• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPEDISI SNELLIUS I ( ): PENELITIAN LUBUK LAUT-DALAM DI NUSANTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSPEDISI SNELLIUS I ( ): PENELITIAN LUBUK LAUT-DALAM DI NUSANTARA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPEDISI SNELLIUS I (1929-1930):

PENELITIAN LUBUK LAUT-DALAM DI NUSANTARA

kspedisi penelitian laut yang dilaksanakan oleh Belanda dengan kapal Siboga di perairan Nusantara pada tahun 1899-1900 telah mencapai sukses besar yang diakui dunia. Tetapi ekspedisi ini lebih menitik-beratkan penelitiannya pada aspek biologi laut. Aspek oseanografi fisika dan kimia, masih sedikit tersentuh, apalagi aspek geologinya.

Setelah masa itu, kegiatan-kegiatan ekspedisi oseanografi berskala besar cenderung meredup ketika berkecamuknya Perang Dunia I yang melanda Eropa sekitar tahun 1914-1918. Tetapi tak lama kemudian Jerman segera bangkit kembali dengan meluncurkan Ekspedisi

Meteor tahun 1925 untuk melakukan kajian tentang oseanografi perairan Samudra Atlantik

bagian selatan. Penelitan dalam Ekspedisi Meteor ini merupakan salah satu kajian oseanografi yang paling mendalam atas suatu kawasan perairan dunia.

Gambar 1. Kapal Willebrord Snellius. Gambar inset: Komandan kapal, Lieutenant Commander F. Pinke.

Apa yang dilakukan oleh Ekspedisi Meteor dari Jerman ini ternyata memberikan inspirasi bagi seorang hidrografer Belanda, Commander Luymes, untuk mengusulkan kepada

(2)

Gambar 2. P.M. van Riel, pemimpin Ekspedisi Snellius I

Society for Scientific Research in the Netherlands Colonies dan Royal Netherlands

Geographical Society pada tahun 1925, untuk melakukan ekspedisi oseanografi ke perairan

laut-dalam di bagian timur Hindia Belanda (Nusantara), tetapi dengan lebih menitik beratkan pada aspek oseanografi fisika dan geologi yang dulu luput dari perhatian Ekspedisi Siboga (1899-1900). Usulan ini ternyata mendapat sambutan yang hangat, dan kemudian segeralah dibentuk Panitia (Committee) untuk mempersiapkan rencananya yang detail. Panitia ini ketuai oleh Dr. J.C. Koningsberger, seorang tokoh yang sebelumnya pernah bertugas di Batavia (Jakarta), sebagai pendiri Visscherij Laboratorium te Batavia, lembaga yang merupakan

cikal bakal dan awal sejarah kelembagaan kelautan di Nusantara. Selain itu, Prof. Max Weber, yang sebelumnya adalah pemimpin Ekspedisi Siboga (1899-1900), dan Frederick Tydeman, hidrografer sekaligus mantan komandan kapal Siboga (yang kini telah menjadi admiral/ laksamana), ikut pula duduk dalam Panitia Persiapan ini. Pendekatan dan lobbying pun dilakukan dengan berbagai pihak untuk penggalangan dana (fund raising) yang dilakukan sampai tahun 1927. Pemerintah Hindia Belanda tampaknya masih akan melanjutkan kebijakan politik bermata ganda yang dikenal sebagai gunboat-science policy pada zaman Ekspedisi Siboga, yakni dengan mengibarkan bendera Belanda (showing the flag) sebagai simbol kehadiran Pemerintah Kolonial ke seluruh wilayah Nusantara, sementara itu melaksanakan ekspedisi yang merintis kemajuan ilmu kelautan. Mengacu pada kebijakan itu maka Pemerintah Kolonial pun bersedia untuk menyediakan satu kapal untuk keperluan ekspedisi, dan bersedia pula menanggung biaya bagi anak buah kapal, logistik, dan kebutuhan lainnya yang terkait. Namun kapal untuk keperluan itu belum ada, baru akan dibangun. Kondisi ini memberikan keuntungan, karena merupakan saat yang tepat untuk melakukan modifikasi kapal dan perlengkapannya disesuaikan dengan kebutuhan ekspedisi mendatang.

