• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK KAMBING DOMBA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK KAMBING DOMBA DI INDONESIA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

TERNAK KAMBING–DOMBA DI INDONESIA

BAMBANG WINARSO danYUSMICHAD YUSJA

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK

Kambing/domba merupakan ternak kecil yang banyak dikembangkan dimasyarakat. Pentingnya peran ternak ini dalam menopang sekaligus pengaman ekonomi keluarga peternak, namun perkembangannya masih banyak menemui kendala. Dilihat dari sisi agribisnis hampir disetiap simpul subsistem dalam pengembangan ternak ini masih banyak ditemui kendala. Disalah satu sisi sebenarnya simpul-simpul subsistem tersebut mengandung kekuatan yang belum tergali sepenuhnya. Sebagai contoh subsistem agroindustri, dalam subsistem ini banyak produk sampingan ternak yang terbuang percuma yang sebenarnya masih banyak peluang untuk dikembangkan lebih jauh. Sementara simpul pelayanan kepada peternak yang dilakukan oleh lembaga terkait masih sangat terbatas yang sebenarnya merupakan pemacu dan pemicu pertumbuhan dan perkembangan ternak, khususnya kambing dan domba. Tulisan ini merupakan hasil perpaduan antara resume dari beberapa literature dan hasil pengamatan langsung di lapangan yang dilakukan pada tahun 2006. Kata kunci: Prospek, kendala, agribisnis, kambing, domba

PENDAHULUAN

Kambing/domba (Kado) merupakan hewan ternak kecil yang memiliki banyak kegunaan dan manfaat, disamping dapat menghasilkan daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat, maka produk lainnya juga bisa dimanfaatkan sesuai dengan komoditas yang dihasilkan oleh ternak tersebut. Dilihat dari aspek sumberdaya bahwa Kambing/domba banyak dibutuhkan oleh masyarakat peternak untuk dikembangkan lebih jauh. Keberadaan ternak ini dengan berbagai macam jenis, baik jenis lokal maupun bukan lokal, disamping merupakan sumber plasma nutfah hewani ternak, juga merupakan modal usaha bagi peternak yang membudidayakan ternak tersebut. Sehingga keberadaan kambing tidak saja dapat menciptakan lapangan pekerjaan maupun lapangan usaha, namun juga mampu memberikan penghasilan dan pendapatan. Bahkan bagi sebagian keluarga peternak komoditas ini merupakan katup pengaman ekonomi keluarga manakala saat kebutuhan mendesak muncul tiba-tiba, seperti kebutuhan biaya sekolah, perbaikan rumah, serta biaya-biaya rumah tangga yang bersifat “liquide” lainnya.

Sebagai sumber daya, jenis ternak ini dapat menghasilkan beberapa macam komoditas diantaranya berupa ternak hidup dari hasil reproduksi, daging, susu maupun limbah kotoran ternak yang banyak manfaatnya bagi usaha budidaya pertanian tanaman pangan. Ternak kambing/domba disamping dapat dipandang sebagai sumberdaya sebagai penghasil beberapa jenis komoditas utama, maka bagian-bagian dari produk hasil ternak ini merupakan bahan baku dalam proses produksi selanjutnya. Selain sebagai penghasil daging juga penghasil kulit, tulang, jeroan, darah dan bulu. Produk tersebut merupakan bahan baku industri hilir selanjutnya. Secara agroekosistem pengembangan ternak kambing/ domba dapat dilakukan pada semua kawasan baik di wilayah lahan dataran tinggi maupun wilayah lahan dataran rendah, baik dilahan sawah, lahan tegalan, lahan perkebunan bahkan lahan disekitar hutan.

Permasalahannya dalam budidaya ternak kambing masih banyak keterbatasan terutama skala pemeliharaan sangat tergantung adanya ketersediaan tenaga kerja keluarga yang ada, terutama tenaga kerja untuk mencari hijauan pakan ternak. Dengan kondisi yang demikian maka kemampuan pemeliharaan dalam skala usaha masih terbatas. Disamping itu kegiatan budidaya ternak kambing masih bersifat

(2)

sambilan, belum dikelola secara professional bahkan peternak kambing/domba yang ada saat ini kebanyakan masih merupakan peternak marginal. Artinya usaha ternak skala kecil, bersifat sambilan, belum dikelola secara profesional tidak memperhitungkan opportunity cost terhadap tenaga kerja yang dicurahkan dan belum mengarah pada profit oriented. Sehingga apabila pola ini tidak dikemas dengan baik, sulit kiranya bahwa ternak kambing/domba bisa dijadikan andalan pendapatan keluarga.

Produk ternak kambing/domba sebenarnya telah mendapatkan posisi pasar yang mantap. Walaupun dilihat dari segala aspek, budidaya ternak ini tampaknya sangat menjajikan, kenyataan bahwa kegiatan bisnis budidaya ternak kambing/domba belum banyak berkembang. Dilihat dari skala nasional, pengusaha yang mau terjun ke bisnis ternak camping masih sangat terbatas. Data menunjukkan bahwa periode terakhir tahun 2006 jumlah pengusaha ternak ini baru 1(satu) buah yang berlokasi di Bali, sementara pengusaha ternak domba ada 5 (lima) buah yang kesemuanya berlokasi di Jawa Barat (STATISTIK PETERNAKAN, 2006). Dilihat dalam scope nasional hal ini mengindikasikan bahwa usa bisnis budidaya ternak kambing/domba masih jauh dari ideal dan masih jauh pula dari peminat yang memiliki modal besar. Apa yang menjadikan kendala yang sebenarnya sehingga ternak ini sulit berkembang dimasyarakat, makalah ini mecoba untuk menampilkan beberapa kendala riil dilapangan.

Upaya pengembangan agribisnis ternak kambing/domba tidak bisa dititik beratkan pada salah satu aspek mengingat agribisnis merupakan suatu sistem yang didalamnya terdapat sinergi yang saling mengkait dari berbagai subsistem. Kajian ini lebih menitik beratkan pada keragaan yang ada baik yang berkaitan dengan aspek sumberdaya ternaknya sebagai komoditas maupun produk, sumberdaya manusia selaku pengelola sekaligus pelaku bisnis maupun sumber daya lainnya sebagai input produksi.

Bertolak dari keragaan kinerja peternakan kambing/domba yang ada ditingkat masyarakat maka dilakukan studi evaluasi yang menyangkut permasalahan yang berkaitan dengan hambatan sekaligus mencari upaya solusi pemecahannya. Melalui studi riview

terhadap beberapa literature pilihan yang berkaitan langsung dengan aspek yang dibahas serta melalui pengamatan langsung dilapangan, maka melalui pendekatan dengan metode SWOT kegiatan ini dilakukan.

PEMBAHASAN

Secara konseptual sistem agribisnis merupakan kesatauan sinergi antara beberapa subsistem yang terkandung didalamnya, dimana subsistem tersebut adalah (1) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian, (2) subsistem budidaya, produksi atau usahatani, (3) subsistem industri pengolahan hasil (agroindustri) dan (4) subsistem pemasaran hasil pertanian dan (5) subsistem pembinaan, pelayanan seperti perbankan, transportasi, asuransi, penyimpanan (ANONIM, 1995; SUDARYANTO dan PASANDARAN, 1993; HADI, 1992). Demikian pula dalam sistem agribisnis ternak kambing/ domba, didalamnya tentu terdapat jaringan-jaringan subsistem tersebut yang satu sama lain saling kait mengkait ilustrasi keterkaitan antar subsitem ditampilkan dlm Gambar 1.

