• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, terlebih lagi di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi didapatkan dengan dua cara ditinjau dari asalnya yang pertama adalah penyakit infeksi yang berasal dari komunitas (comunity acquired infection) dan yang kedua adalah penyakit infeksi yang didapat di lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection). Kementrian Kesehatan RI (2011).

Infeksi nosokomial (Hospital acquired infection) mempunyai dampak yang luas, baik dari pasien, masyarakat, dan sarana prasarana kesehatan. Bagi pasien, infeksi nosokomial menyebabkan ketidaknyamanan karena adanya gejala-gejala infeksi yang berdampak pada gangguan fungsi organ (multi organ

disorder). Pasien memerlukan pemeriksaan tambahan dan pengobatan dengan

obat-obatan seperti antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan sehingga menyebabkan pasien harus dirawat lebih lama di rumah sakit dan memiliki konsekuensi meningkatnya biaya perawatan. Bagi rumah sakit, adanya kejadian infeksi nosokomial akan menyebabkan menurunnya kepercayaan dan kepuasan pasien serta menyebabkan peningkatan resistensi kuman di rumah sakit (Setio, 2010).

Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa 8,7% dari 55 rumah sakit di 14 negara baik di Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik menunjukkan keberadaan nyata dari infeksi nosokomial. Di Asia Tenggara sendiri angka infeksi nosokomial yang ditunjukkan pada penelitian tersebut mencapai 10% World Health Organization (2002). Angka kejadian infeksi nosokomial terus meningkat (Al Varado, 2000) mencapai sekitar 9% atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap rumah sakit di seluruh dunia. Hasil survey point dari 11 rumah sakit di Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Persatuan Pengendalian Infeksi Jakarta dan Rumah sakit penyakit infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi Nosokomial untuk ILO 18,9%, ISK 15,1%, IADP

(2)

26,4%, Pneumonia 24,5%, Infeksi saluran nafas lain 15,1%, infeksi lain 32,1%. Dari data diatas salah satu bentuk infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit adalah IADP yaitu infeksi aliran darah primer. Salah satu bentuk infeksi aliran darah adalah plebitis atau peradangan pada vena perifer yang disebabkan tindakan pemasangan infus.

Plebitis merupakan infeksi nosokomial yang disebabkan oleh pemasangan infus atau terapi intravena (Smeltzer, 2002). Angka plebitis dapat terjadi dari 20 hingga 70% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit. Pada kasus pneumonia akut terdapat 39% insiden phlebitis dengan pasien yang mendapat antibiotik (Monreal , 1999). Insiden plebitis dapat meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan infus, komposisi cairan atau obat, ukuran dan tempat kanula yang dimasukkan, serta pemasangan kateter intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme saat penusukan (Smeltzer, 2002).

Angka plebitis dari 300 pasien yang dirawat di bangsal bedah dan bangsal penyakit dalam di Iran sebesar 26%. Faktor yang mempengaruhi angka tersebut adalah faktor umur, jenis kelamin, ukuran kateter, trauma, lokasi pemasangan, luka bakar, penyakit infeksi yang menyertai dan komorbiditas dari penyakit sistemik seperti diabetes mellitus (Nassaji dan Ghorbani, 2007).

Faktor resiko plebitis yaitu: 1. Faktor pasien itu sendiri seperti usia, kekurangan gizi, penyekit kronis, pembedahan, penurunan daya tahan tubuh, penggunaan obat obatan imunosupresan. 2. Faktor sebelum pemasangan, seperti botol infus yang retak atau berlubang kecil, penghubung dan cairan infus yang tercemar/kadaluwarsa, dan persiapan tidak steril baik dari alat maupun prosedur; 3. Faktor sewaktu pemakaian seperti penggantian cairan intravena menggunakan set infus yang sama, pemberian suntikan berkali-kali, sistem irigasi, dan alat pengukuran tekanan vena sentral; 4. Faktor kontaminasi silang seperti pada daerah terinfeksi di tubuh pasien melalui pasien sendiri atau orang lain atau sebaliknya; 5. Faktor teknik pemasangan atau penggantian balutan yang tidak benar (Setio, 2010).

