ii
SKRIPSI
Diajukan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Diajukan Oleh:
MUHAMMAD FADHOLI 11110131
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
vi
Selalu optimis
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan hati dan segenap rasa syukur, skripsi ini saya
persembahkan kepada:
1. ibunda ( Siti Murtofiah ) dan Ayahanda ( Ahmad Adib ) tercinta yang telah
mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan kasih
sayang serta tidak henti-hentinya mendo‟akan penulis dalam menyelesaikan
studi dan skripsi ini.
2. Saudara-saudaraku ( Muhammad Haris dan M.Lilik Setiawan ) dan calon
belahan jiwaku ( Maftukhatul Munawaroh ) yang telah mendo‟akan penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini dan selalu mendukung penulis dalam segala
hal.
3. Teman-teman seperjuangan dan teman-teman MAPALA MITAPASA terima
kasih atas dukungan, do‟a motivasi, perhatian dan kasih sayang yang telah
ikut mewarnai perjalanan proses penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Siti Asdiqoh,M.Si. yang telah sabar dalam mengarahkan dan
memberikan masukan-masukan dalam menyusun skripsi ini.
5. Seluruh Mahasiswa STAIN Salatiga terutama PAI kelas D angkatan 2010
vii
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya dalam penyusunan skripsi berjudul Nilai-nilai
Pendidikan Islam dalam Novel Rantau 1 Muara Karya Ahmad Fuadi. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhamad yang telah
menerangi dunia dengan kesempurnaan agama Islam.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Penelitian ini merupakan jenis Penelitian kualitatif untuk mengetahui nilai-nilai
pendidikan Islam yang dapat diambil sebagai pelajaran dari Novel Rantau 1
Muara karya Ahmad Fuadi. Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan semua pihak yang terkait. Pada kesempatan ini,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga,
2. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Dosen Pembimbing Ibu Dra. Siti Asdiqoh,M.Si. atas bimbingan, arahan, dan
motivasi yang diberikan.
4. Bang Fuadi yang telah menginspirasiku baik dalam perkataan maupun dalam
viii
6. Keluarga besar PAI D 2010 seperjuangan.
7. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan,
sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
semoga skripsi ini bermanfaat bagi para Pembaca dan dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 20 Agustus 2015
ix
Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.
Kata Kunci: Nilai-nilai Pendidikan Islam, novel Rantau 1 Muara
Pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Nilai-nilai pendidikan Islam adalah harga pendidikan menurut ajaran Islam yang berasal dari perintah Allah SWT yang telah diajarkan kepada seluruh umat manusia melalui wahyu-Nya dan utusan-Nya (Nabi dan Rosul-Nya). Beralih ke sastra bahwa salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya.
Demikian, penelitian ini bertujuan untuk meneliti secara mendalam nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam sebuah novel inspiratif karya Ahmad Fuadi, Rantau 1 Muara. Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan menerapkan pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze research). Metode yang digunakan penulis untuk mengumpulkan berbagai sumber data dalam penelitian kali ini adalah metode dokumentasi (documentation research methode). Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengkaji dan melakukan analisis kepustakaan mengenai Novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi. Data primer dalam penelitian adalah Novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi tahun 2013. Sedangkan untuk sumber data sekunder, penulis mengambil dari kumpulan berbagai artikel, jurnal, diskusi-diskusi book review dan karya tulis lain yang berkaitan dengan penelitian ini demi memperkaya khazanah intelektual dalam kajian dan analisis. Pada akhirnya, dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari tiga kegiatan, diantaranya adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
x
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. KegunaanPenelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 7
1. Jenis Penelitian... 7
2. Metode Pengumpulan Data... 8
3. Teknik Analisis Data... 8
F. Penegasan Istilah ... 9
1. Nilai Pendidikan Islam ... 9
2. Novel Rantau 1 Muara ... 10
G. Sistematika Penulisan Skripsi ... 10
BAB II BIOGRAFI NASKAH A. Biografi Naskah ... 12
1. Pengertian Novel ... 12
xi
3. Jenis-jenis Novel ... 25
4. Ciri-ciri Novel ... 26
B. Nilai Pendidikan Islam ... 26
1. Pengertian Nilai ... 26
2. Pengertian Pendidikan Islam ... 27
3. Landasan Nilai Pendidikan Islam ... 29
4. Tujuan Nilai Pendidikan Islam ... 34
5. Jenis Nilai-nilai Pendidikan Islam ... 36
C. Biografi Penulis... 41
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
1. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel Rantau 1 Muara ... 70
2. Karakteristik Tokoh Utama dalam Novel Rantau 1 Muara ... 78
BAB IV PEMBAHASAN
xii
2. ... Nilai-nilai
Akhlak Madzmumah dalam Novel Rantau 1 Muara ... 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran ... 96
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membahas pendidikan tidaklah habis meskipun harus menumpahkan
tinta seluas samudra ke atas kertas seluas langit raya. Karena sejatinya
pendidikan itu akan terus berkembang dan memunculkan diskusi-diskusi
yang berkelanjutan sampai akhir zaman. Namun demikian kiranya penulis
ingin mengutip beberapa definisi pendidikan yang diuraikan oleh beberapa
ahli pendidikan guna mendapat secercah pemahaman tentang makna
pendidikan.
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1991: 263) pendidikan adalah “proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
cara, perbuatan mendidik.”
Menurut Poerwadarminta (Kamus besar bahasa indonesia, 1991: 916),
pendidikan dari segi bahasa dapat diartikan sebagai perbuatan (hal, cara dan
sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau
pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya.
Pada hakekatnya, pendidikan adalah kegiatan formal yang melibatkan guru,
peserta didik menjadi bertambah pengetahuan, skill dan nilai kepribadiannya
dalam suatu keteraturan kalender akademik (Jumali, dkk, 2004: 19).
Lebih lanjut pendidikan merupakan usaha seorang pendidik guna
mempersiapkan anak didik agar menjadi pribadi yang mandiri dan bermanfaat
bagi masyarakat. Proses pendidikan dapat berlangsung dalam keluarga,
sekolah dan masyarakat (Zakiah Daradjat, 1995: 35). Sedangkan menurut
Prof. Dr. Azzumardi Azra, MA (dalam Abuddin Nata, 2003: 12) pendidikan
adalah:
“Suatu proses dimana suatu bangsa atau Negara membina dan
mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Dengan kesadaran tersebut suatu bangsa atau negara dapat mewariskan kekayaan budaya atau pemikiran kepada generasi berikutnya, sehingga menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap aspek
kehidupan.”
Pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
dapat diartikan secara sempit dan dapat pula diartikan secara luas. Secara
sempit dapat diartikan “bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai
dewasa” (Marribah, 1981: 30).
Adapun pengertian pendidikan secara luas adalah:
“Segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan
pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai bagi anak didik sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan menjadi bagian dari kepribadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat” (Al-Attas, 1984: 60).
Sedangkan kaitannya dengan Islam, maka ada tiga istilah umum yang
sering digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: at-Tarbiyyah (pengetahuan
mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai
ilmiah), dan at-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal).
Lebih terperinci Syekh A. Naquib al-Attas (1984: 48) memberikan
pengertian bahwa pendidikan Islam adalah:
“Usaha yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu dari tatanan penciptaan, sehingga membimbing mereka kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.”
Adapun M. Yusuf Qardhawi sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.
Abuddin Nata, MA. (2003: 60) memberikan pengertian:
“Pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat
dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahit.”
Setidak-tidaknya ada tiga poin yang dapat disimpulkan dari beberapa
pengertian pendidikan Islam di atas, yaitu:
Pertama, pendidikan Islam menyangkut aspek jasmani dan rohani.
Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena
itu pembinaan terhadap keduanya harus seimbang (tawazun).
Kedua, Pendidikan Islam berdasarkan konsepsinya pada nilai-nilai
religius. Ini berarti bahwa pendidikan Islam tidak mengabaikan teologis
sebagai sumber dari ilmu itu sendiri. Sebagaimana firman Allah:
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Qs. Al-Baqarah [2] : 31)
Ayat di atas menunjukkan adanya epistemologi dalam Islam, yakni
bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari yang satu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Ketiga, adanya unsur takwa sebagai tujuan yang harus dicapai.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa takwa merupakan benteng yang dapat
berfungsi sebagai daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang
datang dari luar.
Berdasarkan pengertian dari tiga poin di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang
agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Lebih lanjut, “nilai” sebatas arti denotifnya dapat dimaknai sebagai
harga (Mulayana, 2004: 7). Yakni, “harga yang diberikan seseorang atau
kelompok terhadap sesuatu” (Djahiri, A. 1996: 16). Namun, ketika nilai
dihubungkan dengan suatu objek sudut pandang tertentu, maka, harga yang
terkandung di dalamnya memiliki pemaknaan yang bermacam-macam. Ada
harga menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, politik dan
agama.
Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan Islam adalah harga
pendidikan menurut ajaran Islam yang berasal dari perintah Allah SWT yang
telah diajarkan kepada seluruh umat manusia melalui wahyu-Nya dan
Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel adalah karya fiksi
yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya. Menurut Burhan (1988:
3), karya fiksi menceritakan kehidupan manusia dalam interaksi dengan
lingkungan sesama, diri sendiri dan interaksi pengarang dengan Tuhan. Fiksi
merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab,
sekaligus cerita yang memberikan hiburan pada pembaca.
Novel Rantau 1 Muara menceritakan tentang Alif Fikri yang
digambarkan sebagai lelaki yang selalu berjuang keras untuk mendapatkan
setiap apa yang menjadi impiannya. Kita bisa mendapatkan apa yang kita
mimpikan bila kita mau berusaha, dan tentu saja bersabar, sembari terus
berdoa kepada Tuhan. Dia juga sosok yang didambakan banyak orang: suka
bekerja keras, pintar, paham agama, dan baik hati.
Kisah novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi ini adalah tentang
pencarian tempat berkaya, pencarian belahan jiwa dan pencarian dimana
hidup akan bermuara. Pada intinya, pengarang hendak menyampaikan pesan
bahwa kita jangan pernah menyerah dan terus berusaha keras dengan begitu
Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Man Saara Ala Darbi
Washala, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan adalah mantra
utama dalam novel ini. Dalam novel tersebut banyak nilai-nilai Pendidikan
Agama Islam yang dapat dipetik hikmahnya.
Berdasarkan uaraian latar belakang yang singkat tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti dan membahas mengenai nilai-nilai pendidikan Islam
berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel Rantau 1 Muara Karya
Ahmad Fuadi.”
B. Rumusan Masalah
Kisah novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi ini adalah tentang
pencarian tempat berkaya, pencarian belahan jiwa dan pencarian dimana
hidup akan bermuara. Pada intinya, pengarang hendak menyampaikan pesan
bahwa kita jangan pernah menyerah dan terus berusaha keras dengan begitu
Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Berdasarkan latar belakang di atas dan isi novel secara umum, penulis
mengajukan fokus masalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Novel
Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?
2. Bagaimana karakteristik tokoh utama dalam novel tersebut sesuai dengan
nilai-nilai pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan
dari disusunnya penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung
dalam Novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.
2. Untuk mendeskripsikan karakteristik tokoh utama dalam novel tersebut
D. Kegunaan Penelitian
Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
antara lain:
1. Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan wawasan
bagi penulis khususnya serta para pelajar atau mahasiswa pada
umumnya,tentang keberadaan karya sastra ( khususnya novel ) yang
memuat nilai – nilai pendidikan agama islam. Selain itu diharapkan dapat
memberikan wacana keilmuan media sebagai sarana pembelajaran
pendidikan agama islam.
2. Manfaat secara praktik
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan contoh – contoh atau
teladan dan pelajaran yang berharga bagi penulis serta para pelajar
atau mahasiswa bgaimana tata cara memahami nilai – nilai atau pesan –
pesan yang terkandung dalam sebuah karya sastra.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan
menggunakan pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze
research). Deskripsi analisis ini mengenai bibiografi yaitu pencarian berupa
fakta, hasil dan ide pemikiran seseorang melalui cara mencari, menganalisis,
membuat interpretasi serta melakukan generalisasi terhadap hasil penelitian
untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis setelah
dilakukan analisis pemikiran (content analyze) dari suatu teks, (Robert B dan
Steven J, dalam Moleong, 1995: 31).
2. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode dokumentasi (documentation research methode).
