• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Pengertian Stilistika. - WIWIT SUPRIYATIN BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIK A. Pengertian Stilistika. - WIWIT SUPRIYATIN BAB II"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Pengertian Stilistika.

‘Style’ atau sering disebut sebagai gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan Bahasa dengan bahasa khas sesuai kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. Gaya bahasa atau ‘style’ dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi atau keyakinan dan latar sosiokultural pengarangnya (Al-Ma’ruf, 2012:9).

Dalam kegiatan berbahasa yang bertujuan menghidupkan kalimat akan terjadi apabila seseorang ingin mengungkapkan gagasan, ide, pikiran, perasaan atau sesuatu yang lain kepada orang lain. Orang tidak akan berbahasa demi bahasa itu sendiri. Intinya adalah adanya sesuatu yang di dalam batin yang akan diungkapkan dalam wujud bahasa yang dapat di dengar atau di produksi untuk kemudian dilihat ataupun didengar orang lain. Sesuatu yang masih dalam batin jumlahnya banyak sekali, tetapi yang akan diproduksi dalam bentuk bahasa tentunya sesuai dengan tujuannya saja. Cara pengungkapan apa yang ada di batin ini bisa dilakukan oleh seseorang dengan berbagai cara, dan hal inilah yang kemudian disebut style itu (Nurgiyantoro, 2014:52-53).

(2)

Kemampuan seorang pengarang ketika berimajinasi dan berkreasi dalam retorika sastra merupakan stile yang membedakan antara pengarang yang satu dengan pengarang lainnya. Selain itu Jika seorang pengarang mahir dalam mengungkapkan ide, gagasannya melalui perwujudan kreativitasnya dalam memberdayakan sarana retorika di atas, maka pembaca akan dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang digambarkan oleh pengarang.

Selain dari sisi pengarang peran pembaca sebagai penafsir tehadap penggunaan bahasa pengarang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi dari satu teks yang sama, maka faktor latar sosiokultual pembaca pun menjadi berperan penting. Maka kajian stilistika ini tidak hanya memandang ‘style’ atau gaya bahasa yang digunakan pengarang saja tapi faktor-faktor di luar itu pun sekarang ini menjadi perhatian stilistika (Black, 2011:2).

Bidang garapan stilistika adalah ‘style’, bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam bahasa tertentu. Jika ‘style’diindonesiakan dengan diadaptasikan menjadi stile atau gaya bahasa, istilah ‘stylistic’ juga dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi stilistika. Istilah stilistika juga lebih singkat dan efisien daripada terjemahannya yaitu kajian gaya bahasa atau kajian stile (Nurgiyantoro, 2014:74-75).

(3)

Batasan-batasan yang digunakan untuk terhadap hakikat atau pengertian ‘style’atau kemudian disebut sebagai gaya bahasa tidak pernah memuaskan banyak pihak. Hal ini terjadi karena masing-masing pakar memiliki cara tersendiri dalam memandang ‘style’sebagai suatu ilmu tentang gaya bahasa. Namun demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Pertama, gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi untuk memperoleh efek tertentu. Efek yang dimaksud adalah efek estetik. Efek estetik ini yang kemudian menjadi salah satu penentu nilai estetik dari sebuah karya sastra. Kedua bahwa stilistika merupakan bidang linguistik terapan sebagai ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik.

1. Tujuan Stilistika

(4)

Gambar 2.1Tujuan Stilistika menurut Leech & Short

Bagan tersebut menjelaskan pada kita bahwa tujuan kajian stilistika berada pada dua sisi yaitu 1) mencari fungsi estetik karya sastra dan 2) mencari bukti-bukti linguistik. Dalam rangka mencari bukti-bukti-bukti-bukti fisik tersebut, proses kajian stilistik berkisar pada deskripsi segi-segi linguistik yang ada dalam karya sastra. Sedangkan dalam proses mencari fungsi estetik, proses kajian stilistika berkisar pada apresiasi sastra. Dalam hal, baik tahap deskripsi linguistik maupun tahap apresiasi sastra merupakan satu kesatuan proses yang saling mendukung dan bersifat siklus (seperti tampak pada gambar di atas.

Tujuan kajian stilistika hakikatnya adalah untuk menemukan dan menjelaskan ketepatanpenggunaan bentuk-bentukbahasa baik secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Fungsi estetis yang dimaksud mengenai penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang mendukung suatu teks (Nurgiantoro, 2014:100).

2. Lapangan Kajian Stilistika

a. Bahasa Sastra

Bahasa dalam karya sastra merupakan medium yang utama. Akan tetapi bahasa alam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra

(5)

merupkan bahasa yang dikreasikan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan gagasan atau idenya. Dalam upaya ini seringkali pengarang melakukan pembaruan atau inovasi bahkan mungkin sekali seorang pengarang melanggar aturan atau konvensi.

Pengarang seringkali melakukan inovasi dan melanggar konvensi, akan tetapi inovasi ini tidak akan pernah mengubaah total konvensi tersebut sehingga orang masih mengenali bahasa yang digunakan. Berikut ciri bahasa sastra secara umum

1) polisemantis yang menyarankan berbagai kemungkinan makna;

2) memiliki sistem sendiri, namun masih berada dalam sistem bahasa natural;

3) dalam keadaan tertentu (misalnya, dalam puisi) terjadi pemadatan, pengayaan makna, dan variasi pola; dan

4) mengandung konotasi yang bersifat individual (Semi, 2012: 65-66). Tedapat hubungan antara ilmu bahasa dan ilmu sastra bahasa, bahwa sastra sama dengan bahasa yakni sebuah sistem untuk memahami sekaligus menjadi syarat mutlak untuk mengarang karya sastra. Selanjutnya istilah ilmu bahasa: ‘literary competence’ membawa kita pada konsep ‘competence performance’ yang biasa dipakai oleh kalangan Transformational Grammar (aliran Chomsky) disamakan dengan istilah ‘langue.parole’ (de Saussure), ‘ code-message,taal-taalgeburuik’ (‘Reichling‘dan lain-lain ahli bahasa belanda (A.Teeuw, 1982:1-2).

(6)

sistem bunyi dan struktur, sedangkan parole merupakan bentuk performansi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk kebahasaan (Baldicdalam Nurgiantoro, 2014: 54).

Penuturan bahasa secara nyata, selanjutnya disebut performansi sekalipun sudah melewati seleksi, juga dapat dikreasikan, disiasati, atau diberdayakan oleh penutur sesuai dengan kompetensi dan pandangan artistiknya. Terhadap hal ini Chomsky yang mempunyai pandangan tentang hubungan antara ‘competence’ dan ‘performance’ dinyatakan mirip dengan hubungan antara ‘langue’dan ‘parole’. Bentuk performansi kebahasaan (kinerja) seorang pengarang (sastra) yang dapat dilihat dalam sebuah karya sastra baik fiksi, maupun puisi, juga dalam ragam bahasa yang lain, merupakan sebuah pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Ini merupakan manifestasi dari sebuah sistem kaidah bahasa. Jadi bahasa, style jika dikaitkan dengan teori kebahasaam Saussure merupakan suatu bentuk ‘parole’. Stile adalah perwujudan penggunaan bahasa secara konkret sesuai dengan sistem kaidah suatu bahasa (Nurgiyantoro, 2014: 53-55).

