• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORITIS"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

A. Akad dan Hibah Dalam Hukum Ekonomi Syari’ah 1. Pengertian dan Jenis Akad

Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.13

Kata akad berasal dari bahasa Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara termi nology fiqh, akad didefinisikan dengan :

ولمح فى هرثأ تبثي عورشم وجو ىلع لوبقب بايجأ طابترا

Artinya: “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada

objek perikatan”.14

Akad dalam hukum Indonesia disebut dengan istilah “ perjanjian” atau

kontrak antara dua belah pihak atau lebih yang melahirkan akibat hukum pada mereka.

Istilah Akad menurut bahasa Inggris, yaitu Contract, bahasa Belandanya disebut overeenkomst, menurut bahasa Jerman adalah

13

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 15.

14

(2)

Vereinbarung, berdasarkan bahasa Cina yaitu 协 议 (Xiéyì),

sedangkan menurut bahasa Rusianya adalah соглашение(soglasheniye). Menurut pasal 262 Mursyid al-Hairan, akad merupakan, “pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain yang

menimbulkan akibat hukum pada objek akad”.15

Sebagian ulama fiqh juga mendefinisikan bahwa akad sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak dinamakan akad tapi dinamakan janji. Oleh karena itu, Ath-Thusi membedakan antara akad

dan janji, karena akad mempunyai ma‟na meminta diyakinkan atau ikatan,

akad, akad tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh suatu orang.16

Akad dibagi menjadi beberapa jenis,yaitu : 1. Akad bernama dan Akad tak bernama

Dilihat dari segi ditentukan atau tidak ditentukan namanya, akad dibedakan menjadi :

a. Akad Bernama (al-‘Uqud al-Musamma)

Akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan

15

Basya, Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan (Kairo: Dar al-Furjani, 1403/1983), h. 49.

16

Mahmud Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, (Beirut: Daar Al-Kutub, 2009), Cet ke-03, juz 03, h.

(3)

khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain.

Menurut az-Zarqa Akad bernama ada 25 (dua puluh lima) jenis, yaitu :

1) Jual beli (al-bai’)

2) Sewa-menyewa (al-ijarah) 3) Penanggungan (al-kafalah) 4) Pemindahan utang (al-hiwalah) 5) Gadai (ar-rahn)

6) Jual beli opsi (bai’al-wafa) 7) Penitipan (al-ida’)

8) Pinjam pakai (al-i’arah) 9) Hibah (al-hibah)

10)Pembagian (al-qismah) 11)Persekutuan (asy-syirkah) 12)Bagi hasil (al-mudharabah) 13)Penggarapan tanah (al-muzara’ah) 14)Pemeliharaan tanaman (al-musaqah) 15)Pemberian kuasa (al-wakalah) 16)Perdamaian (ash-shulh) 17)Arbitrase (at-tahkim)

(4)

19)Pinjam mengganti (al-qardh)

20)Pemberian hak pakai rumah (al-‘umra) 21)Penetapan ahli waris (al-muwalah)

22)Pemutusan perjanjian atas kesepakatan (al-iqalah) 23)Perkawinan (az-zawaj)

24)Wasiat (al-washiyyah)

25)Pengangkatan pengampu (al-isha’).17

Perlu dicatat bahwa aneka ragam akad bernama yang disebutkan az-Zarqa‟ ini mencakup kehendak sepihak seperti wasiat, akad di luar lapangan hukum harta kekayaan seperti nikah, atau bagian dari suatu akad seperti pemberian hak pakai rumah yang merupakan bagian dari hibah.

b. Akad Tak Bernama (al-‘Uqud ghair al- Musamma)

Akad tak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dengan kata lain, akad tak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh Pembuat Hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu contoh akad

17

(5)

tidak bernama adalah perjanjian penerbitan, periklanan dan sebagainya.

Dalam sejarah hukum Islam , sering muncul suatu akad baru dan untuk waktu lama tidak mempunyai nama, kemudian diolah oleh fukaha, diberi nama dan dibuatkan aturannya sehingga kemudian menjadi akad bernama. Misalnya al-bai’ bi al-wafa’ (jual beli opsi) yang dalam hukum Islam timbul dari praktik dan merupakan campuran antara gadai dan jual beli, meskipun unsur gadai lebih menonjol. Oleh karena itu diberi nama sendiri.