Kejadian plebitis yang terjadi di rumah sakit juga dapat dipengaruhi oleh faktor sumber daya tenaga kesehatan yang melakukan pemasangan infus tersebut

(3)

yaitu perawat. Perawat bekerja langsung pada lini terdepan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, perawat memiliki peran besar untuk mencegah error dan meminimalkan terjadinya risiko di rumah sakit termasuk dalam tindakan pemasangan infus. Salah satu pencegahan terjadinya plebitis adalah dengan melakukan pemasangan infus sesuai dengan standard operating procedure (SOP). Pemasangan infus di rumah sakit dengan berbagai tujuan seperti pemberian obat, transfusi darah atau pemberian nutrisi melalui intravena menjadikan pemasangan infus tindakan yang hampir 90% dilakukan pada pasien di rumah sakit (Higa, 2000).

Perawat dalam menjalankan perannya diharapkan mengetahui SOP pemasangan infus agar meminimalkan risiko plebitis pada pasien yang terpasang infus. Perawat sebagai salah satu faktor risiko terjadinya plebitis terdokumentasi pada penelitian di Swedia. Tindakan pemasangan infus di lokasi lengan bawah tidak sesuai dengan pedoman dalam waktu 48 jam masih dapat dikatakan aman menurut perawat, sehingga tingkat pengetahuan perawat yang melakukan tindakan pemasangan infus penting untuk mengurangi kejadian plebitis (Lanbeck , 2004).

Rumah Sakit Khusus Bedah Islam (RSKBI) Cawas merupakan rumah sakit tipe C khusus bedah, yang berlokasi di Cawas, Klaten dengan kapasitas 50 tempat tidur. Rumah sakit ini pada awalnya bernama Rumah Sakit Islam (RSI) Cawas yang dirancang sebagai rumah sakit umum. Seiring dengan meningkatnya tindakan bedah yang sebagian besar dilakukan oleh dokter spesialis bedah umum, dokter spesialis obsgin, dan dokter spesialis bedah ortopedi, RSI Cawas kemudian berganti nama dan rancangan menjadi RSKBI Cawas. Di rumah sakit ini baru diperkenalkan tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) Rumah Sakit sejak bulan Juli 2015 untuk persiapan akreditasi yang akan berlangsung pada bulan Desember tahun 2016. Tim PPI terdiri dari dokter dan perawat yang bertanggung jawab langsung kepada direktur. Salah satu sasaran luaran dari PPI adalah menurunkan angka plebitis pada pasien dengan infus pada bangsal rawat inap. Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit adalah untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi di rumah sakit. Kegiatan PPI meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan serta monitoring dan evaluasi.

(4)

Keberhasilan PPI di rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan selain itu juga melindungi pasien, petugas, pengunjung dan keluarga dari tertular penyakit infeksi. Pada Tabel 1 disajikan data jumlah pasien rawat inap Rumah Sakit Khusus Bedah Islam (RSKBI) Cawas tahun 2015 dan 2016.

Tabel 1. Data jumlah pasien rawat inap Rumah Sakit Khusus Bedah Islam (RSKBI) Cawas Tahun 2015

No. Bulan Jumlah Pasien yang diinfus Hari Rawat Inap Jumlah Plebitis Angka 1 Juli 274 890 17 6,20% 2 Agustus 257 675 12 4,60% 3 September 217 849 6 2,70% 4 Oktober 229 665 3 1,30% 5 November 184 525 16 8,70% 6 Desember 207 593 14 6,70%

Tabel 2. Data jumlah pasien rawat inap Rumah Sakit Khusus Bedah Islam (RSKBI) Cawas Tahun 2016

No. Bulan Jumlah Pasien yang diinfus Hari Rawat Inap Jumlah Plebitis Angka 1 Januari 264 803 10 3,78% 2 Februari 311 854 6 1,90% 3 Maret 400 1082 14 3,50% 4 April 359 949 7 1,90% 5 Mei 376 912 8 2,10% 6 Juni 353 833 8 2,30% 7 Juli 346 823 8 2,30% 8 Agustus 284 725 10 3,50% 9 September 358 831 6 1,70%

Dari data jumlah pasien rawat inap di Rumah Sakit Khusus Bedah Islam Cawas tahun 2015 dan 2016 lambat laun penderita plebitis mengalami penurunan. Demikan hal yang harus dilakukan oleh Rumah Sakit Bedah Islam Cawas yaitu

(5)

lebih meningkatkan kualitas progam pencegahan dan pengendalian infeksi terhadap menurunnya angka plebitis di Rumah Sakit Khusus Bedah Islam Cawas. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Intervensi Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi terhadap Menurunnya Angka Plebitis di Rumah Sakit Khusus Bedah Islam Cawas”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, keberadaan PPI di RSKBI Cawas yang baru berusia satu tahun masih membutuhkan penelitian untuk mengetahui pengaruh intervensi PPI terhadap angka plebitis di rumah sakit tersebut.