Bahasa dalam sastra memiliki peran sentral, merupakan media utama yang diberdayakan oleh seorang pengarang untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Sebagai alat untuk berkomunikasi bagi sastrawan dalam menyampaikan gagasan kepada pembaca sebagai komunikan atau apresiasinya (Al-Ma’ruf, 2012:1).

(7)

mengandung ambiguitas yang luas penuh homonim, manasuka/katagori-katagori tak rasional, diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi. Bahasa secara konotatif mengandung arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Al-Ma’ruf , 2012: 3-4).

Bahasa memiliki peran dalam pemertahanan dan pengembangan kebudayaan oleh sebab itu, aspek kebudayaan peninggalan masa lalu direkam dan diwariskan kepada generasi berikutnya, salah satunya dengan bahasa (Nurgiantoro, 2014: 20-21).Oleh karena itu, bahasa merupakan gejala yang memiliki ciri yang bersifat dinamis. Dikatakan dinamis karena bahasa dapat mencerminkan kebudayaan yang paling lengkap, merekam berbagai aktivitas kebudayaan yang lain.

Sifat dinamis bahasa, memiliki makna bahwa bahasa ini berkembang oleh banyak hal seirama dengan pekembangan masyarakat pemakai bahasa, baik dari segi sosiologis, sains, teknologi maupun lainnya, dan secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh balai bahasa, ataupun masyarakat pemakai bahasa secara bersama (Wachid, 2010: 61).

Bahasa dalam karya sastra dinamis, terbuka terhadap kemungkinan penyimpangan dan juga pembaharuan. Akan tetapi penyimpangan dan pembaharuan ini tetap tidak mengabaikan fungsi komunikatifnya. Sedangkan fungsi komuniktif ini akan efektif apabila tuturan masih tunduk dan memanfaatkan konvensi bahasa itu. (Nurgiyantoro, 2010:275).

(8)

keunikan ini yang membedakan antara bahasa dalam karya sastra dengan pemakaian bahasa pada tulisan yang bukan sastra seperti yang disebutkan di atas. Karya sastra juga merupakan suatu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan medium yang bernama bahasa (Al-Maruf, 2012: 34). Artinya pemakaian bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda-beda stilenya tergantung dari bagaimana seorang pengarang itu akan memfungsikan bahasa tersebut untuk berbagai kepentingan.

Semua penggunaan bahasa dalam konteks apapun pada hakikatnya terkait dengan stile. Bahasa memiliki fungsi sebagai perekam budaya dan berbagai temuan ilmiah sebelumnya sehingga kebudayaan ilmu dan teknologi, serta peradaban terus dapat dikembangkan. Sebagai contoh sampai kini kita masih bisa menikmati karya-karya yang ditulis pada masa lalu, misalnya hikayat Si Miskin, Hikayat Hang Tuah, dan karangan pengarang Shakespeare yang terkenal hingga kini yakni Hamlet, Romeo dan Juliet, masih bisa kita nikmati belum lagi karya-karya nonsastra, seperti karya-karya ilmiah. Dari berbagai fakta di atas, ternyata berbagai penemuan ilmiah yang mampu mengubah dunia secara revolusioner dapat kita nikmati (Nurgiyantoro, 2014: 1-3).

(9)

Gambar 2.2Faktor Bahasa Teori Jakobson

Bagan fungsi bahasa dari teori Jakobson akan diuraikan lebih rinci sebagai berikut.

Gambar 2.3 Fungsi Bahasa Teori Jakobson

a. Fungsi referensial terkait dengan konteks, dalam proses komunikasi konteks memberikan, mempengaruhi, dan menentukan referensi makna (pesan) yang dikomunikasikan.

b. Fungsi emotif berkaitan dengan pembicara atau pengirim pesan. Pengirim pesan adalah yng memiliki pesan, di dalam pesan yang disampaikan itu biasanya terdapat unsur emotif yang menunjukkan sikap, emosi, atau nada tertentu yang menunjukkan situasi emosi pembicara. Seperti dalam dialog tokoh-tokoh fiksi misalnya dapat kita jumpai kata-kata umpatan, rayuan, seruan dan lain sebagainya.

c. Fungsi konatif berkaitan dengan penerima pesan. Misalnya adanya unsur (kalimat) imperatif dan (tanda) apostrof dalam sebuah teks.

d. Fungsi bahasa metaligual artinya fungsi bahasa untuk menjelaskan bahasa itu sendiri. Misalnya penjelasan tentang konsep ungkapan tertentu yang ada pada suatu bahasa.

e. Fungsi puitis bahasa berkaitan langsung dengan pesan yang ingin dikomunikasikan. Pemfokusan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri ‘focusing on the message for its own sake’.

(10)

Terdapat hubungan antara fungsi bahasa referensial dan fungsi puitis ini. Jika sebuah penuturan lebih menekankan pada pesan dalam sebuah teks demi pesan itu sendiri dengan sifat ambiguitasnya dan kurang memperhatikan konteks, fungsi puitis lebih menonjol. Apabila sebaliknya yakni penuturan lebih menekankan pentingnya faktor konteks, kepastian makna pesan, maka fungsi referensial lebih dominan.

Pemakaian bahasa secara umum meliputi keenam fungsi di atas, namun dalam bahasa karya sastra prosa (cerpen) fungsi puitik lebih dominan daripada kelima fungsi lainnya. Fungsi puitik inilah yang menjadikan pesan kebahasaan karya seni. Komunikasi dalam cerpen dapat dikatakan sebagai bentuk komunikasi puitik dan memiliki fungsi emotif berkaitan engan aktifitas imajinasi dan kreasi pengaarang. Dalam konteks ini bahasa dalam cerpen difungsikan untuk membentuk dan mengungkapkan ekspresi secara langsung sekaligus disertai nuansa emotif, dan sikap penuturnya sendiri.

Dilihat dari bahasa komunikasi, bahasa-bahasa dalam karya sastra mempunyai beberapa kekhususan dalam pemakaiannya. Untuk menjalin komunikasi tersebut pengarang melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan bahasa guna mencapai tujuan yang dimaksud.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa penuturan dalam kesastraan dipandang sebagai proses (usaha) komunikasi. Dalam menjalin komunikasi tersebut pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan tentunya bukan semata-mata bertujuan ingin aneh ataupun ingin berbeda, ingin lain dari yang lain, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan disamping juga bermaksud mengedepankan, mengaktualkan‘foreground’ sesuatu yang di

(11)

Segi kekhususan bahasa sastra yang lain adalah adanya aspek keindahan atau estetis, mengandung pesan yang tidak langsung, dan hakikat emosional. Hal tersebut mengarahkan bahasa sastra pada penyajiannya yang terselubung, terbungkus, bahkan dengan sengaja disembunyikan, oleh karena itu bahasa dalam karya sastra khas.