2. Akad Pokok dan Akad Asesoir

Dilihat dari kedudukannya, akad dibedakan menjadi akad yang pokok (al-‘aqd al-ashli) dan akad asesoir (al-‘aqd at-tab’i). Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah akad yang keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.

(6)

akad jenis ini berlaku kaidah hukum Islam yang berbunyi “suatu yang mengikut mengikut” (at-tabi’ tabi’). Artinya perjanjian asesoir ini yang mengikuti kepada perjanjian pokok, hukumnya mengikuti perjanjian pokok tersebut.18

3. Akad Bertempo dan Akad Tidak Bertempo

Dilihat dari segi unsur tempo di dalam akad, akad dapat dibagi menjadi akad betempo (al-‘aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo ( al-aqd al-fauri). Akad bertempo adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam katagori ini, misalnya, adalah akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai, akad pemberian kuasa, akad berlangganan majalah atau surat kabar, dan lain-lain. Dalam akad sewa-menyewa misalnya termasuk bagian dari isi perjanjian adalah lamanya masa sewa yang ikut menentukan besar kecilnya nilai akad. Tidaklah mungkin suatu akad sewa-menyewa terjadi tanpa adanya unsur lamanya waktu dalam mana perwewaan berlangsung.

Akad tidak bertempo adalah akad di mana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut. Bahkan apabila jual beli dilakukan dengan utang, sesungguhnya unsur waktu tidak merupakan unsur esensial, dan bila telah tiba waktu

18

(7)

pelaksanaan, maka pelaksanaan tersebut bersifat seketika dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.

4. Akad Konsensual, Akad Formalistik dan Akad Riil

Dilihat dari segi formalitasnya, akad dibedakan menjadi akad konsensual (al-‘aqd ar-radha’i), akad formalistic (al-‘aqd asy-syakli) dan akad riil (al-‘aqd al-‘aini). Dengan akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada keepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Meskipun kadang-kadang dipersyaratkan adanya formalitas tertentu, seperti harus tertulis, hal tersebut tidak menghalangi keabsahan akad tersebut, dan tetap dianggap sebagai akad konsensual. Tulisan hanyalah suatu syarat yang diperlukan untuk pembuktian. Kebanyakan akad dalam hukum Islam adalah akad konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan seterusnya.

Akad formalistic adalah akad yang tunduk kepada syarat-sarat formalitas yang ditentukan oleh Pembuat Hukum, di mana apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Contohnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana di antara formalitas yang disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.

(8)

belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. Ada lima

5. Akad Masyru‟ dan Akad Terlarang

Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syarak, akad

dibedakan mejadi dua, yaitu akad masyru‟ dan akad terlarang. Akad

masyru‟ adalah akad yang dibenarkan oleh syarak untuk dibuat dan tidak

ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-adak yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan sebagainya. Sedangkan akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syarak untuk dibuat seperti akad jual beli janin, akad donasi harta anak di bawah umur, akad yang betentangan dengan akhlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk melakukan kejahatan, akad nikah

mut‟ah.21

Termasuk juga akad yang dilarang dalam beberapa mazhab adalah akad jual beli kembali asal (bai’al-‘inah).22

19

Az-Zarqa, syarh al-Qawa’id…,h.336-9. 20

Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam (Beirut: Dar Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), I: 51, kaidah no.75.

21

Az-Zarqa, syarh al-Qawa’id…,h.572-3.

22

(9)

6. Akad yang Sah dan Akad Tidak Sah

Dilihat dari segi sah atau tidaknya, akad dibedakan menjadi akad tah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh syarak. Sedangkan akad tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syarak. Akad sah meliputi akad lazim, akad nafiz dan akad maukuf. Sedangkan akad tidak sah meliputi akad fasid (semua rukun ada, akan tetapi ada syarat yang tidak terpenuhi) dan akad batil (salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi).

7. Akad mengikat dan Akad tidak mengikat

(10)

penggadai di mana keduanya tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak untuk siapa penanggungan dan gadai diberikan. Sebaliknya bagi pihak terakhir ini penanggungan dan gadai tidak mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya secara sepihak.