Metode dokumentasi yaitu model penelitian dengan mencari data
mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Arikunto,
1998: 233). Dari pencarian data model dokumentasi tersebut, diharapkan
terkumpulnya dokumen atau berkas untuk melengkapi seluruh unit kajian
data yang akan diteliti dan dianalisa lebih lanjut.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengkaji dan melakukan
analisis kepustakaan mengenai Novel Rantau 1 Muara karya Ahmad
Fuadi. Data primer dalam penelitian adalah Novel Rantau 1 Muara karya
Ahmad Fuadi tahun 2012.
Sedangkan untuk sumber data sekunder, penulis mengambil dari
kumpulan berbagai artikel, jurnal, diskusi-diskusi book review dan karya
tulis lain yang berkaitan dengan penelitian ini demi memperkaya khazanah
intelektual dalam kajian dan analisis.
3. Teknik Analisis Data
Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Milles
dan Huberman, 1992: 16). Pertama, setelah pengumpulan data selesai,
maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data yang telah diperoleh, yaitu
dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data, dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan.
F. Penegasan Istilah
Fungsi dari penegasan istilah adalah untuk mempermudah dalam
memahami skripsi ini dan agar terhindar dari kesalah pahaman di dalam
memahami peristilahan yang ada, maka perlu dijelaskan sebagai berikut:
1. Nilai Pendidikan Islam
a. Nilai adalah kadar, mutu, sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. (Poerwadarminta, 1991: 677)
b. Pendidikan Islam adalah pendidikan falsafah, dasar dan tujuan, serta
teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan
didasarkan pada nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam
Al-Qur‟an dan Hadist Nabi SAW. (Thoha, 1996: 11)
c. Nilai pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku
individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam
sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan
pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian
banyak profesi dalam masyarakat. (Al-Syaibany, 1979: 399).
Berdasarkan pengertian dia atas Bahwa nilai pendidikan islam
maksimal sesuai profesi masing – masing tanpa mengesampingkan
ajaran agama islam.
2. Novel Rantau 1 Muara
Rantau 1 Muara adalah novel ke-3 dari trilogi Negeri Lima
Menara. Rantau 1 Muara adalah hikayat tentang bagaimana pencarian
misi hidup walau hidup digelung nestapa tak berkesudahan.Siapa yang
berjalan di jalannya akan samapai di tujuan. Jadi yang dimaksud judul
skripsi ini adalah mengangkat sebuah nilai – nilai pendidikan islam yang
terkandung dalam novel tersebut serta mempelajari bagaimana kita hidup
itu harus selalu bekerja keras sesuai di jalan Allah SWT.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Skripsi ini ditulis dengan mengunakan sistematika yang terdiri dari
lima bab yaitu antara lain:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian, definisi
operasional, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II BIOGRAFI NASKAH
Bab ini akan membahas tentang biografi naskah dan penulis dalam
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
Bab ini akan membahas tentang deskripsi novel Rantau 1 Muara
yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik dalam Novel Rantau 1
Muara serta hasil penelitian dalam novel Rantau 1 Muara.
BAB IV PEMBAHASAN
Dan akhirnya pada bab ini penulis akan memberikan pembahasan
terhadap kandungan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat
dalam Novel Rantau 1 Muara.
BAB V PENUTUP
Bab terakhir ini akan memuat tentang: kesimpulan, dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
13 BAB II
BIOGRAFI NASKAH
A. Biografi Naskah 1. Pengertian Novel
Secara etimologis, novel berasal dari kata latin novella yang berarti
kabar atau pemberitahuan. Novella diturunkan menjadi kata inovelis yang
berarti baru. Dapat dikatakan baru karena novel hadir sebagai genre sastra
setelah puisi dan drama yang terlebih dahulu ada. Bentuk novel dapat
dikatakan sama dengan roman karena keduanya sama-sama menceritakan
hal-hal yang terjadi pada kehidupan para tokohnya dan perubahan nasib
para tokohnya.
Secara teoritis roman dan novel dipandang sebagai dua genre
sastra. Persamaan dan perbedaan antar keduanya telah banyak dibicarakan
oleh para kritikus sastra. Dapat dikatakan bahwa roman lebih panjang,
hampir berupa biografi tokohnya, sedangkan novel lebih pendek. Novel
hanya mengambil bagian terpenting dari kehidupan tokohnya. Persamaan
antara keduanya adalah sama-sama memungut bahan cerita dari kehidupan
sehari-hari dunia nyata (Watt, 1966: 14-15 dalam Abdullah, 1990: 1).
Dalam kamus istilah sastra, novel diartikan sebagai prosa rekaan
yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun (Sudjiman, 1984: 53).
karya sastra yang panjang dan kompleks sifatnya dalam unsur-unsur
utamanya seperti plot, sudut pandang dan perwatakan. Menurut Sumardjo
(2004: 82), novel adalah cerita fiktif yang panjang. Bukan hanya panjang
dalam arti fisik, tetapi juga isinya. Novel terdiri dari satu cerita yang
pokok, dijalin dengan beberapa cerita sampingan yang lain, banyak tokoh,
banyak kejadian dan terkadang banyak masalah. Semua itu harus
merupakan sebuah kesatuan yang bulat.
Ratna (2004: 314) menyimpulkan bahwa dari segi struktur, sebuah
novel sastra maupun novel populer mengandung unsur-unsur yang paling
lengkap. Novel menyediakan cerita dengan peristiwa, tokoh dan latar,
sehingga menulis dianggap berdialog dengan orang lain. Novel
memanfaatkan bahasa biasa, bahasa sehari-hari, yang juga merupakan
faktor penting dalam kaitannya dengan penulis. Novel juga menyediakan
media yang sangat luas, sehingga pengarang memiliki kemungkinan yang
seluas-luasnya untuk menyampaikan pesan.
Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989: 282) mengungkapkan
bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari
jaman pada saat novel itu ditulis. Novel dianggap sebagai dokumen atau
kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat
meyakinkan), sebagai sebuah cerita yang sebenarnya, sebagai sejarah
cerita hidup seseorang pada jamannya.