Dominasi penggunaan bahasa yang khas dalam karya sastra diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

a. Karya sastra mementingkan unsur keindahan.

b. Penggunaan cara-cara yang yang tak langsung dalam penyampaian pesan seperti; refleks, refraksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi.

c. Karya sastra adalah curahan hati bukan intelektual (Kutha, 2013:13-14). Kekhasan dan kekhususan yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah dan penyampaian pesan yang dilakukan secara tidak langsung dalam mencapai tujuan komunikasinya membuat pembaca mendapatkan pengalaman batin ketika membaca karya sastra. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Jan Van Luxembrug dkk dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Dick Hartoko (1992: 12) bahwa bahasa dalam sastra, pengolahan bahan dapat membuka batin kita sehingga mendapatkan pengalaman-pengalaman baru/ mengajak kita untuk mengatur pengalaman tersebut dengan satu cara yang baru.

Jika kita rumuskan secara padat, maka akan didapat rumusan ciri-ciri dan sifat bahasa sebagai berikut.

a. Bahasa sastra didominasi oleh unsur emosi ‘perasaan’ dan subjektif daripada unsur rasio pikiran dan objektif seperti dalam bahasa ilmiah. Emosi bukan dalam artian emosional, mengandung maksud untuk mengekspresikan perasaan yang kuat.

b. Bahasa dalam sastra lebih menunjuk pada makna konotatif daripada makna denotatif.

c. Karya sastra disebut sebagai karya kreatif, maka bahasa yang digunakanpun disebut bahasa kreatif.

d. Bahasa sastra ditandai oleh adanya pengucapan yang menyimpang, yang lain daripada yang lain.

(12)

untuk menyebut ini adalah ‘foregrounding’.‘Foregrounding’ dapat di pahami sebagai mengedepankan, mementingkan, atau mengaktualkan. Kata, ungkapan, atau struktur yang di-‘foregrounding’-kan berarti kata, ungkapan, struktur yang mendapat penekanan untuk mencapai keindahan tanpa mengesampingan muatan makna atau pesan (Nurgiantoro, 2014:133-141).

Kajian stile akan memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan wawasan kita terhadap bahasa dan pengguunaan bahasa dalam suatu teks sastra. Kajian stile ini akan membawa masyarakat pembaca pada suatu pemahaman yang lebih baik. Pembaca akan lebih luas memaknai bagaimana bahasa diberdayakan sedemikian rupa, dikreasikan, bagaimana untuk mencapai efek-efek tertentu bahkan penggunaan bahasa ini disimpangkan, dilakukan pengulangan, penekanan, bahkan penciptaan ungkapan-ungkapan yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Hal-hal di atas dilakukan dengan tujuan agar tercipta komunikasi bahasa yang lebih segar, lebih efektif.

Kajian stilistika adalah bagian dari estetik, disamping pula kajian linguistik. Dikatakan sebagai bagian dari estetik karena menyangkut objek keindahan. Kaitannya dengan objek penelitiannya yakni teks sastra, teks sastra ini adalah bagian dari sebuah karya seni. Sedangkan objek linguistik karena wujud nyatanya adalah bahasa, berawal dari penggunaan bahasa dalam konteks wacana.

(13)

stilistika harus diprasarati dengan pengusaan linguistik yang baik (Nurgiantoro 2014:78).

Berangkat dari beberapa pemahaman di atas maka asumsinya adalah bahwa ada dua kutup yang harus diselesaikan dalam kajian penelitian ini, yakni kutup seni dan kutup liguistik yang harus terselesaikan secara tuntas. Pengamatan terhadap linguistik akan menstimulasi wawasan estetis sastra, demikian juga sebaliknya wawasan estetis sastra akan menstimulasi secara lebih lanjut terhadap observasi linguistik (Nurgiyantoro, 2014:79).

Jadi tidak ada keharusan penelitian tentang stilistika ini berangkat dari sisi linguistik atau sisi literer. Namun yang menjadi penekanannya adalah tuntutan kedalaman, kepekaan dan kesanggupan peneliti untuk merespon fungsi- fungsi estetis sebuah teks dengan melakukan observasi secara mendalam terhadap tanda-tanda linguistik yang mendukung.

(14)

penghilangan afik, penggunaan makna konotasi, dan lain-lain baik yang bertujuan menekankan dan memperjelas makna maupun sebaliknya, mengaburkan makna (Wellek & Waren, 1989:226).

Penelitian tentang kajian stilistika ini tidak boleh lepas pada pandangan bahwa sebuah teks tidak dapat lepas dari konteks penggunaannya. Jadi ragam bahasa yang akan dikaji benar-benar menjadi titik tolak peneliti dalam melakukan analisisnya. Karena stilistika berada pada posisi linguistik dan seni hal ini harus dijadikam patokan karena data stile adalah data bahasa. Namun analisis stile tidaklah sama dengan analisis bahasa. Analisis bahasa akan terhenti pada deskrepsi berbagai asppek bahasa saja. Sedangkan tujuan kajian stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan penggunaan bentuk-bentuk bahasa baik secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu langkah-langkah penelitian stilistika ini harus setia pada tujuan kajian. Adapun tujuan ini adalah mencoba menemukan dan menjelaskan fungsi penggunaan berbagai bentuk kebahasaan sehingga dapat dikatakan mendukung capaian efek keindahan. Tetapi keindahan ini juga berarti tepatnya bentuk bahasa itu sebagai sarana berkomunikasi (Nurgiantoro, 2014:99-101).

(15)

tiruan bunyi, penciptaan suasana tertentu. Kajian stile bahasa prosa unsur-usur bunyi di atas biasanya diabaikan.

Merujuk beberapa pendapat para pakar yangmenyatakan bahwa kajian stilistika sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji bentuk dan tanda-tanda linguistik yang digunakan dalam struktur lahir karya sastra tersebut. Bentuk atau usur-unsur yang dimaksud atau unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda ligustik ini dapat berupa fonem, leksikal atau diksi,kalimat, wacana,bahasa figuratif dan citraanpakar (Al’Maruf,2012:20-21).