Seperti yang dikemukakan oleh SUDARYANTO et al. (1993) bahwa suatu komoditas yang dikonsumsi atau diproduksi dalam negeri dapat dibagi dalam empat kelompok komoditas yaitu (1) komoditas yang dikonsumsi dalam negeri namun seluruhnya dipasok dari impor, (2) komoditas yang dikonsumsi dalam negeri pasokannya berasal dari dalam dan luar negeri, (3) komoditas yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor dan (4) komoditas yang seluruhnya berorientasi ekspor.

Sementara komoditas hasil ternak kambing/ domba dapat dikategorikan komoditas antara golongan (2) dan golongan (3), walau kenyataan menunjukkan bahwa disalah satu sisi kita telah mulai dapat mengekspor komoditas ini, namun omset pemasukan daging kambing juga masih cukup besar. Budidaya ternak kambing merupakan kegiatan yang sepenuhnya diarahkan ke pasar. Sehingga apabila kegiatan tersebut tidak di”manage” dengan baik maka untuk mendapatkan keuntungan akan sulit dicapai. Agribisnis pada dasarnya merupakan usaha pertanian yang

(3)

senantiasa memiliki orientasi pasar dan bersifat nasional artinya suatu usaha yang senantiasa bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan kondisi usaha yang

demikian maka perkembangan usaha suatu komoditas pada akhirnya dapat dipertahankan (KASRYNO, 1993).

Gambar 1. Keterkaitan antar sub-sistem dalam agribisnis Tahun 1992, Puslitbangnak telah

melakukan penelitian menyeluruh tentang ternak kambing/domba (WODZLCKA et al., 1993). Penelitian Puslitbangnak ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi kebutuhan informasi ternak kambing/domba di Indonesia terutama sebagai bahan rujukan dalam konteks kebijakan peningkatan manfaat dan nilai tambah kambing/domba. Sehingga, dalam analisis ini lebih banyak melihat bagaimana agribisnis kambing/domba berlangsung di dalam satu kawasan yang diperlakukan sebagai suatu kesatuan bisnis berbasis ternak kambing/domba.

GAMBARAN SISTEM KOMODITAS Subsistem pengadaan sarana produksi

Dalam usaha budidaya ternak kambing/ domba maka sarana produksi utama yang seharusya tersedia adalah bibit ternak, pakan hijauan, konsentrat dan obat ternak. Pada umumnya bibit dihasilkan sendiri oleh peternak. Sedangkan konsentrat buatan pabrik pakan belum umum digunakan peternak. Pakan

berupa hijauan merupakan input yang penting dalam usaha ternak kambing domba. Walaupun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa pakan hijauan banyak tersedia dalam alam, namun untuk memperolehnya dibatasi oleh banyak hal antara lain:

a. Peternak tidak mempunyai lahan yang cukup sementara akses peternak sempit terhadap lahan hijauan yang tampaknya bebas. Karena akses terhadap lahan yang sempit tersebut, maka peternak membutuhkan lebih tenaga kerja untuk mencari rumput dari sekitar rumah hingga mencapai jarak 2–15 km, disamping musim kemarau yang sangat menyulitkan dalam mendapatkan pakan hijauan. b. Peternak tidak mampu mengupah tenaga

luar keluarga, sehingga akhirnya peternak hanya mampu memelihara beberapa ekor ternak dengan jumlah tenaga kerja keluarga yang ada sesuai dengan kemampuan.

Dalam hal pengadaan sarana produksi, peternak tidak menghadapi masalah yang krusial, selama mereka berusaha dalam alam tradisional. Namun demikian, tidak ada usaha JASA LAIN PERBANKAN-PENYIMPANAN ASURANSI ANGKUTAN JASA LAINNYA PEMASARAN PENGOLAHAN PENGADAAN DAN PENYALURAN SARANA PRODUKSI,

ALAT DAN MESIN

PRODUKSI KOMODITAS PERTANIAN PELAYANAN PEMERINTAH: a. PENELITIAN b. PENYULUHAN c. PENGATURAN DAN KEBIJAKSANAAN PERTANIAN

(4)

pihak lain dalam melakukan pelayanan bersifat komersil dalam pengadaan pakan hijauan. Berbeda dengan penggemukan ternak sapi di Jawa Timur telah ditemukan petani-petani yang khusus menanam tanaman pakan ternak untuk dijual kepada peternak sapi. Secara umum dapat dikatakan sistem pasok sarana produksi masih jauh dari pemanfaatan ekosystem secara terorganisir.

Subsistem produksi

YUSDJA et al. (2006) mengemukakan bahwa sistem produksi kambing/domba tidak mengalami perubahan dalam 50 tahun terakhir. Sebagian besar sumbangan produksi tetap berada dalam tangan peternak rakyat, sementara peternak besar tidak berkembang. Di tingkat masyarakat menunjukkan bahwa kegiatan budidaya ternak kambing/domba lebih didominasi oleh peternak skala kecil dengan tingkat penguasaan ternak berkisar antara 3– 10 ekor/KK. Sementara dalam tataran nasional menunjukkan bahwa periode terakhir tahun 2006 jumlah pengusaha ternak kambing baru 1 (satu) buah yang berlokasi di Bali, sementara pengusaha ternak domba ada 5 (lima) buah yang kesemuanya berlokasi di Jawa Barat (STATISTIK PETERNAKAN, 2006).

Karena bentuk pemeliharaan masih tetap usaha rakyat maka sistem pemeliharaan tetap pula konventional tidak ada sentuhan investasi dan biaya yang nyata dalam pemeliharaan. Namun demikian sistem tradisonal ini tetap bertahan sampai saat ini dengan jumlah kambing/domba sebesar 15 juta ekor, yang tersebar pada struktur ekozone yang luas antara lain dataran rendah dan tinggi, baik pada lahan sawah, lahan tegalan, lahan perkebunan bahkan di sekitar lahan hutan. Pemeliharaan ternak kambing/domba yang dilakukan peternak secara umum adalah sistem kandang. Namun demikian tidak jelas pemeliharaan ternak itu apakah termasuk katagori sumberdaya, komoditas atau ternak produk, sekalipun dapat dinyatakan bahwa sebagian besar ternak dipelihara untuk dijual sebagai ternak hidup. Selanjutnya tidak ada informasi apakah ternak itu menjadi bibit atau ternak potong.

Dari sisi manajemen pakan menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipelihara sangat tergantung oleh ketersediaan tenaga kerja

keluarga yang ada. Terutama tenaga kerja untuk mencari hijauan pakan ternak. Dengan kondisi yang demikian maka kemampuan pemeliharaan dalam skala besar masih terbatas, mengingat adanya keterbatasan tenaga kerja keluarga. Masih sangat kecil peternak (0,1%) yang mampu mengusahakan budidaya kambing/domba dalam skala menengah ke atas. Implikasinya, peternak dapat meningkatkan skala usaha jika kebutuhan hmt disediakan, sehingga tenaga kerja yang tersedia dapat digunakan untuk kegiatan lain.