Adapun akad yang mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat penuh ii dibedakan mekadi dua macam, yaitu (1) akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk difasakh), akad

wakalah (pemberian kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad

wadi’ah (penitipan), dan akad „ariah (pinjam pakai); dan (2) akad yang

tidak mengikat karena di dalamnya terdapat khiyar bagi para pihak. 8. Akad Nafiz dan Akad Mauquf

Akad nafiz adalah akad yang bebas dari setiap factor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya.

(11)

dipaksa yang tergantung kepada ratifikasi yang bersangkutan setelah hilagnya paksaan, akad penerima kuasa yang melampaui batas pemberian kuasa yang tergantung kepada ratifikasi pemberi kuasa, atau akad pelaku tanpa kewenangan (fuduli) yang tergantung kepada ratifikasi pihak yang berhak.

9. Akad Tanggungan, Akad Kepercayaan dan Akad Bersifat Ganda

Akad tanggungan (‘aqd adh-dhaman) adalah akad yang mengalihkan tanggungang risiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad terebut berada dalam tanggungannnya sekalipun sebagai akibat keadaan

memaksa. Akad kepercayaan („aqd al-‘amanah) adalah akad di mana

barang yang dialihkan melalui akad tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, peminjaman, perwakilan (pemberian kuasa).

Sedangkan akad bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupakan akad tanggungan, tetapi di sisi lain merupakan akad amanah

(12)

apabila ia membiarkan barang yang disewanya setelah diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang yang tidak dinikmatinya adalah atas tanggungannya. Ia wajib membayar uang sewa kepada orang yang menyewakan.

10.Akad muawadah, Akad Tabaru, dan Akad Muawadah sekaligus Tabaru Akad atas beban atau akad muawadah (‘aqd al-muawadhah) adalah akad di mana terdapat prestasi yang timbale balik sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu sebagai imbalan prestasi yang diberikannya. Misalnya akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian atas benda, dan semacamnya.

Akad Cuma-Cuma atau akad Tabaru‟ (akad donasi) adalah akad di mana prestasi hanya dari salah satu pihak, seperti akad hibah dan pinjam pakai.

Akad atas beban dan Cuma-cuma (‘aqd al-mu’awdhah wa at

-tabarru’) adalah akad yang pada mulanya merupakan akad Cuma-Cuma,

(13)

terhadap akad jenis ini diberlakukan ketentuan-ketentuan akad Cuma-Cuma pada awalnya, kemudian diberlakukan syarat-syarat

melakukanTabaru‟ (donasi), sehingga penanggungan oleh anak di bawah

umur, namun telah mumayyiz, tidak sah. Sedangkan pada hibah dengan imbalan diberlakukan ketentuan jual beli terhadap imbalan hibah, yaitu adanya hak pengembalian apabila barang imbalan hibah itu cacat, atau

diberlakukan ketentuan syuf‟ah apabila barang imbalan hibah itu berupa

benda tidak bergerak.

2. Rukun dan Syarat Akad Rukun akad terdiri atas : a. Pihak-pihak yang berakad b. Objek akad

c. Tujuan pokok akad; dan d. Kesepakatan.23

Menurut Hedi Suhendi rukun-rukun akad adalah sebagai berikut: a. „Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang masing masing pihak terdiri

dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang

23

(14)

terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang

memiliki hak („aqid Ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.

b. Ma’qud ‘alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

c. Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkna barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah yaitu memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok akad i’arahyaitu memberikan manfaat dri seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti. d. Shighat al-‘aqd ialah ijab Kabul (Pernyataan Kehendak). Ijab ialah

(15)

jelaslah penerimaan majalah tersebut secara tertulis oleh penerima diatas bukti serah terima paket majalah sebagai pengganti lafadz „Kabul’apabila tidak diucapkannya.

Selain rukun-rukun akad, setiap transaksi akad didalam pandangan Islam juga harus memenuhi beberapa criteria syarat-syarat dari terbentuknya suatu Akad. Tanpa adanya syarat-syarat dari akad yang harus dipenuhi maka akad tersebut bisa tergolong kepada yang dimaksud dengan akad fasad. Adapun syarat dari Akad adalah :

a. Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang (Lembaga Kementerian), persekutuan, atau badan usaha;

b. Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tamyiz.

c. Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.

d. Objek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan.

e. Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

f. Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau perbuatan.24

24

(16)

Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan. Syarat-syarat tersebut ada dua macam :

a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut :

1. Kedua orang yang melakukan akad cakap betindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.

2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang

mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan „aqid yang

memiliki barang.