Pada beberapa penelitian yang telah dipublikasikan kajian stilistika menganalisis latar belakang pemanfaatan bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan tertentu yang sengaja diciptakan pengarang sebagai wujud stilistika. Pemanfaatan ini tentunya memiliki latar belakang tertentu bagi sastrawannya. Berbagai alasan pemanfaatan bentuk atau satuan kebahasaan inilah yang dikaji dalam stilistika. Analisis terhadap fungsi pemanfaatan satuan dan bentuk-bentuk kebahasaan yang diberdayakan sedemikian rupa oleh sastrawan. Diciptakannya satuan dan bentuk-bentuk kebahasaan tertentu ini tentunya memiliki fungsi-fungsi ini tentulah tak lepas dari fungsi untuk mencapai efek estetis tertentu yang dikehendaki oleh seorang sastrawan. Sedangkan yang terakhir adalah analisis terhadap tujuan pemanfataan bentuk atau satuan ligual tertentu dalam karya sasta. Penciptaan bentuk-bentuk kebahasaan yang unik dan khas, serta estetik oleh sastrawan tentunya memiliki tujuan tertentu (Al’Maruf, 2012: 21-22).

(16)

linguisticfeatures’ yang meliputi aspek bunyi, diksi, stuktur, bahasa figuratif (pemajasan), sarana retorika (penyiasatan struktur), serta konteks dan kohesi. Berbagai aspek inilah yang dikaji untuk ditemkan keberadaannya dalam sebuuah teks yang akan dikaji. Hasilnya dideskripsikan dalam bentuk deskripsi kebahasaan ‘linguistic description’. Karena kajiannya berupa kajian stilistika maka langkah berikutnya adalah menjelaskan peran dan fungsi setiap aspek kebahasaan itu dalam kaitannya dengan tujuan memperoleh efek keindahan (Nurgiantoro, 2012:101).

Berdasarkan uraian pendapat para ahli mengenai pengertian, tujuan dan lapangan kajian stilistika (lihat uraian Bab II ) serta berdasarkan beberapa penelitian yang menggunakan stilistika sebagai pendekatannya, kajian stilistika terhadap cerpen karya Seno Gumira Ajidarma ini menerapkan kajian stilistika yang tidak lagi berfokus pada penyimpangan pemakaian bahasa dalam cerpen. Kajian stilistika ini meliputi pembahasan mengenai kekhasan, keunikanAntologi Cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah” karya Seno Gumira Ajidarma dalam

pemakaian kata, dan bahasa figuratif.

3. Gaya dalam Kajian Stilistika

(17)

penukaran, (3) penggantian, (4) penghapusan. Empat jenis transformasi di atas dapat dikaitkan dengan sintaksis, semantik, dan bunyi ‘fonologi’ (Luxemburg,

1992:104-105).

Kaitannya seorang pengarang sebagai pembuat teks, berhubungan dengan masalah bagaimana cara (seseorang) menyatakan sesuatu sedangkan hubungan selanjutnya berkaitan dengan apa yang akan dikatakan. Sebuah fiksi hadir dihadapan pembaca untuk mengenalkan dunia. Untuk mengenalkan ini hanya dapat dicapai melalui sarana bahasa(Nurgiyantoro, 2010:277).

Bahasa merupakan sarana bagi seorang pengarang untuk menunjukan gaya atau stile pada masyarakat pembaca. Adapun gaya ini merupakan kekhasan yang dimiliki oleh seorang pengarang, baik dari pilihan kata yang digunakan, kalimat yang diberdayakan maupun bahasa-bahasa figuratif yang digunakan. Teknik pengarang dalam memberdayakan bahasa sedemikian rupa untuk menuangkan ide, gagasan, pikiran inilah yang disebut sebagai gaya.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Stanton yang mengatakan bahwa gaya merupakan cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Misalnya dua orang menggunakan alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan ini terletak pada bahasa yang menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekongkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007: 61).

4. Diksi

(18)

kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scott dalam Al-Ma’ruf, 2012: 50). Pada konteks yang lebih konkret dapat dilihat apabila seseorang mendengar kata roti, maka tidak ada yang berfikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari, tepung air, ragi, mentega yang telah di panggang. Orang akan berfikir kepada esensi yang baru yaitu sejenis makanan, roti,‘bread’, ‘Brot’, ‘brood’, ‘pain’, ‘pains’. Bunyi atau bentuk (rangkaian huruf ) yang akan mengarahkan perhatian kita kepada jenis makanan itu. Oleh karena itu kata dapat didefinisikan sebagai rangkaian bunyi atau simbol yang tertulis yang menyebabkan orang berfikir tentang sesuatu hal dan makna sebuah kata diperoleh berdasarkan konvensi atau kesepakatan umum tentang interelasi antara sebuah kata dengan referensinya (Keraf, 2010: 87-88).Diksi merupakan pilihan kata-kata yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya dengan tujuan untuk mencapai efek makna tertentu. Dalam hal ini berhubungan dengan makna denotasi dan makna konotasi. Keberaadaan kata-kata ini selanjutnya menjadi sangat esensial dalam karya sastra. Kata-kata yang dikombinasikan dalam berbagai variasi akan mampu menggambarkan ide, angan, dan perasaan (Al-Ma’ruf, 2012: 49).

(19)

Kata merupakan kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk ‘signifiant’ dengan aspek arti ‘signifie’. Pemahaman ‘signifie’ dalam kesadaran batin penafsir

akan membuahkan gambaran signifikantum sebagaimana tertandi lewat signifikannya. Sehingga relasi antara keduanya yakni antara lambang kebahasaan dengan sesuatu yang dilambangkannya ada dalam hubungan ganda itulah, kata sebagai lambang kebahasaan memungkinkan untuk diubah relasinya menjadi makna lain (Al-Ma’ruf, 2012:51-52). Pengubahan relasi sebuah kata sehingga tercipta makna lain, makna yang sekaligus dapat mewakili nilai estetis yang dikehendaki pengarang menjadi fenomena tersendiri dalam pemberdayaan kata pada sebuah karya sastra.

(20)

cinta. Maka kata buah mengalami perubahan makna, tidak lagi sebagai bagian dari tumbuhan yang mengandung vitamin melainkan, anak.

5. Bahasa Figuratif

Figuratif berasal dari bahasa latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal kata ‘fingere’dengan arti ‘to fashion’. Istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott dalam Al-Ma’ruf, 2012: 59).

Beberapa ahli mengidentifikasikan bahasa figuratif sebagai bahasa retorika dalam karya sastra. Retorika merupakan pemberdayaan semua unsur bahasa baik yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan,struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan yang disesuaikan dengan tujuan. Adanya kekhasan, ketepatan, kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan tergantung pada kemampuan imajinasi dan kretivitas pengarang (Nurgiantoro, 2010: 295-296).

Bahasa figuratif merupakan retorika sastra, pengungkapannya dengan kias menyaran pada makna literal ‘literal meaning’, memanfatkan bahasa sedemikian

rupa untuk memperoleh efek estetis. Dalam kajian stilistika karya sastra mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Majas, idiom dan peribahasa dipandang representatif dalam mendukung gagasan pengarang, selain dari ketiganya cukup banyak dimanfaatkan para sastrawan dalam karyanya(Al-Ma’ruf, 2012: 60-61).