Nurgiyantoro (2007: 4) menyebutkan bahwa novel sebagai sebuah
yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur
instriksinya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar dan sudut
pandang yang bersifat imajinatif. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam
sebuah cerita novel kehidupan itu sering terasa benar adanya, seolah-olah
terjadi secara kenyataan. Hal ini dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip,
diimitasikan atau dianalogikan dengan dunia nyata, lengkap dengan
peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
novel adalah karya fiksi yang memiliki tema, alur, latar, tokoh, dan
gagasan pengarang. Selain itu, novel juga menampilkan rangkaian cerita
kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa, permasalahan, dan
penonjolan watak setiap tokohnya.
2. Unsur-unsur Novel a. Unsur Intrinsik
Baik buruk dan menarik tidaknya sebuah cerita rekaan (roman,
cerpen, maupun novel) sangat ditentukan oleh adanya keterkaitan antara
unsur-unsur pembentuk cerita. Unsur-unsur pembentuk cerita dalam
novel berasal dari dalam disebut unsur intrinsik, sedangkan unsur-unsur
pembentuk cerita yang berasal dari luar disebut unsur ekstrinsik.
Manurut Darmono (2000: 10), pendekatan instrinsik dilakukan
jika peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya. Dalam
pendekatan ini karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa
penerbit, pembaca, dan penulisnya. Novel misalnya, merupakan sistem
formal yang analisisnya meliputi tema, alur dan pengaluran, latar, tokoh
dan penokohan, sudut pandang, dan penceritaan. Sedangkan pendekatan
ekstrinsik terhadap karya sastra dilakukan jika penelitian ditujukan
untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada antara karya
sastra dengan lingkungannya, antara lain pengarang, pembaca, dan
penerbit.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendekatan intrinsik dilakukan jika penelitian menitikberatkan kajian
kepada karya sastra dan memisahkannya dari lingkungan tempat karya
tersebut dilahirkan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik dilakukan jika
penelitian lebih menitikberatkan kajian kepada karya sastra dan
hubungannya dengan pengarang, pembaca, lingkungan, peristiwa, dan
sudut pandang.
Berangkat dari uraian di atas, maka unsur-unsur intrinsik novel
adalah sebagai berikut:
1) Tema
Tema merupakan gagasan, ide, ataupun pikiran utama di
dalam karya sastra yang terungkap atau tidak (Sudjiman, 1990: 78).
Santon dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2007: 67) menyatakan
bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Sementara itu, menurut Nurgiyantoro (2007: 74) tema dalam
sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama
membentuk sebuah kemenyeluruhan.
Ada beberapa macam tema yaitu tema yang sifatnya didaktis,
pertentangan antara baik dan buruk; tema yang eksplisit dan implisit;
cinta, kehidupan keluarga; tema yang biasa dan tidak biasa; dan tema
konflik kejiwaan (Sudjiman, 1988: 50).
Sementara itu, Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2007: 80)
mencoba mendefinisikan tingkatan tema, diantaranya: tema tingkat
fisik, tema tingkat organik, tema tingkat sosial, tema tingkat egoik,
dan tema tingkat divine.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa tema adalah ide atau gagasan keseluruhan yang terkandung
dalam sebuah cerita.
2) Alur dan Pengaluran
Alur adalah urutan peristiwa yang dihubungkan secara
kausal. Peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain
(Stanton dalam Sugihastuti, 2000: 46). Nurgiyantoro (2007: 110)
mengungkapkan alur adalah salah satu unsur yang mendukung
terbentuknya sebuah cerita. Kenney (dalam Nurgiyantoro, 2007:
113) mendefinisikan alur adalah peristiwa-peristiwa yang
ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena
pengarang menyusun peristiwa berdasarkan kaitan sebab akibat.
peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya
hubungan kausalitas.
Lebih lanjut, Sumardjono dan Saini (1986: 49) menjabarkan
struktur atau tahapan alur, yaitu:
a) Pengenalan
b) Timbulnya konflik
c) Konflik memuncak
d) Klimaks
e) Pemecahan soal
Sedangkan jenis pengaluran sendiri terbagi atas:
a) Ingatan atau flashback, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah
peristiwa yang dialami tokoh pada masa lalu/lampau.
b) Linear atau realitas fiktif, artinya peristiwa yang ditampilkan
adalah peristiwa yang dialami tokoh pada masa kini (dalam teks).
c) Bayangan, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa
yang belum terjadi. Peristiwa itu hanya ada dalam benak tokoh
cerita, termasuk di dalamnya adalah mimpi yang dialami tokoh
tersebut.
Dari beberapa pendapat mengenai alur, dapat disimpulkan
bahwa alur adalah urutan peristiwa dan konflik-konflik yang
tersusun secara logis. Sedangkan pengaluran adalah satuan urutan
3) Latar
Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan
suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1990: 48).
Menurut Wellek dan Warren (1989: 290), latar didefinisikan sebagai
alam sekitar atau lingkungan, terutama lingkungan dalamnya dapat
dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik dan
metaforik.
Nurgiyantoro (2007: 227) mengklasifikasikan unsur latar ke
dalam tiga unsur pokok, di antaranya:
a) Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi.
b) Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi.
c) Latar sosial, mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
Sedangkan Hudgon (dalam Sugihastuti, 2002: 54)
membedakan latar menjadi dua, yaitu:
a) Latar fisik atau material, yaitu latar yang meliputi tempat, waktu,
dan alam fisik di sekitar tokoh cerita.
b) Latar sosial, merupakan penggambaran keadaan masyarakat atau
suatu tempat atau waktu tertentu, pandangan hidup, dan adat
istiadat yang melatari sebuah peristiwa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
adalah penjelasan mengenai suasana, waktu, tempat, dan perilaku
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang ada dalam sebuah
cerita.