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh intervensi PPI terhadap penurunan angka plebitis di RSKBI Cawas.

2. Mengetahui kepatuhan perawat dalam melaksanakan prosedur intervensi PPI.

D. Manfaat Penelitian

1. Manajemen RSKBI Cawas memperoleh data mengenai pengaruh intervensi PPI terhadap menurunnya angka plebitis di RSKBI Cawas.

2. Bagi tim PPI, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan surveilans secara berkesinambungan dan memberi masukan kepada manajemen untuk menekan kejadian plebitis.

3. Bagi dokter dan perawat yang bekerja di bangsal rawat inap dan IGD, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengetahui kinerjanya dalam melakukan standar operasional prosedur.

(6)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengukur intervensi PPI terhadap menurunnya angka plebitis di RSKBI Cawas. Penelitian yang mempunyai topik hampir sama dengan penelitian ini antara lain:

1. Pascalia (2004), perbedaan kejadian plebitis antara infus yang didressing setiap hari dengan yang didressing tidak teratur dan yang tidak pernah

didessing di RSUD Ende, menggunakan metode deskriptif dengan

pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang mendapat terapi infus di RSUD Ende selama 2 bulan. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada perbedaan kejadian plebitis antara infus yang diressing setiap hari dengan infus yang didressing tidak teratur. Ada perbedaan kejadian plebitis antara infus yang didressing setiap hari dengan infus yang tidak pernah didressing, tidak ada perbedaan kejadian plebitis antara infus yang tidak didressing setiap hari dengan infus yang tidak pernah didressing. Penelitian oleh Pascalia (2004) berbeda dengan penelitian ini karena yang akan diteliti adalah pengaruh intervensi PPI terhadap menurunnya angka phlebitis di RSKBI Cawas.

2. Lanbeck, Odenbolt, Paulsen (2004). Perception of risk factor for infusion phlebitis among Swedish nurses: a questionnaire study, penelitian ini menggunakan kuesioner untuk menilai persepsi perawat tentang faktor risiko pada plebitis. Hasil dari penelitian ini adalah penusukan vena kateter perifer dalam 48 jam masih terlindungi. Penelitian oleh Lanbeck (2004) berbeda dengan penelitian ini karena yang akan diteliti adalah pengaruh intervensi PPI terhadap menurunnya angka plebitis di RSKBI Cawas. 3. Tampubolon (2012), faktor risiko terjadinya plebitis pada pasien dengan

pemasangan infus di ruang rawat inap penyakit dalam dan bedah rumah sakit umum pusat dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode observasional. Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa ceklis

(7)

untuk melihat tindakan pemasangan infus dan kejadian plebitis dan dianalisis dengan menggunakan OR, chi-square, dan logistik regresi dengan hasil terdapat hubungan signifikan kejadian phlebitis dengan lama infus terpasang. Penelitian oleh Tampubolon (2012) berbeda dengan penelitian ini karena yang akan diteliti adalah pengaruh intervensi PPI terhadap menurunnya angka plebitis di RSKBI Cawas.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, yaitu meneliti pengaruh intervensi PPI terhadap penurunan angka phlebitis di RSKBI Cawas.

Gambar

Tabel 2. Data jumlah pasien rawat inap Rumah Sakit Khusus Bedah Islam  (RSKBI) Cawas Tahun 2016

Referensi

Dokumen terkait

Ibu Nur Rahmawati Syamsiah ST., MT., selaku pembimbing selama melakukan Dasar Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (DP3A) dan Tugas Akhir (TA) Program

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan uraian di atas telah dilakukan oleh Marduati (2012) mengungkapkan bahwa jumlah Surat Paksa PPN berpengaruh positif dan

Hasil persamaan regresi berganda menyatakan bahwa variabel bopo yang paling dominan berpengaruh terhadap profitabilitas dan kebangkrutan, variabel inflasi tidak

1) Lokasi yang strategis, dimana sarana transportasi yang mudah didapat dan kondisi jalan yang cukup baik, serta jaraknya yang hanya ± 12 km dari kota mojokerto

Tujuan dari desain ini adalah untuk membuat suatu tatanan restoran yang berbeda, di mana setiap pengunjung yang datang dapat merasakan exposed design dari interior dan

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.. Senyawa aktif yang terdapat

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan tersebut dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak

Produk tidak mengandung bahan tertentu dengan jumlah dan nilai yang patut diawasi pada tempat kerja.. ∙ Informasi tambahan: Daftar valid selama pembuatan yang digunakan