Kenyataan ini mengundang pertanyaan apakah mungkin pengembangan ternak dengan system tradisional ini dikembangkan secara terpadu dengan sumber-sumber pakan hijauan yang terdapat dalam satu wilayah yang sama. Sistem produksi terpadu dengan mengintegrasikan kambing/domba dengan tanaman sebenarnya sudah lama dikenal. Hal ini secara rinci telah dilaporkan oleh SABRANI dan LEVINE (1980) dengan mengunakan istilah mix farming system. Menurut SABRANI dan LEVINE (1980), sistem produksi tradisional yang diterapkan peternak skala kecil adalah memanfaatkan daur ulang antara tamanan dengan ternak.

Hal ini memperkuat gagasan bahwa pengembangan ternak kambing/domba dengan mempertahankan sistem daur ulang harus dilanjutkan namun demikian pemerintah sebaiknya memberikan pelayanan yang cukup bagi terlaksananya daur ulang tersebut, baik dalam batasan waktu (kompos), dalam batas geografi (transportasi) dan dalam batasan akses (ada penyaluran). Tahun 2000 lalu, pemerintah mencanangkan program CLS, namun program ini tidak berhasil karena metoda yang diterapkan ternyata merubah sistem tradisional yang telah menjadi kearifan lokal yakni kebiasaan peternak yang paling prinsip seperti membina skala usaha ternak yang tetap sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia.

Hal lain yang penting adalah kesehatan ternak. Kesehatan ternak tidak saja mempengaruhi pengembangan populasi, tetapi juga mencegah penularan penyakit antara ternak kepada manusia. Teknologi pemeliharaan terutama menyangkut pencegahan penyakit masih rendah. Petani lebih mengandalkan cara-cara tradisional dalam pengobatan dan pencegahan penyakit kambing/domba. Banyak peternak yang belum

(5)

mengenal oba-obatan bagi ternak kambing/ domba, sementara kalaupun sudah mengenal umumnya enggan untuk membelinya. Sementara ketersediaan obat yang ada juga masih terbatas. Pengawasan kesehatan hewan agak sulit dilakukan di wilayah pedesaan karena kesulitan tenaga dokter hewan atau tenaga mantri hewan. Hal ini menjadi pertimbangan penting jika dilakukan pengembangan wilayah.

Subsistem agroindustri

Agroindustri secara umum merupakan suatu proses industrialisasi yang memanfaatkan sumber bahan baku dari hasil-hasil pertanian dimana sasaran pengembangan agro industri tersebut adalah (1) menciptakan nilai tambah dari bahan baku yang diolah, (2) menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, (3) meningkatkan penerimaan devisa, (4) memperbaiki pembagian pendapatan dan (5) menarik pembangunan sektor pertanian (SIMATUPANG, 1990). Salah satu kegiatan utama agro industri peternakan adalah kegiatan pasca panen. Pengertian pasca panen adalah saat ternak siap untuk dipotong karena telah mencapai berat badan yang diinginkan. Peternak kambing/domba tidak umum melaksanakan kegiatan pasca panen seperti pada peternakan unggas dan kelinci. Peternak hanya melakukan pemeliharaan sampai saat ternak dijual kepada pedagang. Kegiatan pasca panen banyak dilakukan oleh para pedagang merangkap pejagal. Dan dari sinilah proses agroindustri produk ternak kambing/domba sebenarnya dimulai.

Produk yang dihasilkan dari ternak ini disamping berupa ternak hidup, maka hasil utama lainnya adalah daging, susu, tulang, kulit, darah serta “by product” lainnya. Yang mana produk-produk tersebut bisa merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi, tetapi juga dapat berupa produk antara yang merupakan bahan baku untuk produksi turunan selanjutnya. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa belum banyak produk-produk antara tersebut yang dapat termanfaatkan kembali. Kasus seperti pemanfaatan limbah seperti darah, bulu, tulang dan limbah-limbah hasil ternak lainnya sebagian besar merupakan barang yang habis

dibuang (waste) sama sekali tidak termanfaatkan.

Kalaupun ada masih terbatas produk kulit dan susu kambing PE yang secara umum sudah dapat diproses menjadi produk lanjutan seperti industri penyamakan kulit dan joghurt. Sementara daging ternak kambing/domba yang sebenarnya merupakan produk dominan tampaknya masih terbatas untuk memenuhi permintaan konsumsi untuk lauk pauk segar seperti sate, gule maupun tongseng. Belum dikemas dalam bentuk lain secara massal dalam industri skala besar seperti diproses kembali menjadi abon, kornet, dendeng, atau nugget atau bentuk lain yang lebih komersial.

Permasalahan lain adalah yang dihadapi adalah bahwa pemotongan ternak sangat terpencar dan masih dalam skala produksi terbatas antara 5–10 ekor/hari/RPH. Sehingga potensi produksi sampingan sebagian besar tidak dapat diorganisir dengan baik dan cenderung terbuang. Penyebaran pemeliharan ternak kambing/domba dengan skala usaha yang relatif kecil menyulitkan operasi pengumpulan kulit kambing/domba sehingga industri penyamakan hanya berkembang pada sentra produksi bahan baku yang dianggap aman. Disamping itu rendahnya insentif yang diterima peternak untuk meningkatkan kualitas kulit yang dihasilkan karena kulit tidak termasuk dalam penentuan harga dan tidak ada perbedaan harga menurut kualitas kambing/ domba. Sementara perdagangan kulit hanya menguntungkan para pedagang ternak.

Subsistem pemasaran

Budidaya ternak kambing/domba pada dasarnya merupakan kegiatan dimana hasil/ produknya sepenuhnya diarahkan kepasar. Jarang sekali ditemui bahwa peternak langsung mengkonsumsinya sendiri ternak pemeliharaannya. Dilihat dari produk utama yang dihasilkan (daging), maka untuk menghadapi pasar, peran peternak sebagai suplier dihadapkan dengan produk ternak lainnya sebagai pesaing seperti sapi, kerbau, babi, ternak unggas yang kesemuanya merupakan komoditas yang sejenis yang utamanya dibutuhkan adalah dagingnya. Dalam memenuhi kebutuhan konsumen daging, maka daging kambing/domba

(6)

merupakan daging yang memiliki sifat yang khas dimana belum tentu semua orang konsumen mau mengkonsumsinya. Hal ini disebabkan karena daging ternak ini memiliki oroma yang spesifik yang tidak semua orang bisa menerimanya. Berbeda dengan daging sapi, kerbau atau daging unggas yang hampir setiap orang mau mengkonsumsinya.

Dari pola pemasaran yang ada masih jarang ditemui peternak menjual langsung ternaknya ke konsumen akhir, peran pedagang pengumpul masih sangat mendominasi kegiatan pemasaran ternak di hampir semua tempat. Peran pedagang pengumpul baik skala desa maupun skala besar (juragan) merupakan rantai yang harus dilalui dalam proses distribusi ternak dari produsen ke konsumen. Alur distribusi ternak melalui mata rantai yang ada, maka semakin mendekati wilayah konsumen jumlah pelaku pemasaran terutama juragan-juragan besar hanya terdiri beberapa pelaku saja. Kondisi yang demikian menjadikan pasar konsumen kambing/domba berada pada kondisi pasar yang monopsoni. Demikian juga sebaliknya pada arus produsen, lebih dicirikan oleh kondisi pasar yang monopoli di setiap wilayahnya.