4) Tokoh dan Penokohan
Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh
tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan atau
tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi tokoh
hewan dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah fabel. Tokoh
cerita dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus objek peristiwa
dan pelaku berperan dalam sebuah cerita.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa definisi singkat tokoh
merujuk pada pelaku cerita, sedangkan definisi penokohan lebih
merujuk pada penggambaran tokoh-tokoh cerita yang mempunyai
watak-watak tertentu. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007:
165) tokoh cerita (character) orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) berpendapat bahwa
yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Nurgiyantoro (2007:
176) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke
dalam beberapa jenis, yaitu:
a) Tokoh utama, yaitu tokoh yang paling banyak diceritakan dan
senantiasa hadir dalam setiap kejadian.
b) Tokoh tambahan, yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit, tidak
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya
dengan tokoh utama.
c) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang digambarkan sebagai
pahlawan (hero), yang merupakan pengejawantahan norma,
nilai-nilai yang ideal dan yang sesuai dengan pandangan dan harapan
pembaca.
d) Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menyebabkan konflik dan
beroposisi dengan tokoh protagonis.
e) Tokoh sederhana, yaitu tokoh yang memiliki suatu kualitas
pribadi tertentu yang sifat dan tingkah lakunya bersifat datar dan
monoton.
f) Tokoh bulat, yaitu tokoh yang memiliki watak dan tingkah laku
bermacam-macam.
g) Tokoh statis, yaitu tokoh yang memiliki sifat dan watak yang
h) Tokoh berkembang, yaitu tokoh yang mengalami perubahan dan
perkembangan watak, sejalan dengan perkembangan peristiwa
dan plot.
i) Tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan
atau kebangsaanya.
j) Tokoh netral, yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
tokoh adalah pelaku cerita yang dimunculkan dalam sebuah karya
naratif. Sedangkan penokohan adalah cara pengarang memberi
gambaran yang sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai tokoh
dan perwatakannya dalam sebuah cerita.
5) Penceritaan
Todorov (dalam Nurgiyantoro, 2007: 94) berpendapat bahwa
penceritaan merupakan peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia
fiktif tidak dikemukakan sebagaimana aslinya, akan tetapi menurut
penuturan tertentu. Oleh karena itu penceritaan adalah cara
pengarang menyajikan peristiwa yang ada dalam cerita, serta pikiran
6) Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) merupakan strategi, teknik,
siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya.
Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:
a) Sudut pandang orang pertama “Aku“, yaitu pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama,
mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan
mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
b) Sudut pandang orang ketiga “Dia”, pengarang menggunakan
sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari
luar daripada terlibat di dalam cerita, pengarang biasanya
menggunakan kata ganti orang ketiga.
c) Sudut pandang campuran, pengarang menggunakan sudut
pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, Ia serba
melihat, serba mendengar dan serba tahu. Ia melihat sampai ke
dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang
paling dalam dari tokoh.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang
berasal dari luar karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan,
lebih banyak berkonsentrasi pada persitiwa dan sudut pandang
penceritaan.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 23), unsur ekstrinsik novel adalah
unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Sementara itu,
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2007: 24) menjelaskan
bahwa unsur yang dimaksud antara lain adalah subjectivitas individu
pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
semuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.
Pendek kata, unsur sosiologi, biografi pengarang, keadaan
lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya dapat menentukan ciri karya
sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain
misalnya pandangan hidup suatu bangsa (Nurgiyantoro, 2007: 24).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur ekstrinsik sangat berpengaruh
besar terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan
sudut pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan
ekonomi, sosial, dan budaya.
3. Jenis-jenis Novel
Novel dapat dibedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel.
Berdasarkan isinya, Mohtar Lubis (dalam Tarigan, 1984: 165) mengatakan
bahwa novel sama dengan roman. Oleh karena itu, roman dibagi menjadi
roman avontur, roman psikologis, roman detektif, roman sosial, roman
Berikut ini adalah pembagian novel menurut Mohtar Lubis (dalam
Tarigan, 1984: 165):
a. Novel Avontur, memusatkan kisahnya pada seorang lakon atau hero
melalui garis cerita yang kronologis dari A sampai Z.
b. Novel Psikologis, ditujukan pada pemeriksaan seluruhnya dari semua
pikiran-pikiran para pelaku.
c. Novel Detektif, memusatkan penceritaannya pada usaha pencarian
tanda bukti, baik berupa seorang pelaku atau tanda-tanda.
d. Novel Sosial Politik, novel ini memberi gambaran antara dua golongan
yang bentrok pada suatu waktu.
e. Novel Kolektif, novel ini novel yang paling sukar dan banyak seluk
beluknya. Individu sebagai pelaku tidak dipentingkan, tetapi lebih
mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas.
Lebih lanjut, Lukas dan Faruk (1994: 18-19) menjelaskan bahwa
novel terdiri dari tiga jenis, yaitu novel idealis abstrak, novel romantisme
keputusan, dan novel pendidikan. Berikut adalah penjelasannya:
a. Novel idealisme abstrak yaitu novel yang menampilkan tokoh yang
masih ingin bersatu dengan dunia. Novel ini masih memperlihatkan
suatu idealisme. Akan tetapi karena persepsi tokoh itu tentang dunia
bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran yang sempit, idealismenya
menjadi abstrak.
b. Novel romantisme keputusan yaitu novel yang menampilkan kesadaran
sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Itulah
sebabnya sang hero cenderung pasif dan cerita berkembang menjadi
analisis psikologis semata-mata.
c. Novel pendidikan yaitu yang berada di antara kedua jenis tersebut.
Dalam novel ini, sang hero di satu pihak mempunyai interioritas, tetapi
di lain pihak juga ingin bersatu dengan dunia, karena ada interaksi
antara dirinya dengan dunia, hero itu mengalami kegagalan. Oleh
karena mempunyai interioritas, ia menyadari sebab kegagalan itu.
Sedangkan pembagian novel berdasarkan mutunya menurut
Zulfahnur (1996: 72) dapat dibagi menjadi novel populer dan novel literer.
Novel populer adalah novel yang menyuguhkan problematika kehidupan
yang berkisar pada cinta asmara yang sederhana dan bertujuan menghibur.
Sedangkan novel literer disebut juga novel serius karena keseriusan atau
kedalaman masalah-masalah kehidupan kemanusiaan yang diungkapkan
pengarangnya. Dengan demikian, novel ini menyajikan
persoalan-persoalan kehidupan manusia secara serius, filsafat, dan langgeng (abadi)
yang bermanfaat bagi penyempurnaan dan arifnya kehidupan manusia,
disamping pesona hiburan dan nikmatnya cerita semata.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka novel dapat
dibagi berdasarnya isinya, yakni novel petualangan, novel humor, novel
sosial, dan novel psikologi. Sedangkan berdasarkan mutunya dapat dibagi
4. Ciri-ciri Novel
Sebuah novel memiliki beberapa ciri yang dapat dijadikan sebagai
pegangan untuk mengetahui apakah novel atau bukan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Tarigan (1984:170) menyebutkan bahwa ciri-ciri novel
antara lain:
a. Jumlah kata lebih dari 35.000 kata;
b. Jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan buat membaca novel yang
paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit;
c. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman;
d. Novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku;
e. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi;
f. Skala novel luas;
g. Seleksi pada novel lebih luas;
h. Kelajuan pada novel kurang cepat;
i. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan.