4. Jangan lah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟, seperti jual beli

mulasamah (saling merasakan).

5. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn

(gadai) dianggap sebagi imbangan amanah (kepercayaan).

(17)

7. Ijab dan Kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum akadnya Kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut

syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

3. Asas-Asas Akad

Akad merupakan unsur yang pokok dalam perpindahannnya hak milik dari seseorang kepada seseorang atau beberapa orang, dari badan/lembaga hukum kepada beberapa badan/lembaga hukum lainnya. Dan dalam akad itu diperlukan asas-asas pengaturnya agar akad tersebut menjadi seimbang dan sesuai dengan harapan syara’.Maka akad dilakukan berdasarkan asas :

1. Asas Konsensualisme; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. Sehingga menghasilkan kesepakatan, tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.

(18)

3. Asas Keseimbangan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

4. Asas Kemaslahatan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. Akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buaruk lainnya.

5. Asas Ibahah; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

6. Asas Al-hurriyah (kebebasan berkontrak/berakad). Kebebasan membuat akad dalam hukum Islam tidaklah mutlak, melainkan dibatasi. Pembatasan itu dikaitkan dengan “larangan makan harta sesama dengan jalan batil”. 7. Asas Keadilan. Setiap akad baku yang ada alasan tertentu memberatkan

salah satu pihak, maka dalam hukum Islam kontemporer demi keadilan dan kemaslahatan syarat baku (clousul) itu dapat di ubah oleh pengadilan. 8. Asas Amanah. Masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam

bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak meneksploitasi ketidaktahuan mitranya.25

25

(19)

4. Katagori Hukum Akad

Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syarat yang dimaksud tidak dipenuhi. Akan tetapi, oleh karena syarat-syarat akad itu beragam jenisnya, maka kebatalan dan keabsahan akad menjadi bertingkat-tingkat sesuai dengan sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu terpenuhi.

Hukum akad terbagi ke dalam tiga katagori, yaitu: a. Akad yang sah.

b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan. c. Akad yang batal/batal demi hukum.26

Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, dilakukan di bawah ikhrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran.

Akad fasadberasal dari kata arab “fasid” yang merupakan kata sifat

yang berarti rusak. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Akad fasad menurut ahli-ahli hukum Hanafi, adalah “akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya”.27

26 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi…,h. 23. 27

Ibnu Nujaim, al-Asyhbah wa an-Nazha’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1985), h.

(20)

Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan/ syarat-syaratnya. Kata “batil” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arabbhatil, yang secara leksikal berarti sia-sia, hampa, tidak ada substansi dan hakikatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan “batil” berarti

batal, sia-sia, tidak benar”;28dan “batal diartikan tidak berlaku, tidak sah, sia

-sia, …”29

jadi dalam KamusBesar tersebut, batil dan batal sama artinya. Akan tetapi, dalam bahasa aslinya keduanya berbeda bentuknya, karana batal adalah bentuk masdar dan berarti kebatalan, tidak sah, tidak berlaku, sedang batil adalah kata sifat yang berarti, perbuatan buruk, memakan hak orang lain, dan mengandung kezaliman.

5. Pengertian dan Jenis Hibah

Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa Arab al-Hibah/ ةبهلا yang berarti pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil

dari kata “hubuubur riih” artinya muruuruha (perjalanan angin).30 Kemudian

digunakanlah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta ataupun yang lainnya.

Secara pengertian syara‟, hibah berarti akad pemberian harta milik

seseorang kepada orang lain pada saat ia masih hidup, tanpa adanya imbalan.

28

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Basar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 98, kolom 2.

29

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus…, h. 97,kolom 1.

30

(21)

Kata hibah yang bentuk amr-nya hab terdapat dalam al-Qur‟an Ali-Imran ayat

Artinya: “Di sanalah Zakariya mendo‟a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya

Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya

Engkau Maha Pendengar do‟a.” (Q.S. Ali „Imran: 38)31

Dari ayat diatas dapat kita lihat pernyataan nabi Zakaria yang meminta kepada Allah SWT agar diberikan (hibah) seorang anak yang baik.