Dalam proses pemasaran seperti yang dikemukakan oleh YUSDJA et al. (2006) bahwa peternak besar kambing/domba tidak berkembang sebaliknya terjadi perkembangan juragan-juragan ternak (pedagang besar). Juragan ini sekilas seperti peternak besar, tetapi sebenarnya juragan ini menampung ternak kambing/domba dari segala lokasi untuk dipasarkan. Juragan ini mempunyai kaki tangan yang bergerak diseluruh penjuru mencari kambing/domba rakyat. Hal yang demikian menunjukkan bahwa pasar sempit bagi pengusaha ternak kambing/domba.

Pada kenyataannya hanya sekitar 1 persen ternak kambing/domba yang diusahakan secara komersil (SOEDJANA, 1993). Mengapa peternak komersil tidak mampu berkembang maju? Peternak komersil sulit dikembangkan karena mereka akan menghadapi pasar yang sempit. Pasar yang sempit disini dimaksudkan, tidak tersedia pasar yang luas karena persaingan dengan usaha rakyat. Semua pasar dan juragan telah mempunyai pasar dan memenuhinya. Jika ada perusahaan baru masuk, akan segera keluar kembali, karena tidak akan mampu bersaing dengan peternak

rakyat yang dikendalikan oleh para juragan tersebut. Para juragan mempunyai resiko yang sangat kecil dibandingkan sebuah perusahaan komersil. Pada sisi lain, permintaan tidak mengalami kekurangan pasokan dan budaya ternak cenderung menggunakan biaya tunai nol.

Sisi lain, peternak rakyat mempunyai posisi bargaining yang sangat rendah dan para peternak ini tidak mempunyai ambisi untuk merubah keadaan tersebut karena telah dianggap cukup menguntungkan, sederhana dan tanpa biaya pemasaran. Dengan pandangan semacam itu, peternak menjual ternak hidup kepada tengkulak tanpa mempersoalkan bagaimana penentuan harga yang tidak adil dan segala macam bentuk aturan yang memaksa peternak harus menanggung resiko pemasaran seperti kematian, sakit dan sebagainya. Keuntungan pemasaran lebih banyak dinikmati oleh para tengkulak perekor sementara keuntungan akumulasi dinikmati oleh juragan (karena partai besar). Sehingga menjadi pertanyaan di mana sebenarnya atau siapa sebenarnya pelaku dominan dalam menentukan harga ternak kambing/domba.

Secara spasial geografis pasar ternak kambing/domba memiliki pasar lokal, regional, nasional bahkan pasar internacional (ekspor dan impor). Secara nasional kebutuhan daging kambing selama periode limabelas tahun terakhir (1995–2006) 55,84 ribu ton/thn. Artinya bahwa prospek pasar ternak kambing/ domba secara nasional cukup besar, walau secara umum daging kambing adalah spesifik, kenyataan menunjukkan bahwa konsumen yang mau mengkonsumsi daging tersebut cukup besar. Secara nasional selama kurun waktu yang sama (1990–2004) jumlah pemotongan kambing berkisar rata-rata 2,01 juta ekor pertahun atau sekitar 15,78% terhadap populasi (STATISTIK PETERNAKAN, 2004).

(7)

Subsistem pelayanan

Dalam meningkatkan pengembangan ternak kambing/domba, pelayanan kelembagaan terhadap peternak sangatlah diutamakan. Keberadaan penyuluh di lapangan yang dapat diakses oleh peternak dalam upaya mendapatkan informasi teknologi, keberadaan lembaga finansial yang dapat membantu kebutuhan modal peternak serta lembaga pelayanan lainnya keberadaannya sangat penting. Kasus dilapangan menunjukkan kondisinya bervariasi, dan salah satu hal yang cukup strategis peranannya adalah penyuluh.

Penyuluh merupakan salah satu ujung tombak pembangunan pertanian yang senantiasa dekat dengan petani/peternak. Peran penyuluh sebagai mediator informasi teknologi kepada petani sangat penting artinya bagi peternak dalam mengadopsi teknologi yang senantiasa terus berkembang. Kasus dilapangan menunjukkan bahwa pembinaan terhadap peternak yang dilakukan oleh aparat terhadap kegiatan peternakan kambing/domba cukup memadai, walaupun belum semua lokasi pengamatan menunjukkan hal yang sama. Kendala yang masih ada adalah terbatasnya petugas lapangan, minimnya sarana dan prasarana pembinaan serta tersebarnya lokasi

peternak yang kadang sulit untuk dilakukan koordinasi.

Kendala lain yang dihadapi peternak adalah kurangnya modal usaha. Disalah satu sisi sulitnya peternak untuk menjangkau lembaga perbankan karena kendala persyaratan teknis perbankan, disisi lain fihak perbankan tetap memetapkan peraturan yang ketat utnuk menyalurkan kreditnya. Sementara pemerintah sendiri mengalami keterbatasan. Hal ini tercermin dari minimnya program pengembangan ternak kambing yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan dibidang peternakan khususnya pengembangan ternak kambing/domba belum sepenuhnya mendapat perhatian. Informasi secara lengkap tentang peran pemerintah dalam pembinaan dan program pengembangan ternak kambing ditampilkan dalam Tabel 1.

Keterlibatan lembaga keuangan di pedesaan terhadap usaha pengembangan ternak belum maksimal, hal ini masih perlu diupayakan agar pihak lembaga perbankan dalam menyalurkan kredit tidak diskriminatif. Adanya program-program pengembangan ternak yang dilakukan pemerintah dalam bentuk proyek pengembangan ternak merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan modal ternak bagi para peternak dan calon peternak peserta program yang bersangkutan.

Tabel 1. Peran pemerintah dalam melakukan pembinaan dan program pengembangan ternak kambing di empat lokasi contoh, tahun 2006

Kabupaten No. Uraian

Sukabumi Ciamis Malang Jombang

Rata-rata (%) 1. Adanya pembinaan terhadap peternak

a. Pembinaan kesehatan ternak 50.00 0.00 100.00 80.00 57.50

b. Pembinaan pakan ternak 50.00 0.00 100.00 90.00 60.00

c. Pembinaan usaha budidaya trnk 50.00 0.00 100.00 90.00 60.00

d. Pembinaan reproduksi/IB 50.00 0.00 100.00 90.00 60.00

2. Kendala dalam usaha pengembangan ternak

a. Tidak ada modal 70.00 80.00 70.00 90.00 77.50

b. Tidak ada waktu 20.00 20.00 20.00 10.00 17.50

c. Tidak ada lokasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

3. Adanya program pengembangan ternak yang dilakukan oleh pemerintah

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

(8)

Agribisnis merupakan kesatuan sinergi antara beberapa subsistem yang terkandung didalamnya diantaranya adalah subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian, subsistem budidaya, produksi atau usahatani, subsistem industri pengolahan hasil (agroindustri) dan subsistem pemasaran hasil pertanian dan subsistem pembinaan, pelayanan seperti perbankan, transportasi, asuransi, penyimpanan dan pelayanan lainnya. Hasil kajian yang dilakukan oleh YUSDJA et al. (2006) tentang prospek dan kendala dalam budidaya ternak kambing/domba di beberapa lokasi penelitian di Jawa menunjukkan sebagai berikut:

A. Penilaian faktor internal

Seluruh data informasi yang digunakan dalam analisi SWOT adalah hasil-hasil yang diperoleh dari AW dan Industri sebagaimana dapat dibaca pada halaman sebelumnya.Hasil penilaian faktor internal disampaikan pada Tabel 2. dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Penilaian SDA (sumber daya alam)

Penilaian SDA dilakukan pada tiga hal yakni kesesuaian lingkungan, ketersediaan lahan dan ketersediaan air. Penilaian setiap unsur menggunakan sistem 1 sampai 10 (lihat Bab Metoda Penelitian). Kesimpulan penilaian sebagai berikut:

a. Kesesuaian Lingkungan dan Ketersediaan Lahan. Ketersediaan lahan merupakan faktor S karena lokasi proyek dengan sengaja telah dipilih pada suatu wilayah pengembangan yang mempunyai lahan pertanian dan padat kambing/domba. Score kesesuaian lingkungan dan ketersediaan lahan masing-masing mendapat nilai tertinggi yakni 10 dan 10 pada sisi S.

b. Ketersediaan Air. Ketersediaan air juga telah merupakan unsur S karena lokasi proyek yang dipilih mempunyai kecukupan air. Namun demikian tidak ada jaminan air dapat tersedia sepanjang tahun. Pada musim hujan persediaan air cukup diberi score 5, sedangkan pada musim kering diberi score 2, sehingga

score unsur ketersediaan air adalah 7 pada sisi S.

c. Rata-rata score SDA adalah (10+10+7)/3 = 9. Sehingga nilai audit SDA = 25% x 9= 2.25 pada sisi S.

2. Penilaian SDM (sumber daya manusia)

Ada 3 unsur SDM yang dinilai yakni pendidikan peternak, pengalaman peternak dan kemampuan melakukan hubungan dengan pasar. Kesimpulan penilaian adalah sebagai berikut.

a. Pendidikan peternak. pendidikan peternak pada umumnya relatif rendah karena mengikuti pendidikan formal kurang dari 10 tahun. Pendidikan merupakan faktor kelemahan pengembangan wilayah dengan nilai 10 pada sisi W.

b. Pengalaman peternak. Sebaliknya dengan pendidikan, peternak kambing/domba pada umumnya telah memiliki pengalaman yang relatif lama dalam memelihara kambing/domba, dengan kata lain para peternak sudah terbiasa beternak kambing/domba. Atas dasar itu, pengalaman peternak merupakan faktor S dengan nilai 10.

c. Hubungan dengan pasar. Unsur ini merupakan kelemahan, karena peternak pada umumnya tidak mempunyai kemampuan melakukan hubungan dengan pasar ternak dan pasar konsumsi secara langsung. Mereka sangat tergantung dengan para pedagang. Unsur ini diberi nilai 10 pada sisi W.

d. Kesimpulan dari penilaian diatas menunjukan bahwa faktor SDM sebagain merupakan S dengan nilai 0.7 dan sebagian merupakan W dengan nilai 1.3. Nilai W>K, dengan demikian audit SDM nemberikan kesimpulan berada pada sisi W.

3. Penilaian BB (ketersediaan bahan baku)

Unsur ketersediaan bahan baku terdiri atas ketersediaan BB pada musim hujan, ketersediaan BB pada musim kering dan bagaimana akses peternak terhadap BB baku dari luar wilayah. Hasil penilaian adalah sebagai berikut:

(9)

a. Ketersediaan BB musim hujan. Persediaan bahan musim hujan dinilai cukup, karena banyaknya hijauan yang tersedia baik kualitas maupun kuantitias. Namun demikian, tidak mudah bagi peternak memperolehnya karena dibatasi oleh status pemilikan lahan dengan nilai 7 pada sisi S. b. Ketersediaan BB musim kemarau.

Persediaan BB pada musim kemarau relatif sulit, apalagi peternak sangat tergantung pada hmt di luar lahannya sendiri. Karena itu unsur BB musim kemarau merupakan unsur W dengan nilai 5.

c. Akses BB dari luar wilayah. Peternak tidak mempunyai organisasi yang dapat

memberikan pelayanan penyediaan pakan hijauan dari luar wilayah. Pada sisi lain belum ada organisasi yang mengatur penawaran pakan hijauan. Para peternak secara individu, mempunyai kelemahan dalam pekersediaan tenaga kerja keluarga dan modal untuk mendapatkan pakan hijauan dari luar wilayah. Atas dasar itu, unsur akses BB merupakan faktor W dengan nilai 10.

d. Kesimpulan dari penilaian ini memperlihatkan bahwa faktor BB merupakan sisi W, karena nilai BB pada sisi W = 1 lebih besar dari nilai faktor BB pada sisi S = 0.7.

Tabel 2. Hasil penilaian terhadap faktor internal pengembangan wilayah ternak kambing/domba

Strength Weakness Bobot (%) Score Nilai Bobot (%) Score Nilai

SDA (Sumber Daya Alam) 25 9 2.25 25 0 0

Kesesuaian lingkungan 10 0

Ketersediaan lahan 10 0

Ketersediaan air 7 0

SDM (Sumber Daya Manusia) 20 3 0.7 20 7 1.3

Pendidikan peternak 0 10

Pengalaman peternak 10 0

Hubungan dengan pasar 0 10

BB (Ketersediaan Bahan Baku) 20 2.3 0.5 20 5 1

BB musim hujan 7 0

BB musim kering 0 5

Akses bahan baku dari luar wilayah 0 10

MT (Manajemen dan Teknologi) 10 0 0 10 6 0.6

Skala usaha 0 8

Pola budidaya (intensif dan ektensif) 0 5

Sifat ekonomi bibit ternak 0 5

Profitabiltas (PR) 25 7 1.7 25 2 0.6

Finansial (B/C rasio, NPV, IRR) 10 0

Ekonomi (kesempatan kerja) 10 0

Peraturan pemerintah daerah 0 7

Jumlah 100 5.05 100 2.92

Nilai akhir 2.13

4. Penilaian MT (manajemen dan teknologi)

MT yang dinilai mencakup 3 unsur yakni skala usaha, pola budidaya dan sifat ekonomi

bibit ternak. Hasil penilaian adalah sebagai berikut.

a. Skala usaha relatif kecil antara 1–5 ekor, karena ukurannya sangat ditentukan oleh ketersediaan tanaga kerja keluarga.

(10)

Hubungan antara skala usaha dengan jumlah tenaga keluarga adalah semakin tinggi jumlah tenaga kerja keluarga semakin besar skala usaha. Nilai 8 pada sisi W.

b. Pola budidaya. Pemeliharaan kambing/ domba pada umumnya adalah antara intensif dan ektensif. Artinya, ternak dipeliharan dalam kandang yang sederhana, kadang-kadang kambing/ domba dilepas mencari makan sendiri dan ada saatnya diberikan dalam kandang. Pola pemeliharan seperti ini sulit mencapai produktivitas yang lebih baik. Nilai 5 pada sisi W.

c. Sifat ekonomi bibit ternak. Untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi diperlukan ternak dengan bibit yang baik. Pada kenyataannya peternak tidak melakukan seleksi bibit. Peternak juga mengabaikan kenyataan bahwa, bibit yang buruk tidak perlu digemukkan karena tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Nilai 5 pada sisi W.

d. Kesimpulan penilaian memperlihatkan nilai S = 0 dan W = 0.6 dengan nilai faktor MT = 0.6 pada sisi w.