B. Nilai Pendidikan Islam 1. Pengertian Nilai
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan (Purwadarminta, 1991: 677). Maksudnya kualitas yang
memang membangkitkan respon penghargaan (Titus, 1984: 122). Nilai itu
praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga
secara obyektif di dalam masyarakat (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993:
Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha (1996: 61)
mengartikan nilai sebagai berikut:
“Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.”
Sedang menurut Chabib Thoha (1996: 60) nilai merupakan sifat
yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan
dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini). Jadi nilai
adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan
tingkah laku.
2. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata
education. Menurut Frederick J. MC. Donald adalah (1959: 4): “Education
in the sense used here, is a process or an activity which is directed at
producing desirable changes in the behavior of human being”(pendidikan
merupakan arti yang digunakan disini, adalah proses atau kegiatan yang
diarahkan untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah
laku manusia).
Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja
(1981: 257) ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan
ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai usaha menyiapkan agar
Dari kedua pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat
disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha
manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui
transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang
tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya
dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan
yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
Sedang pendidikan Islam menurut Ahmad D Marimba (1989: 23)
adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum
agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Senada dengan pendapat di atas, menurut Chabib Thoha
(1996: 99) pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan
tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek
pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam
Al-Qur‟an dan Hadits.
Menurut Achmadi (1992: 20) mendefinisikan pendidikan Islam
adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah
manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam
atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim.
Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli,
namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita
dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk
mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam menuju
terbentuknya manusia ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan
berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Jadi nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal yang
melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia
untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada Allah SWT.
Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada
waktu itu adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik
padanya.
3. Landasan Nilai Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan
sosial yang membawa penganutnya pada pengaplikasian Islam dan
ajaran-ajarannya kedalam tingkah laku sehari-hari. Karena itu, keberadaan
sumber dan landasan pendidikan Islam harus sama dengan sumber Islam
itu sendiri, yaitu Al-Qur‟an dan As Sunah (An-Nahlawi, 1995: 28).
Pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan
Islam ialah pandangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur
yang bersifat universal yakni Al-Qur‟an dan As-Sunnah juga pendapat
para sahabat dan ulama sebagai tambahan. Hal ini senada dengan pendapat
Ahmad D. Marimba yang menjelaskan bahwa yang menjadi landasan atau
Al-Qur‟an dan Al-Hadits menjadi pondamen, karena menjadi sumber
kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan (1981: 19).
a. Al-Qur’an
Kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber dapat dilihat dari
kandungan surat Al-Baqarah ayat 2:
orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah : 2)Selanjutnya firman Allah SWT dalam surat Asy-Syura ayat 17:
“Allah SWT yang telah menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan neraca keadilan.” (QS. Asyuura : 17)
Di dalam Al-Qur‟an terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai
contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman yang mengajari anaknya
dalam surat Luqman. (Zakiyah Darajat, 1995: 53)
Al-Qur‟an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan
membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman
berbagai problem hidup apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran
rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi
stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat. (M. Quraisy
Dari pengertian para ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Al-Qur‟an dapat diartikan sebagai petunjuk dan pedoman yang
dibutuhkan oleh semua manusia.
b. As-Sunnah
Setelah Al-Qur‟an, pendidikan Islam menjadikan As-Sunnah
sebagai dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah sunnah berarti
jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang
dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan,
perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw. (An-Nahlawi, 1995: 31)
Sebagaimana Al-Qur‟an, As-Sunnah berisi petunjuk-petunjuk
untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina
manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan
As-Sunnah memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu:
1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam
Al-Qur‟an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya.
2) Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw
bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang
dilakukannya. (An-Nahlawi, 1995: 47)
c. Perkataan, Perbuatan, dan Sikap Para Sahabat Rosulullah SAW Pada masa Khulafa al-Rasyidin, sumber pendidikan Islam sudah
mengalami perkembangan. Perkataan, sikap, dan perbuatan para
yang memberikan pernyataan (Ramayulis, 2011: 125). Firman Allah
SWT dalam Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 100:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan merekapun ridlo kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah: 100)
d. Ijtihad
Karena Al-Qur‟an dan Hadits banyak mengandung arti umum,
maka para ahli hukum dalam Islam menggunakan ijtihad untuk
menetapkan hukum tersebut. Munurut Ramayulis (2011: 128), usaha
ijtihad para ahli dalam merumuskan teori pendidikan Islam dipandang
sebagai hal yang sangat penting bagi pengembangan teori pendidikan
pada masa yang akan datang, sehingga pendidikan Islam tidak
melegitimasi status quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi
terhadap khazanah pemikiran para orientalis dan sekularis.
e. Maslahah Mursalah
Menurut Zaid (dalam Ramayulis, 2011: 129), maslahah
mursalah yaitu menetapkan peraturan atau ketetapan undang-undang
yang tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah atas pertimbangan
Para ahli pendidikan sejak dini harus mempunyai persiapan
untuk merancang dan membuat peraturan sebagai pedoman pokok
dalam proses berlangsungnya pendidikan sehingga pelaksanaan
pendidikan Islam tidak mengalami hambatan. Kegiatan ini tidak
semuanya diterima oleh Islam, dibutuhkan catatan khusus sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf (dalam Ramayulis, 2011: 129)
sebagai berikut:
1) Keputusan yang diambil tidak menyalahi keberadaan Al-Qur‟an dan
Sunnah.
2) Apa yang diusahakan benar-benar membawa kemaslahatan dan
menolak kemudhorotan setelah melalui tahapan-tahapan observasi
penganalisaan.
3) Kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang baru
universal yang mencakup totalitas masyarakat.
f. ‘Urf (Nilai-nilai dan Adat Istiadat Masyarakat)
„Urf adalah sesuatu perbuatan dan perkataan yang menjadikan
jiwa merasa tenang mengerjakan suatu perbuatan, karena sejalan
dengan akal sehat yang diterima oleh tabiat yang sejahtera (Ramayulis,
2011: 130). Namun tidak semua tradisi yang dapat dijelaskan dasar
ideal pendidikan Islam, melainkan setelah melalui seleksi terlebih
dahulu. Mas‟ud Zuhdi (dalam Ramayulis, 2011: 130) mengemukakan
1) Tidak bertentangan dengan ketentuan nash baik Al-Qur‟an maupun
Sunnah.
2) Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat
yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan,
dan kemudlorotan.
Jadi pada intinya, landasan nilai pendidikan yang mendasari
seluruh kegiatan di muka bumi ini adalah nilai-nilai luhur yang bersifat
universal yang bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah (nilai yang
Illahi). Selain nilai-nilai yang bersumber Ilahiyah, juga terdapat nilai
yang bersumber dari duniawi yang berupa pemikiran, adat istiadat, dan
kekayaan alam. Sumber nilai duniawi tersebut bisa digunakan oleh
manusia sepanjang tidak menyimpang dari sistem nilai yang bersumber
dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
4. Tujuan Nilai Pendidikan Islam
Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan
selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian
tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik
setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya
dimana individu hidup. (Zuhairini, 1995: 159)
Adapun tujuan pendidikan Islam ini tidak jauh berbeda dengan
yang dikemukakan para ahli. Menurut Ahmadi (1992: 63) tujuan
peranannya sebagai makhluk Allah SWT yaitu semata-mata hanya
beribadah kepada-Nya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an:
mereka menyembahku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)Yusuf Amir Faisal (1995: 96) merinci tujuan pendidikan Islam
sebagai berikut:
a. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah
mahdloh.
b. Membentuk manusia muslim disamping dapat melaksanakan ibadah
mahdlah dapat juga melaksanakan ibadah muamalah dalam
kedudukannya sebagai orang per orang atau sebagai anggota
masyarakat dalam lingkungan tertentu.
c. Membentuk warga negara yang bertanggungjawab pada Allah SWT
sebagai pencipta-Nya.
d. Membentuk dan mengembangkan tenaga professional yang siap dan
terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki
masyarakat.
e. Mengembangkan tenaga ahli dibidang ilmu agama dan ilmu -ilmu Islam
yang lainnya.
Berdasarkan penjelasan dan rincian tentang tujuan pendidikan
maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan nilai pendidikan Islam
a. Tujuan pertama adalah menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan
kepada Allah SWT.
b. Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan sikap dan jiwa yang
selalu beribadah kepada Allah SWT.
c. Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul
karimah.
d. Memperluas pandangan hidup dan wawasan keilmuan sebagai makhluk
individu dan sosial.
5. Jenis Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Banyak pendapat para ahli tentang jenis dan nilai-nilai pendidikan
Islam. Menurut Ramayulis (dalam Fauziah, 2011: 40), nilai-nilai
pendidikan Islam dibagi menjadi tiga, yaitu: nilai aqidah (keyakinan) yang
berhubungan secara vertikal dengan Allah SWT (hablun minallah); nilai
syari‟ah (pengalaman) implementasi dari aqidah hubungan horizontal
dengan manusia (hablun minannas); dan nilai akhlak (etika vertikal
horizontal). Sementara itu menurut Zulkarnain (2008: 26), nilai-nilai
pendidikan Islam terbagi menjadi empat, yaitu nilai tauhid/aqidah, nilai
ibadah („ubudiyah), nilai akhlak, dan nilai kemasyarakatan.
Untuk lebih detailnya, maka di bawah ini adalah penjabaran
tiap-tiap nilai pendidikan Islam yang diutarakan di atas.
a. Nilai Pendidikan Tauhid/Aqidah/Religius
Secara etimologi akidah berasal dari kata “aqaid” jamak dari
Afriatin dkk (1997: 94) mendefinisikan sebagai “sesuatu yang
mengharuskan hati membenarkannya, membuat jiwa tenang, dan
menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.”
Menurut Zulkarnain (2008: 27), aspek pengajaran tauhid/aqidah
dalam dunia pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses
pemenuhan fitrah bertauhid. Fitrah bertauhid merupakan unsur hakiki
yang melekat pada diri manusia sejak penciptaannya. Ketika berada di
dalam arwah, manusia telah mengikrarkan ketauhidannya itu,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah QS. Al-A‟raf ayat 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A‟raf: 172)
b. Nilai Pendidikan Syari’ah
Pengertian syari‟ah secara etimologi menurut Ali (dalam
Fauziah, 2011: 42) adalah jalan ke sumber (mata) air karena dahulu (di
Arab) orang mempergunakan kata syari‟ah untuk sebutan jalan setapak
menuju ke sumber (mata) air yang diperlukan manusia untuk minum
Pendidikan Agama Islam (2009: 64) mengemukakan bahwa dalam
istilah Islam, syari‟ah berarti jalan besar untuk kehidupan yang baik,
yakni nilai-nilai agama yang dapat memberi petunjuk bagi setiap
manusia.
Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syari‟ah
erat kaitannya dengan ibadah karena syari‟ah merupakan petunjuk bagi
seseorang dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu beribadah. Dalam
pembagiannya, ibadah memiliki dua jalur, yaitu jalur vertikal dan jalur
horizontal.
1) Jalur vertikal, yaitu aspek ibadah yang menjalin hubungan utuh dan
langsung dengan Allah (hablun minallah), dan juga merupakan bukti
dari kepatuhan manusia memenuhi perintah Allah (Zulkarnain, 2008:
28). Manusia sebagai makhluk cipataan Allah mempunyai kewajiban
beribadah kepada Allah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah
QS. Az-Zariyat ayat 56: mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)
2) Jalur horizontal, yaitu dimana manusia dalam menjalani
kehidupannya akan senantiasa bergantung pada manusia lainnya,
maka dikatakan makhluk sosial. Hal ini disebabkan manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri, ia
akan bergabung dengan manusia lain dalam rangka pemenuhan
Dalam syari‟ah Islam, hal ini merupakan ibadah dalam rangka
menjaga hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas).
Allah menciptakan manusia dengan beraneka ragam ras dan
suku bangsa dengan tujuan supaya manusia-manusia tersebut saling
mengenal, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
c. Nilai Pendidikan Akhlak
Akhlak menjadi masalah yang penting dalam perjalanan hidup
manusia. Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab jama‟ dari
bentuk tunggalnya “khuluqun” yang menurut logat berarti: budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat (Zahruddin dan Sinaga, 2004: 1).
