• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pasien lain dan dari lingkungan yang tercemar kepada pasien. Hand hygiene

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pasien lain dan dari lingkungan yang tercemar kepada pasien. Hand hygiene"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi nosokomial atau yang saat ini lebih dikenal dengan Health-care Associated Infections (HAIs) adalah penyebab paling penting mortalitas dan morbiditas pasien di rumah sakit. Rumah sakit yang memiliki program pencegahan dan pengendalian infeksi, maka tingkat infeksi berkurang mendekati 32% (Murniati, 2013).

Banyak penyebab dari HAIs, salah satunya terkait dengan proses dan sistem kesehatan, seperti perilaku profesional yang terlibat. Tangan dari petugas kesehatan adalah pembawa mikroorganisme paling umum dari satu pasien ke pasien lain dan dari lingkungan yang tercemar kepada pasien. Hand hygiene

merupakan ukuran yang paling penting dalam tindakan pencegahan karena lebih efektif dan biaya rendah, diperkirakan dengan melaksanakan hand hygiene dampak pengurangan terhadap HAIs adalah 50% (Madrazo, 2009).

HAIs adalah infeksi yang didapatkan pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit (RS). HAIs masih menjadi permasalahan diseluruh dunia. Angka kejadian HAIs di Indonesia belum diketahui jumlahnya. Data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010, proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah dengan jumlah pasien 1.527 pasien dari jumlah pasien berisiko 160.417 (55,1%), sedangkan untuk rumah sakit swasta dengan jumlah pasien 991 pasien dari jumlah pasien berisiko 130.047 (35,7%), untuk rumah sakit

(2)

ABRI dengan jumlah pasien 254 pasien dari jumlah pasien berisiko 1.672 (9,1%). Plebitis adalah infeksi yang tertinggi dirumah sakit swasta atau pemerintah dengan jumlah pasien 2.168 pasien dari jumlah pasien berisiko 124.733 (1,7%) (Depkes RI, 2010).

Angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Berdasarkan Kepmenkes no. 129 tahun 2008, standar kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit sebesar ≤ 1, 5%. Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi di rumah sakit adalah phlebitis, yaitu inflamasi vena akibat pemasangan infus. Kepmenkes no. 129 tahun 2008 ditetapkan sebagai suatu standar minimal pelayanan rumah sakit, termasuk didalamnya pelaporan kasus infeksi nosokomial untuk melihat sejauh mana rumah sakit melakukan pengendalian terhadap infeksi ini. Data infeksi nosokomial dari surveilans infeksi nosokomial di setiap rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan pencegahan infeksi guna meningkatkan pelayanan medis bagi pasien (Kepmenkes, 2008).

Hasil survey tim Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar didapatkan data 144 kejadian infeksi nosokomial selama tahun 2011. Survey yang di lakukan di Instalasi Rawat Inap D terjadi 33 kejadian infeksi nosokomial, dimana 30 kejadian phlebitis dan 3 kejadian dekubitus. Penyebab dari terjadinya infeksi phlebitis bisa disebabkan oleh hygiene petugas dan penunggu pasien yang kurang melakukan cuci tangan dengan benar (Lindayati, 2012).

(3)

Berdasarkan studi yang dilakukan di rumah sakit di Maroko menunjukkan bahwa 17,6 % perawat yang mendapatkan infeksi, dan 50% terdapat di bagian ruang gawat darurat (Agoestina, 2012). Studi dokumentasi di unit Pengendalian Infeksi RSUP Dr. Djamil Padang didapatkan data bahwa hasil survei mikrobiologi (Hasil Pemeriksaan kultur usapan alat dan bahan) di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang pada bulan Januari 2010 menyatakan bahwa ditemukan kuman serta jamur berpotensi berbahaya di IGD (Putri, 2011).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 telah menetapkan kebijakan pengembangan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial (PPI) di rumah sakit. Pengelola rumah sakit wajib menyelenggarakan PPI serta membentuk komite dan tim PPI di rumah sakit. Program pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial merupakan unsur

patient safety. Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Kejadian infeksi di Indonesia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan bayi baru lahir. Selain itu, menyebabkan perpanjangan masa rawat inap bagi penderita. Resiko infeksi di rumah sakit atau yang biasa dikenal dengan infeksi nosokomial merupakan masalah penting di seluruh dunia. Infeksi ini terus meningkat dari 1% di beberapa negara Eropa dan Amerika, sampai lebih dari 40% di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Tujuan utama pengembangan program patient safety di rumah sakit dan fasiltas pelayanan kesehatan lainnya adalah, menciptakan budaya patient safety, memperbaiki akuntabilitas rumah