5. Penilaian profitabilitas

Profitabilitas yang dinilai adalah adalah keuntungan finansial, kesempatan kerja dan Peraturan Pemerintah Daerah. Hasil penilaian adalah sebagai berikut.

a. Keuntungan Finansial. Berdasarkan B/C rasio usaha ternak kambing/domba antara 1.3 sampai 1.7 memperlihatkan suatu usaha yang menguntungkan. Nilai unsur profitabilitas adalah 10 pada sisi S.

b. Kesempatan Kerja. Karena skala usaha peternak pada umumnya relatif kecil, sehingga peternakan kambing/domba dalam wilayah pengembangan merupakan padat karya. Atas dasar itu unsur kesempatan kerja diberi nilai 10.

c. Peraturan Pemerintah Daerah. Peraturan pemerintah daerah pada umumnya lebih banyak bersifat menghambat seperti pajak dan retribusi budidaya dan peraturan perdagangan. Peraturan pemerintah yang mendorong atau memberikan fasilitas pengembangan ternak hampir tidak ada. Nilai 7 pada sisi W.

d. Kesimpulan penilaian faktor profitabilitas memberikan hasil nilai 1.7 pada sisi S dan 0.6 pada sisi W, berarti profitabilitas merupakan unsur S.

6. Hasil akhir penilaian faktor internal

Secara keseluruhan, diperoleh nilai total S = 5.05 dan W = 2.92 sehingga titik axis berada pada sumbu vertikal pada titik sebelah atas dari titik origin yakni pada titik axis 2.13.

B. Penilaian faktor eksternal OT

Penilaian eksternal dilakukan terhadap 5 faktor yakni PP, ALF, PD, PI dan PP. Kelima faktor ini mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda, karena itu dalam penilaian perlu diberi bobot. Pemberian bobot berdasarkan justifikasi ahli tetapi ditunjang oleh data dan informasi yang ada. Hasil penilaian disampaikan ada Tabel 3. Berikut adalah rincian dan penjelasan pemberian besaran nilai untuk setiap faktor dan unsur OT.

1. PP (pasar dan permintaan)

Penilaian pasar permintaan ditentukan oleh dua unsur yakni Permintaan Pasar Domestik dan Permintaan Pasar Dunia. Kesimpulan penilaian adalah sebagai berikut.

a. Permintaan Pasar Domestik. Permintaan dalam negeri relatif lebih besar namun selalu dapat dipenuhi karena stock populasi yang cukup. Setiap saat kekurangan suplai segera dapat diisi sekalipun terjadi pengurasan. Masalah kedua adalah sekalipun daging kambing/domba bukan makanan pokok bahkan termasuk barang mewah namun merupakan kebutuhan pokok dalam acara agama Islam, sehingga meningkatkan peluang pasar. Atas dasar itu, unsur permintaan dalam negeri merupakan peluang yang sangat kuat dengan nilai 10 pada sisi O.

b. Permintaan Pasar Dunia. Permintaan pasar dunia terhadap kambing/domba Indonesia, terus tumbuh sepanjang tahun. Peternakan kambing/domba di Indonesia yang bebas dari penyakit mulut dan kuku, merupakan salah satu keunggulan komparatif dalam

(11)

merebut pasar dunia. Selain itu, Indonesia, sebagai negara dengan penduduk sebagian besar beragama Islam, merupakan keunggulan komparatif lainnya dalam menyaingi negara-negara non Islam dalam merebut pasar daging berstatus halal bagi negara Islam. Atas dasar itu, unsur pasar ekspor merupakan peluang pengembangan ternak kambing/domba dengan score 10 pada sisi O.

c. Kesimpulan nilai yang diperoleh untuk sisi O = 0.8 dan nilai yang diperoleh untuk T= 0.3. Dengan demikian penilaian faktor PP memberikan posisi O.

2. ALF (akses lembaga keuangan)

Ada tiga unsur yang dinilai dalam hal akses peternak terhadap lembaga keuangan yakni Akses Pada Bank, Dana Sendiri dan Kerjasama Kemitraan. Rincian penilaian adalah sebagai berikut.

a. Akses pada bank. Peternak pada umumnya tidak memiliki akses kepada Bank dalam arti mereka tidak mengetahui, tidak merasa perlu berhubungan dan tidak berani melakukan akses kepada Bank. Namun demikian pemerintah telah menyediakan dana yang relatif cukup bagi pengembangan suatu wilayah agribisnis ternak kambing/domba. Sehingga masalah akses pada Bank hanya masalah waktu, tergantung pada penyuluhan kepada mereka. Nilai akses kepada Bank 5 pada sisi O.

b. Dana sendiri. Peternak pada umumnya tidak atau kekurangan modal. Mereka tidak mempunyai peluang mengembangkan usaha. Kemampuan dana

sendiri merupakan T dengan nilai 5.

c. Kerjasama kemitraan. Kerjasama kemitraan dalam usaha pengemukkan kambing/domba potong mengalami

perkembangan positip. Perkembangan memperlihatkan bahwa semakin banyak pemilik modal menggunakan uangnya untuk bermitra dengan peternak dalam penggemukan kambing/domba. Kemitraan suatu hal yang positip bagi pengembangan usaha rakyat, masalahnya adalah apakah kemitraan itu berlaku adil bagi peternak. Pada umumnya, kemitraan yang telah berlangsung menempatkan peternak sebagai penanggung resiko.Sehingga kerjasama ini hanya membutuhkan suatu aturan yang lebih baik, tetapi pada batas-batas pemilik modal tetap bersedia melakukan kemitraan. Score unsur kerjasama kemitraan adalah 7 pada sisi O. d. Kesimpulan nilai yang diperoleh untuk sisi

O = 0.8 dan nilai yang diperoleh untuk T= 0.3. Dengan demikian penilaian faktor ALF memberikan posisi O.

3. Penilaian PD (persaingan pasar domestik)

Penilaian faktor PD dilakukan pada dua unsur yakni Bentuk Pasar Pada Pusat Konsumsi dan Jumlah Wilayah Agribisnis Penghasil. Hasil penilaian adalah sebagai berikut:

a. Bentuk Pasar Pada Pusat Konsumsi. Bentuk pasar pusat konsumsi cenderung berbentuk monopsoni, sehingga peternak menerima harga yang sangat rendah, pada hal peternak menjual ternak hidup. Nilai 7 pada sisi T.

b. Jumlah Wilayah Agribinis Penghasil. Wilayah penghasil ternak kambing/domba sangat banyak, hampir terdapat di seluruh wilayah, sehingga peternak mempunyai pasar yang sempit. Nilai 7 pada sisi T. c. Kesimpulannya adalah PD merupakan

faktor ancaman bagi suksesnya pengembangan wilayah agribisnis ternak.

