• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Hukum Forum Akademika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Majalah Hukum Forum Akademika"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Terhadap UUD 1945

Oleh :

Ayu Desiana1

ABSTRAK

Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga yang bertugas mengawal konstitusi, salah satu kewenangannya yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Yudicial review). Salah satu permohonan yudicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang di duga bertentangan dengan UUD 1945 yaitu mengenai status anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Dan hasil putusan Mahkamak Konstitusi tersebut mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terhadap UUD 1945, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi terhadap peraturan Perundang-undangan yang lain yang terkait dengan masalah perkawinan.

Kata Kunci : Implikasi, Putusan, Mahkamah Konstitusi

A. Pendahuluan.

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.2 Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang kekuasaan, walaupun kelembagaan negara pada saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnya dapat diklasifikasikan kedalam tiga cabang kekuasaan itu, namun demikian cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang kekuasaan yang salalu terdapat dalam organisasi negara.

1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi.

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hal. 47.

(2)

Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok negara hukum (rechstaat) dan prinsip the

rule of law. Demokrasi mengutamakan the will of the people, negara hukum

mengutamakan the rule of law.3 Menurut Plato Negara yang berjalan di atas bentuk demokrasi akan menuai bentuk kenegaraan yang ideal yang disebut welfare state, karena demokrasi manginginkan peran Negara dalam upaya melakukan reformasi struktur dan kultur Negara berdasarkan konstitusi dan peradilan yang independent yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.4

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain yaitu Mahkamah Agung serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan.

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadailan dan hukum yang

3

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 511.

4

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT. Citra Aditya, Bandung, 1993, hal. 3-4.

(3)

ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara.

Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.5

Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimabangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan Mahkamah Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakng ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada keberadaan Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir final konstitusi (the final

interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of

human right), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the

citizen’s constitutional right), dan pelindung demokrasi (the protector of

democracy).

Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban . wewenang tersebut meliputi:

1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

5

A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006, hal.119.

(4)

3. Memutus pembubaran Partai Politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan umum.

Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sejak terbentuknya Mahakamah Konstitusi, banyak sekali perkara-perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dan banyak juga perkara-perkara yang tidak di terima dan tidak di kabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan tentunya dengan berbagai pertimbangan hukum oleh para hakim Mahkamah Konstitusi.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Dimana duduk Perkara yang diperkarakan adalah Uji Materi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan), “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, maka hak-hak Konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undnag Dasar 1945 telah dirugikan;

Sedangkan Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia lainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum.

Sedangkan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum.

(5)

Selanjutnya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta status hukum anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dirugikan. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 ini maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidaklah senafas dan sejalan serta telah merugikan hak konstitusional Pemohon sekaligus anaknya. Setelah melalui perdepatan dan mendengarkan pendapat-pendapat dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) di tolak karena dianggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan yang Berjudul “IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UUD 1945, dengan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum bagi hakim terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

(6)

2. Bagaimana Implikasi Hukum terhadap Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

B. Pembahasan.

1. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu diperlukan agar Undang-Undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.

Di sisi lain perubahan ketatanegaraan yang tidak lagi menganut supremasi MPR menempatkan lembaga-lembaga negara pada posisi yang sederajat. Hal itu memungkinkan terjadinya sengketa antar lembaga negara yang memerlukan forum hukum untuk menyelesaikannya. Dan lembaga yang dianggap sesuai untuk menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi.

Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional. Kesatuan sistem hukum nasional ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan pemberlakuan hukum yaitu UUD 1945.

Pasal 1 ayat (1) juga menyatakan bahwa negara Indonesia berbentuk republik. Di dalam negara republik penyelenggaraan negara dimaksudkan untuk kepentingan seluruh rakyat melalui sistem demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Penyelenggaraan negara harus merupakan wujud dari kehendak rakyat yang termanifestasikan dalam konstitusi. Oleh karena

(7)

itu segenap penyelenggaraan negara harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi yang dikenal dengan prinsip supremasi konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi juga telah diterima sebagai bagian dari prinsip negara hukum. Menurut A.V. Dicey salah satu prinsip negara hukum adalah supremasi hukum (supremacy of

law). Salah satu konsekuensi dari kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi,

maka berlaku pula prinsip supremasi konstitusi.6

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negar hukum. Hukum adalah satu kesatuan sistem yang hierarkis dan berpuncak pada konstitusi. Oleh karena itu supremasi hukum dengan sendirinya berarti juga supremasi konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yang dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian konstitusi menjadi penentu bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dengan batas sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri. Bahkan konstitusi juga menentukan substansi yang harus menjadi orientasi sekaligus sebagai batas penyelenggaraan negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang perlindungan, pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung jawab negara.

Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka harus dijamin bahwa ketentuan hukum dibawah konstitusi tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika memang ketentuan hukum dibawah konstitusi tersebut bertentangan dengan konstitusi. Pengujian ini sangat diperlukan karena ketentuan hukum dalam Undang-Undang itulah yang akan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada perubahan ketiga UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C UUD 1945.

6Ibid.,hal.

(8)

2. Kewenangan Judicial Review

Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga

Peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Review berarti memandang, menilai atau menguji kembali.

Dalam hubungannya dengan objek Undang-Undang, dapat dikatakan bahwa saat ketika Undang-Undang belum resmi atau belum sempurna sebagai Undang-Undang yang mengikat untuk umum, dan saat ketika Undang-Undang itu sudah resmi menjadi Undang-Undang, adalah dua keadaan yang berbeda. Jika Undang-Undang itu sudah sah sebagai Undang-Undang maka pengujian atasnya disebut sebagai Judicial Review. Akan tetapi jika statusnya masih sebagai rancangan Undang-Undang dan belum diundangkan secara resmi sebagai Undang-Undang maka pengujian atasnya sisebut Judicial Preview. Jimly Assiddiqie menyatakan :

Ada dua bentuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu Pengujian Formal dan Pengujian Materil. Pengujian Formal adalah Pengujian suatu produk hukum bukan dari segi materinya atau Pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan bentuk Pembahasan, Pengesahan, Pengundangan dan Pemberlakuan. 7

Pengujian Materiil diatur dalam Pasal 51A ayat (5), yang berbunyi “dalam hal Permohonan pengujian berupa Permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi, mengabulkan Permohonan pemohon, menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-Undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-Undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Dalam hal ini yang di uji boleh hanya ayat, pasal tertentu atau bagian Undang-Undang saja dengan konsekuensi hanya bagian, ayat, dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan karenanya

7

(9)

dimohon tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal dan bagian tertentu dari Undang-Undang yang bersangkutan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi ada yang menyatakan satu pasal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tetapi hanya dengan membuang kata yang merupakan bagian kalimat dalam Pasal tersebut makna Pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan demikian tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

3. Pokok Perkara

Dalam Perkara yang diajukan oleh Machica Moechtar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah Uji Materi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan), “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, maka hak-hak Konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah dirugikan;

Sedangkan Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia lainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum.

Sedangkan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon

(10)

juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum.

Selanjutnya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta status hukum anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dirugikan;

Sedangkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 ini maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidaklah senafas dan sejalan serta telah merugikan hak konstitusional Pemohon sekaligus anaknya.

4. Pertimbangan hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut Peraturan Perundang-Undangan adalah mengenai makna hukum (legal

meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan

Umum angka 4 huruf b Undnag-Undang Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan :

“... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.

Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perkawinan di atas, nyatalah bahwa: Pertama, pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang

(11)

menentukan sahnya perkawinan; dan kedua, pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui Peraturan Perundang-Undangan merupakan kewajiban administratif.

Sahnya sebuah perkawinan menurut hukum Islam adalah jika telah terpenuhi seluruh syarat dan rukun-rukunnya sebagai berikut :

a) Calon mempelai laki-laki b) Calon mempelai perempuan.

c) Wali bagi calon mempelai perempuan. d) Saksi.

e) Ijab dan kabul.8

Apabila dilihat dari Syarat-syarat dan rukun tersebut, perkawinan pemohon adalah sah karena memenuhi semua syarat dan rukun berdasarkan hukum Islam. Perkawinan pemohon dicederai oleh Undang-Undang Perkawinan dimana perkawinan tersebut dianggap tidak sah karena tidak tercatat dalam pencatatan sipil.

Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5).

Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara

dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.9

8

http//:majelis Ulama Indonesia. umar shihab.id kedudukan anak luar nikah dalam kompilasi hukum islam. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013. Pukul 20.00wib.

9

http//www.mahkamahkonstitusi.id. perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2013 .pukul 21.30 wib.

