• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. Wacana c. Pengertian Wacana - AIS RAHMATIKA BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. Wacana c. Pengertian Wacana - AIS RAHMATIKA BAB II"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Deskripsi Konseptual 6. Wacana

c. Pengertian Wacana

(2)

Selain pendapat di atas, Chaer (2007: 267) menyebutkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana tersebut berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan. Persyaratan tersebut dapat dipenuhi jika sebuah wacana sudah terbina yang disebut dengan kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Jika wacana sudah kohesif, maka akan terbentuk kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar. Hal tersebut sejalan dengan Kridalaksana (2011: 259) yang mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang dalam tataran gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Menurutnya, wacana tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

(3)

wacana lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dialog, dan bentuk wacana tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dokumen tertulis. Bentuk-bentuk wacana tersebut akan berarti jika dilihat dari struktur lahirnya (segi bentuk) bersifat kohesif serta saling terkait dan dari struktur batinnya (segi makna) bersifat koheren serta terpadu. Djajasudarma (2010: 3) juga sependapat dengan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ahli di atas bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan satuan bahasa tertinggi dalam hierarki gramatikal. Wacana ini dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh berupa novel, buku, seri ensiklopedia, dsb., paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Menurutnya, wujud wacana dapat dilihat dari segi tataran bahasa mulai tataran terkecil (kata) yang dapat memuat makna menjadi utuh dengan cara melihat informasi yang terkandung di dalamnya.

(4)

menulis dan pengetahuan praktik menulis. Selain harus mengerti beberapa pengetahuan dasar tentang ejaan, penggunaan kosakata, kalimat, serta kaidah-kaidah kebahasaan, subyek individu (penulis) juga dituntut menguasai beberapa pengetahuan dasar tentang wacana. Dengan demikian, dapat disimpulkan semua bentuk paparan lisan atau tulisan yang merupakan wadah penyampaian informasi maupun pikiran yang utuh disebut dengan wacana.

Secara umum sebuah wacana mengacu kepada sebuah teks utuh, baik dalam situasi lisan maupun tulis. Sebuah wacana dapat diajukan kepada setiap tujuan berbahasa atau kepada setiap jenis bentuk bahasa, misalnya sebuah puisi, percakapan, tragedi, lelucon, diskusi dalam seminar, sejarah yang penting, makalah dalam majalah, wawancara, khotbah, dan wawancara TV. Teori tentang analisis wacana menjelaskan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang berbagai jenis wacana. Selain itu, dapat pula memberikan penjelasan tentang urutan kelogisan, pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana (Parera, 2004: 218-219).

(5)

ilmiah. Sesuai dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan objek kajian yang berbentuk karangan ilmiah berupa skripsi.

d. Pengertian Kompetensi Kewacanaan

Ragam kompetensi kebahasaan dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi kemahiran fungsional dan kompetensi komunikatif. Kompetensi kemahiran fungsional memiliki tiga komponen di dalamnya, yaitu kompetensi partisipasif, kompetensi interaksional, dan kompetensi akademik. Selanjutnya, kompetensi komunikatif memiliki empat komponen di dalamnya, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategik (Tarigan, 2009: 29).

(6)

Setelah mengetahui pengertian dari kompetensi dalam sebuah bahasa, maka dapat diketahui definisi kompetensi komunikatif. Richards, et al (2010: 99) mendefinisikan kompetensi komunikatif sebagai pengetahuan yang tidak hanya mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul dalam suatu bahasa, tetapi juga mengenai apakah suatu bahasa tersebut dapat diterima, pantas, dan dapat dilakukan dalam suatu ujaran tertentu. Selanjutnya, Tarigan (2009: 31) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kompetensi komunikatif adalah kemampuan untuk menerapkan kaidah-kaidah gramatikal suatu bahasa untuk membentuk kalimat-kalimat yang benar secara gramatikal dan untuk mengetahui apabila, di mana, kepada siapa menggunakan kalimat-kalimat tersebut.

Kompetensi kewacanaan merupakan salah satu komponen dari kompetensi komunikatif. Menurut Riyono (2015: 2) kompetensi wacana adalah kemampuan untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk membentuk keseluruhan rangkaian tuturan yang bermakna. Wacana berarti apa saja mulai dari percakapan sederhana hingga teks tulis panjang (artikel, buku, dan sebagianya).

Kompetensi wacana merupakan kompetensi yang mencakup pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengkombinasikan atau menggabungkan bentuk-bentuk dan makna-makna untuk mencapai teks-teks lisan dan tertulis yang terpadu atau utuh. Kompetensi ini berkaitan dengan penguasaan menggabungkan bentuk-bentuk dan makna-makna gramatikal untuk mencapai teks lisan atau tertulis yang terpadu dalam berbagai ragam „genre‟ (Tarigan, 2009: 40). Yang dimaksud „genre‟ di sini adalah tipe/jenis teks, misalnya:

(7)

2) esei argumentatif; 3) laporan ilmiah; 4) surat bisnis;

5) seperangkat instruksi yang masing-masing mewakili setiap genre.

Kesatuan atau kepaduan suatu teks diperoleh atau dicapai melalui kohesi (segi bentuk) dan koherensi (segi makna). Kohesi berfokus pada bagaimana ucapan-ucapan dihubungkan secara struktural dan memberi kemudahan dalam proses interpretasi atau penafsiran suatu teks. Sebagai contoh, penggunaan sarana-sarana kohesi seperti pronomina, sinonim, elipsis, konjungsi, dan struktur-struktur paralel yang bertindak menghubungkan ucapan-ucapan individual dan untuk menyatakan bagaimana cara sekelompok ucapan dapat dipahami atau dimengerti (secara logis atau secara kronologis) sebagai suatu teks.

Selanjutnya, sarana kohesi yang mendukung aspek-aspek koherensi yang beraneka ragam juga dapat memberi sumbangan pada kualitas dan kesatuan suatu teks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kompetensi wacana merupakan jenis-jenis teks lisan dan tulis namun yang dipilih berdasarkan analisis kebutuhan dan minat komunikasi para pembelajar, yang mencakup (Tarigan, 2004: 43-44):

1. Kohesi dalam jenis-jenis teks yang beraneka ragam, antara lain:

(8)

logis, struktur-struktur paralel (yang berlaku bagi kegiatan menyimak, berbicara, membaca, menulis).

2. Koherensi dalam jenis-jenis teks yang beraneka ragam, diantaranya:

a. pola-pola wacana lisan, misalnya gerak-maju mekna-makna yang normal, terutama sekali makna-makna kalamiah dan fungsi komunikatif dan konversasi kasual (yang berlaku pada kegiatan menyimak, berbicara, membaca);

b. pola-pola wacana tulis, gerak maju, makna-makna normal dalam surat bisnis, sebagai contohnya (yang berlaku dalam kegiatan membaca dan menulis saja).

(9)

tersebut atau dalam hal ini adalah wacana dapat diartikan sebagai sebuah tahapan dari pembentukan kalimat pertama yang menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain tersebut membentuk kesatuan yang kemudian disebut sebagai wacana (Ekoyanantiasih, 2002: 10).

Berdasarkan pemaparan pendapat para ahli bahasa, simpulan yang dapat ditarik mengenai pengertian kompetensi kewacanaan adalah kemampuan seseorang dalam berbahasa tulis maupun lisan yang kohesif dan koheren. Kompetensi kewacanaan seseorang dihasilkan oleh aspek-aspek kohesi dan koherensi yang telah dikuasainya. Dengan demikian, makin baik penguasaan kebahasaannya, tentu makin baik kompetensi kewacanaannya.