Sedangkan unsur style yang berujud retorika menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010) terdiri dari bahasa figuratif ‘figurative language’ dan wujud pencitraan ‘imagery’. Sedangkan bahasa figuratif dibedakan ke dalam (1) ‘figures

of thought’ atau ‘tropes,’ dan (2) ‘figures of speech, rhetorical figures,’ atau ‘schemes’ Yang pertama merujuk pada penggunaan unsur kebahasaan yang

(21)

‘meaning’, sedangkan yang kedua lebih menunjuk pada masalah pengurutan kata,

masalah permainan struktur. Jadi yang pertama mempersoalkan pada pengungkapan dengan cara kias, sedangkan yang kedua denga penyiasatan struktur. Stile ini yang merupakan retorika klasik, yang biasa dianggap hanya “gaya bahasa”(Nurgiyantoro, 2010:296).

a. Idiom

Idiom sering disejajarkan dengan konsep atau pengertian peribahasa dalam bahasa Indonesia. Menilik pada konsep idiom yang disampaika Keraf, makna idiom jauh lebih luas daripada peribahasa. Idiom merupakan “Pola-pola struktur yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasayang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal , dengan bertumpu pada kata-kata yang membentuknya”(Keraf, 2010:109).

b. Simile

Konsep tentang simile sering disebut pula sebagai ‘persamaan’. Simile

atau persamaan merupakan gaya bahasa perbandingan. Perbandingan ini bersifat eksplisit karena ia secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain. Oleh karena itu upaya yang digunakan dalam perbandingan ini juga bersifat eksplisit yaitu dengan kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya (Keraf, Gorys, 2010: 138).

(22)

bahasa menjadi lebih hidup dan lancar.Sejauhmana simile dalam karya sastra prosa diberdayakan untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran pengarang dan sekaligus mencapai efek estetis?. Pertanyaan seperti inilah nanti yang akan digunakan untuk mengupas cerpen karya Gumira Aji Darma dalam penelitian ini.

c. Konotasi

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Dalam makna konotatif antara stimulus dan respon mengadung nilai-nilai emosional. Makna konotatif ini terjadi karena pembicara bermaksud menimpulkan efek emosional seperti senang-tidak senang. Kaitannya dengan aspek perasaan, Misalnya kata mati, meninggal, wafat,gugur, mangkat, berpulang,memiliki denotasi yang sama, namun memiliki konotasi yang berbeda pada kata meninggal, wafat, berpulang memiliki konotasi kesopanan. Kata mangkat memiliki konotasi “kebesaran”, dan gugur memiliki nilai keagungan dan keluhuran. Hal ini akan berbeda pada kata persekot, uang muka atau panjar hanya mengandung makna denotatif (Keraf, 2010:28-30).

Jadi sebuah kata mengandung makna denotasi dan makna konotasi apabila kata tersebut disamping memiliki makna dasar yang melekat juga memiliki makna tambahan yang mempertimbangkan aspek hubungan sosial. Jika sebuah kata tidak memiliki makna konotasi tetapi hanya memiliki makna denotasi saja artinya dalam hubungan sosial kata tersebut dianggap tidak memiliki nilai emosional.

d. Metafora

(23)

keluar, di samping atau di atasnyasehingga suatu kelompok kata memiliki makna yang berbeda (Ratna, 2013: 187).

Metafora adalah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Misalnya bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cendera mata dan sebagainya. Metafora tidak menggunakan kata-kata pembanding: seperti, bak, bagaikan, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya metafora hampir sama dengan simile tetapi kemudian berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan (Keraf, 2010:139).

Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan secara luas. Pengertian di atas bahwa majas metafora termasuk majas perbandingan termasuk pengertian secara sempit. Pengertian metafora secara sempit adalah majas seperti metonomia, sinekdoke, hiperbola dan sebagainya. Sedangkan pengertian secara luas diartikan sebagai semua bentuk kiasan, penggunaan bahasa yang dianggap ‘menyimpang’ dari bahasa baku(Ratna, 2013: 181).

Sebagai perbandingan metafora memiliki unsur yang dibandingkan dan unsur pembanding atau dua ‘term‘ atau dua bagian. ‘Term’pokok ‘principal term’ dan term kedua ‘secondary term’. ‘Term‘pokok disebut juga ‘tenor’, term kedua disebut juga ‘vehicle’.‘Term’ pokok atau term tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term kedua atau ‘vehicle’ adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya ‘Bumi adalah perempuan jalang’ maka ‘Bumi’ adalah

term‘pokok, sedangkan ‘perempuan jalang’ ‘term’ kedua atau ‘vehicle.’

(24)

term’ kedua tanpa menyebutkan ‘term’ pokok atau tenornya. Inilah yang selanjutnya disebut sebagai metafora implisit ‘implied metaphore’(Pradopo,

2009:66).

e. Metonomia

Metonomia seringkali dibicarakan bersama-sama dengan metafora. Hal ini karena antara metafora dan metonomia saling berkaitan. Secara etimologis memiliki ciri-ciri yaitu adanya perubahan makna sehingga objek dapat dikaitkan dengan apa yang dimaksudkan. Perbedaan antara keduanya adalah jika metafora dengan cara mengalihkan, melalui persamaan dan perbandingan, didasarkan atas proses seleksi, pilihan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain, sedangkan metonomia dengan mengatasnamakan, menampilkan konsep-konsep secara bertautan, berdekatan, bersebelahan, dan berdampingan. Hubungan dalam metonomia antara bagian dan keseluruhan, penghasil dan benda-benda yang dihasilkan, sebab dan akibat, ruang dan waktu. Oleh karena itu ciri khas dari metonomia adalah sinekdoke (Ratna, 2013: 202-203).

Metonomia dan sinekdoke merupakan bahasa kiasan yang jarang dijumpai pemakaiannya dibandingkan dengan metafora, perbandingan, dan personifikasi. Berikut contoh yang diambilkan dari sajak Toto Sudarto Bachtiar dalam “Ibu

Kota Senja”.

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran ...

Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan Di bawah bayangan samar istana kejang

(25)

Kata Klakson dan Lonceng dimaksudkan untuk mengganti orang-orang atau partai yang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti Sungai Ciliwung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti istana. Kota kekasih adalah Jakarta (Pradopo, 2009: 77-78).

f. Personifikasi atau ‘Prosopopoeia;

Personifikasi atau ‘Prosopopoeia’ adalah bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Penginsanan dalam personifikasi adalah benda-benda mati bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya (Keraf, 2010: 140).

g. Hiperbola

(26)

Adapun penggunaan Hiperbola pada cerpen karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku terlihat pada kutipan berikut ini.