(12)

Dari penjelasan diatas bahwa pentingnya pencatatan perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan bukti penting dari perbuatan hukum yang dilakukan, dengan adanya pencatatan perkawinan hubungan ayah, ibu dan anak terbentuk dengan sendirinya dan diakui oleh hukum positif Indonesia.

Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang

dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif

yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.

Menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan definisi tentang anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Secara hukum agama Islam, perkawinan pemohon adalah sah, tetapi menjadi tidak sah karena perkawinan tersebut tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut dianggap anak tidak sah atau anak luar kawin.

Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya, adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.

Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada

(13)

pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;

Apabila dilihat dari Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Konstittusi tidak memberikan pengecualian atas hak asasi yang disandang oleh setiap anak, tidak terkecuali apakah dia sebagai anak yang sah atau anak luar kawin, bahkan kalimat “berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” sesungguhnya menunjukan bahwa negara pada prinsipnya melarang adanya pengelompokan status terhadap seorang anak, karena dengan adanya status dan kedudukan anak yang berbeda dimata hukum sesungguhnya negara telah melakukan deskriminasi terhadap anak yang menjadi warganya.10

Selain Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berisikan tentang diskriminasi, didalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam bagian kesepuluh mengatur secara khusus tentang Hak Asasi Anak, terdapat lima belas (15) Pasal yang mengatur tentang hak anak, baik dalam Kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai manusia, yaitu Pasal 52 sampai Pasal 66 dan jika kita simak Pasal-Pasal tersebut maka tidak satupun Pasal yang menyebutkan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang sah atau anak yang lahir dari perkawinan yang sah, atau setidaknya mengandung pengertian bahwa anak diluar kawin tidak termasuk anak yang dilindungi oleh aturan-aturan diatas.

10

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materil Undang-Undang Perkawinan, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2012, Hal. 236.

(14)

Perlakuan diskriminatif terhadap anak bukan hanya akan diterima oleh sianak dari pandangan hukum, namun secara sosial akan memikul beban yang berat ditenga-tengah pandangan masyarakat tentang stigma anak luar kawin sebagai anak haram11

Apabila dilihat dari segi hukum Islam, maka kedudukan anak luar kawin sebagaimana yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama dengan Undang-Undang Perkawinan karena Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam mengandung rumusan yang tidak berbeda dengan Pasal 43 ayat (1). Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia, Umar Shihab.

Kedudukan anak luar kawin dalam konsepsi hukum Islam harus dilihat secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, namun menyangkut anak yang dilahirkan dari perbuatan tersebut tidaklah sepantasnya juga harus menerima hukuman atas dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, karena jika setiap anak diberikan pilihan terhadap kelahirannya maka sudah dipastikan tidak akan ada seorang anak pun yang mau dilahirkan dari hasil perbuatan zina, atau pernikahan yang bermasalah. Oleh karena itu, walaupun ketentuan hukum Islam sudah jelas dan tegas namun bukan berarti bahwa seorang laki-laki yang nyata-nyatanya adalah ayah biologis sianak bisa dengan mudah menelantarkan begitu saja anak yang berasal dari benihnya. Secara moral dan kemanusiaan tetap ayah memiliki kewajiban untuk memperhatikan kebutuhan anak karena penelantaran seorang manusia dalam suatu penderitaan merupakan bentuk dosa dalam pandangan agama islam, selain itu agama islam tidak pernah mengajarkan bahwa dosa orang tua dapat diwariskan kepada anaknya atau harus turut ditanggung oleh keturunannya.12

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, sebagai akibat dari Pasal tersebut, anak diluar kawin hanya mendapat hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi siibu dan anaknya karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya.13

11Ibid

,. Hal. 245.

12

http//:majelis Ulama Indonesia. umar shihab.id kedudukan anak luar nikah dalam kompilasi hukum islam. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013. Pukul 20.00wib.

13

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.website.Berita.Berita&id, di akses pada tanggal 15 Oktober 2013, pukul 20.00 Wib.