7. Kohesi

c. Pengertian Kohesi

(10)

sebagai keserasian, maksudnya adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana. Keserasian hubungan tersebut dapat dilihat dari berbagai alat atau peranti wacana, baik yang berupa aspek gramatikal maupun yang berupa aspek semantik, atau gabungan antara kedua aspek ini (Chaer, 2007: 267). Jadi, dapat dikatakan bahwa kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren (Djajasudarma, 2010: 44).

Sehubungan dengan alat atau peranti wacana, Halliday & Hasan (1994: 65) mengartikan kohesi sebagai perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa sebagai bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya. Sumber-sumber yang dimaksud adalah referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal. Pendapat tersebut diperkuat oleh Ramlan (1993: 11) bahwa untuk membentuk paragraf yang baik, selain harus mengandung kepaduan makna, paragraf tersebut harus mengandung kepaduan bentuk. Bidang bentuk dalam paragraf dapat dilihat dari pemakaian tanda-tanda atau unsur-unsur kebahasaan yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam satuan paragraf. Jadi, terdapat kepaduan lain yang disebut dengan kohesi, yakni kepaduan di bidang bentuk

(11)

yang dinyatakan dalam sebuah wacana. Hubungan antara proposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana disebut dengan kohesi. Kohesi dapat pula dilihat berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat. Unsur-unsur tersebut dihubungkan melalui penggunaan sebuah konjungtor yang mengungkapkan pertentangan, pengutamaan, perkecualian, konsesi, tujuan. Selanjutnya, kohesi dapat pula ditandai oleh pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh maupun sebagian. Selain itu, kohesi sering pula diciptakan dengan memakai kata yang maknanya berbeda dengan makna kata yang diacunya, tetapi kata yang digantikan dan kata pengganti menunjuk ke referen yang sama. Pada umumnya wacana menunjukkan bentuk lahir yang kohesif dengan ditandai pemakaian sarana kohesi. Dengan demikian, kohesi dalam wacana tidak hanya menyatakan pertalian bentuk lahir saja, melainkan menyiratkan koherensi, yakni hubungan semantis yang mendasari wacana tersebut (Alwi, dkk., 2003: 427).

(12)

pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk, maksudnya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam aspek internal struktur wacana (Mulyana, 2005: 26). Selanjutnya, kohesi dapat disebut sebagai unsur yang menentukan keutuhan sebuah wacana. Hal ini dijelaskan oleh Tarigan (2009: 92) dalam pendapatnya bahwa kohesi (kepaduan) merupakan salah satu unsur yang turut menentukan keutuhan wacana. Kata kohesi mengandung pengertian kepaduan dan keutuhan. Jika dikaitkan dengan aspek bentuk dan makna, dapat dikatakan bahwa kohesi mengacu kepada aspek bentuk. Selanjutnya, dapat dikatakan pula bahwa kohesi mengacu kepada aspek formal bahasa (language). Aspek tersebut berkaitan erat dengan kohesi ini untuk melukiskan bagaimana caranya proposisi saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk suatu teks. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kohesi merupakan hubungan semantik antara kalimat yang satu dengan yang lain dengan ditandai oleh adanya bentuk penanda ikatan formal. Kohesi juga berfungsi untuk membentuk ketekstualan suatu teks, yakni menjalin hubungan makna dan mengatur keurutan informasi (Pangaribuan, 2008: 58)

(13)

digunakan dalam membangun wacana tersebut sehingga tercipta sebuah wacana yang apik dan kohesif.

d. Macam Peranti Kohesi 3) Peranti Kohesi Leksikal

Peranti kohesi leksikal dapat dibagi menjadi enam, yaitu repetisi, sinonimi, kolokasi, hiponimi, antonimi, dan ekuivalensi. Keenam peranti kohesi tersebut digunakan untuk mencapai kepaduan wacana melalui aspek leksikal (Sumarlam, dkk., 2003: 34). Berikut ini adalah penjelasan dari keenam peranti kohesi leksikal tersebut.

a) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, repetisi dapat dibedakan menjadi repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Berikut ini adalah penjelasan dan contoh penggunaan kedelapan jenis repetisi tersebut.

1) Repetisi Epizeuksis

Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Misalnya pada tuturan berikut.

(14)

Pada tuturan di atas, kata selagi diulang beberapa kali secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu.

2) Repetisi Tautotes

Repetisi Tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Agar lebih jelas perhatikan contoh berikut ini.

(2) Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan, tetapi aku sangat mempercayai dia, dia pun sangat mempercayai aku. Aku dan dia saling mempercayai.

Dalam hal ini, kata mempercayai diulang tiga kali dalam sebuah konstruksi.

3) Repetisi Anafora

Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa. Contohnya adalah sebagai berikut.

(3) Bukan nafsu, Bukan wajahmu, Bukan kakimu, Bukan tubuhmu,

Aku mencintaimu karena hatimu.

(15)

4) Repetisi Epistrofa

Repetisi Epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Misalnya adalah sebagai berikut.

(4) Bumi yang kudiami, laut yang kulayari, adalah puisi. Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki, adalah puisi. Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi. Gubug yang kauratapi, gubug yang kautinggali, adalah puisi.

Pada bait puisi di atas satuan lingual adalah puisi diulang empat kali pada tiap baris secara berurutan.

5) Repetisi Simploke

Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut, seperti pada contoh berikut ini.

(5) Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.

Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin. Kamu bilang nggak punya kepribadian. Biarin. Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.

Pada bait puisi di atas terdapat pengulangan satuan lingual kamu bilang hidup ini pada baris pertama dan kedua, dan satuan lingual kamu bilang nggak

punya pada baris ketiga dan keempat, masing-masing terdapat pada awal baris.

Sementara itu satuan lingual yang berupa kata biarin diulang empat kali pada tiap akhir baris pertama sampai dengan keempat.

6) Repetisi Mesodiplosis

(16)

(6) Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.

Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng. Para pembesar jangan mencuri bensin.

Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.

Pada tiap baris puisi di atas terdapat pengulangan satuan lingual jangan mencuri yang terletak di tengah-tengah baris secara berturut-turut.

7) Repetisi Epanalepsis

Repetisi Epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama. Berikut ini adalah contoh penggunaan repetisi tersebut.

(7) Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang minta maaf. Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu. Berbuat baiklah kepada sesama selagi bisa berbuat baik.

Pada tuturan di atas terdapat repetisi epanalepsis, yaitu frasa minta maaf pada akhir baris merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris pertama. Kata kamu pada akhir baris merupakan pengulangan kata yang sama pada awal baris kedua. Selanjutnya, frasa berbuat baik pada akhir baris merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris ketiga.

8) Repetisi Anadiplosis

Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. Berikut ini adalah contoh repetisi berikut.

(8) dalam hidup ada tujuan tujuan dicapai dengan usaha usaha disertai doa

(17)

harapan adalah perjuangan perjuangan adalah pengorbanan

Tampak pada puisi di atas, kata tujuan pada akhir baris pertama menjadi kata pertama pada baris kedua, kata usaha pada akhir kedua menjadi kata pertama pada baris ketiga, kata doa pada akhir baris ketiga menjadi kata pertama pada baris keempat, kata harapan pada akhir baris keempat menjadi kata pertama pada baris kelima, dan kata perjuangan pada akhir baris kelima menjadi kata pertama pada baris terakhir dari puisi tersebut.

b) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.

Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Berikut ini adalah penjelasan dari kelima macam sinonimi tersebut.

1) Sinonimi Morfem (Bebas) dengan Morfem (Terikat)

(18)

(9) Aku mohon kau mengerti perasaanku. Kamu boleh bermain sesuka hatimu. Dia terus berusaha mencari jatidirinya.

2) Sinonim Kata dengan Kata

(10) Meskipun capeg, saya sudah terima bayaran. Setahun menerima gaji 80%. SK pagnegku keluar. Gajiku naik.

Tampak pada tuturan di atas, kepaduan wacana tersebut antara lain didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara kata bayaran pada kalimat pertama dengan kata gaji pada kalimat kedua dan ketiga. Kedua kata tersebut maknanya sepadan.

3) Sinonim Kata dengan Frasa atau Sebaliknya

(11) Kota itu semalam dilanda hujan dan badai. Akibat adanya musibah itu banyak gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk roboh, dan pohon-pohon pun tumbang disapu badai.

Kepaduan wacana tersebut didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara frasa hujan dan badai pada kalimat pertama dengan kata musibah pada kalimat berikutnya.

4) Sinonimi Frasa dengan Frasa

(12) Tina adalah sosok wanita yang pandai bergaul. Betapa tidak. Baru dua hari pindah ke sini, dia sudah bisa beradaptasi dengan baik.

(19)

5) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat

(13) Gunakan landasan teori yang tepat untuk memecahkan masalah

tersebut. Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan

persoalan itu pun juga harus akurat.

Klausa memecahkan masalah tersebut pada kalimat pertama bersinonim dengan klausa menyelesaikan persoalan itu pada kalimat kedua. Kedua klausa yang bermakna sepadan itu mendukung kepaduan wacana yang baik secara leksikal maupun semantis.

c) Antonimi (Lawan Kata)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi juga disebut dengan oposisi makna. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan wacana secara semantis. Berikut ini adalah penjelasan dari kelima macam tersebut.

1) Oposisi Mutlak

Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, misalnya oposisi antara kata hidup dengan kata mati, kata bergerak dengan diam. Misalnya pada wacana berikut ini.

(20)

2) Oposisi Kutub

Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut. Misalnya oposisi makna antara kata-kata:

kaya >< miskin besar >< kecil panjang >< pendek lebar >< sempit senang >< susah

Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi kutub.

(15) Memasuki era globalisasi sekarang ini, meningkatkan kualitas sumber daya manusia sangatlah penting. Semua warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, baik itu orang kaya maupun orang miskin. Semua mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Pada wacana di atas terdapat oposisi kutub antara kata kaya dengan kata miskin pada kalimat kedua. Kedua kata tersebut dikatakan berproposisi kurub sebab terdapat gradasi di antara oposisi keduanya, yaitu adanya realitas sangat kaya, kaya, agak kaya, agak miskin, miskin, dan sangat miskin bagi kehidupan orang di dunia ini.

3) Oposisi Hubungan

(21)

bapak >< ibu guru >< murid dosen >< mahasiswa dokter >< pasien senang >< susah

Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi hubungan.

(16) Ibu Rini adalah seorang guru yang cantik dan cerdas. Selain itu, beliau juga pandai dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas, sehingga semua murid senang kepadanya.

Wacana di atas terdapat oposisi hubungan antara kata guru pada kalimat pertama dengan murid pada kalimat kedua. Guru sebagai realitas dimungkinkan ada karena kehadirannya dilengkapi oleh murid dan sebaliknya.

4) Oposisi Hirarkial

Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada mana-mana satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan, dan sejenisnya. Misalnya pada oposisi kata-kata berikut ini.

milimeter >< sentimeter >< meter >< kilometer kilogram >< kuintal >< ton

detik >< menit >< jam >< hari >< minggu >< bulan >< tahun SD >< SLTP >< SMU >< PT

Pemakaian kata-kata tersebut antara lain dapat diamati pada tuturan berikut.

(22)

Pada wacana di atas dapat ditemukan oposisi hirarkial yang menyatakan realitas tingkatan waktu, yaitu antara satuan waktu berminggu-minggu yang dioposisikan dengan berbulan-bulan dan dioposisikan pula dengan bertahun-tahun.

5) Oposisi Majemuk

Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan tidak pada oposisi majemuk. Adapun perbedaannya dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial terdapat makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil. Akan tetapi, pada oposisi majemuk tidak demikian adanya. Contoh kata-kata yang beroposisi majemuk antara lain:

berdiri >< jongkok >< duduk >< berbaring diam >< berbicara >< bergerak >< bertindak berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti Berikut ini adalah contoh oposisi majemuk dalam sebuah wacana.

(23)

d) Kolokasi (Sanding Kata)

Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu dominan atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis, misalnya, merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan.

Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi kolokasi jaringan pertanian.

(19) Waktu aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke sawah. Ayah adalah seorang petani yang sukses. Dengan lahan yang luas dan bibit padi yang berkualitas serta didukung sistem pengolahan yang sempurna maka panen pun melimpah. Dari hasil panen itu pula keluarga ayahku mempu bertahan hidup secara layak.

e) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut “hipernim” atau “hiperordinat”.

Berikut ini adalah contoh penggunaan hiponimi dalam sebuah wacana. (20) Binatang melata termasuk kategori hewan reptil. Reptil yang hidup

(24)

Pada contoh di atas yang merupakan hipernim atau superordinatnya adalah binatang melata atau yang disebut reptil. Sementara itu, binatang-binatang yang merupakan golongan reptil sebagai hiponimnya adalah katak, ular, cicak, kadal, dan bunglon. Fungsi hiponimi adalah untuk mengikat hubungan antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi.

f) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama, yakni beli.

Berikut ini adalah contoh wacana yang mengandung ekuivalensi.

(21) Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali alam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar di sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang dan tertarik pada semua pelajaran.

(25)

a) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulang sebagian kalimat. Dengan mengulang, berarti terkait antara topik kalimat yang satu dengan kalimat sebelumnya yang diulang. Jenis repetisi dalam hal ini dibagi menjadi tiga macam. Berikut ini adalah penjelasannya.

1) Ulangan Penuh

Ulangan penuh berarti mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh, tanpa pengurangan dan perubahan bentuk. Pengulangan tersebut dapat berfungsi untuk memberi tekanan pada bagian yang diulang. Contohnya adalah sebagai berikut.

(22) Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.

2) Ulangan dengan Bentuk Lain

Ulangan dengan bentuk lain terjadi apabila sebuah kata diulang dengan konstruksi atau bentuk kata lain yang masih mempunyai bentuk dasar yang sama. Contohnya adalah sebagai berikut.

(23) Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.

3) Ulangan dengan Penggantian

(26)

bagian kalimat seperti yang sudah dicontohkan pada kalimat-kalimat di atas. Selain itu, pengulangan dapat dilakukan dengan mengganti bentuk lain seperti dengan kata ganti. Contohnya adalah sebagai berikut.

(24) Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau, lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika.

b) Ulangan dengan Hiponim

Dalam kehidupan sehari-hari, telah dikenal kata superordinat yang mempunyai beberapa subordinat. Pengulangan yang terjadi pada kata subordinat disebut ulangan dengan hiponim. Contohnya adalah berikut ini.