Jumhur ulama juga mendefinisikan hibah sebagai:

اعوطت ةايلحا لاح ضوع لاب كيلمتلا ديفي دقع

.

Artinya: “akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang

dilakukan oleh seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara

sukarela”.32

Hibah berarti pemberian harta milik seseorang/sekelompok orang kepada orang lain pada saat dia/mereka masih hidup, tanpa adanya imbalan dan untuk dimanfaatkan oleh penerimanya. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak kepemilikan, maka hal tersebut disebut I’arah „pinjaman‟. Begitu juga jika seseorang memberikan suatu harta seperti khamar atau bangkai, maka hal tersebut tidak layak sebagai hibah dan bukanlah suatu hibah. Jika hak kepemilikan belum terlaksana pada data pemberinya masih hidup, tetapi diberikan setelah dia

31

Komplek Percetakan Al-Qur‟an Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fadh,

Al-Qur’an…, h. 81.

32

(22)

meninggal, maka hal tersebut dinamakan wasiat. jika pemberian itu disertai imbalan maka yang demikian itu dihukumkan sebagai jual beli.

Dalam hibah berlaku juga khiyar, syuf’ah, dan disyaratkan agar pemberian itu diketahui. Bila tidak, maka hibah itu batal. Hibah mutlak tidak menghendaki suatu imbalan, baik semisal atau yang lebih rendah, ataupun yang lebih tinggi nilainnya.33

Inilah makna khusus hibah, sedangkan makna umum hibah meliputi hal-hal berikut ini:

1. Sedekah yaitu peberian harta kepada orang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan semata ingin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah SWT.

2. Ibraa yaitu menghibahkan utang kepada pihak yang berhutang.

3. Wasiat yaitu pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan ketika masih hidup (tidak lebih dari 1/3 harta) dan baru diberikan setelah orang yang berwasiat itu meninggal.

4. Hadiah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti dengan maksud memuliakan (kasih sayang).34

Dalam penelitian ini peneliti mengartikan pemberian bantuan uang tunai bersyarat (Conditional Cash Transfers) dari Kementerian Sosial ini adalah hibah, dikarenakan pemberian bantuan uang tunai ini tujuannnya

33

Sayyid Sabiq, Fiqih…, h. 435. 34

(23)

adalah untuk dimanfaatkan atau digunakan oleh KSM/RTSM dalam rangka mengakses pasilitas kesehatan, pasilitas pendidikan, dan lembaga bayar dana PKH tersebut. dan definisi dari Hibah adalah pemberian harta milik seseorang/sekelompok orang kepada orang lain pada saat dia/mereka masih hidup, tanpa adanya imbalan dan untuk dimanfaatkan oleh penerimanya

Istilah Hibah menurut bahasa Inggris, yaitu grant, bahasa Belandanya disebut verlenen, menurut bahasa Jerman adalah gewähren,

berdasarkan bahasa Cina yaitu 发放 (Fāfàng), sedangkan menurut bahasa

Rusianya adalah даровать(darovat'). Dan hukum dari Hibah atau pemberian ini hukum dasarnya adalah Sunnah.

6. Rukun Dan Syarat Hibah

Dalam akad hibah juga sangat penting diperhatikan Rukun dan Syaratnya karena hal ini menentukan sah atau tidaknya suatu hibah tersebut, adapun rukun hibah terdiri dari:

a. Wahib/pemberi; b. Mauhub lah/penerima;

c. Mauhub bih/benda yang dihibahkan; d. Iqrar/pernyataan; dan

e. Qabd/penyerahan.35

35

(24)

Menurut Sayyid Sabiq berkenaan dengan rukun hibah adalah Adapun hibah sah berlaku melalui ijab-qabul dalam bentuk apa pun selagi pemberian harta tersebut tanpa imbalan. Misalnya, seseorang penghibah

berkata, “Aku hibahkan kepdamu, aku hadiahkan kepadamu, aku berikan

kepadamu,” atau semisalnya. Sedangkan orang lain berkata “Ya, aku terima.”

Imam Malik dan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa dipegangnya qabul di

dalam hibah.

