• Tidak ada hasil yang ditemukan

Achmad Hudoyo SpP Dept Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/ SMF Paru RS. Persahabatan Jakarta Timur. SEJARAH ASMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Achmad Hudoyo SpP Dept Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/ SMF Paru RS. Persahabatan Jakarta Timur. SEJARAH ASMA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Penatalaksanaan Asma & PPOK Pada Orang Dewasa berdasar Pedoman GINA (Global Initiative for Asthma) & GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung

Disease)

Achmad Hudoyo SpP

Dept Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/ SMF Paru RS. Persahabatan – Jakarta Timur.

SEJARAH ASMA

Asma sudah dikenal di Mesir Kuno dan diobati dengan meminum ramuan dupa yang dikenal sebagai “kifi”. Penyakit ini secara resmi disebut sebagai masalah pernapasan oleh Hipokrates sekitar tahun 450 Sebelum Masehi, dengan nama Yunani ásthma yang berarti "terengah-engah". Pada tahun 200 SM penyakit ini dipercaya berhubungan dengan faktor emosi.

Tulisan pertama tentang pengobatan modern pada tahun 1873, dalam masalah ini mencoba menjelaskan patofisiologi-asma bronkial, sementara di tahun 1872 disebutkan bahwa asma bisa disembuhkan dengan menggosok dada dengan obat gosok kloroform. Pada tahun 1880, penggunaan secara intravena diperkenalkan dengan menggunakan obat golongan pilokarpin. Pada tahun 1886, F.H. Bosworth mengemukakan teori bahwa ada hubungan antara asma dan rinitis alergi. Epinefrin pertama kali digunakan dalam pengobatan asma pada tahun 1905. Kortisteroid oral mulai digunakan untuk kondisi ini pada tahun 1950an sementara kortisteroid hirup dan agonis-beta-2 short acting merupakan pilihan yang mulai banyak digunakan pada tahun 1960an. Selama tahun 1930-50an, asma dikenal sebagai salah satu dari “tujuh besar” penyakit psikosomatik. Penyebabnya dianggap sebagai psikologis, dengan pengobatan sering berdasarkan psikoanalisa dan penyembuhan dengan bicara lain. Karena para psikoanalis ini menginterpretasikan mengi asma sebagai tangisan yang tertahan dari anak yang mencari ibunya, mereka menganggap pengobatan depresi khususnya penting untuk individu yang menderita asma.

EPIDEMIOLOGI ASMA DI INDONESIA

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.

Asma pada dewasa. Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat

(2)

35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6%

PATOGENESIS ASMA

Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.

Faktor lingkungan yang berperan sebagai faktor pencetus serangan/eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap, a.l: Alergen di dalam dan di luar ruangan, polusi udara di dalam dan di luar ruangan, infeksi pernapasan, exercise dan hiperventilasi, perubahan cuaca, sulfur dioksida, makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan, Ekspresi emosi yang berlebihan, Asap rokok dan Bahan iritatif (a.l. parfum, bau-bauan merangsang)

DIAGNOSIS ASMA

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit/gejala: bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan, gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari, diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu, serta respons terhadap pemberian bronkodilator. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit: riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan riwayat pengobatan (misalnya pasien sudah sering menggunakan obat inhaler). Spirometri: Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa

(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

(3)

Arus Puncak Ekspirasi (APE): Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.

Uji Provokasi Bronkus:

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejalA asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.

PERENCANAAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG 

Medikasi Asma: Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pelega dan pengontrol.  Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. 

Pelega (Reliever): Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah: Agonis beta2 kerja singkat, Antikolinergik , Aminofillin, dan Adrenalin.

Pengontrol (Controllers): Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

• Kortikosteroid inhalasi

• Kortikosteroid sistemik

• Sodium kromoglikat

• Nedokromil sodium

• Metilsantin

• Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

• Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers

(4)

PENGOBATAN BERDASAR DERAJAT SERANGAN ASMA (Pedoman PDPI):

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain

Asma Intermiten Tidak perlu --- ---

Asma Persisten Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug BD/hari atau

ekivalennya)

• Teofilin lepas lambat

• Kromolin • Leukotriene modifiers --- Asma Persisten Sedang Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama

• Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau

ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau

• Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau

ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

• Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD

atau ekivalennya) atau

• Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers • Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

• Ditambah teofilin lepas lambat

Asma Persisten Berat

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau

ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah

≥ 1 di bawah ini: - teofilin lepas lambat - leukotriene modifiers

- glukokortikosteroid oral

Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg

ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

(dikutip dari Buku Pedoman Penatalaksanaan Asma PDPI)

PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK)

Permasalahan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik),di Indonesia saat ini dan mendatang diperkirakan akan berdampak basar, terutama pada mortalitas dan dampak sosial ekonomi, karena berhubungan dengan masih tingginya perokok dan perkiraan umur rata-rata yang meningkat. Pemerintah dalam hal ini memberi perhatian khusus, sehingga terbitlah SK Menteri Kesehatan. Memang data yang akurat tentang kekerapan PPOK di Indonesia sampai saat ini

(5)

belum ada, tetapi Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 tentang asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut: Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %), Pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, Industrialisasi, dan Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan. Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

DEFINISI

Bedasar GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Diseases) dan merujuk pada definisi bahasa Indonesia dalam buku Pedoman Praktis Diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia dari PDPI yang telah direvisi pada 2010, PPOK merupakan penyakit paru yang dapat icegah dan ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan denganrespons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Gejala utama PPOK adalah sesak napas memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum. Konsep pathogenesis PPOK:

(6)

Perbedaan pathogenesis antara Asma dan PPOK:

(dikutip dari buku pedoman PDPI tahun 2011) 

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat:

1. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70% 2. PPOK Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80% prediksi 3. PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30%=<VEP1<50% prediksi

4. PPOK Sangat Berat: VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau VEP1<50% disertai gagal napas kronis

PENATALAKSANAAN PPOK (berdasar derajat)

1. Berhenti merokok/mencegah pajanan gas/partikel berbahaya 2. Menghindari faktor pencetus

3. Vaksinasi Influenza 4. Rehabilitasi paru

5. Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja singkat), penggunaan bronkodilator kerja lama (LABA, antikolinergik kerja lama), dan obat simtomatik. Pemberian kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan derajat PPOK.

6. Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen. (LTOT – long term oxygentherapy, dengan memberikan O2 selama 15 jam/hari memberikan kesegaran jasmani cukup signifikan).

7. Reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS) atau endoskopi (transbronkial) (BLVR)

(7)

PENATALAKSANAAN PPOK.

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (A) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (B) penatalaksanaan padaeksaserbasi akut.

Tujuan penatalaksanaan (berdasar rekomenasi GOLD)/Konsensus PDPI: - Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru - Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: 1. Edukasi 2. Obat - obatan 3. Terapi oksigen 4. Ventilasi mekanik 5. Nutrisi 6. Rehabilitasi

(A). Penatalaksanaan PPOK stabil (di poliklinik/di rumah). Kriteria PPOK stabil adalah

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil (PaCO2 < 45 mmHg dan PaO2 > 60 mmHg) - Dahak jernih tidak berwarna

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri) - Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Penatalaksanaan di poliklinik/di rumah meliputi: 1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat. 2. Obat-obatan sesuai klasifikasi .

3. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang.

4. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif.

5. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.

6. Terapi oksigen. Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yaitu terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter. 7. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita PPOK dapat

(8)

8. Rehabilitasi

- Penyesuaian aktivitas

- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif - "Pursed-lips breathing" (basa Jawa : ‘mecucu’) - Latihan ekstremitas atas dan otot bantu napas 9. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :

- Tanda eksaserbasi

- Efek samping obat

(B). Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut Gejala eksaserbasi:

- Sesak bertambah

- Produksi sputum meningkat - Perubahan warna sputum Penyebab eksaserbasi akut :

Primer: Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)

Sekunder : Pnemoni ; Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia; Emboli paru; Pneumotoraks spontan; Penggunaan oksigen yang tidak tepat; Penggunaan obat-obatan (obat penenang,diuretik) yang tidak tepat; Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit); Nutrisi buruk; Lingkungan /polusi udara; Aspirasi berulang; Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh pasien yang telah diedukasi dengan cara: Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilatorne(buliser); Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur; Menambahkan mukolitik; Menambahkan ekspektoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap, bahkan bila perlu perawatan intensif di ICU.

Indikasi perawatan ICU:

• Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat

• Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi

• Setelah pemberian osigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan

• Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :

-Terapi Oksigen yang tepat.

-Pemberian obat-obatan yang maksimal -Nutrisi adekuat

-Pertimbangkan penggunaan ventilasi mekanik

-Perhatian khusus (bila timbul : retensi sputum, gangguan balans cairan, aritmia) -Evaluasi ketat progesivitas penyakit

(9)

DAFTAR SINGAKATAN:

SABA (Short Acting Beta Agonist)) LABA (Long Acting Beta Agonist)

LAMA (Long Acting Muscarinic Agonist) BLVR (Bronchial Lung Volume Reduction)) LVRS (Lung Volume Reduction Surgery)

DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). PPOK (Penyakit Paru obstruksi Kronik). Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatal aksanaan di Indonesia. Revisi 2011.

2. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). ASMA. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Revisi 2010.

3. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). National Heart Lung and Blood Institute, update 2009.

4. Global Initiative for Asthma (GINA). National Heart Lung and Blood Institute, update 2013.

5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008.

6. http://www.klikpdpi.com/ 7. http://www.goldcopd.com/

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan pengarusutamaan gender pada pendidikan formal dilakukan pada jenjang pendidikan TK, SD, SMP dan SMA. Sosialisasi gender oleh Dinas Pendidikan Kabupaten

Motivasi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh revaluasi aset tetap bewujud dan rekayasa akrual terhadap laba kena pajak perusahaan.. Variabel bebas

Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis keputusan, evaluasi semu dan evaluasi formal:..  evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat

Zat non gizi adalah zat selain zat gizi yang ada dalam bahan makanan, biasanya tidak dapat dicerna dengan jalur metabolisme biasa dalam tubuh.. Yang termasuk zat non gizi

45 yang dimana mereka tidak menetap agamanya, seperti halnya pada saat pendeta atau ustad yang datang ke Desa Petani tersebut untuk datang penyuluhan agama maka

saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari

yang mengedepankan pembelajaran berbasis riset. Salah satu misi Perpustakaan UGM ialah menjadi pusat referensi informasi ilmiah bagi seluruh civitas academica di

Pengujian stasioner untuk data indeks harga saham negara-negara ASEAN-5 plus China menggunakan metode ADF pada tingkat level memberikan hasil bahwa pada