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu berbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja disaku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih (SCB: 447).

Data tersebut merupakan contoh pengarang memanfaatkan gaya bahasa Hiperbola yang indah dan khas karena merupakan bentuk kreasi yang baru karya Seno Gumira Ajidarma. Bentuk hiperbola ini melukiskan sesuatu dibesar-besarkan, namun demikian justru semakin menarik.

B. Pengertian Stilistika dalam Karya Sastra Cerpen.

Karya sastra adalah hasil kreasi pengarang yang dilakukan melalui proses kontemplasi dan refleksi dari berbagai fenomena kehidupan yang ada pada lingkungan sosial budaya yang melingkupinya. Fenomena ini bisa terjadi pada berbagai aspek kehidupan. Sebagi karya seni, karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran pengarang. Sebagai media ekspresi bahasa yang digunakan memiliki nilai estetik yang dominan (Al Ma’ruf, 2012:1-2).

(27)

intrinsik dan unsur ektrisnik. Sekaitan dengan hal tersebut maka perlu kiranya penulis menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan cerpen sebagai sebuah karya sastra dan unsur yang membangunnya.

Secara umum konsep cerpen dapat diuraikan dari beberapa hal, Aziez dan Hasim, Abdul (2012) dalam bukunya berjudul “Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar” menguraikan beberapa perihal cerpen sebagai berikut.

1. Prinsip-prinsip tentang cerita pendek disampaikan oleh tokoh Edgar Allan Poe. Prinsip ini muncul sekitar abad kesembilan belas. Edgar menetapkan batas panjangnya, yaitu cerita pendek harus cukup panjang dibaca sela kurang lebih satu setengah jam. Plot yakni rangkaian peristiwa yang terjalin antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain merupakan serangkaian peristiwa yang menuju klimaks. O, Henri menaambahkan ciri cerpen ini dengan ‘surprise ending’.

2. Materi cerpen dapat berupa humor, petualangan, misteri, realisme, drama, detektif, kajian psikologis tokoh dan sebagainya.

3. Plot atau alur dalam cerita pendek memiliki pendahuluan yang pendek dan ‘to the poit’. Klimaks muncul di ujung, skadang muncul di akhir sehingga mengundang pembaca untuk tetap bertahan membaca hingga akhir cerita. Adapula metode lin yakni klimaks di awal cerita lalu menggunakan metode kilas balik atau flashback. Kilas balik atau ‘flashback’dimaksudkan untuk menunjukan sebab terjadinya klimak yang telah diceritakan pada bagian awal. Dalam cerpen hanya terdapat satu aspek kehidupan saja yang digarap, hal ini berbeda dengan novel. Plot hanya sebagai alat untuk mengembangkan penokohan bukan sebagai tujuan akhir.

4. Karena sempitnya ruang dalam cerpen, sehingga tokoh-tokoh yang adapun jumlahnya tidak banyak. Penggambaran terhadap tokoh tidak dilakukan secara penuh. Keberadaan tokoh sebagai individu tetap diperhatikan sekalipun tidak dikethui nama dan rupa mereka (Azies dan Hasim, Abdul, 2010:34-35).

(28)

Menurut teori Poe, cerita dalam cerpen dilingkupi oleh dua efek ‘kengerian’ dan

‘kecerdasan’. Dua efek ini menguras habis emosi dan intelegensi pembaca(Station, 2007:76-80).

Ukuran panjang pendek seringkali menjadi ukuran untuk menentukan apakah suatu karya sastra prosa itu disebut cerpen, atau novel. Hal ini tentu tidak salah, karena ukuran memang menjadi salah satu ciri dari cerpen disamping ciri-ciri lain yang melekat. Misalnya ceritanya berpusat pada seorang tokoh saja.

Dalam stilistika bentuk fisik dalam hal ini ukuran panjang atau pendek sebuah wacana sastra dalam hal ini adalah cerpen tidak menjadi persoalan. Karena stilistika sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya tidak mempersoalkan panjang pendek wacana yang menjadi objek kajiannya.

Stilistika dalam penelitiannya dapat saja berangkat dari teori struktural. Yakni dengan menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra. Setelah itu secara bersama-sama mengkaji aspek-aspek stilistika dalam objek kajiannya. Hal ini tentu akan menjadikan hasil penelitiannya lebih kompleks. Artinya selain aspek stilistika penelitian seperti ini juga akan bisa mendeskrepsikan komponen-komponen lain yang membangun sebuah karya sastra.

C. Penelitian Tentang Stilistika

(29)

tersebut akan dijadikan sebagai salah satu pijakan oleh peneliti di dalam melakukan penelitian dalam tesis ini.

Sastra Indonesia sebagai media ekspresi berbagai gagasan modern, pencerminan atau pencarian jatidiri untuk membangun kebudayaan baru (Alwi, 2011: 221). Oleh karena itu bermunculanlah produk-produk karya sastra itu, baik yang berupa cerpen, novel maupun puisi sebagai wujud ekspresi. Demikian halnya terhadap kajan-kajian sastra di Indonesia terus dilakukan, seiring dengan mengalirnya produk sastra tersebut.

Sejauh pengetahuan penulis penelitian dengan menggunakan kajian stiistika terhadap karya sastra belum begitu banyak dilakukan, misalnya penelitian stilistika terhadap karya novel, puisi maupun cerpen. Diantara ketiga karya sastra tersebut, puisilah yang seringkali menjadi sasaran kajian stilistika dibandingkan dengan dua diantaranya yaitu cerpen dan novel. Seperti yang ditulis oleh A.Teeuw dalam bukunya tergantung pada kata (1980).

Penelitian stilistika lain ditulis oleh Mamik Purwaningsih dari program studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret dengan judul tesisnya “Analisis Stilistika dan Nilai-nilai Pendidikan Kumpulan Puisi Mata Puisi Karya D. Zawawi Imron”. Penelitian-penelitian relevan lain, akan dibahas secara rinci sebagai berikut.

(30)

(appliedlinguistics) untuk menganalisis karya sastra Indonesia. (b) Memberikan metode hermeneutik/metode pemahaman interpretatif terhadap karya sastra, khususnya cerpen dengan menggunakan metode stilistika. (c) Memberikan model analisis wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra.

Tujuan penelitian yang dilakukan oleh Jabrohim ini, untuk (1) mengetahui gaya kalimat dan sarana retorika cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang terhimpun dalam Senyum Karyamin. (2) gaya kata yang dipakai dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang terhimpun dalam Senyum Karyamin. (3) mengetahui makna yang terimplisitkan pada cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang terhimpun dalam Senyum Karyamin. Selain itu terdapat tujuan teoretik dan tujuan praktis. Secara teoretik penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pandangan bagi pengembangan ilmu sastra, khususnya bidang stilistika sehingga dapat memperkaya khasanah studi stilistika di Indonesia. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk dapat memotifasi para peneliti sastra lainnya agar tertarik untuk mengadakan penelitian sastra secara stilistika.