Hal tersebut diatas sesuai dengan pendapat fuqaha Wahbah al-Zuhayli pada kitabnya al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu,yang menyatakan bahwa rukun hibah itu ada 4 macam, yaitu:

a. Pemberi hibah. b. Penerima hibah.

c. Benda yang dihibahkan; dan d. Ijab-qabul (Shigat).36

Sedangkan menurut kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa

ijab saja itu sudah cukup (tanpa qabul).

Disamping rukun-rukun dari Hibah kita juga perlu mengetahui apa saja persyaratan dari akad hibah itu sendiri, persyaratan akad hibah adalah sebagai berikut:

36

(25)

1. Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta penghibah.

2. Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan setelah harta tersebut diserahkan.

3. Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui.

4. Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa. 5. Hibah yang terjadi karena ada paksaan batal.37

Ada pula ulama yang menyatakan bahwa syarat-syarat dari hukum hibah adalah sebagai berikut:38

a. Syarat Orang yang Menghibah (Pemberi Hibah) 1. Penghibah memiliki sesuatu yang dihibahkan.

2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya artiya orang yang cakap dan bebas bertindak menurut hukum.

3. Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas.

4. Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah merupakan akad yang disyaratkan adanya keridhaan.

b. Syarat Orang yang diberi hibah (Penerima Hibah)

37

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi…, h. 217

38

(26)

Orang yang diberi hibah benar-benar ada pada waktu diberi hibah, bila tidak ada atau diperkitakan keberadaannya misalnya masih dalam bentuk janin maka tidak sah hibah.

Jika orang yang diberi hibah itu ada pada waktu pemberian hibah, akan tetapi ia masih kecil atau gila maka hibah itu harus diambil oleh walinya, pemeliharanya, atau orang mendidiknya sekalipun ia orang asing. c. Syarat-syarat barang yang dihibahkan

Beberapa syarat dari barang yang akan dihibahkan adalah sebagai berikut:

1. Benar-benar wujud (ada). 2. Benda tersebut bernilai.

3. Barang tersebut dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa barang yang dihibahkan adalah sesuatu yang dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Karena itu, tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid, atau majelis-majelis ilmu.

(27)

5. Dikhususkan, yakni barang yang dihibahkan bukan milik umum, sebab kepemilikan tidak sah kecuali apabila ditentukan seperti halnya jaminan. Imam Malik, Syafi‟I, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak ada syarat tertentu. Mereka

berkata “Sesungguhnya hibah sah apabila untuk umum yang

tidak dibagi-bagi.” Sedangkan kalangan maliki membolehkan hibah sesuati yang tidak sah dijual seperti unta liar, buah sebelum tampak hasilnya, dan barang hasil rampasan.

7. Hibah yang ditarik kembali

Apabila wahib menarik kembali mauhub yang telah diserahkan tanpa ada persetujuan dari mauhublah, atau tanpa keputusan pengadilan, maka

wahib ditetapkan sebagai perampas barang orang lain; dan apabila barang itu rusak atau hilang ketika berada dibawah kekuasaannya, maka ia harus mengganti kerugian.39

Dalam mazhab Malikiy dinyatakan bahwa hibah yang telah diterima atau dalam satu pendapat sudah diikrarkan kepada orang lain, tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah atau ibu kepada anaknya.40

Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta kembali dalam keadaan apapun sekalipun antara saudara atau suami isteri kecuali jika

39

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi…, h. 218. 40

(28)

pemberi hadah itu adalah seorang ayah dan penerimanya adalah anaknya sendiri.41 Mereka berpendapat berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW :

وِئْيق في ُعِجري ِبلكلاك ، وِتبى في ُدوعي يذَّلا

Artinya: “Perumpamaan orang yang meminta kembali pemberiannya adalah seperti perumpamaan anjing yang menjilat kembali ludahnya.” (HR. Bukhari

No. 2499)42

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:

هدلو ىطعي اميف دلاولا لآا اهيف عجري ثم ويطعلا ىطعي نا ملسم لجرل ليح لآ

Artinya: “Tidak seorang pun boleh menarik kembali pemberiannya

kecuali pemberian ayah kepada anaknya”. (HR. Ahmad).43

Kebolehan seorang ayah mencabut pemberian yang telah diberikan kepada anaknya karena ia lebih berhak menjaga kemaslahatan anaknya.