Pembangunan kapal itu dilaksanakan di galangan Feyenoord di Rotterdam, baru selesai dan diluncurkan pada bulan November 1928. Kapal baru ini, yang masuk dalam jajaran kapal hidrografi Angkatan Laut Hindia Belanda, diberi nama Willebrord Snellius (Gambar 1), mengambil nama dari seorang ilmuwan Belanda yang hidup di tahun 1580-1626, yang tersohor

(3)

sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi, fisika, dan matematika. Selanjutnya kapal baru itu lebih populer dengan nama singkatnya “Snellius” saja. Kapal ini berukuran panjang 62 meter, bagian terlebar 9,7 meter, berbobot 1.055 ton, dan digerakkan dengan mesin berbahan bakar minyak.

Gambar 3. Titik-titik stasiun oseanografi yang dikerjakan dalam Ekspedisi

Snellius I (1929-1930). (van Kampen, 2005)

Uji berlayar (sea trial) dilakukan pada bulan Februari 1929 dalam cuaca musim dingin, dan kapal Snellius sempat terperangkap dalam lautan es yang membeku. Tetapi pelayaran perdana itu berjalan mulus dan beberapa minggu kemudian, tanggal 9 Maret 1929, Snellius sudah dapat bertolak dari pelabuhan Den Helder menuju Surabaya. Setelah singgah di pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) Padang, akhirnya kapal itu tiba di Surabaya tanggal 30 Mei 1929. Selama dalam pelayaran dari Den Helder ke Surabaya, semua instrumen yang telah terpasang di kapal, yang akan digunakan dalam ekspedisi, diuji-cobakan.

Tanggal 27 Juli 1929 Snellius bertolak dari Surabaya menuju daerah operasi di bagian timur Nusantara, antara Paparan Sunda (Sunda Shelf) dan Paparan Sahul (Sahul Shelf). Hari itu sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi, fisika, dan matematika. Selanjutnya kapal baru itu lebih populer dengan nama singkatnya “Snellius” saja. Kapal ini berukuran panjang 62 meter, bagian terlebar 9,7 meter, berbobot 1.055 ton, dan digerakkan dengan mesin berbahan bakar minyak.

Gambar 3. Titik-titik stasiun oseanografi yang dikerjakan dalam Ekspedisi

Snellius I (1929-1930). (van Kampen, 2005)

Uji berlayar (sea trial) dilakukan pada bulan Februari 1929 dalam cuaca musim dingin, dan kapal Snellius sempat terperangkap dalam lautan es yang membeku. Tetapi pelayaran perdana itu berjalan mulus dan beberapa minggu kemudian, tanggal 9 Maret 1929, Snellius sudah dapat bertolak dari pelabuhan Den Helder menuju Surabaya. Setelah singgah di pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) Padang, akhirnya kapal itu tiba di Surabaya tanggal 30 Mei 1929. Selama dalam pelayaran dari Den Helder ke Surabaya, semua instrumen yang telah terpasang di kapal, yang akan digunakan dalam ekspedisi, diuji-cobakan.

Tanggal 27 Juli 1929 Snellius bertolak dari Surabaya menuju daerah operasi di bagian timur Nusantara, antara Paparan Sunda (Sunda Shelf) dan Paparan Sahul (Sahul Shelf). Hari itu sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi, fisika, dan matematika. Selanjutnya kapal baru itu lebih populer dengan nama singkatnya “Snellius” saja. Kapal ini berukuran panjang 62 meter, bagian terlebar 9,7 meter, berbobot 1.055 ton, dan digerakkan dengan mesin berbahan bakar minyak.

Gambar 3. Titik-titik stasiun oseanografi yang dikerjakan dalam Ekspedisi

Snellius I (1929-1930). (van Kampen, 2005)

Uji berlayar (sea trial) dilakukan pada bulan Februari 1929 dalam cuaca musim dingin, dan kapal Snellius sempat terperangkap dalam lautan es yang membeku. Tetapi pelayaran perdana itu berjalan mulus dan beberapa minggu kemudian, tanggal 9 Maret 1929, Snellius sudah dapat bertolak dari pelabuhan Den Helder menuju Surabaya. Setelah singgah di pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) Padang, akhirnya kapal itu tiba di Surabaya tanggal 30 Mei 1929. Selama dalam pelayaran dari Den Helder ke Surabaya, semua instrumen yang telah terpasang di kapal, yang akan digunakan dalam ekspedisi, diuji-cobakan.