(25) Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS.

c) Kolokasi

Suatu hal yang selalu berdekatan atau berdampingan dengan yang lain biasanya diasosiasikan sebagai satu kesatuan. Seperti ikan dan air sering diasosiasikan membentuk suatu kesatuan. Contohnya adalah sebagai berikut.

(26) Sifat terbuka atau demokratis dari Pancasila sebagai ideologi pertama-tama dapat kita lihat dari proses kelahirannya. Sebagaimana diketahui rumusan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi bersama lahir melalui proses musyawarah mufakat yang bersuasana terbuka dan demokratis.

(27)

menimbulkan suatu penyimpangan proposisi karena keduanya menunjukkan kolokasi.

Dari penjelasan dan perincian macam-macam peranti kohesi leksikal yang telah disebutkan oleh Rani, dkk. dan Sumarlam, dkk., maka peneliti merumuskan peranti kohesi leksikal yang digunakan dalam penelitian menjadi enam, yaitu (a) repetisi, (b) ulangan dengan hiponim, (c) kolokasi, (d) sinonimi, (e) antonimi, (f) ekuivalensi.

4) Peranti Kohesi Gramatikal

Peranti kohesi gramatikal merupakan peranti atau penanda kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah bahasa. Peranti kohesi gramatikal yang digunakan untuk menghubungkan ide antarkalimat cukup terbatas ragamnya. Rani (2006: 97) membagi peranti kohesi gramatikal menjadi tiga macam, yaitu referensi, penggantian (substitusi), peranti konjungsi. Berikut ini adalah peranti kohesi tersebut.

a) Referensi

Referensi memiliki arti hubungan antara kata dengan benda. Misalnya kata “buku” mempunyai referensi kepada sekumpulan kertas yang dijilid untuk

menulis dan dibaca. Referensi dibagi menjadi dua macam, yaitu eksofora dan endofora. Berikut ini adalah penjelasan dua macam referensi tersebut.

1) Referensi Eksofora

(28)

kegiatan. Misalnya, itu matahari. Kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada sesuatu di luar teks, yaitu benda yang berpijar yang menerangi alam ini.

2) Referensi Endofora

Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden (unsur terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat) yang terdapat di dalam bahasa (intratekstual). Pengacu dan yang diacu adalah koreferensial. Apabila yang ditunjuk itu sudah lebih dahulu diucapkan atau ada pada kalimat yang lebih dahulu maka disebut anafora (referensi mundur ke belakang); dan jika yang ditunjuk berada di depan atau pada kalimat sesudahnya maka disebut katafora (referensi ke depan). Baik referensi yang bersifat anafora maupun katafora menggunakan pronomina persona (saya, aku, kami, kita, kamu, engkau, anda, kalian, kamu sekalian, dia, ia, beliau, mereka), pronomina petunjuk (di sini,

di situ, di sana, di sana sini, yang ini, yang itu), dan pronomina komparatif (sama,

persis, mirip, identik, serupa, segitu, selain, berbeda, yang demikian). Berikut ini

adalah contoh tuturan bereferensi anafora.

(27) (a) Nauval hari ini tidak masuk sekolah. (b) Ia ikut ibunya pergi ke Surabaya.

Kata ia pada kalimat (b) mengacu pada kata Nauval di kalimat (a). Selanjutnya, berikut ini adalah contoh tuturan bereferensi katafora.

(28) Seperti kulitnya, mata Zia juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan.

(29)

b) Penggantian (Substitusi)

Substitusi adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur lain yang acuannya tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang lebih besar daripada kata, seperti frasa atau klausa. Secara umum, penggantian itu dapat berupa kata ganti orang, tempat, dan sesuatu hal. Penggunaan peranti kohesi yang berupa kata ganti pada dasarnya sama dengan pengulangan (repetisi) dengan bentuk berbeda. Misalnya sebagai berikut.

(29) Dalam aksioma yang ketiga, Buhler berusaha menguraikan struktur

modell der Sprache. Ia beranggapan bahwa semua bahasa

mempunyai struktur.

Pada kalimat di atas, kata Buhler diganti dengan kata ia. Kata ganti ia merupakan kata ganti orang ketiga tunggal.

c) Peranti Konjungsi

Konjungsi berfungsi untuk merangkaikan atau mengikat beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana itu terasa selaras. Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan untuk merangkai ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antarkalimat. Penggunaan konjungsi sebagai peranti kohesi dalam bahasa Indonesia menunjukkan pola tertentu. Konjungsi digunakan dengan mempertimbangkan logika berpikir. Penggunaan konjungsi yang tidak mempertimbangkan logika akan membuat wacana menjadi tidak apik terutama jika dilihat dari kepaduannya.

(30)

proposisi yang diwujudkan dalam dua kalimat. Pengklasifikasian peranti kohesi tersebut didasarkan jenis hubungan yang diciptakan.

1) Peranti Urutan Waktu

Proposisi yang menunjukkan tahapan-tahapan seperti awal, pelaksanaan, dan penyelesaian dapat disusun dengan menggunakan urutan waktu. Urutan waktu dapat dimulai dari proposisi yang menunjukkan thap awal dan dilanjutkan oleh tahap berikutmya. Proposisi yang menunjukkan suatu rangkaian kesejarahan atau urutan waktu dapat menggunakan peranti kohesi yang menunjukkan adanya urutan waktu. Konjungsi yang menunjukkan urutan waktu antara lain sebelum itu, sesudah itu, lalu, kemudian, mula-mula, akhirnya. Selain itu, ada konjungsi yang

menunjukkan suatu urutan yang menyatakan kebersamaan (waktu) seperti waktu itu, sejak itu, ketika itu. Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti kohesi.

(30) Dalam pelaksanaannya, penerapan pendekatan analitis ini diawali dengan kegiatan membaca teks secar keseluruhan. Setelah itu, pembaca menampilkan beberapa pertanyaan cipta sastra yang dibacanya.

Penggunaan peranti kohesi urutan waktu mempunyai ciri-ciri seperti berikut. Pertama, proposisi-proposisi dihubungkan suatu rangkaian yang membentuk suatu tahapan waktu. Kedua, dalam urutan waktu yang progresif, proposisi yang ditempatkan dalam urutan pertama atau terdahulu harus proposisi yang mengandung penunjuk waktu lebih awal.

2) Peranti Pilihan

(31)

dijumpai. Untuk menyatakan dua proposisi berurutan yang menunjukkan hubungan pilihan, sering digunakan kata atau seperti pada contoh berikut ini.

(31) Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dan kesemestaan galaksi. Atau, orang yang berdiri di puncak tertinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Seperti tampak pada contoh di atas, penggunaan kata atau sebagai peranti kohesi antarkalimat dapat diterima. Menurut logika, penggunan peranti kohesi itu tidak salah. Proposisi yang mengikuti peranti itu tidak cocok jika disatukan menjadi sebuah kalimat dengan kalimat sebelumnya. Proposisi itu menunjukkan suatu ilustrasi alternatif proposisi sebelumnya.

3) Peranti Alahan

Sebuah peristiwa atau hal yang bisa menyebabkan peristiwa peristiwa lain itu ternyata tidak berlaku seperti biasanya. Keadaan tersebut yang disebut hubungn alahan. Selain itu, hubungan alahan juga terjadi apabila ada sesuatu peristiwa atau hal yang tidak biasa menyebabkan peristiwa lain, tetapi muncul dalam hal itu. Contohnya sebagai berikut.