Sedangkan menurut Imam Hanfiyah, hibah itu tidak mengikat, dan boleh saja menarik kembali hibah. Alasan yang mereka gunakan adalah hadits Rasulullah SAW:

لا

اهيلع بثي لم ام وتببه قحا بىاو

41

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,(Beirut; Dar al-Fikr, 1978) Jilid III, h. 334.

42

Achmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV.Asy Syifa‟, 1993),

h.617. 43

(29)

Artinya: “orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya

selama hibah itu tidak diiringi oleh ganti rugi”.(HR. Ibnu Majah, al-Daru Quthni, At-Thabrani dan al-Hakim).44

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa penghibah yang tidak boleh menarik kembali hibahnya yaitu yang semata-mata memberikan tanpa menerima imbalan. Adapun penghibah yang diperbolehkan menarik hibahnya adalah penghibah yang memberikan agar hibahnya itu diberi imbalan dan dibalas.45

8. Pemberian ‘Umra dan Ruqbah

Umra merupakan jenis hibah, yaitu jika seseorang memberikan hibah sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan apabila penerima hibah sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan apabila penerima hibah meninggal dunia, maka barang tersebut dikembalikan lagi kepada pemberi

hibah. Hal demikian berlaku dengan lafazh “Aku umra-kan barang ini atau

rumah ini kepadamu”, artinya „aku berikan kepadamu selama engkau hidup‟,

atau ungkapan-ungkapan senada.

Adapun orang yang mengucapkan kata umra itu disebut mu’mir,dan

orang yang dinyatakan hendak di‟-umra-kan dinamakan mu’mar. Rasulullah

SAW menganggap pengembalian „umra setelah orang yang diberikan wafat

44

Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Saipuddin Shidiq, Fiqh Muamalat…, h.164.

45

(30)

adalah batil. Oleh karenanya, beliau menetapkan perkara yang berkenaan

dengan masalah „umra ini akan adanya pilihan yang tetap bagi orang yang

diberi „umra semasa hidupnya. Sesudah orang yang diberi „umra itu mati,

maka „umra itu berpindah ke tangan ahli warisnya yang mewarisi hartanya,

apabila dia mempunyai ahli waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka

umra itu diberikan kepada baitul mal, dan tidak kembali kepada mu’mir

sedikit pun.

لاق ملسو ويلع للها ىلص بينلا نا ةورع نم

:

هدعب نم وبقع نم وثري نم اهثري وبقعلو ول يهف ىرمع نم

.

Artinya: “Barangsiapa yang diberi „umra, maka „umra itu baginya dan bagi anaknya. „Umra itu diwarisi oleh orang yang mewarisi diantara anak-anaknya

setelah ia wafat.”46

Sedangkan Ruqba ialah jika seseorang mengatakan kepada

temannya, ”Aku Ruqba rumahku untukmu selama engkau hidup. Apabila

engkau mati sebelum aku, maka dikembalikan kepadaku. Apabila aku mati sebelum engkau, maka menjadi milikmu dan seorang sesudahmu.” Maka setiap mereka menunggu kematian yang lain-nya, sehingga rumah yang dijadikan Ruqba ini menjadi milik siapa yang masih hidup di antara keduanya. Hukum Ruqba sama dengan hukum „umra, menurut Syafi‟I dan

Ahmad bahwa hukum tersebut berdasar-kan zhahir hadits. Sedangkan Abu

Hanifah berpendapat bahwa „umra diwariskan dan Ruqba sebagai barang

pinjaman.

46

(31)

B. Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan hibah pada Bab I tentang Ketentuan Umum poin (g) adalah sebagai pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Dinyatakan juga pada Bab VI tentang Hibah pasal 210 poin (1) bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Hal ini sesuai dengan pendapa Muhammad ibnu Hasan dan sebagian kalangan Hanafi

berkata, “Tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dengan tujuan

kebaikan.” Mereka menganggap bahwa orang yang berbuat demikian itu sebagai orang bodoh yang wajib dibatasai tindakannya.