(12)

Tabel 3. Hasil penilaian faktor eksternal OT pengembangan wilayah ternak kambing/domba

Oppurtunities Threat Bobot (%) Score Nilai Bobot (%) Score Nilai

1. PP (Market Demand) 30 10 3 30 0 0

Permintaan Pasar Domestik 10 0

Permintaan Pasar Dunia 10 0

2. ALF (Akses Lembaga Keuangan) 20 4 0.8 20 1.7 0.3

Akses pada Bank 5 0

Dana Sendiri 0 5

Kerjasama/Kemitraan 7 0

3. PD (Persaingan Pasar Domestik) 15 0 0 15 7 1.05

Bentuk Pasar Pada Pusat Konsumsi 0 7

Jumlah Wilayah Agribisnis Penghasil 0 7

4. PI (Permintaan Industri) 25 7 1.75 10 0 0

Permintaan Pasar Domestik 7 0

Permintaan Pasar Dunia 7 0

5. PP (Peraturan Pemerintah) 10 3.3 0.3 20 4 0.8

Undang-Undang dan Peraturan 0 7

Kebijakan Tarif Impor dan Ekspor 0 5

Pengawasan Penyakit Hewan Nasional 10 0

Jumlah 100 5.86 100 2.15

Nilai Akhir 3.7

4. Penilaian PI (permintaan industri)

Penilaian faktor PI terdiri atas 2 unsur yakni Permintaan Bahan Baku Industri dalam negeri dan Permintaan Bahan Baku untuk industri ekspor. Permintaan industri yang dimaksud adalah bahan baku kulit ternak. a. Permintaan Pasar Domestik. Permintaan

kulit dalam negeri relatif tinggi tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri dan perlu impor. Permintaan kulit ternak kambing/domba dalam negeri terus meningkat sementara impor dibatasi oleh kebijakan non tarif yakni pencegahan penularan penyakit. Nilai 7 pada sisi O. b. Permintaan Pasar Dunia. Identik dengan

pasar dalam negeri. Nilai 7 pada sisi O. c. Kesimpulan menunjukan bahwa faktor PI

merupakan peluang bagi wilayah pengembangan agribisnis.

5. PP (Peraturan Pemerintah Pusat)

Penilaian faktor PP dilakukan pada tiga unsur yakni unsur Undang-Undang Dan

Peraturan Pemerintah, Kebijakan Tarif Impor dan Ekspor dan Pengawasan Penyakit Hewan Nasional. Hasil penilaian adalah sebagai berikut.

a. Undang-undang dan Peraturan. Di Indonesia, hampir sebagian besar Undang-Undang-Peraturan tidak merupakan faktor pelindung pada usaha ternak, bahkan banyak di antaranya justru menghambat. Undang-undang no 6 Tahun 1970 Peternakan sebagai contoh, tidak lagi sesuai bagi pengembangan peternakan. Peraturan pemerintah daerah pada umumnya bersifat menghambat seperti penarikan pajak dan retribusi. Score 7 pada sisi T.

b. Kebijakan Tarif Impor dan Ekspor. Dalam era perdagangan bebas, sangat sulit mencari alasan untuk menghambat impor, kecuali jika negara pengimpor dinyatakan belum bebas terhadap penularan suatu jenis penyakit tertentu. Indonesia adalah negara yang bebas penyakit berbahaya seperti Sapi Gila, Mulut dan Kuku. Karena itu ada kemudahan untuk mengekspor.

(13)

Namun Indonesia belum bisa mengekspor maka ancaman impor misalnya dari Australia sangat besar. Score 5 pada sisi T. c. Pengawasan Penyakit Hewan Nasional.

Pengawasan penyakit oleh pemerintah merupakan pendorong bagi usaha dalam negeri. Score 10 pada sisi O.

Kesimpulan akhir memperlihatkan bahwa faktor PP merupakan penghambat atau T.

6. Hasil akhir penilaian faktor eksternal

Penilaian akhir faktor eksternal memberikan nilai total O = 5.86 dan O = 2.15. Dengan demikian hasil audit titik faktor eksternal memberikan nilai O = 3.7 pada pada axis O.

C. Hasil Analisis SWOT Internal dan Eksternal

Hasil penilaian SWOT terhadap faktor internal dan ekternal memperlihatkan posisi AW berada pada diagram I yakni daerah pertumbuhan dengan titik kordinat AW yakni titik S (2.1;3.7) pada Gambar 2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa AW ternak kambing/domba dalam kondisi sosial ekonomi dan teknis yang ada saat ini merupakan usaha yang mempunyai kekuatan dan peluang positip untuk tumbuh, walaupun berada pada posisi titik yang relatif jauh dari kesempurnaan yakni titik S1 (5;5) dan sangat sempurna pada titik S2 (10,10). Berdasarkan letak posisi S yang relatif jauh dibandingkan S1 dan apalagi S, maka perlu beberapa kebijakan untuk meningkatkan peluang keberhasilan jika pengembangan AW dilakukan. Beberapa kebijakan yang harus dilakukan adalah:

Kebijakan perbaikan faktor internal

a. Memperbaiki kelemahan SDM peternak melalui pendidikan dan pelatihan yang bertujuan meningkatkan kemampuan bisnis terutama ternak domba.

b. Membentuk kelembagaan masyarakat yang melakukan fungsi mengumpulkan hmt dan memprosesnya serta melakukan

penyimpanan dalam gudang penampungan. Usaha ini harus digerakan oleh aparat pemerintah baik dalam pelayanan tempat, kegiatan, pendanaan dan komunikasi. Kebijakan ini diharapkan memberikan dampak pada kecukupan ketersediaan hmt sepanjang tahun dan mengurangi tenaga kerja peternak mencari hmt yang selanjutnya akan meningkatkan skala usaha dan menigkatkan pemanfaatan ekosistem.

c. Perlu dilakukan perbaikan budidaya terutama dalam cara memberikan HMT, perawatan kesehatan dan seleksi bibit.

Kebijakan perbaikan faktor internal

a. Meningkatkan akses peternak sumber dana. Kebijakan jangka pendek untuk menjangkau hal ini, adalah mensosialisasikan kredit UKM (Usaha Kecil Mandiri) atau skim kredit bantuan yang lain. Sosialisasi kredit UKM melalui kelembagaan masyarakat yang disalurkan pada simpul-simpul penggerakan agribisnis kambing/domba dalam wilayah pengembangan. Simpul-simpul tersebut antara lain lembaga pengumpul dan penggudangan HMT, juragan kambing/domba, dan kelompok peternak. Kebijakan ini akan dapat mendorong peningkatan produksi tanpa harus mengubah paradigma yang sudah ada. b. Peraturan Pemerintah hendaknya dibuat

sedemikian rupa sehingga meningkatkan kreativitas dan daya kerja serta produktivitas peternak.

Kebijakan internal dan eksternal dapat diterapkan secara intensif pada wilayah pengembangan sebagai langkah awal. Pada tahap awal perlu dibangun simpul-simpul kelembagaan yang dibutuhkan. Pemerintah mendorong sedemikian rupa supaya kelembagaan ini bergerak mandiri melalui informasi dan komunikasi yang luas dikalangan masyarakat.