(32) Mendung kelabu menyelimuti kota metropolitan itu kemarin. Meskipun begitu, tak setetes air pun yang jatuh.

(32)

dihubungkan dengan frasa-frasa seperti meski(pun) demikian, meski(pun) begitu, kendati(pun) demikian, kendatipun begitu, biarpun demikian, dan biarpun begitu.

4) Peranti Parafrasa

Proses komunikasi mempunyai kemungkinan adakalanya pengirim pesan dalam mengungkapkan sesuatu merasa masih ada sesuatu pesan yang tersirat dalam ujarannya. Jika sesuatu yang tersirat itu diduga belum dipahami oleh mitra tuturnya, sering terjadi pengirim pesan ingin memperjelasnya dengan ungkapan lain yang dapat melengkapi dan menyempurnakan ungkapan sebelumnya. Apabila proposisi yang diungkapkan itu tidak berbeda dengan sebelumnya, biasanya digunakan peranti kohesi yang menunjukkan parafrasa tersebut. Peranti parafrasa dalam bahasa Indonesia, yaitu dengan kata lain dan dengan perkataan lain. Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti parafrasa.

(33) Perlu juga diperhatikan bahwa sejumlah teori dan pendekatan yang ada tersebut, bagi pembaca justru saling melengkapi. Dengan kata lain, apabila tujuan pembaca ingin memahami keseluruhan aspek dalam karya sastra, tidak mungkin mereka hanya memiliki satu pendekatan.

Pada contoh di atas, proposisi yang mengikuti peranti dengan kata lain sebenarnya telah dinyatakan dalam kalimat sebelumnya, tetapi tidak dengan ungkapan yang dinyatakan secara tersurat. Dengan peranti kohesi tersebut, hubungan kedua kalimat itu menjadi lebih jelas.

5) Peranti Ketidakserasian

(33)

dengan perbedaan proposisi yang terkandung di dalamnya, bahkan sampai pada pertentangan. Dua proposisi yang tidak serasi biasanya diungkapkan dengan menggunakan peranti tidak serasi. Contohnya adalah sebagai berikut.

(34) Pengetahuan filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang pikiran-pikiran dasar yang melandasai teori tersebut dalam bentuk potulat, asumsi atau prinsip yang sering kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar-mengajar. Padahal, untuk melakukan seleksi terhadap teori mana yang akan dipilih sebagai alat analitis, seorang ilmuwan harus mampu mengadakan evaluasi terhadap teori-teori yang ada di mana fokus utama sering diletakkan pada pikiran-pikiran dasar tersebut.

Peranti ketidakserasian dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan dengan kata padahal dan frasa dalam kenyataannya.

6) Peranti Keserasian

Peranti keserasian digunakan apabila dua buah ide atau proposisi itu menunjukkan hubungan yang selaras atau sama. Hubungan kesamaan pada dasarnya berbeda dengan hubungan penambahan. Hubungan kesamaan tidak menunjukkan adanya penambahan informasi sebelumnya, melainkan menunjukkan adanya perlakuan sama antara proposisi sebelumnya dan proposisi yang mengikuti. Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti kohesi keserasian dengan menggunakan frasa demikian juga.

(34)

7) Peranti Tambahan (Aditif)

Peranti tambahan berguna untuk menghubungkan bagian yang bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk merangkaikan dua proposisi atau lebih. Proposisi yang dirangkaikan pada umumnya bersifat setara bahkan proposisi tersebut daat saling menggantikan dan memberi tambahan keterangan proposisi sebelumnya. Dalam hal ini, penutur menyampaikan informasi secara bertahap. Informasi yang disampaikan dngan menggunakan suatu kalimat perlu ditambah lagi. Informasi tersebut kadang tampak lepas dari isi informasi sebelumnya. Oleh karena itu, agar kalimat itu tampak berkaitan maknawi, perlu digunakan peranti kohesi tambahan. Berikut ini adalah contohnya. (36) Tingkah lakunya menawan. Tutur katanya sopan. Murah senyum, jarang marah, dan tidak pernah berbohong. Juga tidak mau mempercakapkan orang lain. Selain itu, ia suka menolong sesama teman. Pantas, Rida gadis pujaan. Tambahan lagi, wajahnya cantik. Pandai pula, ia berdandan. Mudah diajak bicara. Cepat menyesuaikan diri. Pandai pula membawa diri dan ramah terhadap siapa pun.

Ada sejumlah kata yang dapat digunakan untuk mengaitkan informasi yang bersifat tambahan tersebut. Peranti konjungsi tambahan antara lain pula, juga, selanjutnya, dan, di samping itu, tambahan lagi, dan selain itu.

8) Peranti Pertentangan (Kontras)

(35)

lain (akan)tetapi, sebaliknya, dan namun. Berikut ini adalah contoh dari penggunaan peranti pertentangan tersebut.

(37) Pancasila dapat diinterpretasikan secara luas, tetapi bagaimana pun luasnya tidak dapat sedemikian rupa sehingga meliputi pengertian yang bertentangan. Sebaliknya, Pancasila tidak dapat dipersempit sehingga menjadi monopoli golongan masyarakat tertentu.

9) Peranti Perbandingan (Komparatif)

Apabila dua hal diperbandingkan akan diketahui perbedaan atau persamaan dan mungkin keduanya. Untuk menunjukkan dua proposisi yang menunjukkan perbandingan, diperlukan peranti kohesi perbandingan. Peranti transisi perbandingan digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan persamaan atau perbedaan antara bagian yang satu dengan yang lain. Untuk mengatakan hubungan perbandingan secara eksplisit sering digunakan kata penghubung antara lain sama halnya, berbeda dengan itu, seperti, dalam hal seperti itu, lebih dari itu, serupa dengan itu, dan sejalan dengan itu. Berikut ini adalah contohnya.

(38) Pantun, puisi asli Indonesia, berbeda dengan syair. Pantun mempunyai dua bagian setiap bait, yaitu bagian sampiran dan isi. Sampiran terdapat pada dua baris pertama, sedang isinya terkandung pada dua baris terakhir. Berbeda dengan pantun, syair hanya memiliki isi. Isi terkandung dalam keempat baris dalam satu bait tersebut. Perbedaan lain dapat dilihat pada persajakan di akhir baris. Pantun bersajak selang seling (abab), sedangkan syair bersajak sama (aaaa). jadi, jelas, puisi asli Indonesia itu berbeda dengan puisi dari Arab.

10) Peranti Sebab-Akibat

(36)

Hubungan sebab-akibat dalam wacana seperti akibatnya, konsekuensinya, dengan demikian, oleh karena itu, dan sebab itu. Berikut ini adalah contoh penggunaan peranti sebab-akibat.

(39) Menggugat polisi dalam perkara praperadilan termasuk bahkan soal mudah. Oleh karena itu, yang dilakukan Farid menjadi istimewa, bukan karena ia anak Pak De yang kini tengah berperkara dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap Ny. Endang dan Dice. Juga karena ternyata gugatannya terhadap polisi, Jumat pekan lalu, dimenangkan pengadilan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, m. Anas Chas, menganggap penangkapan dan penahanan terhadap Farid oleh polisi, 6 Desember 1986, tidak sah. Karena itu, kas negara harus membayar ganti rugi kepada Farid Rp200 ribu.