Tanggal 27 Juli 1929 Snellius bertolak dari Surabaya menuju daerah operasi di bagian timur Nusantara, antara Paparan Sunda (Sunda Shelf) dan Paparan Sahul (Sahul Shelf). Hari itu

(4)

menandai dimulainya secara resmi Ekspedisi Snellius. Ekspedisi ini berjalan selama setahun lebih, berakhir dengan resmi ketika Snellius kembali ke Surabaya pada tanggal 15 November 1930. Total jarak yang ditempuh selama Ekspedisi Snellius ini adalah sekitar 34.000 mil.

Ekspedisi Snellius ini yang berlangsung di tahun 1929-1930 sering pula dijuluki sebagai Espedisi Snellius I, karena sekitar 50 tahun kemudian ekspedisi serupa diulangi lagi tahun 1984-1985 dan diberi nama Ekspedisi Snellius II.

Gambar 4. Atas: Lubuk dan palung laut-dalam di perairan Nusantara. Nama-nama untuk angka Rumawi dicantumkan dalam Tabel 1. Tanda panah menunjukkan arah

masuknya pasokan air ke dalam lubuk atau palung. Bawah: Arah pemasokan air, suhu potensial dan salinitas pada lubuk dan palung yang tertera dalam gambar atas

(5)

Tabel 1. Lubuk dan palung di perairan Nusantara (lokasi lihat Gambar 4). (Sumber: van Riel, 1934)

Lubuk atau Palung Batas garis

kedalaman (m) Kedalaman maksimum (m) Luas (km2) I Lubuk Sulu 4.800 5.350 46.600 II Palung Mindanao 6.000 10.830

-III Palung Talaud 3.000 3.450 2.700

IV Palung Sangihe 3.000 3.850 10.000

V Lubuk Sulawesi 4.000 6.220 26.000

VI Lubuk Morotai 3.000 3.890 1.500

VII Palung Ternate 3.000 3.450 1.000

VIII Lubuk Bacan 3.000 4.810 6.800

IX Lubuk Mangole 3.000 3.510 1.900

X Lubuk Gorontalo 3.000 4.180 14.000

XI Palung Makassar 2.000 2.540 55.000

XII Lubuk Halmahera 1.000 2.039 15.000

XIII Lubuk Buru 3.000 5.319 16.000

XIV Lubuk Banda Utara 4.000 5.800 80.000

XV Lubuk Banda Selatan 4.000 5.400 120.000

XVI Palung Weber 4.000 7.440 50.000

XVII Lubuk Manipa 3.000 4.360 2.800

XVIII Lubuk Ambalau 4.000 5.330 7.000

XIX Lubuk Aru 3.000 3.650 11.000

XX Lubuk Buton 4.000 4.180 1.200

XXI Lubuk Selayar 2.000 3.370 4.000

XXII Lubuk Flores 3.000 5.130 30.000

XXIII Lubuk Bali 1.000 1.500 19.000

XXIV Lubuk Sawu 3.000 3.470 30.000

XXV Lubuk Wetar 3.000 3.460 6.000

XXVI Palung Timor 2.000 3.310 33.000

XXVII Palung Jawa 6.000 7.100

-Seperti telah dikemukakan di depan, fokus penelitian dalam Ekspedisi Snellius I ini adalah dalam bidang oseanografi fisika, kimia dan geologi perairan laut-dalam Nusantara. Perhatian utama diberikan untuk mendapatkan gambaran tentang struktur dan gerakan massa air di kawasan Nusantara bagian timur. Namun beberapa kegiatan pelengkap juga dilaksanakan yang meliputi biologi dan geologi terumbu karang.

Ekspedisi Snellius I ini dipimpin oleh P. M. van Riel, seorang purnawirawan Angkatan Laut Belanda, yang menjadi kepala bagian oseanografi dan meteorologi maritim di KNMI (Royal Netherlands Meteorological Institute/ Lembaga Meteorologi Kerajaan Belanda). Sementara itu yang menjadi komandan kapal adalah Lieutenant Commander F. Pinke. Ternyata

(6)

untuk membentuk tim ekspedisi yang kuat dan lengkap tidaklah mudah. Sangat sulit mencari tenaga akademisi yang berlatar belakang pendidikan kelautan. Untuk mengisi kekosongan itu terpaksa beberapa tenaga dikontrak, tetapi hanya untuk untuk selama berlangsungnya pelayaran ekspedisi saja, yakni seorang tenaga untuk bidang fisika (Dr. Hamaker) dan kimia (Dr. Boelman dan Dr. Hardon). Tenaga inti untuk bidang biologi adalah Prof. Boschma dari University of

Utrecht, sedangkan untuk bidang geologi adalah Dr. Kuenen, dari University of Groningen.