Sedangkan secara terminologi, Imam Al-Ghazali (dalam Zahruddin dan
Sinaga, 2004: 4) menyatakan bahwa akhlak ialah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran terlebih
dahulu.
Melihat pengertian akhlak di atas, maka istilah akhlak bisa
diungkapkan oleh Atkinson (dalam Darmadi, 2009: 30) yang
menyatakan bahwa moral adalah “views about good and bad, right and
wrong, what ought or ought not to do” (pandangan tentang baik dan
buruk, benar dan salah, apa yang seharusnya atau tidak seharusnya
dilakukan).
Nilai pendidikan akhlak yang dimaksud tentu saja haruslah
sesuai dengan ajaran Islam. Dalam akhlak Islam, norma-norma baik dan
buruk telah ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Hadits. Oleh karena itu,
Islam tidak merekomendasikan kebebasan manusia untuk menentukan
norma-norma akhlak secara otonom (Zulkarnain, 2008: 29).
Bagi umat Islam, panutan akhlak dalam kehidupan sehari-hari
tentu saja akhlak Rosulullah SAW. Hal tersebut diungkapkan dalam
firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al -Ahzab: 21)
Menurut Zulakarnain (2008: 29), puncak dari akhlak itu adalah
pencapaian prestasi berupa:
1) Irsyad, yakni kemampuan membedakan antara amal yang baik dan
2) Taufiq, yaitu perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Rosulullah
SAW dengan akal sehat.
3) Hidayah, yakni gemar melakukan perbuatan baik dan terpuji serta
menghindari yang buruk dan tercela.
C. Biografi Penulis
Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau
Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Fuadi
merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah
agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustadz
yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Gontor pula yang mengajarkan kepadanya “mantra” sederhana yang sangat
kuat, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.
Setelah lulus Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi
wartawan majalah Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportase di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Pada tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di
School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA.
Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya yang juga wartawan
Tempo. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of America (VOA). Berita bersejarah seperti tragedi 11 September
dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan
Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia
mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal
scholarship hunter, Fuadi selalu bersemangat melanjutkan sekolah dengan mencari beasiswa. Sampai sekarang, Fuadi telah mendapatkan 8 beasiswa
untuk belajar di luar negeri. Dia telah mendapatkan kesempatan tinggal
dan belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris. Penyuka
forografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature Conservacy,
sebuah NGO konservasi internasional. Kini, Fuadi sibuk menulis, jadi
pembicara dan motivator, mulai menggarap film, serta membangun
yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu –
Komunitas Menara.
Negeri 5 Menara, karya pertama Fuadi, telah mendapatkan beberapa penghargaan, antara lain nominasi Khatulistiwa Literary Award
2010, Penulis dan Buku Fiksi Terfavorit 2010 versi Anugerah Pembaca
Indonesia. Sedangkan tahun 2011, Fuadi dianugerahi Liputan 6 Award,
SCTV untuk kategori Motivasi dan Pendidikan.
Lewat latar belakang pendidikan pesantren, Ahmad Fuadi telah berkarya nyata untuk masyarakat melalui pemikiran dan aktivitasnya bersama Komunitas 5 Menara. Karena pesantrenlah yang sangat memengaruhi hidup Ahmad Fuadi. Pesan dari peraih
penghargaan Liputan6 Award, SCTV untuk Kategori Pendidikan dan
Motivasi 2011 ini adalah:
“Menulis itu lebih kuat dari peluru. Misalnya kalau orang ditembak,
kemungkinan besar orang itu mati, tapi pelurunya hanya tinggal di kepala orang itu saja. Tapi kalau orang menulis tulisan yang kuat, satu tulisan atau satu kalimat atau satu kata itu akan menembus tak cuma satu kepala orang, bisa ratusan, bisa ribuan, bisa jutaan orang. Dan itu luar bisa pengaruhnya
44 BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Deskripsi Novel RANTAU 1 MUARA
1. Unsur Ekstrinsik Novel Rantau 1 Muara
Unsur ekstrinsik yang terkandung dalam novel Rantau 1 Muara adalah
sebagai berikut:
1. Nilai Budaya
2. Nilai moral
3. Nilai agama
2. Unsur Intrinsik Novel Rantau 1 Muara 1. Tema Novel
Tema yang diambil dalam novel Rantau 1 Muara karya
Ahmad Fuadi yaitu bertema “perjuangan dan cinta”. Novel ini
menceritakan perjalanan hidup Alif Fikri dalam mencapai
tujuannya untuk sekolah di Amerika dan menikah dengan seorang
gadis yang sangat dikaguminya. Tujuan sang tokoh untuk belajar di
Amerika tampak pada penggalan novel sebagai beriku : “ keajaiban
injury time terjadi hanya dalam hitungan seminggu. Hari ini aku
mendapat e-mail resmi dari dua fakultas komunikasi yang bagus di
East Coast. Boston University dan George Washington DC.
Mereka telah menyetujui aplikasi S-2ku “.(Ahmad Fuadi, 2013:
Selain itu Alif fikri juga memiliki tujuan untuk menikahi
pujaan hatinya yang telah ditaksirnya saat awal bertemu yaitu
Dinara yang merupakan teman sekantor hal tersebut tampak dalam
penggalan dalam novel sebagai berikut : “ pokok masalah yang
membebaniku adalah cara mempercepat lamaran, pernikahan, dan
memboyong Dinara ke Washington DC. Waktu kami hanya 2 bulan
lebih. Tapi bagaimana aku melakukan lamaran dari negeri yang
jauh ini ? “.(Ahmad Fuadi, 2013: 242)
Satu “mantra” yang menjiwai perjuangan tokoh utama
dalam novel ini adalah “man saara ala darbi washala ” (siapa yang
berjalan di jalannya akan sampai ditujuan).
2. Alur Cerita
Dalam novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi, terdapat
alur maju dan mundur. Salah satu bukti dari adanya alur maju
adalah sebagai berikut:
“Sebentar lagi ada sambutan dari pimpinan redaksi.Silahkan
gabung dengan semua wartawan baru di lantai tiga.” (Ahmad
Fuadi, 2013: 48)
Alur mundur yang membuat Alif bernostalgia waktu
mengaji di Surau di kampung.