(14)

Gambar 2. Hasil analisis SWOT internal dan eksternal

Kebijakan pengembangan agribisnis berdasarkan analisis SWOT

1. Analisis SWOT memperlihatkan bahwa kondisi Agribisnis Wilayah (AW) sentra produksi kambing/domba yang diteliti mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki kekuatan dan peluang pada diagram pertumbuhan. Ini berarti, Indonesia mempunyai peluang besar mengembangkan AW menjadi sebuah usaha skala besar dengan pola rakyat dengan efisiensi tinggi. Indonesia dengan pengembangan AW akan mempunyai kemampuan merebut sebagian pasar ekspor kambing/domba di negara-negara Islam.

2. Namun demikian, hasil SWOT juga memperlihatkan bahwa kekuatan yang dimiliki AW relatif rendah sehingga jangkauan untuk meraih peluang juga relatif rendah. Faktor penyebabnya agribisnis peternakkan rakyat mempunyai kekuatan internal dan kemampuan mencapai peluang yang relatif rendah. Karena itu untuk meningkatkan kekuataan AW perlu dibangun lembaga-lembaga pelayanan yang menjadi simpul pengembangan AW menuju agribisnis terpadu dan maju.

Implikasi kebijakan

Pengembangan agribisnis wilayah dengan konsep terpadu dengan membangun berbagai usaha terintegrasi secara vertikal dapat dilakukan diberbagai wilayah yang ditunjuk sebagai pusat wilayah pengembangan. Wilayah-wilayah pengembangan yang dimaksud adalah wilayah yang layak secara teknis dan sosial ekonomi. Kelayakan secara teknis dimaksudkan adalah wilayah itu adalah wilayah pertanian dan padat ternak kambing/domba. Layak secara ekonomi, berarti wilayah itu dapat dikembangkan dan mendatangkan keuntungan dan peningkatan pendapatan bagi petani dalam wilayah itu dan kelayakan sesara sosial adalah kearifan lokal di wilayah itu tidak bertentangan dengan introduksi usaha ternak kambing/domba.

Pengembangan usaha diversifikasi vertikal dengan basis agribisnis ternak kambing/domba rakyat sebagai basis dimaksudkan pengelolaan manajemen pertanian dalam wilayah tersebut dengan azas zero waste, semua produksi terpakai, tidak ada yang terbuang atau disebut berazaskan ekology. Terpadu dengan vertikal ke arah atas adalah sebagian wilayah digunakan untuk pengembangan usaha-usaha produksi hmt dan biji-bijian dimana sebagian dari produksi digunakan untuk makanan ternak kambing/domba. Vertikal ke bawah, produksi

G a m b a r 4 . 3 . 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 23 4 5 67 8 9 10 - 3 - 2 - 1 -3 -2 -1 S = (St rength) W = ( W EAK) O = ( O p p u r t u n it y ) T = ( T h r e a t ) S S 1 S 2 G ro w th S urv iv al

(15)

pupuk asal kambing/domba dikembalikan kelahan-lahan pertanian dalam wilayah itu. Vertikal ke arah industri adalah pemanfaatan pemotongan hasil ternak yang tidak dikonsumsi seperti tulang, kulit, darah dan bulu kambing/domba yang digunakan sebagai bahan baku kerajinan rumah tangga yang jika mungkin dikembangkan dalam wilayah itu. Integrasi ini akan mendorong wilayah menghasilkan produk akhir dalam bentuk susu segar, susu olahan, daging, atau ternak hidup sebagai produk utama.

Manajemen yang diterapkan dalam wilayah tersebut adalah manajemen terpadu sehingga keputusan pengalokasian dan pengoranisasian input berada dalam satu lembaga yang dibangun berdasarkan persetujuan masyarakat dalam wilayah tersebut. Dalam hal ini posisi petani adalah manajer dalam usahanya sendiri terutama dalam mengatur tujuan produksi ternak dan skala usaha yang dibutuhkan. Pengelolaan pakan, pengairan dan pemupukan berada dalam pengaturan bersama melalui lembaga bersama tersebut. Sehingga wilayah tersebut merupakan satu unit perusahaan berskala 10 sampai 15 ribu ekor kambing/ domba mempunyai kekuatan dalam pasar, mempunyai kekuatan merebut peluang-peluang pasar lokal dan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS. 1999. "SWOT Analysis- Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats.

PMI- Plus, Minus, Interesting. http://www. mindtools.com/swot.html. (5 Dec. 1999).

ANONIMOUS. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kambing dan Domba. Badan penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. ANONIMOUS. 1995. Sistem, Strategi dan Program

Pengembangan Agribisnis; Badan Agribisnis Departemen Pertanian, Jakarta.

GINTING. S. P. 2004. Manfaat Limbah Industri Pengolahan Sayur Lobak. Prosiding; Teknologi Peternakan dan Veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

KARYANTO. W. Dan A. PRIYANTI. 1997. Kajian Ekonomi Usaha Peternakan Domba di Indonesia. Makalah dalam Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner di Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

PASANDARAN, E. A. DJAJANEGARA, K. KARTIYASA dan F. KASRYNO. 2005. Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

STATISTIK PETERNAKAN. 2005. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

SIMATUPANG P. dan PURWOTO A. 1990. Pengembangan Agroindustri Sebagai Penggerak Pembangunan Desa; Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.

SOEDJANA. T. D. 1993. Economics of Raising Small Ruminants. Prosiding: Small Ruminant Production in the Humid Tropics. P.336-387. Sebelas Maret University Press. Surakarta. SUDARYANTO T. Dan E. PASANDARAN; (1993);

Agribisnis Dalam Perspektif, Konsepsi, Cakupan Analisis dan Rangkuman Hasil Pembahasan dalam SUDARYANTO et al. (1993) Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia; Prosiding; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

YUSDJA. Y. 2004. Prospek Usaha Peternakan Kambing Menuju 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. YUSDJA. Y, R. SAYUTI, B. WINARSO dan I. SODIKIN;

(2006); Kebijakan Peningkatan Manfaat dan Nilai Tambah Sumberdaya Ternak; Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Keterkaitan antar sub-sistem dalam agribisnis  Tahun 1992, Puslitbangnak telah
Gambar 2. Hasil analisis SWOT internal dan eksternal

Referensi

Dokumen terkait

Meski penduduk Trebungan bukan asli Madura, tetapi bahasa yang digunakan dalam sehari- harinya adalah bahasa Madura sehingga dapat mempengaruhi terhadap sub-kultur

digunakan untuk menyebut suatu nilai hasil dari penghitungan variable. 5) Konsep merupakan rancangan, ide, atau pengertian tentang sesuatu. 6) Definisi merupakan rumusan

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Binfar & Alkes).. Pharmaceutical Care untuk Penyakit

Sedangkan pengertian katalog adalah daftar pustaka (buku dan non buku) milik suatu perpustakaan yang disusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk mencari dan

45 Tahun 1990 menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan peceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan dari pejabat (atasan) dan hal

Pencacahan di lapangan harus menggunakan daftar HKD-2.1, setelah dikoreksi barulah perdesaan dan juga untuk penyusunan Indeks Harga Yang Dibayar Petani Kelompok N

Dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh selebriti endorser (X 1 ) dan desain produk ( X 2 ) berpengaruh secara simultan dan secar parsial

Pada hasil penelitian didapatkan ada hubungan yang bermakna antara ketergantungan smartphone dengan kecemasan ( nomophobia ) pada mahasiswa program studi S1