(4)

sakit, menurunkan angka HAIs dan melakukan pencegahan agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terulang kembali (Depkes RI, 2011).

Cuci tangan adalah tindakan paling utama dan menjadi satu-satunya cara mencegah serangan penyakit. Mencuci tangan adalah proses yang secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air. Cuci tangan juga bisa dilakukan dengan menggunakan agen antiseptik atau antimikroba. Agen antiseptic yang sering digunakan adalah penggosok tangan (handrub) antiseptic atau handrub yang berbasis alcohol. Penggunaan handrub antiseptic untuk tangan yang bersih lebih efektif membunuh flora residen dan flora transien daripada mencuci tangan dengan sabun antiseptik atau sabun biasa dan air (Depkes RI, 2009).

Perawat adalah tenaga medis yang selama 24 jam bersama dengan pasien yang dirawat di rumah sakit. Peran perawat sangat besar dalam proses penyembuhan pasien. Perawat dituntut mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang baik selama merawat pasien. Kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur tetap tindakan keperawatan, termasuk didalamnya prosedur mencuci tangan, menjadi salah satu penentu keberhasilan pencegahan infeksi nosokomial (Costy, 2013).

Tingkat kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan di Amerika Serikat masih sekitar 50%, di Australia masih sekitar 65%. Sama halnya dengan program cuci tangan yang sejak tahun 2008 dicanangkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tetapi kepatuhan perawat hanya sekitar 60%. Hal ini menjadi tantangan yang cukup serius bagi tim pengendali infeksi rumah sakit

(5)

untuk mempromosikan program cuci tangan (Perdalin, 2010 dalam Saragih & Rumapea 2012).

Berdasarkan penelitian Mulyani (2014) yang berjudul “Hubungan Kepatuhan Perawat dalam Cuci Tangan Enam Langkah Lima Momen dengan Kejadian Phlebitis di RSI Kendal” menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan enam langkah lima momen dengan kejadian phlebitis di RSI Kendal. Sejalan dengan penelitian Sukron (2013) yang berjudul “Tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Five Moment Hand Hygiene di Irna C RSUP Fatmawati, Sukron menemukan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat kepatuhan kurang sebesar 69,1%, kepatuhan sedang sebanyak 18,6% dan kepatuhan baik sebanyak 12,4%.

Pelaksanaan cuci tangan itu sendiri belum mendapat perhatian yang serius di berbagai RS di Indonesia, kegagalan dalam pelaksanaan cuci tangan dipicu oleh keterbatasan fasilitas cuci tangan, seperti: wastafel, handuk kertas, pengering tangan dan cairan antiseptik. Namun ketika sudah ada fasilitas, kendala berikutnya adalah kurangnya kesadaran petugas kesehatan (perawat) untuk melakukan prosedur cuci tangan (Saragih & Rumapea, 2012).

World Health Organization (WHO, 2009) menyatakan bahwa rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit

(6)

juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.

Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, yang dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Para petugas kesehatan bertugas di unit gawat darurat 24 jam sehari. Semua pasien yang masuk ke rumah sakit harus melewati IGD, kemudian dilihat dalam hal kegawatdaruratan pasien yang akan dilayani sesuai urutan prioritas gawatdaruratnya (Depkes, 2009).

Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah area di dalam sebuah rumah sakit yang dirancang dan digunakan untuk memberikan standar perawatan gawat darurat untuk pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak (Queensland Health ED, 2012). Unit IGD memiliki tujuan utama yaitu untuk menerima, melakukan triase, menstabilisasi, dan memberikan pelayanan kesehatan akut untuk pasien, termasuk pasien yang membutuhkan resusitasi dan pasien dengan tingkat kegawatan tertentu (Australian College for Emergency Medicine, 2014).