11) Peranti Harapan (Optatif)

Hubungan optatif terjadi apabila ada ide atau proposisi yang mengandung suatu harapan atau doa. Sebuah ide yang menunjukkan suatu harapan atau doa biasanya didahului dengan peranti optatif, seperti contoh berikut.

(40) Untuk kebaikan buku tersebut, kami senantiasa bersedia menerima usul-usul penyempurnaan dari berbagai pihak utamanya masing-masing penyusun naskah. Mudah-mudahan, isi buku bermanfaat dan berdaya guna bagi sasaran KKN serta semuanya dapat dimanfaatkannya.

Kata mudah-mudahan pada contoh di atas diikuti oleh proposisi yang menunjukkan suatu harapan.

12) Peranti Ringkasan dan Simpulan

(37)

umumnya, jadi, kesimpulannya, dengan ringkasnya. Contoh pemakaian peranti

tersebut seperti wacana berikut.

(41) Hukum tidak hanya untuk orang kaya. Semua orang mempunyai derajat yang sama di depan hukum. Hukum tidak memandang kaya tau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, pembesar atau rakyat jelata, dan ABRI atau bukan ABRI. Jadi, hukum berlaku untuk siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

13) Peranti Misal atau Contoh

Peranti ini berfungsi untuk memperjelas suatu uraian, khususnya uraian yang bersifat abstrak. Ide atau proposisi yang menunjukkan contohan atau misalan berdasarkan data yang terkumpul didahului oleh peranti misalan atau contoh. Biasanya, kata yang digunakan adalah contohnya, misalnya, umpamanya. Contoh penggunaan peranti tersebut seperti wacana berikut.

(42) Departemen Tenaga Kerja bisa juga menyelidik seseorang hingga jadi terdakwa di meja hijau. Contohnya, Hakim Kustian Efendi dari Pengadilan Negeri Medan telah memvonis Nyonya Tio Kaso, 44 tahun, dengan hukuman denda Rp10 ribu atau kurungan selama tujuh hari pada 6 Maret silam. Padahal, yan menyidik Nyonya Tio itu adalah M. Purba, seorang pegawai pada Dinas Tenaga Kerja Medan.

14) Peranti Keragu-raguan (Dubitatif)

Peranti ini digunakan untuk mengantarkan bagian yang masih menimbulkan keraguan. Kata yang digunakan adalah jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan besar. Contoh penggunaannya seperti berikut ini.

(38)

Untuk menghubungkan bagian yang masih meragukan, wacana di atas menggunakan kata mungkin. Kata tersebut menunjukkan suatu ketidakpastian. Penulis merasa masih ragu-ragu dalam membuat pernyataan atau perkiraan.

15) Peranti Konsesi: Memang, Tentu Saja

Pada saat memberikan penjelasan, adakalanya, pengirim pesan mengakui sesuatu kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang dibicarakan. Pengakuan itu dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu saja. Proposisi pengakuan itu disadari oleh pengirim pesan, tetapi yang bersangkutan tidak dapat mengatasi hal yang diakui itu (meskipun pengakuan itu bersifat negatif). Contohnya adalah sebagai berikut.

(44) Apabila terdapat bahasa Indonesia logat yang bersifat geografis atau horisontal atau lebih tepat bersifat etnis, terdapat pula bahasa Indonesia logat yang bersifat sosial atau vertikal atau bersifat profesi. Para pemuda, misalnya, memakai bahasa Indonesia yang tercampur dengan istilah dan ungkapan yang khusus mereka pahami sendiri, sedangkan orang lain, terlebih orang-orang tua, sukar sekali atau tidak dapat memahami bahasa pemuda semacam itu. Memang, dapat dipahami bahwa kelompok-kelompok sosial tertentu seperti wartawan, dokter, pedagang, makelar, nelayan, pelaut, seniman-seniwati, dan kelompok sosial yang lain mempergunakan banyak istilah dan ungkapan profesi tertentu sehingga menyebabkan orang lain di luar kelompok mereka sukar memahami bahasa Indonesia mereka.

(39)

16) Peranti Penegas

Dalam usaha menyampaikan proposisi kepada penerima, pengirim pesan serung menggunakan berbagai macam cara agar proposisi yang disampaikan itu dapat segera dipahaminya. Salah satu cara yang dilakukan pengirim pesan adalah dengan menggunakan cara penegasan. Proposisi yang telah disebutkan perlu ditegaskan lagi agar dapat segera dipahami dan diresapi. Proposisi yang dijelaskan itu pada dasarnya sama dengan proposisi sebelumnya. Perbedaannya, pada proposisi yang ditegaskan ada suatu usaha kesengajaan untuk menyangatkan seperti contoh berikut ini.

(45) Demikian juga dengan pilihan kata dan penggunaan struktur kalimat, antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki cara yang berbeda-beda. Bahkan, dapat terjadi bahwa bahasa-bahasa orang yang satu daerah juga banyak memiliki perbedaan.

Pada contoh di atas kata bahkan digunakan sebagai peranti yang menyatakan penegasan yang menyangatkan. Ide yang mengikuti kata itu mengandung arti lebih menguatkan.

17) Peranti Penjelas

(40)

(46) Faktor yang keempat, yaitu saluran. Yang dimaksud saluran dalam pembicaraan ini adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam suatu kegiatan bertutur.

Penggunaan peranti kohesi jelasan tersebut dimaksudkan untuk membuat kaitan dua proposisi. Proposisi yang mengikuti peranti itu merupakan bagian yang memberikan penjelasan proposisi yang telah diungkapkan. Jika tidak menggunakan peranti kohesi penjelas, proposisi tersebut menjadi tidak berhubungan.

Selanjutnya, Chaer (2007: 269-270) membagi peranti kohesi gramatikal menjadi tiga macam. Berikut ini adalah ketiga macam peranti kohesi gramatikal. a) Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat;

atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Penggunaan konjungsi ini bertujuan untuk mengubungkan bagian tersebut menjadi lebih eksplisit dan menjadi lebih jelas dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Misalnya pada wacana berikut ini.

(47) Raja sakit. Permaisuri meninggal.

Pada wacana tersebut, hubungan antara kalimat pertama dengan kalimat kedua tidak jelas, apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan akan menjadi jelas jika diberi konjungsi. Contohnya, raja sakit dan permaisuri meninggal, raja sakit karena permaisuri meninggal, raja sakit ketika permaisuri meninggal.

(41)

b) Kata ganti dia, nya, mereka, ini, itu sebagai rujukan anaforis. Penggunaan kata ganti sebagai rujukan anaforis bertujuan untuk membuat bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang, melainkan diganti dengan kata ganti. Oleh karena itu, kalimat-kalimat tersebut menjadi saling berhubungan. Misalnya pada wacana berikut ini.

(48) Rombongan mahasiswa pengunjuk rasa itu mula-mula mendatangi kantor Menteri Dalam Negeri. Sesudah itu mereka dengan tertib menuju gedung DPR di Senayan.

c) Elipsis, yakni penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat pada kalimat lain. Karena tidak diulangnya bagian yang sama, dengan menggunakan elipsis, maka wacana tersebut tampak menjadi lebih efektif. Penghilangan tersebut menjadi alat penghubung kalimat dalam wacana. Misalnya pada wacana berikut ini.