Pengarang kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah menganalisis masalah ini,

sebagaimana perkataannya, “Barang siapa yang mampu bersabar atas kemiskinan

dan kekurangan harta, maka tidak mengapa baginya menyedekahkan sebagian besar atau bahkan semua hartanya. Barangsiapa yang besar kemungkinan meminta-minta kepada manusia pada saat dia memerlukan, maka tidak dibolehkan menyedekahkan semua atau sebagian besar dari hartanya”.47

47

(32)

Pada pasal 212 dinyatakan juga bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

C. Hibah Dalam Burgerlijk Wetboek

Burgerlijk Wetboek di Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), membahas tentang Hibah pada pasal-pasalnya, yaitu sebagai berikut:

1. Pasal 1666 menyatakan: Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat

ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain-lain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.

2. Pasal 1667 menyatakan: Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru aka nada di kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal.

3. Pasal 1668 menyatakan: Si penghibah tidak boleh memeperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memeberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah; hibah yang semacam itu, sekedar mengenai benda tersebut, dianggap sebagai batal.

(33)

selain yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya.

5. Pasal 1676 menyatakan: Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu.

6. Pasal 1677 menyatakan: Orang-orang belum dewasa tidak diperbolehkan memberi hibah, kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari Buku ke satu Kitab Undang –undang ini.

7. Pasal 1685 menyatakan: Penghibahan kepada orang-orang yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Penghibahan kepada orang-orang belum dewasa yang berada dibawah perwalian atau kepada orang-orang terampu, harus diterima oleh si wali atua si pengampu, yang untuk itu, harus dikuasakan oleh Pengadilan Negeri.

8. Pasal 1688 menyatakan: Suatu hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal yang berikut:

1. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan.

(34)

3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang itu jatuh dalam kemiskinan.

D. Kerangka Pemikiran

Suatu akad yang baik adalah suatu akad yang terpenuhinya rukun dan syaratnya serta dijunjung tingginya asas-asas yang melekat pada akad tersebut. Apabila akad tersebut sah dan baik dimata hukum dan sosial maka akan menghasilkan suatu capaian transaksi yang baik pula.

Penerapan akad hibah dalam suatu program harus diperhatikan betul-betul agar akad tersebut menghasilkan suatu transaksi yang berdampak baik kedepan bagi masyarakat banyak dan individu umat manusia pada khususnya.

Kita perlu menelaah beberapa sisi yang masih perlu kita perbaiki dalam penerapan akad hibah pada suatu program di negeri Indonesia kita ini. Sehingga kendala-kendala yang masih menghambat capaian program tersebut bisa kita atasi demi kesuksesan suatu program dan demi tujuan yang ingin dicapai oleh program tersebut.

(35)

menyampaikan metode penelitian, memaparkan data, dan membahas tuntas tentang masalah ini, yang mana diakhiri dengan simpulan dan saran.

MATRIKS KERANGKA BERFIKIR

PROGRAM PEMERINTAH

Dengan Akad yang baik

Ditunjang dengan leding sector dan SDM yang benar

Akan berhasil dengan Efektiv

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Teknis dinyatakan memenuhi syarat (lulus) apabila mendapat nilai minimal 70 (tujuh puluh), peserta yang dinyatakan lulus akan dilanjutkan pada proses penilaian penawaran

Dengan mendeskripsikan kearifan lokal Bali, terungkap bahwa di dalam ungkapan-ungkapan tradisional Bali terkandung pesan dan nasehat yang berisikan nilai-nilai moral yang

Dalam penelitian teridentifikasi bahwa kekuatan yang menyebabkan ibu berhasil menyusui lebih dari 6 bulan adalah kesadaran diri, dukungan, afeksi positif, sikap yang kuat dan

yang berbeda, maka setiap individu akan memiliki penilaian terhadap keadaan.. tubuh (body esteem) yang

Kondisi optimum penentuan nitrit dengan metode ekstraksi-spektrofotometri sebagai kompleks 4-(4- nitrobenzenazo)-1-aminonaftalen dengan n-amil alkohol adalah : (1) Panjang

nilai F tabel dan hipotesis nihil ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara Creativity of student (kreativitas sswa) terhadap hasil Valuable Work

(1986) yang menyatakan bahwa isoprenoid pada salah satu tumbuhan mangrove. memiliki

Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove dimanfaatkan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosistem mengrove, fungsi yang lain