(15)

Dari alasan berbagai yang dikemukakan diatas, jelas bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunyaadalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28B ayat (2) yang bunyinya “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” dan Pasal 28D ayat (1) “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Bertentangan secara bersyarat

(conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Selain bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), Ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C, Bukti pertentangan tersebut antara lain, ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa seorang ayah biologis sama sekali tidak bertanggung jawab dan tidak bisa dimintakan pertanggung jawabannya secara perdata atas anak yang lahir dari benihnya diluar perkawinan, padahal Konstitusi menghendaki bahwa setiap anak tanpa terkecuali apakah anak yang lahir dari perkawinan yang sah ataukah tidak harus mendapat perlindungan dan status secara hukum. Tidak adil jika hukum hanya melihat persoalan lahirnya anak hanya sekedar dari proses perkawinan orang tua sianak, padahal sianak tidak pernah memiliki kekuasaan apa-apa untuk memaksa orang tuanya agar melakukan perkawinan terlebih dahulu sebelum melahirkannya kedunia atau melaksanak perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.14

Sehingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan sebagai berikut : Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

14

Syafran Sofyan. “Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhanas Republik Indonesia.

(16)

dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

5. Implikasi Hukum terhadap Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan hukum Negara yaitu bagaimana cara negara melindungi hak-hak anak yang lahir tanpa tahu perbuatan orang tuanya, perlindungan tersebut di atur dalam Peraturan Perundang-Undangan. Dari Putusan Mahkamah Konstitusi di atas mempunyai dampak atau Implikasi terhadap Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tentang hak anak di atur dalam Pasal 28B ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Setiap anak yang dilahirkan kedunia memilik fitrah yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konstitusi tidak memberikan pengecualian atas hak asasi yang disandang oleh setiap anak, tidak terkecuali apakah dia sebagai anak yang sah atau anak luar kawin, bahkan kalimat “berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” sesungguhnya menunjukan bahwa negara pada prinsipnya melarang adanya pengelompkan status terhadap seorang anak, karena dengan adanya status dan kedudukan anak yang berbeda dimata hukum sesungguhnya negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang menjadi warga negaranya.

(17)

Hasrat Bangsa Indonesia terhadap warganya termasuk anak didalamnya ialah membangun sifat demokrasi dan menyelenggarakan keadilan dan perikemanusiaan. Apabila merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materil Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan, Putusan tersebut mendukung dan menjalankan makna tujuan dari Pasal 28B ayat (2) sehingga berimplikasi seiring dan sejalan dalam mewujudkan keadilan bagi setiap anak tanpa memandang status dari anak tersebut seperti yang di amanatkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945..

2. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Hak Anak diatur dalam Pasal 2 ;

1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.

3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat petumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak, setiap anak mempunyai hak yang sama dimata hukum tanpa adanya diskriminasi dengan melihat dari status sianak, dalam putusan Mahkamah Konstitusi juga mempunyai tujuan seperti yang terkandung dalam Undang-Undang kesejahteraan Anak. Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperlancar dan memjembatani penerapan tujuan dari Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai tujuan untuk mensejahterakan Anak seluruh Indonesia dengan cara memberikan pengakuan sah kepada ayah dari perkawinan yang tidak tercatat dan hasil dari hubungan badan lainnya, sehingga anak tersebut mendapat kasih sayang dan nafkah lahir dalam masa pertumbuhannya.

(18)

3. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga , agama bangsa dan negara, dalam kehidupan bebangsa dan bernegara anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa.

Hak anak dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam bagian kesepuluh mengatur secara khusus tentang hak asasi anak, terdapat 15 Pasal yang mengatur tentang hak anak baik dalam kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai manusia, yaitu Pasal 52 sampai Pasal 66, jika kita simak Pasal-Pasal tersebut maka tidak ada satupun Pasal yang menyebutkan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang sah atau anak yang lahir dari perkawinan yang sah, atau setidaknya mengandung pengertian bahwa anak diluar kawin tidak termasuk anak yang dilindungi oleh aturan-aturan diatas.

Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berdampak menjadi penghambat atau pengahalang dalam melaksanakan tujuan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia bahkan menjadi penjelas atau penerang bahwa setiap anak itu mempunyai hak yang sama seperti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan begitu juga tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi mencoba memberi persamaan hak anak meskipun anak tersebut bukan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah secara hukum.

4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Anak merupakan subjek hukum yang tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kepentingan hukumnya sendiri, sehingga setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh seorang anak harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya yang sah.

Setiap anak dilindungi oleh Negara tanpa melihat status anak. Pasal 2 menyebutkan Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Hak Anak meliputi :

(19)

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3 berbunyi “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.

Perlindungan anak merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional dan khususnya dalam meningkatkan kehidupan berbangsa dan bernegara, orang tua keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan berperan serta yang mana ini sesuai dengan kewajiban dalam hukum.

Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berdampak negatif pada eksistensi Undang-Undang Perlindungan Anak karena Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan perlindungan anak dalam masa pertumbuhannya, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk psikologisnya, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sehingga Undang-Undang Perlindungan anak dapat melindungi anak-anak Indonesia yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak sah.

5. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.

Keluarnya Putusan Mahkamah konstitusi dapat menjembatani kebuntuan hukum yang terjadi selama ini dengan memberikan ruang kepada setiap orang untuk mencari kejelasan tentang jati dirinya. Merupakan hak bagi setiap orang untuk mengetahui siapa sebenarnya ayah kandungnya, baik dalam rangka unutk

(20)

meperjuangkan kepentingan-kepentingan keperdataan maupun unutk kepentingan lain yang timbul akibat dari adanya kejelasan tentang silsilah keturunan.

Keluarnya Putusan Mahkamah konstitusi tersebut tidak mengurangi eksistensi Undang-Undang Perkawinan, walaupun Pasal 43 ayat (1) mengalami perubahan yaitu memberikan hak keperdataan anak dan ayah dari perkawinan yang tidak sah, dengan tujuan mencoba memberikan keadilan. Hanya saja Undang-Undang Perkawinan sedikit mengalami perubahan pandangan karena memberikan Hubungan Nasab ayah kepada Anak yang lahir diluar nikah yang didalam hukum Islam tidak di akui.

Hubungan keperdataan bukan hanya timbul bagi kepentingan sianak namun juga secara berbanding terbalik akan menimbulkan hak bagi siayah biologis untuk mendapat pemeliharaan dari sianak luar kawin jika sianak telah dewasa. Hal itu sebagai bentuk timbal balik yang bersifat mutlak bahwa seorang anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari orang tuannya sampai dengan sianak menginjak dewasa dan sianak juga berkewajiban untuk mengurus dan memelihara siayah biologis pada saat ia telah menjelang tua, sebagaimana orang tua yang sah.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Pengaturan tentang anak dan segala persoalan yang menyertainya didalam KUHPerdata diatur dalam bebrapa BAB sebagaimana disebutkan dibawah ini :

a. BAB XII tentang kebapakan dan asal usul keturunan anak-anak b. BAB XIV tentang kekuasaan Orang Tua

c. BAB XV tentang Kebelum dewasaan dan perwalian d. BAB XVI tentang pendewasaan

Namun secara Khusus mengatur persoalan tentang hubungan antara anak dan orang tua tidak lebih dari apa yang diatur dalam BAB XII dan BAB XIV saja.

Pada BAB XIV tentang kebapakan dan asal usul keturunan anak terdiri dari tiga bagian antara lain :

a. Tentang anak sah

b. Tentang pebgesahan anak luar kawin c. Tentang pengakuan anak-anak luar kawin

(21)

Sedangkan BAB XIV tentang kekuasaan orang tua terdiri dari empat bagian antara lain :

a. Tentang akibat-akibat kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak.

b. Tentang akibat-akibat kekuasaan orang tua terhadap barang-barang anak. c. Tentang pembebasan dan pemecatan dari kekuasaan orang tua.

d. Tentang kewajiban-kewajiban timbal balik antara kedua orang tua atau keluarga sedarah dalam garis keatas dan anak-anak beserta keturunan mereka selanjutnya.

Dalam Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dijelasakan bahwa setiap anak yang dilahirkan diluar nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus dapat disahkan kecuali anak yang dibenihkan dari hasil zina, atau anak dalam sumbang.

Apabila dilihat dari Pasal tersebut jelas bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengesahkan semua anak, baik yang lahir diluar nikah, anak zina maupun anak sumbang. Hal ini dapat berdampak pada hak keperdataan sianak sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata, baik hak nasab, hak perlindungan, hak waris dan hak pemeliharaan. Sehingga dalam penerapannya terhadap kehidupan masyarakat sedikit susah karena harus memilih antara aturan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi atau Aturan dalam KHUPerdata selama peraturan dalam KUHPerdata belum direvisi oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

7. Kompilasi Hukum Islam

Didalam Kompilasi Hukum Islam tentang anak diatur dalam BAB XIV tentang pemeliharaan anak. Menurut Pasal 99 Anak yang sah adalah “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”. Pasal 100 “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Putusan Mahkamah

(22)

Konstitusi merubah ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan Perdata dengan ayah biologisnya.

Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai pertentangan dengan aturan dalam Kompilasi Hukum Islam, sehingga untuk penerapannya dalam masyarakat memberikan pandangan yang berbeda dan sedikit susah untuk diterapkan karena bertentangan dengan aturan hukum Islam.

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Pencatatan Pengakuan Anak diatur dalam Pasal 49:

1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling larnbat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.

2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.

3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.

Pencatatan Pengesahan Anak diatur dalam Pasal 50,

1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.

2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak mernbenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.

3) Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran.

Pengesahan anak yang dapat di sah oleh pengadilan adalah anak yang lahir dari adanya perkawinan yang dilakukan oleh ayah dan ibu anak tersebut, karena untuk mengajukan pengakuan dan pengesahan anak harus dengan melampirkan akta perkawinan. Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan semua anak dapat melakukan pengakuan dan pengesahan terhadap

(23)

ayah biologisnya tanpa memandang ada atau tidaknya perkawinan yang dilakukan oleh orang tuannya. Ketentuan ini jelas sudah tidak sejalan dengan Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan masih bersifat umum, sehingga dengan keluarnya Putusan tersebut terjadi tumpang tindih aturan dalam Peraturan Perundang-Undangan, yang mana dalam Putusan tersebut memperbolehkan tetapi banyak Pasal-Pasal dalam Peraturan Perundang-Undangan melarang seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan.

C. Penutup. 1. Kesimpulan.

a. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 dengan pertimbangan hukum pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai b. Dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka

status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dianggap tidak sah secara hukum negara menjadi terlindungi dan anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

(24)

Putusan Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan menghapus diskriminasi terhadap anak diluar perkawinan yang sah.

2. Saran

a. Dengan telah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diharapkan agar semua pihak-pihak yang terkait mematuhi keputusan tersebut untuk mewujudkan keadilan dan menghapus diskriminasi terhadap anak diluar perkawinan yang sah.

b. Sebagai konsekuensi dari dikabulkan nya permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, diharapkan Pemerintah untuk dapat melakukan pengharmonisasian terhadap Undang-Undang yang berkaitan dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut untuk mewujudkan keadilan dan menghapus diskriminasi terhadap anak diluar perkawinan yang sah.

(25)

Daftar Pustaka

Buku-Buku :

A. Mukthie Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Sekjen dan Kepaniteraan MK RI. Jakarta.

D.Y. Witanto.2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materil

Undang-Undang Perkawinan. Prestasi Pustakaraya. Jakarta.

Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi. Buana Ilmu Populer. Jakarta.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi. Sekjen dan Kepaniteraan MK RI. Jakarta.

Miriam Budiardjo. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Sri Soemantri. 1993. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. PT. Citra Aditya. Bandung.

Suripto. Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang. www. Setneg.go.id.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman

Beracara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap UUD 1945.

Referensi

Dokumen terkait

Langkah ketiga mengambil kesimpulan yang merupakan analisis lanjutan dari reduksi data, dan display data sehingga data dapat disimpulkan, kesimpulan itu akan diikuti

Berdasarkan pengamatan terhadap terhadap intensitas penyakit terlihat bahwa cara aplikasi bahan penginduksi melalui perendaman benih menunjukkan intensitas penyakit yang

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 dan SPKN menyebutkan, audit adalah proses identifikasi masalah, analisis,

Kecepatan respon sudut roll lebih cepat dari pada kecepatan respon sudut pitch namun dengan data rise time yang didapat baik pada sudut roll maupun sudut pitch ,

Hasil uji kualitatif formaldehid pada ikan asin yang di jual di Pasar Bawah Kota Pekanbaru, menunjukkan bahwa 4 dari 10 sampel ikan asin yang diuji positif mengandung

interaktif yakni dengan tahapan sebagai berikut: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan dan verifikasinya. 1.4 Pembahasan Penelitian

Suhu permukaan laut perairan pantai Bhinor kompleks PLTU Paiton akibat air bahang berdasarkan kajian citra Satelit Landsat 7ETM+ memiliki kenaikan hingga 6°C

Hasil yang diperoleh Bhattarai and Acharya (2010), menunjukkan bahwa produksi curd dangke dalam pembuatan keju mozzarella menggunakan susu sapi lebih tinggi (11,45%)