Salah satu kriteria penilaian pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga paramedik yang berada IGD, sehingga dapat dikatakan kualitas pelayanan IGD merupakan salah satu ujung tombak pemberian pelayanan kesehatan dari sebuah Rumah Sakit. Pelayanan IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman

(7)

pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi pengaruh dimana pengalaman besar bagi masyarakat akan memberikan gambaran tentang bagaimana kualitas pelayanan yang ada di Rumah Sakit itu sebenarnya (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan data pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga pada tanggal 24 Oktober 2016 didapatkan bahwa dari 25 perawat yang bertugas di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga hanya 65% yang melaksanakan hand hygiene

sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam setiap tindakan medis, sedangkan 35% tidak melaksanakan hand hygiene sesuai dengan prosedur, sehingga potensi timbulnya infeksi nosokomial pada pasien, keluarga, dan ataupun perawat yang bertugas dapat terjadi.

Hasil observasi yang dilakukan selama 1 hari 3 kali shift (pagi, siang, malam) terhadap 25 orang perawat yang bertugas di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga bahwa tingkat kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene memang masih kurang. Hal ini terlihat tidak semua perawat yang bertugas (35%) melaksanakan five moment hand hygiene dalam tindakan medis. Peneliti juga mengamati bahwa perawat yang melakukan hand hygiene tidak mengikuti bagaimana prosedur 6 langkah cuci tangan yang benar sesuai SOP. Data medis menyatakan bahwa angka kejadian infeksi yang terjadi di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tidak ada data yang tercatat secara medis tetapi kejadian timbulnya infeksi diketahui dengan adanya indikasi perawat yang sakit setelah beberapa hari bertugas menangani kasus pada pasien.

(8)

Hasil wawancara dari 15 perawat yang bertugas di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tanggal 24 Oktober 2016 didapatkan bahwa ada faktor-faktor yang menyebabkan belum optimalnya perilaku hand hygiene, yaitu: 9 orang perawat mengatakan fasilitas yang masih kurang mendukung, air yang sering mati, dan tidak adanya handuk/tisu pengering dan 6 orang perawat mengatakan tidak adanya supervisi terkait hand hygiene, kepala ruangan tidak melakukan pengamatan atau observasi langsung terkait pelaksanaan hand hygiene.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Tingkat Kepatuhan Perawat Melakukan Hand Hygiene

di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga”.

B. Perumusan masalah

Infeksi nosokomial merupakan masalah besar yang dihadapi rumah sakit. dan dapat disebarkan melalui kontak tangan. Hand Hygiene merupakan salah satu cara yang paling sederhana dan efektif untuk mencegah infeksi nosokomial. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

(9)

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga berdasarkan umur responden.

b. Mendeskripsikan tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga berdasarkan jenis kelamin.

c. Mendeskripsikan tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga berdasarkan pendidikan responden

d. Mendeskripsikan tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga berdasarkan masa kerja responden.

e. Mendeskripsikan tingkat kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga berdasarkan pengetahuan responden.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dengan cara mengaplikasikan teori-teori tentang hand hygiene.

2. Bagi Responden

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi responden sebagai informasi dan pengetahuan tentang pentingnya hand hygiene sebelum melakukan tindakan medis sebagai satu upaya pencegahan infeksi yang ditularkan melalui tangan.

(10)

3. Bagi instansi terkait

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur tetap tindakan keperawatan, khususnya didalam prosedur mencuci tangan, menjadi salah satu penentu keberhasilan pencegahan infeksi kesehatan.

4. Bagi ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai acuan atau referensi bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut tentang hand hygiene

untuk pencegahan infeksi dalam melakukan tindakan medis guna meningkatkan pelayanan medis bagi pasien.