Istri van Riel, yakni van Riel-Verloop, ikut serta pula sebagai sekretaris ekspedisi, tetapi sekaligus juga merangkap sebagai analis kimia. Banyaknya sampel kimia yang harus dianalisis di kapal memerlukan tambahan empat orang pelaut sebagai relawan, yang sebelumnya sudah dilatih untuk pekerjaan kimia di University of Utrecht dan Zoologial Station di Den Helder. Diantaranya terdapat dua orang sebagai teknisi spesialis asal Indonesia, masing-masing Kartodihardjo di bidang geologi dan Erie untuk bidang biologi.

Gambar 5 . Sebaran sedimen laut-dalam di kawasan timur Nusantara. V, lumpur

volcanic; V-T, lumpur volcanic-terrigeneous; T, lumpur terrigenous; RC,

lumpur merah (red clay); GL, Globigerina. (Kuenen, 1950)

untuk membentuk tim ekspedisi yang kuat dan lengkap tidaklah mudah. Sangat sulit mencari tenaga akademisi yang berlatar belakang pendidikan kelautan. Untuk mengisi kekosongan itu terpaksa beberapa tenaga dikontrak, tetapi hanya untuk untuk selama berlangsungnya pelayaran ekspedisi saja, yakni seorang tenaga untuk bidang fisika (Dr. Hamaker) dan kimia (Dr. Boelman dan Dr. Hardon). Tenaga inti untuk bidang biologi adalah Prof. Boschma dari University of

Utrecht, sedangkan untuk bidang geologi adalah Dr. Kuenen, dari University of Groningen.

Istri van Riel, yakni van Riel-Verloop, ikut serta pula sebagai sekretaris ekspedisi, tetapi sekaligus juga merangkap sebagai analis kimia. Banyaknya sampel kimia yang harus dianalisis di kapal memerlukan tambahan empat orang pelaut sebagai relawan, yang sebelumnya sudah dilatih untuk pekerjaan kimia di University of Utrecht dan Zoologial Station di Den Helder. Diantaranya terdapat dua orang sebagai teknisi spesialis asal Indonesia, masing-masing Kartodihardjo di bidang geologi dan Erie untuk bidang biologi.

Gambar 5 . Sebaran sedimen laut-dalam di kawasan timur Nusantara. V, lumpur

volcanic; V-T, lumpur volcanic-terrigeneous; T, lumpur terrigenous; RC,

lumpur merah (red clay); GL, Globigerina. (Kuenen, 1950)

untuk membentuk tim ekspedisi yang kuat dan lengkap tidaklah mudah. Sangat sulit mencari tenaga akademisi yang berlatar belakang pendidikan kelautan. Untuk mengisi kekosongan itu terpaksa beberapa tenaga dikontrak, tetapi hanya untuk untuk selama berlangsungnya pelayaran ekspedisi saja, yakni seorang tenaga untuk bidang fisika (Dr. Hamaker) dan kimia (Dr. Boelman dan Dr. Hardon). Tenaga inti untuk bidang biologi adalah Prof. Boschma dari University of

Utrecht, sedangkan untuk bidang geologi adalah Dr. Kuenen, dari University of Groningen.

Istri van Riel, yakni van Riel-Verloop, ikut serta pula sebagai sekretaris ekspedisi, tetapi sekaligus juga merangkap sebagai analis kimia. Banyaknya sampel kimia yang harus dianalisis di kapal memerlukan tambahan empat orang pelaut sebagai relawan, yang sebelumnya sudah dilatih untuk pekerjaan kimia di University of Utrecht dan Zoologial Station di Den Helder. Diantaranya terdapat dua orang sebagai teknisi spesialis asal Indonesia, masing-masing Kartodihardjo di bidang geologi dan Erie untuk bidang biologi.

