• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Latar Belakang Perlindungan Konsumen

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal semakin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang

pada umumnya akan merasakan dampaknya.16

Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di tanah air, baik melalui

promosi, iklan, maupun penawaran secara langsung17

Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang dari hari ke hari terus meningkat telah memberikan kamanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bisa dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan

.

Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

16

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Malang: Sinar Grafika, 2008) hal 5.

17

(2)

ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang dan/atau jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi.

Realitas tersebut menjadi tantangan yang positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif karena kondisi tersebut bisa memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang dan/atau jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lemah daripada posisi pelaku usaha.

Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen yang sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan

haknya.18 Tentunya hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh

karena itu, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan

dan pendidikan konsumen.19

Jika diteliti lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya, bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak

pelaku usaha.20

18

Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Perlindungan Konsumen Beserta Peraturan Pelaksanaannya (Jakarta: Harvarindo, 2007), hal 30.

19

Happy Susanto, Loc.Cit.

20

(3)

Dalam pandangan Sudaryatmo, kondisi tersebut memperlihatkan bahwa masalah perlindungan konsumen merupakan masalah yang sangat pelik karena konsumen tidak hanya dihadapkan pada keadaan untuk memilih apa yang diinginkannya (apa yang terbaik), melaikan juga pada keadaan ketika dia tidak menentukan pilihannya sendiri karena pelaku usaha “memonopoli” segala macam kebutuhan konsumen dalam menjalani kehidupannya

sehari-hari.21

B. Defenisi Perlindungan Konsumen

Beradasarkan kondisi tersebut, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sulit jika kita mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang digunakan para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapat keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya, akan tetap memperhatikan hak dan kepentingan pelaku usaha kecil dan menengah.

21

(4)

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.

Dari latar belakang dan defenisi tersebut, kemudian muncul kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang kurang lebih bisa dijabarkan

sebagai berikut:22

1. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha 2. Konsumen mempunyai hak

3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban

4. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional 5. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat

6. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa 7. Pemerintah perlu berperan aktif

8. Masyarakat juga perlu berperan serta

9. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang 10. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap

22

A. Zen Umar Purba, Perlindungan Konsumen: Sendi-Sendi Pokok Pengaturan, Majalah Hukum dan

(5)

C. Sejarah Perlindungan Konsumen

Untuk membahas masalah konsumen, kita juga perlu memahami bagaimana sejarah gerakan perlindungan konsumen, baik ketika awal mula berdiri hingga pada perkembangannya saat ini, dengan menelisik sejarah ini, kita bisa mencermati bagaimana pergulatan sosial, ekonomi, dan politik, ketika itu mendesak masalah perlindungan konsumen

muncul ke permukaan wacana publik.23

1. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen

Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Ada tiga fase atau golongan gerakan perlindungan

konsumen.24

Hukum konsumen kemudian berkembang lagi pada tahun 1914, yang ditandai sebagai gelombang kedua. Pada tahun ini, terbentuk komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu FTC (Federal Trade Comission). Ketika itu, keberadaan

Gelombang pertamaterjadi pada tahun 1891. Pada tahun ini, di New York terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia. Lalu pada tahun 1898, di tingkat nasional AS terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Concumer’s League). Organisasi ini semakin tumbuh pesat dan pada tahun 1903, telah berkembang menjadi 64 (enam puluh empat) cabang yang meliputi 20 (dua puluh) negara. Dalam perjalanan waktu, ada banyak hambatan yang dihadapi oleh organisasi ini. Meski demikian, pada tahun 1906, lahirlah Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen yang mempengaruhi perkembangan berikutnya, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food

and Drugs Act (Pada tahun 1937, UU ini diamandemen menjadi The Food and drugs Act

karena adanya tragedi Elixir Sulfanilamide yang menewaskan 93 (sembilan puluh tiga) konsumen di AS).

23

Happy Susanto, Op.Cit, hal 5.

24

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 12-15.

(6)

program pendidikan konsumen mulai dirasakan perlu sekali untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi para konsumen. Maka, pada tahun 1930-an, mulai gencar dillakukan penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen, yang juga dilengkapi dengan riset-riset yang mendukungnya.

Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1960-an, yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu “hukum konsumen” (Consumers Law). Hal ini ditandai dengan pidato Presiden AS ketika itu, John F. Kennedy, di depan Kongres AS pada tanggal 15 Maret 1962 tentang “A special

Message for the Protection of Consumers Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah

“Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumers Right). Dengan pandangan tersebut, hukum konsumen secara resmi telah menjadi suatu cabang hukum baru. Dan, pada saat yang bersamaan gema hukum konsumen makin gencar dibicarakan di seantero dunia. Di samping John F. Kennedy, Presiden AS, Jimmy Carter juga dikenal sebagai pejuang gerakan perlindungan konsumen yang memberikan pandangan-pandangan positif tentang hukum konsumen.