(49) Teman saya yang duduk di pojok itu namanya Ali; dia berasal dari Yogyakarta. Yang di ujung sana Ahmad dari Jakarta. Yang di sebelah gadis berbaju merah itu Nurdin dari Medan.

Tanpa elipsis wacana tersebut menjadi tidak efektif, karena terlalu banyak menggunakan kata. Selain itu, wacana tersebut menjadi ridak ada penghubung antara kalimat yang satu dengan kalimat lainnya, sehingga setiap kalimat menjadi berdiri sendiri. Berikut ini adalah wacana yang tanpa diberi elipsis.

(42)

Selain itu, Sumarlam, dkk. (2003: 23) membagi peranti kohesi gramatikal menjadi empat, yaitu pengacuan, penyulihan, pelesapan, perangkaian. Berikut ini adalah penjelasan dari keempat peranti tersebut.

a) Pengacuan (Referensi)

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Jenis kohesi gramatikal pengacuan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga jenis kohesi gramatikal pengacuan.

1) Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang) yang meliputi persona pertama, kedua, dan ketiga, baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, persona II tunggal, persona III tunggal ada yag berbentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya, bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kanan dan sebelah kiri. Misalnya satuan lingual aku, kamu, dia, merupakan persona I, II, III tunggal bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah ku- (kutulis), kau- (kautulis) yang merupakan bentuk terikat lekat kiri, sedangkan bentuk -nya (istrinya), -mu (istrimu) masing-masing merupakan bentuk terikat lekat kanan.

Berikut ini adalah contoh kepaduan wacana yang didukung oleh kohesi gramatikal yang berupa pengacuan persona.

(43)

Pada tuturan di atas, pronomina persona I tunggal bentuk bebas saya mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan kemudian, yakni Basuki (orang yang menuturkan tuturan itu). Dengan ciri-ciri tersebut, maka saya merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks), yang bersifat kataforis (karena acuannya disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan) melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bebas. Sementara itu, -ku pada

bendaharaku pada tuturan yang sama mengacu pada Pak RT yang telah

disebutkan terdahulu atau yang antesedennya berada di sebelah kiri. Satuan lingual -ku merupakan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan.

2) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (kini dan sekarang), lampau (kemarin dan dulu), akan datang (besok dan yang akan datang), dan waktu netral (pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta).

(44)

(52) Peringatan 57 tahun Indonesia merdeka pada tahun 2002 ini akan diramaikan dengan pagelaran pesta kembang api di ibu kota Jakarta. (53) “Ya di Kota Sala sini jika Ayah dan Ibumu mengawali usaha batik”,

kata Paman sambil menggandeng saya.

Pada tuturan (a) terdapat pronomina demonstratif ini yang mengacu pada waktu kini, yaitu pada tahun 2002 saat kalimat itu dituturkan oleh pembicara atau dituliskan oleh penulisnya. Selanjutnya, tuturan (b) mengacu pada tempat yang dekat dengan pembicara, maksudnya pembicara (Paman) ketika menuturkan kalimat itu ia sedang berada di tempat yang dekat dengan tempat yang dimaksudkan pada tuturan itu, yakni berada di Kota Sala.

3) Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang bisa digunakan untuk membandingkan misalnya, seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis

seperti, persis sama dengan.

Berikut ini adalah contoh pengacuan komparatif.

(54) Tidak berbeda dengan ibunya, Nita itu orangnya cantik, ramah, dan lemah lembut.

(45)

b) Penyulihan (Substitusi)

Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, klausal. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing jenis substitusi. 1) Substitusi Nominal

Substitusi nominal adalah salah satu jenis penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina, misalnya kata derajat dan tingkat diganti dengan pangkat, kata gelar diganti dengan titel. Berikut ini adalah contoh penggunaan substitusi nominal.

(55) Agus sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Sastra. Titel kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa melalui sastranya.

Satuan lingual nomina gelar yang telah disebut terdahulu digantikan oleh satuan lingual nomina pula, yaitu kata titel yang disebutkan kemudian.

2) Substitusi Verbal

Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba. Misalnya, kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha digantikan dengan kata ikhtiar. Berikut ini adalah contoh penggunaan substitusi verbal dalam wacana.

(46)

Wacana di atas tampak adanya penggantian satuan lingual berkategori verba mengarang dengan satuan linguis lain yang berkategori sama, yaitu berkarya.

3) Substitusi Frasal

Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Substritusi frasa ini misalnya dapat dilihat pada wacana berikut ini.

(57) Aku tidak meneruskan pertanyaanku. Ibuku juga tidak berbicara. Dua orang sama-sama diam.

Pada contoh di atas, kata aku pada kalimat pertama dan ibuku pada kalimat kedua disubstitusi dengan frasa dua orang pada kalimat ketiga.

4) Substitusi Klausal

Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. Berikut ini adalah contoh penggunaan substitusi klausal.

A: “Jika perubahan yang dialami oleh Anang tidak bisa diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya; mungkin hal itu disebabkan oleh kanyataan bahwa orang-orang itu banyak yang tidak sukses seperti Anang”.

B: “Tampaknya memang begitu.”

(47)

Penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana berfungsi untuk mengahadirkan variasi bentuk, menciptakan dinamisasi narasi, menghilangkan kemonotonan, memperoleh unsur pembeda.

c) Pelesapan (Elipsis)

Pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat. Selanjutnya, fungsi pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan.

Berikut ini adalah contoh penggunaan pelesapan (elipsis).

(58) Budi seketika itu terbangun. Menutupi matanya karena silau, mengusap muka dengan saputangannya, lalu bertanya, “Di mana ini?”.

Pada tuturan di atas terdapat pelesapan satuan lingual yang berupa kata, yaitu Budi yang berfungsi sebagai subjek atau perilaku tindakan pada tuturan tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum kata menutupi pada klausa kedua, sebelum kata mengusap pada klausa ketiga, dan

(48)

Apabila tuturan itu kembali dituliskan dalam bentuknya yang lengkap tanpa adanya pelesapan maka akan tampak seperti di bawah ini.

(59) Budi seketika itu terbangun. Budi menutupi matanya karena silau, Budi mengusap muka dengan saputangannya, lalu Budi bertanya, “Di mana ini?”.

d) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa unsur yang lebih besar itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicara dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif.

Dilihat dari segi makna, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut.

1) Sebab-akibat : sebab, karena, maka, makanya 2) Pertentangan : tetapi, namun

3) Kelebihan (eksesif) : malah 4) Perkecualian (ekseptif) : kecuali

5) Konsesif : walaupun, meskipun

6) Tujuan : agar, supaya

7) Penambahan (aditif) : dan, juga, serta 8) Pilihan (alternatif) : atau, apa

9) Harapan (optatif) : moga-moga, semoga 10) Urutan (sekuensial) : lalu, terus, kemudian 11) Perlawanan : sebaliknya

12) Waktu : setelah, sesudah, usai, selesai 13) Syarat : apabila, jika (demikian)

14) Cara : dengan (cara) begitu

(49)

(60) Maksud Bapak benar dan maksud Sigit pun juga tidak salah.

(61) Si Fulan tetap tidak bisa diterima oleh teman-temannya, meskipun dia sudah mengakui kesalahannya.

Berdasarkan penjelasan dan perincian macam-macam peranti kohesi gramatikal yang telah disebutkan oleh Rani, Sumarlam, dkk., dan Chaer, maka peneliti merumuskan peranti kohesi gramatikal yang digunakan dalam penelitian menjadi empat, yaitu (a) referensi, (b) substitusi, (c) elipsis, (d) konjungsi.

8. Koherensi

c. Pengertian Koherensi

(50)

isi pikiran, sedangkan koherensi lebih ditekankan segi struktur, atau inter-relasi antara kata-kata yang menduduki sebuah tugas dalam kalimat. Oleh karena itu, bisa terjadi bahwa sebuah kalimat dapat mengandung sebuah kesatuan pikiran, namun koherensinya tidak baik.

(51)

keberhasilan suatu paragraf. Tanpa adanya kepaduan informasi, kumpulan informasi tersebut tidak menghasikan paragraf. Jadi, koherensi merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung satu ide. Koherensi merujuk pada perpautan makna (Djajasudarma, 2010: 4).

Koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarunsur dalam suatu teks atau tuturan. Sebuah wacana yang utuh mengandung unsur-unsur kalimat yang saling berkaitan. Keutuhan yang koheren tersebut dibangun oleh hubungan-hubungan makna yang terjadi antar unsur atau bagian secara semantis. Koherensi juga merupakan unsur isi dalam wacana, sebagai organisasi semantis, wadah-wadah gagasan disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan dengan tepat. Koherensi adalah kekompakkan hubungan antarkalimat dalam wacana. Meskipun demikian, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara (Brown & Yule, 1987: 223; Sudaryat, 2009: 152).

(52)

Dari beberapa penjelasan di atas, berikut ini adalah contoh hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara implisit.

A: Angkat telepon itu, Ma! B: Aku sedang mandi, Pa! C: Oke!

Dalam wacana tersebut, perkaitan antarproposisi tetap dirasakan ada, tetapi pada kalimat A dan B tidak secara nyata ditemukan unsur-unsur kalimat yang menunjukkan adanya perkaitan gramatikal ataupun semantik. Kalimat B dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Aku sedang mandi, Pa! (Jadi, aku tidak dapat menerima telpon itu), sementara kata Oke! yang diucapkan oleh A

dapat ditafsirkan sebagai bentuk dari kalimat seperti Oke! Kalau begitu, biar aku saja yang menerimanya (Alwi, dkk., 2003: 428). Dari penjelasan tersebut dapat

disimpulkan bahwa terdapat wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, dan ada pula wacana yang koheren tetapi tidak kohesif. Dengan kata lain, suatu wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren. Rangkaian kalimat yang kohesif tetapi tidak koheren dapat dikatakan wacana itu tidak bisa disebut sebagai suatu wacana.

(53)

dalam pembentukan suatu wacana. Pada dasarnya hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Selain itu, pemahaman ihwal hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005: 31).

Berdasarkan definisi koherensi yang dikemukakan oleh para ahli bahasa, maka dapat disimpulkan pengertian koherensi dalam penelitian ini adalah kepaduan hubungan maknawi (kepaduan di bidang makna) antarbagian pembangun wacana. Bagian-bagian pembangun wacana tersebut berupa fakta dan gagasan yang disajikan secara teratur dan tersusun dengan logis, serta ide-ide yang termuat di dalam wacana tersebut tidak keluar dari topik.

d. Peranti Koherensi

Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat pemarkah penghubung kalimat yang digunakan. Faktor yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara lain latar belakang pengetahuan pemakai bahasa atas bidang permasalahan, pengetahuan atas latar belakang budaya dan sosial, kemampuan “membaca”

tentang hal-hal yang tersirat. Menurut Rani (2006: 136) selain penataan urutan kalimat (proposisi) bahwa proposisi itu harus positif. Hal ini dapat dipahami melalui contoh wacana berikut ini.

(54)

Wacana di atas tidak bisa menciptakan referen wacana untuk konsep istri. Oleh karena itu, wacana tersebut tidak bisa diikuti wacana seperti:

(63) Istrinya cantik. Kulit kuning langsat dan matanya jeli.

Hal itu dapat dipahami karena telah diketahui bahwa Boncel tidak memiliki istri sehingga tidak mungkin diberikan ciri-ciri tentang istri yang tidak ada itu.

Selanjutnya, hal yang memegang peranan dalam menciptakan koherensi adalah praanggapan. Praanggapan yang bersifat logis memungkinkan kita mengetahui hal-hal yang tersirat dalam wacana yang kita dengar/baca. Contohnya adalah sebagai berikut.

(64)Bocel tidak lagi memukuli istrinya.

Wacana di atas dapat diketahui bahwa: (a) Boncel adalah orang yang telah kawin dan (b) ia dikenal sebagai orang yang ringan tangan terhadap istrinya. Jika kedua praanggapan itu tidak terpenuhi maka wacana di atas tidak mempunyai nilai kebenaran. Jika kedua praanggapan tersebut benar, maka contoh (65) berikut ini merupakan wacana yang runtut terhadap wacana (64).

(65) Syukurlah kalau ia sudah sadar.

Faktor lain yang mendukung wacana menjadi koheren adalah lokasi geografis dan kesadaran budaya. Berikut ini adalah contoh wacananya.

(55)

lain, yang lantai rumahnya pada umumnya setara dengan tanah, tuturan seperti itu dianggap aneh.

Sementara itu, Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005: 32) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan semantis. Maksud dari pernyataan tersebut adalah hubungan itu terjadi antarproposisi. Secara struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa penanda. Hubungan semantis yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Hubungan Sebab-Akibat

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Mengapa sampai terjadi begini?”, atau kalimat yang satu bermakna sebab dan kalimat lainnya menjadi

akibat. Misalnya pada contoh wacana di bawah ini.

(67) Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu. Koleksi perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.

2) Hubungan Sarana-Hasil

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Mengapa hal ini dapat terjadi?”, dan hasil itu sudah tercapai. Misalnya pada contoh wacana di bawah ini.

(68) Atlet bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaraan Indonesia Terbuka. Kita tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.

3) Hubungan alasan-sebab

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Apa alasannya?”.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan membaca teks yang rumpang, siswa dapat menyunting teks pendek sesuai dengan kebenaran aturan penggunaan huruf kapital (nama orang) dengan benar.. Dengan penugasan, siswa

129 2.Uji Linieritas Iklim (X2)Organisasi Terhadap Produktivitas Sekolah (Y)... Uji Linierias data Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Terhadap Iklim Organisasi

Air mengalir melalui pipa mendatar dari pipa yang berdiameter besar kediameter yang lebih kecil.. Air mengalir melalui pipa mendatar dengan luas penampang pada masing-masing

bersama dengan menerapkan aturan atau batasan tipe data, domain data, keunikan data dan sebagainya, yang secara ketat dapat diterapkan dalam sebuah basis data, sangat berguna

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1). Hubungan secara simultan antara manfaat kuliah, manfaat hiburan dan kemudahan mengakses dengan

Dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 68,2 g bubuk MRSA ke dalam satu liter aquades dan dipanaskan hingga mendidih sambil di-stirrer, kemudian media disterilisasi pada

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sampel dengan penambahan gum arabic 4,5% : sucrose ester 0,225% adalah perbandingan konsentrasi yang terbaik untuk

Alat - alat yang digunakan di pada tabel 6, masih memerlukan beberapa alat tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan sari buah jambu biji dalam kemasan botol plastik PET.