Gambar 5 . Sebaran sedimen laut-dalam di kawasan timur Nusantara. V, lumpur

volcanic; V-T, lumpur volcanic-terrigeneous; T, lumpur terrigenous; RC,

(7)

Kapal Snellius dilengkapi dengan berbagai peralatan dasar untuk penelitian oseanografi. Untuk pengambilan sampel air laut dari berbagai kedalaman digunakan tabung Nansen (Nansen

bottles) yang dilengkapi dengan termometer bolak-balik (reversing thermometer). Di lunas

kapal dipasang pula electric thermograph yang dapat merekam suhu air permukaan laut secara berterusan (continuous) selama kapal berlayar. Untuk mengukur kedalaman dasar laut digunakan pemerum gema (echo-sounder), teknologi baru pada saat itu, yang dapat mengukur kedalaman laut dengan prinsip perambatan dan pemantulan bunyi dalam air, teknologi yang belum dikenal pada zaman Ekspedisi Siboga (1899-1900). Teknologi pemeruman gema ini ternyata akan mengubah secara signifikan pembuatan peta-peta batimetri (topografi dasar laut) di perairan Nusantara. Kapal Snellius juga dilengkapi dengan fasilitas untuk dapat membuang sauh di perairan laut-dalam (deep-sea anchoring) sampai kedalaman 5.000 – 6.000 meter, hingga dapat bertahan stasioner pada satu posisi tertentu untuk pengukuran arus. Untuk pengambilan sampel biologi disiapkan berbagai jenis plankton, pukat (trawl) dan pengeruk (dredge), sedangkan untuk geologi tersedia berbagai jenis corer.

Gambar 6. Sebaran vertikal oksigen (ml/l) dan kandungan hidrogen sulfida (H2S)

dalam penampang dari Teluk Kau (Halmahera ke Samudra Pasifik. (digambar kembali dari van Riel, 1934)

Selama ekspedisi, kapal Snellius telah menduduki 374 stasiun hidrografi, yakni posisi di laut dimana sampel air dan pengukuran hidrografi dilaksanakan (Gambar 3 ). Pengukuran suhu telah dilaksanakan pada 7.300 titik dari berbagai kedalaman, salinitas dan kandungan oksigen

(8)

diukur dari masing-masing sebanyak 7.100 dan 5.300 titik, sedangkan contoh dasar laut yang diperoleh dengan corer dari sebanyak 500 titik. Kalau Ekspedisi Siboga sebelumnya mengukur kedalaman laut dengan menggunakan sounding-machine (mesin untuk pendugaan kedalaman dengan menggunakan kabel) pada 238 stasiun, maka Snellius dengan menggunakan

echosounder pada wilayah yang kurang lebih sama, dapat merekam kedalaman dasar laut pada

sebanyak kurang lebih 33.000 titik. Semua data dan sampel dikirim ke Holland untuk dikaji lebih lanjut.

Hasil-hasil Ekspedisi Snellius I ini mulanya dipublikasikan secara resmi dalam format serial sebanyak 21 buku, dengan judul The Snellius Expedition yang diterbitkan oleh E. J. Brill, Leiden. Volume pertama terbit tahun 1937, tetapi tulisan tentang hasil-hasil ekspedisi kemudian masih terus-menerus bermunculan sampai puluhan tahun kemudian. Tahun 1978 misalnya, masih muncul publikasi baru tentang foraminifera yang didasarkan pada sampel yang dikoleksi dalam Ekspedisi Snellius I, sekitar 48 tahun sebelumnya. Keseluruhan hasil ekspedisi ini telah meletakkan dasar yang kokoh untuk pengetahuan oseanografi Nusantara.

Beberapa hal penting yang dapat dicatat, antara lain bahwa Ekspedisi Snellius I ini telah membuktikan bahwa massa air laut yang ada di Nusantara ini sebagian besar berasal dari Samudra Pasifik. Cekungan dasar-laut berupa lubuk (basin) yang penampangnya kurang lebih berbentuk “U” dan palung (trench) dengan cekungan dasar-laut yang penampangnya kurang