Jika diamati, sejarah gerakan perlindungan konsumen bermula dari kondisi yang terjadi di Amerika Serikat. Perlindungan hak-hak konsumen dapat berjalan seiring dengan perkembangan demokrasi yang terjadi dalam suatu negara. Dalam negara demokrasi, hak-hak warga negara, termasuk hak-hak-hak-hak konsumen harus dihormati. Ada posisi yang berimbang antara produsen dan konsumen karena keduanya adalah sama dimata hukum.

Setelah era ketiga, tercatat ada beberapa negara yang mulai membentuk semacam undang-undang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut:

a. Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act (UTPCP) tahun 1967, yang kemudian diamandemen pada tahun 1969 dan 1970;

(7)

b. Inggris: The Consumer Protection Act, tahun 1970, yang diamandemen pada tahun 1971.

c. Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amendement

Act (tahun 1971).

d. Finlandia: Consumer Protection Act (Tahun 1978). e. Irlandia: Consumer information Art (tahun 1978).

f. Jepang: The Consumer Protection Fundamental Act (tahum 1968). g. Australia: Consumer Affairs Act (tahun 1978)

h. Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act (tahun 1975).

i. Thailand: Consumer Act (tahun 1979)

2. Perkembangan Gerakan Konsumen di Indonesia

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada

bulan Mei 197325

Katika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.

.

26

25

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit. hal 15.

26

Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 27-28.

(8)

YLKI merupakan salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPSKM) yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen pertama di Tanah Air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-haknya bisa terlindungi. Disamping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi

dirinya sendiri dari lingkungannya.27

Untuk mencapai tujuan tersebut, YLKI melakukan kegiatan sebagai berikut:28

1. Bidang pendidikan 2. Bidang penelitian

3. Bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan 4. Bidang pengaduan

5. Bidang umum dan keuangan

Sebenarnya, didirikannya YLKI adalah sebagai bentuk keprihatinan sekelompok ibu-ibu pada saat itu yang melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk-produk luar negeri. Munculnya YLKI tidak lepas dari kampanye “Cinta Produk Dalam Negeri” yang saat itu kritis terhadap barang dan/atau jasa yang tidak aman atau tidak sehat untuk dikonsumsi. Upaya YLKI yang pertama adalah mendesak produsen susu kental manis untuk mencantumkan label “Tidak Cocok untuk Bayi” dalam kemasan susu kental manis, yang lebih banyak mengandung gula daripada susu.

Sebagai salah satu LPKSM, YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Pihak konsumen yang menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya sebagai konsumen bisa meminta bantuan YLKI untuk melakukan upaya pendampingan dan pembelaan hukum.

27

http://www.id.wikipedia.org. diakses pada tanggal 18 Februari 2016.

28

C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen: Seri Panduan Konsumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia- The Asia Foundation, 1995), hal. 9-15.

(9)

Selain itu, sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan RUU tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda.

Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Dalam Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dengan kata lain, Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan “payung” yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen.

Seiring perkembangan waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak konsumen, menjamur dimana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut disambut secara positif.

Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan untuk

(10)

mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga proses pengambilan keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.

D. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Tanah Air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

1. Asas Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ada lima asas perlindunga konsumen, yakni:

a. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

(11)

e. Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mantaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarakannya dari ekses negatif pemakinan barang dan/atau jasa

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kesinambungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

E. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.

Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum

(12)

konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa. Ada pula yang mngatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan. Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum perdata, karena hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam

aspek pemenuhan barang dan/atau jasa yang merupakan hubungan hukum perdata.29

Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum yang juga dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut:

Sebagaimana telah dibahas singkat sebelumnya bahwa peraturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati RUU tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.

Dengan diundangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di Tanah Air.

30

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

29

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta: Pantai Rei, 2005), hal 34.

30

(13)

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Perintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Kpusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Malang, dan Kota Makasar.

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Makasar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 480/MPP/KEP/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 418/MPP/KEP/4/2002 Tanggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.

(14)

10. Keputusan Menteri Perindustrian daan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Pintrich, 2003, Santrock, 2007, Brophy 2004). mahasiswa yang memiliki

Dari hasil penelitian didapati nilai koefisien kompensasi yang positif dan menunjukkan jika kompensasi ditingkatkan atau dilakukan dengan tepat maka akan dapat meningkatkan

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 3 ditentukan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:.. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian

Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan

Klausula eksonerasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilarang (pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Pencantuman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan bungkil biji kapuk dan sekam padi yang memiliki kadar air, kadar abu, kadar karbon, dan nilai kalor sesuai

Konteks visi yang lebih tepat bagi Padang TV menurut penulis adalah “menjadi pemimpin dalam industri media televisi lokal di Kota Padang dan sekitarnya, dan berkontribusi

Kegiatan kelompok BKR Percontohan ini sangat penting sehingga terjadi komunikasi antara remaja dengan orang tua tentang kesehatan reproduksi yang selama ini belum