimpulan yang didapatkan oleh peneliti berdasarkan analisa dan pembahasan, dan saran dibuat dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Chyntia, Indriani & Saputra (2018) yang telah memberikan bukti empiris bahwa IC yang diukur oleh VAIC berpengaruh

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah: (1) dapat memberikan gambaran hasil try out UN dengan hasil UN mata pelajaran kimia di SMA Kota Banda

disebut “hama abadi” atau “hama kunci” yaitu hama yang selalu menyerang pada setiap musim tanam dengan intensitas serangan berat sehingga memerlukan pengendalian..

Sebaiknya usahatani kakao dengan Sistem Integrasi Kakao Ternak di Desa Kuajang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar dapat menyentuh seluruh petani yang ada di Desa

Adapun arti penting analisis lingkungan (cuplikan tanah) ini dilakukan adalah untuk memantau sedini mungkin berapa aktivitas 14C, terutama pada daerah yang

31 BPP-S3/S3DN/1294/Diktis/2016 ZAINAL ARIFN STAI AL-QODIRI JEMBER - IV UNIVERSITAS NEGERI MALANG 32 BPP-S3/S3DN/13/Diktis/2016 MASTUR INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO

Oleh karena itu, dalam menjembatani hal tersebut kepala sekolah, guru atau waka humas TK Annur membuat buku laporan harian., buku laporan harian tersebut berisi

Meskipun Injil mengandung banyak tema Yahudi konservatif, bentuk akhir dari teks Matius menunjukkan bahwa itu adalah penulis dapat digambarkan dengan