lebih berbentuk “V” telah dapat dipetakan dengan baik (Gambar 4). Demikian pula jalur aliran massa air yang memasok dan memberi ventilasi pada cekungan-cekungan laut-dalam di kawasan ini. Ventilasi pada cekungan-cekungan laut-dalam ini sangat ditentukan oleh kedalaman ambang (sill depth) yang membatasi cekungan tersebut. Meskipun lubuk atau palung itu sangat dalam, tetapi bila ventilasi dapat berlangsung dengan baik, maka disitu masih terdapat oksigen yang cukup untuk memunginkan terdapatnya kehidupan. Sebaliknya meskipun cekungan itu dangkal, tetapi bila ventilasinya terhalang, maka akan dapat menyebabkan terjadinya kondisi anoksik (ketiadaan oksigen) di lapisan dasar, seperti kasus yang terjadi di Teluk Kau, Halmahera (Gambar 5). Demikian pula telah diteliti hal-hal yang menyangkut terjadinya gelombang internal (internal waves) dan pasang-surut serta dampaknya terhadap lingkungan perairan di kawasan ini. Selain itu, peta-peta batimetri telah banyak yang dapat disajikan dengan sangat baik, demikian pula karakteristik sedimennya.

Dari apa yang telah dihasilkan, Ekspedisi Snellius I telah menorehkan sejarah yang penting dalam perkembangan pengetahuan oseanografi, tidak saja bagi Nusantara tetapi juga bagi dunia.

(9)

PUSTAKA

Kuenen, P. H. 1950. Marine Geology. John Wiley & Sons, Inc., New York: 601 pp.

Lek, L. 1945. The Snellius expedition. In Honig, P. & F. Andersen (Eds.). Science and scientists in the Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Suriname,

and Curacao. New York: 473-474.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan keempat (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan, Jakarta: 372 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Pinke, F. 1938. The expedition ship and the naval personell’s share. The Snellius Expedition. Vol. I. Voyage. Chapter II. E. J. Brill, Leiden: 1-71.

Sverdrup, H., U., M. W. Johnson & R. H. Fleming. 1942. The Oceans. Their physics, chemsitry

and general biology. Prentice-Hall., Inc. Englewood Cliffs, N. J.: 1087 pp.

van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 30-41.

van Riel, P. M. 1934. The bottom configuration in relation to the flow of the bottom water. Snellius Expedition. Vol.II. Part 2, Chapter II. E. J. Brill, Leiden.

van Riel, P. M. 1938. The Snellius Expedition. The voyage in the Netherlands East-Indies. E. J. Brill, Leiden.

---Anugerah Nontji

Gambar

Gambar 1. Kapal Willebrord Snellius. Gambar inset: Komandan kapal, Lieutenant Commander F
Gambar 2. P.M. van Riel, pemimpin Ekspedisi Snellius I
Gambar 3.  Titik-titik stasiun oseanografi yang dikerjakan dalam Ekspedisi
Gambar 4. Atas: Lubuk dan palung laut-dalam di perairan Nusantara. Nama-nama untuk angka Rumawi dicantumkan dalam Tabel 1
+4

Referensi

Dokumen terkait

terintegrasinya negara2 miskin ke dalam sistem perekonomian dunia/ global, tetapi justru karena terlalu intensifnya negara2 maju terintegrasi ke dalam sistem. ekonomi dunia

66 Tahun 2013 dalam buku (Prastowo, 2018) bahwa terdapat prinsip-prinsip penilaian, yaitu: (1) objektif, dalam hal ini berarti penilaian berbasis pada standar dan

Beberapa artefak yang ditemukan baik dari hasil penggalian maupun yang sudah berada di permukaan tanah yaitu batu-batu berbentuk kala; makara; batu berelief guirlande, gapa, pilar

Dengan penyentuhan singkat elektroda logam pada bagian benda kerja yang akan dilas,berlangsung hubungan singkat didalam rangkaian arus pengelasan, suatu arus

Penting untuk diketahui bahwa Ibn Qayyim al-Jauziyyah (dalam tulisan ini ditulis Ibn Qayyim al-Jauziyyah) berbeda dengan Ibn Jauzī. Sebagian orang tidak mampu membedakan antara

Peserta Kemitraan/KSO dilarang untuk mengubah Perjanjian Kemitraan/Kerja Sama Operasi termasuk komposisi keanggotaannya untuk pengadaan Pencetakan Tanda Pengenal (KPPS,

Ditemukan adanya sistematika vertikal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam Pasal 5 Ayat 4 yang berisi tentang

yang segera jatuh tempo menggunakan aset sangat lancar (kas + sekuritas jangka pendek + piutang) yang dimiliki oleh perusahaan, karena memiliki rasio di