E. Penelitian Terkait

1. Meida (2016), judul penelitian “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Hand Hygiene terhadap kepatuhan prosedur 6 langkah hand hygiene pada keluarga pasien di ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto”. Metode penelitian merupakan penelitan eksperimen dengan jenis pre-eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pendidikan kesehatan hand hygiene terhadap kepatuhan prosedur 6 langkah hand hygiene

pada keluarga pasien di ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dengan nilai rata-rata sesudah diberikan pendidikan kesehatan sebesar 4,0067 ±1,25762.

2. Sumariyem (2015), judul penelitian “Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Perawat dalam Praktik Hand Hygiene di Ruang Cendana IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

(11)

korelasi dengan menggunakan Crossectional Approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan perawat dalam praktik hand hygiene di ruang Cendana IRNA I RSUP Dr Sardjito Yogykarta dengan nilai signifikansi p < 0,05 yaitu sebasar 0,000 dan nilai koefisiensi sebasar 0,559.

3. Widyanita (2014), judul penelitian “Hubungan Tingkat Pengetahuan hand hygiene dengan Kepatuhan pelaksanaan hand hygiene pada peserta program pendidikan profesi dokter di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta”. Metode penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan dengan menggunakan crossectional approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada hubungan positif antara tingkat pengetahuan

kebersihan tangan dan pelaksanaan kepatuhan kebersihan tangan dengan hasil analisis menggunakan uji korelasi, 0,599 nilai korelasi, di mana p < 0,005, berhubungan positif.

4. Chavali (2014), judul “Hand Hygiene Compliance among Healthcare Workers in an Accredited Tertiary Care Hospital”. Metode penelitian ini adalah studi

observasional cross-sectional menggunakan teknik observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kepatuhan sesuai pedoman WHO. Kepatuhan perawat sebelum melakukan prosedur aseptik sebanyak 39%. Sebanyak 92% responden menyadari fakta-fakta yaitu penyakit dicegah dengan mencuci tangan, pengurangan perawatan kesehatan terkait infeksi. 5. Sukron (2013), judul “Tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan five

(12)

dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat kepatuhan kurang sebesar 69,1%, kepatuhan sedang sebanyak 18,6% dan kepatuhan baik sebanyak 12,4%. 6. Mahfouz (2013), Hand hygiene non-compliance among intensive care unit

health care workers in Aseer Central Hospital, south-western Saudi Arabia”.

Metode penelitian ini berupa pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung dari petugas kesehatan di unit perawatan intensif memberikan perawatan rutin, dengan menggunakan metode Organisasi

Kesehatan Dunia standar untuk pengamatan langsung

' Lima saat untuk kebersihan tangan ''. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

hand hygiene mempunyai faktor risiko yang besar terhadap ketidakpatuhan perawatan di rumah sakit.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah jumlah penduduk yang semakin bertambah berbanding terbalik dengan luas wilayah yang cenderung tetap sehingga banyak

2 Diagram Business Use Case Portal Wedding Organizer Menggunakan Sistem Informasi Geografis Berbasis Website Di Kabupaten Kudus .... 3 Diagram System Use Case Portal

Perencanaan Pemerintahan 60 menit Bukti Distribusi 8 x Bukti Distribusi 30 menit Masukan Stakeholder 9 x Masukan Stakeholder 300 menit Koreksi Draft Rancangan Awal

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Upaya guru dalam mengembangkan kreativitas anak usia dini yaitu melalui proses pembelajaran sentra yaitu: sentra imtaq, bahan

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah SMP Kemala Bhayangkari 1 Surabaya ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan dari adanya program pendidikan dan pelatihan dalam

Berdasarkan model yang terbentuk diatas dapat menjelaskan bahwa pada saat persentase tingkat partisipasi angkatan kerja kurang dari 62,53068 artinya adalah jika

Semua ekstrak metanol tanaman obat yang diuji tidak mempunyai pengaruh terhadap mortalitas dan kelangsungan hidup ulat. Babadotan dalam bentuk minyak mempunyai

Metode hipofisasi adalah usaha untuk memproduksi benih dari induk yang tidak mau memijah secara alami tetapi memiliki nilai jual tinggi dengan kelenjar hipofisasi dari ikan donor