(31)

yang ada yang berkaitan dengan topik diidentifikasi untuk mempermudah pengelompokan data. Pencapaian metode ini ditempuh melalui teknik pengamatan dan pencatatan. Teknik pengamatan dilakukan untuk mengamati semua gejala yang akan diteliti sedangkan teknik pencatatan dilakukan untuk mencatat semua data yang diperoleh.

Hasil penelitian diperoleh deskripsi melalui pembacaan hermeneutik dapat diidentifikasi bahwa cerpen-cerpen yang diteliti bermuara pada sistem nilai yaitu sikap hidup khas masyarakat Jawa tradisional. Nilai ini meliputi sikap sabar, ‘rila’ dan ‘nrimo’. Selain itu pengarang penggunaan kosakata bahasa Jawa dimaksudkan untuk menghadirkan efek estetis yang tidak bisa ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Pada Analisis pemakaian gaya kata, kalimat maupun bahasa figuratif banyak menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa. Gaya bahasa yang dominan meliputi penggunaan gaya bahasa personifikasi, metafora dan hiperbola, repetisi. Pemanfaatan gaya bahasa dimaksudkan untuk mengungkapkan gagasan pengarang sekaligus sebagai upaya pengarang dalam mencapai efek estetis yang diinginkan (Jabrohim, 2014).

(32)

kekhususan aspek morfologis yaitu pada penggunaan afiksasi leksikon bahasa jawa dan bahasa inggris serta reduplikasi dalam leksikon bahasa jawa, kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk, dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotatif, metafora, metonomia, simile, personifikasi dan hiperbola.Data penelitian ini berupa satuan-satuan lingual yang mengandung keunikan kosakata dan morfosintaksis serta keunikan gaya bahasa.Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, simak dan catat. Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan analisis mengalir yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Karakter atau gaya pemilihan dan pemanfaatan kata, kalimat setiap pengarang memiliki kekhasan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini mempengaruhi komponen yang menjadi bahan kajian peneliti. Sehubungan dengan hal itu, maka terdapat perbedaan dalam ranah ini diantaranya adalah pada pemilihan dan pemakaian kata bahasa Jawa dalam cerpen yang dikaji.

(33)

bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dan reduplikasi data leksikon bahasa jawa. Aspek sintaksis yaitu pemakaian repetisi, pemakaian kalimat majemuk dan pemakaian kalimat inversi. c) Pemakaian gaya bahasa figuratif pada Novel “Laskar Pelangi” membuat pengungkapan maksud menjadi lebih menarik. Beberapa bahasa figuratif yang terdapat dalam pembahasan novel “Laskar Pelangi” yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonomia, simile, personifikasi, dan hiperbola. Peneltian ini menekankan pada pendeskrpsian hasil analisinya Adapun bagaimana penelitian ini dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di kelas tidak dilakukan (http//e-journal.unsrat.ac.id/index.php/jets/article.../1421).

Berikut disajikan penelitian-penelitian lain yang telah dipublikasikan darie-jornal dan prosiding. Pertama, Penelitian Nurul Setyorini yang telah dimuat dalam prosiding dengan judul “Aspek-Aspek Stilistika Novel Lalita Karya Ayu Utami

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrepsikan diksi dalam novel, gaya bahasa, citraan dan gaya kalimat dalam novel “Lalita” karya Ayu Utami. Metode yang

digunakan kualitatif deskreptif.Hasil penelitiannya adalah bahwa diksi asing diperoleh fakta penggunaan diksi bahasa sansekerta dan kosakata sejarah budha.Citraan yang diperoleh berkaitan erat dengan citraan pendengaran dan penglihatan.Gaya bahasa diciptakan untuk memeperoleh nilai estetis.Kajian kalimat pada novel Lalita meliputi kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan, kalimat panjang dan kalimat pendek (Setyorini, Nurul, 2016)).

Penelitian stilistika yang telah dipublikasikan dalam bentuk artikel berjudul “Penggunaan Ungkapan Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta Kamandanu Karya

(34)

Nurgiyantoro. Metode yang digunakan kualitatif dengan pendekatan tekstual dengan tujuan mengkaji penggunaan bahasa tertentu dalam sebuah wacana. Hasil penelitian ini berupa kandungan makna, penggunaan kata dan ungkapan bahasa Jawa dalam puisi “Tirta Kamandanu” Karya Linus Suryadi (Nurgiantoro, Burhan:

2014).

Dalam Jurnal Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh Iniversitas Negeri Semarang pada November 2013, terdapat penelitian stilistika dalam bentuk artikel yang ditulis oleh Syaiful Munir dkk.Penelitian tersebut berjudul “Diksi dan

Majas dalam Kumpulan Puisi Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S:

Kajian Stilistika”.Tujuan penelitiannya yaitu untuk mengetahui penggunaan diksi

dan majas serta fungsinya. Dalam metode penelitian digunakan pendekatan stilistika dengan cara menganalisis sistem liguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai keseluruhan makna. Adapun hasil penelitian berupa pembuktian adanya wujud penggunaan diksi dan majas ( Munir, Saiful dkk. 203).

Penelitian lain dalam bentuk artikel disarikan dari Laporan Penelitian Kuaslitatif, dimuat dalam journal Nuansa (2013). Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitati ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi. Kemudian berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan data dicatat dalam kartu data setelah itu dianalisis dan dikelompokan. Hasil penelitian mengungkap banyak penggunua ponsel yang tidak memperhatikan kesantunan berbahasa dalam berkomunikasi menggunakan SMS (Adriana, Iswah. 2014)

(35)

Purwokerto, penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan kajian stilistika masih relatif sedikit. Terhitung selama kurun waktu 1995 sampai 2014 terdapat karya ilmiah berupa skripsi S1 yang menggunakan karya sastra dengan menggunakan stilistika dengan objek kajian karya sastra prosa sebagai tinjauannya, dari jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia ialah Dewi Rediati dengan judul skripsi “Analisis StilistikaKumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta Karya Seno GumiraAjidarma”(2005). Skripsi ini

menganalisis unsur stilistika yang berujud retorika. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskreptif. Metode yang digunakan adalah dengan pembacaan dan pencatatan. Hasil penelitian pada skripsi ini berupa deskrepsi penggunaan gaya bahasa metafora yang meliputi penggunaan gaya bahasa personifikasi, hiperbola, metonomia pada cerpen yang diteliti. Perbedaan dengan penelitian ini adalah dari segi komponen stilistika yang digunakan. Pada skripsi berjudul “Analisis StilistikaKumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta Karya Seno GumiraAjidarma” penulis hanya menyoroti satu aspek saja yakni pemanfaatan bahasa figuratif. Sejauh mana pemanfaatan dan pemilihan bahasa figuratif ini menjadi sesuatu yang khas, tidak diurai secara lebih mendalam.

(36)

menolak kenyataan empiris.Dari kedua tujuan tersebut sama sekali berbeda dengan penelitian ini. Bahwa penelitian berjudul “Analisis stilistika Antologi cerpen karya Seno Gumira Ajidarma” ini tidak bertujuan untuk membuktikan

kebenaran tertentu yang menjadi fenomena yaitu aliran-aliran di dunia seni sastra dan tentang keorisinilan sebuah karya sastra.

Metode dan teori yang digunakan pada penelitian Abdul Wachid B.S merujuk pada teori semiotik yang mengacu pada pandangan Michael Riffaterre dengan konsep dasarnya bahwa karya sastra disatu segi merupakan dialektika antara pembaca dengan teks. Dengan cara kerja pembaca yang bertugas memberi makna dengan menemukan makna, yaitu kata-katanya, menurut kemampuan bahasanya yang berdasarkan fungsinya bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala di dunia luar. Dalam tataran semiotik karya sastra yang di teliti juga dibongkar secara struktural, atas dasar ‘significance’-nya; penyimpangan dari kode bahasa dari makna biasa, dengan latar belakang keseluruhan karya sastra yang disimpanginya.

(37)

D. Teori Relevan

Ada beberapa ahli yang melakukan penelitian stilistika berangkat dari kajian struktural terlebih dahulu. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan menganalisis aspek struktural karya sastra setelah itu secara bersama-sama peneliti mengolaborasikannya dengan aspek stilistika.

Mengacu pada penelitian-penelitian tentang stilistika yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahuludan telah dipublikasikan dalam bentuk artikel pada e-jornal,prosiding, serta beberapa penelitian yang telah dibukukan dan di publikasikan seperti yang telah di ulas pada sub-bab ‘penelitian yang relevan’,penelitian ini berusaha berpijak pada penelitian-penelitian yang telah ada tersebut dengan teori stilistika Ali Imron Al Ma’ruf (2012). Penelitian ini mengambil dua aspek yang merupakan wilayah dalam kajian stilistika, kemudian dilakukan analisis secara mendalam terhadap aspek stilistika tersebut.

Dalam penelitian ini kajian struktural tidak menjadi pijakan secara utuh untuk menganalisis aspek stilistika. Peneliti bertolak dari sisi bahasa sebagai sarana penyampai pesan dan gagasan pengarang. Penyampaian pesan dan gagasan pengarang yang menggunakan medium bahasa inilah yang menjadi pijakan peneliti.

(38)

menjadi subjektif. Akan tetapi terhadap hal ini jarang sekali muncul perdebatan atau pertentangan. Hal ini dikarenakan sifat yang melekat pada karya sastra itu sendiri.

Terhadap fenomena di atas, maka dalam penelitian ini interpretasi terhadap objek kajian dilakukan dengan mendistorsi satuan-satuan gramatikal tertentu. Sehingga upaya interpretasi menjadi lebih terukur dengan mengamati satuan kebahasaan saat belum dilakukan distorsi dan setelahnya. Satuan kebahasaan yang didistorsi adalah satuan kebahasaan yang dianggap memiliki kekhasan, keunikan sesuai dengan aspek-aspek yang dikaji. Upaya ini dilakukan untuk membedakan potensi estetis satuan kebahasaan yang didistorsi dengan satuan kebahasaan yang asli. Selanjutnya, peneliti menggunakan istilah “pelesapan atau penghilangan dan

penggantian atau subtitusi’ dalam penjelasan lebih lanjut sekaitan dengan metode

penelitian pada bab III.

E. Landasan Pikir

Kumpulan cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah”karya Seno Gumira Ajidarma merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berbobot. Kumpulan cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah”karya Seno Gumira Ajidarmaini terdiri dari beberapa judul cerpen, seperti “Telepon dari Aceh”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Cinta di Atas Perahu Cadik”, “Orang yang Selalu Cuci Tangan”.

(39)

mengenai kekhasan, keunikan kebahasaan dalam cerpen berjudulTelepon Dari Aceh”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Cinta di Atas Perahu Cadik”, “Orang

yang Selalu Cuci Tangan” karya Seno Gumira Ajidarma dapat dikaji dari

parameter linguistik yakni melalui analisis stilistika.

Di dalam penelitian ini teori yang digunakan secaraumumdinilaiberbeda. Apabila pada penelitian yang telah dilakuan (penelitian relevan) umunya teori yang digunakanadalah teori struktural dengan aspek stilistika yang dikaji tidak sama dengan penelitian ini. Maka di dalam penelitian ini peneliti akanmemfokuskan diri pada teori stilistika secara murni dengan dua aspek stilistika yang dianggap memiliki keunikan dan kekhasan dengan objek kajian berupa karya sastra prosa.Oleh karena itu, teori yang digunakan dinilai sedikit berbeda sehingga prosedurpenelitian yang digunakan juga akanberbeda. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dipaparkan pada bab tiga.

(40)

Berikut disajikan bagan kerangka pikir dalam penelitian ini.

Gambar 2.4 Kerangka Pikir

Cerpen berjudul: ‘Telepon Dari Aceh’, ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’, ‘Cinta di

Atas Perahu Cadik’, ‘Orang yang Selalu

Cuci Tangan ‘karya Seno Gumira

Ajidarma

Kekhasandan Keunikan pemakaian bahasa

Kajian Stilistika

Kekhasan dan keunikian pemilihan,

dan pemakaian kata

Kekhasan, pemilihan dan pemakaian bahasa

figuratif

- Keunikan kosakata bahasa asing

- Idiom

- Simile

- Konotasi

- Metafora

- Metonomia

- Personifikasi

Gambar

Gambar 2.1Tujuan Stilistika menurut Leech & Short
Gambar 2.2Faktor Bahasa Teori Jakobson
Gambar 2.4 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Kompensasi merupakan pemberian balas jasa, baik secara langsung berupa uang (finansial) maupun tidak langsung berupa penghargaan (non-finansial). Kompensasi merupakan

Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang dalam pengumpulan data penelitian hingga penafsirannya banyak menggunakan angka, Pengumpulan data dalam

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal

Air mengalir melalui pipa mendatar dari pipa yang berdiameter besar kediameter yang lebih kecil.. Air mengalir melalui pipa mendatar dengan luas penampang pada masing-masing

(2) Jika suatu hypotheek dibebankan atas lebih dari satu bidang tanah, yang tidak semuanya terletak di daerah kerja seorang pejabat pembuat akte tanah, maka dengan

Menurut Lincoln dan Guba (1994) pengumpulan data kualitatif menggunakan wawancara, observasi, dan dokumen. Wawancara, observasi berperan serta dan dokumen saling

Tabel 4.15 Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Postes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak