i
IMPLEMENTASI
TA’ZIR
DI PONDOK PESANTREN TARBIYATUL ISLAM
AL-FALAH KOTA SALATIGA TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh:
SITI SIRRIL INAYAH
NIM: 11113036
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
v
MOTTO
ا ُّْسِّشَث َّ ا ُّْسِّسَعُر َلا َّ ا ُّْسِّسَٗ َلبَق َنَّلَس َّ ََِْ٘لَع ُالله َّٔلَص ِِّٖجٌَّلا ِيَع ٍسًََا ْيَع
ا ُّْسِّفٌَُر َلا َّ
“
Dari Anas radhiyaallahu‟anhu dari Nabi shollaallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabdda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit, beri berita gembiralah danvi
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat serta karuniaNya, skripsi ini penulis persembahkan untuk :
1. Bapak dan ibu penulis, Muh. Nurtontowi dan S. Badriyah yang tak pernah
lelah membimbing, memberi nasehat, mengingatkan, memberi do‟a, dan
cintanya dalam kehidupan penulis.
2. Ketiga saudara penulis, mbak Riya, dek Aim, dan dek Sabar yang selalu
memberikan do‟a dan dukungan terbaiknya.
3. Bapak dan Ibu dosen yang selalu membimbing dengan penuh kesabaran dan keluar besar IAIN Salatiga.
4. Sahabat-sahabat yang senantiasa membersamai, membantu dan memberi nasehat di setiap waktu.
5. Keluarga besar Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Kota Salatiga. 6. Teman-teman seperjuangan di TPQ Darul Amal Salatiga dan teman-teman
KAMMI Salatiga.
7. Sahabat dan adik-adik seperjuangan di wisma Hanan, Najwa, Safira, Zahra, dan Najma.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Segenap rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
selalu memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis, sehinggap
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Implementasi Ta‟zir di
Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Kota Salatiga Tahun 2017.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah
Muhammad SAW, manusia inspiratif penuh keteladanan yang senantiasa
dinantikan syafa‟atnya di hari akhir. Tidak lupa sholawat dan salam juga
disampaikan kepada keluarga, sahabat, dan orang-orang yang senantiasa
istiqomah di jalan kebaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa
motivasi, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
penuh rendah hati mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Secara khusus, penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
viii
4. Bapak Muh. Hafidz, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang telah
membimbing dengan ikhlas, mengarahkan, dan meluangkan waktunya untuk
penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
5. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku dosen pemimbing akademik penulis yang
dengan kesabarannya membimbing penulis dari waktu ke waktu.
6. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah membekali
berbagai ilmu pengetahuan, semangat, dan inspirasinya kepada penulis.
7. Bapak dan Ibu tercinta serta kakak dan adik-adik penulis yang selalu
memberikan do‟a dan dukkungan terbaiknya kepada penulis.
8. Keluarga besar PPTI Al-Falah yang telah memberikan kesempatan dan
bantuannya kepada penulis.
9. Keluarga besar TPQ Darul Amal salatiga yang menjadi inspirasi penulis.
10. Sahabat dan adik-adik seperjuangan di wisma Najwa, Hanan, Safira, Najma,
dan Zahra yang telah membersamai dalam setiap waktu.
11. Sahabat perjuangan di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) Salatiga.
12. Sahabat perjuangan teman-teman PAI angkatan 2013, terimakasih kawan.
13. Sahabat-sahabat inspiratif dimasa senang maupun sedih yang senantiasa
memberikan nasehat, semangat dan bantuannya kepada penulis yang tidak
disebut satu per satu oleh penulis
14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu oleh penulis. Terima
x
ABSTRAK
Inayah, Siti Sirril. 2018. Implementasi Ta‟zir dalam Menanamkan Kedisiplinn Santri di Pondok Pesantren Tarbiyaul Islam Al-Falah Kota Salatiga Tahun 2017. Skripsi, Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Muh. Hafidz, M.Ag.
Kata Kunci: Implementasi Ta‟zir dan Penanaman Kedisiplinan
Pada saat ini sering muncul keluhan bahwa generasi muda zaman sekarang sulit diatur. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya penanaman sikap disiplin pada mereka dan tidak adanya konsekuensi terhadap peraturan-peraturan yang telah dilanggar. Oleh karenanya, PPTI Al-Falah memiliki peraturan yang harus ditaati dan menerapkan hukuman ta‟zir (punishment) sebagai salah satu bentuk konsekuensi bagi santri yang melanggar untuk melatih dan mendidik santrinya menjadi disiplin. Oleh sebab itu, penulis tertarik meneliti penerapan ta‟zir dalam menanamkan kedisiplinan di PPTI Al-Falah Kota Salatiga. Pertanyaan utama yang akan dijawab peneliti adalah (1) Bagaimana penerapan ta‟zir di PPTI Al-Falah Salatiga? (2) Bagaimana kedisiplinan santri di PPTI Al-Al-Falah Salatiga? (3) Apa saja kekurangan dan kelebihan dalam penerapan ta‟zir di PPTI Al-Falah Salatiga?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitti mendapatkan data menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Tahap-tahap penelitian meliputi pra lapangan, pekerjaan lapangan, dan analisis data. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
xii
B. Kedisiplinan ... 43
1. Pengertian Kedisiplinan ... 43
2. Unsur-unsur Perilaku Disiplin ... 44
3. Kegunaan Disiplin Diri ... 48
C. Kekurangan dan Kelebihan Ta‟zir ... 50
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Kondisi Umum PPTI Al-Falah Salatiga ... 52
1. Sejarah Berdirinya PPTI Al-Falah ... 52
2. Letak Geografis PPTI Al-Falah ... 53
3. Visi Misi ... 53
4. Dasar dan Tujuan ... 53
5. Kelembagaan ... 55
6. Sarana Prasarana ... 56
7. Struktur Organisasi Kepengurusan ... 57
8. Jadwal Kegiatan ... 60
9. Tata Tertib ... 61
B. Temuan Data Penelitian ... 67
1. Implementasi Ta‟zir di PPTI Al-Falah ... 67
2. Kedisiplinan Santri di PPTI Al-Falah ... 74
3. Kekurangan dan Kelebihan dalam Penerapan Ta‟zir di PPTI Al-Falah ... 79
BAB IV ANALISIS DATA PENELITIAN A. Penerapan Ta‟zir di PPTI Al-Falah ... 84
B. Kedisiplinan Santri di PPTI Al-Falah ... 88
C. Kekurangan dan Kelebihan dalam Penerapan Ta‟zir di PPTI Al-Falah... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 98
B. Saran ... 99
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tahap Pra Lapangan... 22
Tabel 1.2 Tahap Pekerjaan Lapangan... 23
Tabel 1.3 Tahap Analisis Data... 23
Tabel 1.4 Kegiatan Harian... 60
Tabel 1.5 Kegiatan Mingguan... 61
Tabel 1.7 Kegiatan Bulanan... 61
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kode Penelitian
Lampiran 2 Pedoman Wawancara
Lampiran 3 Hasil Wawancara
Lampiran 4 Dokumentasi
Lampiran 5 Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 6 Tata Tertib PPTI Al-Falah Kota Salatiga
Lampiran 7 Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 8 Surat Kredit Kegiatan (SKK)
Lampiran 9 Lembar Bimbingan Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu proses mempengaruhi peserta didik agar
mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan
menimbulkan perubahan dalam dirinya supaya bermanfaat dalam kehidupan
masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), disebutkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan dalam Islam tidak
hanya sekedar mentransfer ilmu, namun juga sebagai wahana pembentuk
karakter bagi peserta didik (Sadulloh, 2014:5).
Pada saat ini sering muncul keluhan bahwa generasi muda zaman
sekarang tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan sulit diatur. Mengapa hal
ini bisa terjadi? Pertanyaan ini sebenarnya sulit diberikan jawaban, namun
bisa diduga alasannya, seperti tersedianya berbagai fasilitas yang memadai,
pengaruh lingkungan dan lain sebagainya. Kaum muda dianggap dimanjakan
oleh segala kemudahan yag ada, mereka semakin bebas dan kurang taat
terhadap berbagai peraturan yang ada. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
2
diri mereka dan tidak adanya konsekuensi terhadap peraturan-peraturan yang
telah dilanggar.
Sebenarnya banyak bentuk ketegasan yang dapat diberikan kepada
peserta didik sebagai konsekuensi atas apa yang telah dilakukannya, seperti
hadiah dan hukuman. Pemberian hadiah (reward) diberikan kepada anak sebagai bentuk penghargaan terhadap perilaku baik yang telah dilakukan,
sedangkan hukuman (punishment) diberikan sebagai konsekuensi serta control terhadap perilaku yag tidak baik. Dalam studi psikologi, pemberian hadiah hanya dapat dilakukan pada anak usia 3 sampai 10 tahun, sedangkan
hukuman sebaiknya diterapkan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun,
termasuk remaja. Hukuman dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas,
mulai dari hukuman yang ringan sampai pada hukuman yang berat, dari
gerakan isyarat hingga pukulan yang agak menyakitkan dalam batasan-batas
pembimbingnya ke arah perilaku yang diharapkan (Izzan, 2012:80).
Sebagian padangan barat sangat anti dengan metode ini dan menolak
mentah-mentah penjatuhan hukuman sebagai metode pendidikan. Sebagian
masyarakat pun masih berpandangan bahwa metode penjatuhan hukuman
dalam pendidikan merupakan hal yang tabu, karena bagi mereka hukuman itu
identik dengan kekerasan. Padahal banyak alternatif lain selain kekerasan
yang dapat diterapkan sebagai hukuman (punishment). Dan bisa jadi pemberian hukuman dalam pendidikan menjadi obat yang manjur untuk
meluruskan kekeliruan dan melatih kedisplinan anak bila dilakukan dengan
3
Metode pemberian sanksi ini dapat juga diterapkan di pendidikan non
formal seperti pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren muncul bersamaan dengan
proses Islamisasi yang terjadi di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9
Masehi, dan terus berkembang sampai saat ini. Ketahanan yang ditampakkan
sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan
pesantren sebagai suatu sistem pendidikan yang mampu berdialog dengan
zamannya. Pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif pada saat
ini dan masa depan sekaligus sebagai motor penggerak dan pengawal arus
perubahan sosial. Muhammad Arifin (1995:240) mendefinisikan pondok
pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta
diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana
santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari kepemimpinan
seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
kharimastik serta independen dalam segala hal. Pesantren memiliki tujuan
untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yang beriman,
bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi
masyarakat (Muin, 2007:16) .
Hingga kini pondok pesantren masih berperan penting dalam tiga hal,
yaitu: Pertama, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan
4
memiliki kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (community empowerment) (Muin, dkk, 2007:2). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pondok pesantren merupakan bagian dari proses perubahan sosial
degan tidak hanya menekankan pada salah satu aspek saja, namun pesantren
telah memasuki berbagai lini dalam proses transformasi sosial.
Mengingat peran pesantren yang begitu penting serta besarnya
kontribusi pesantren dalam membangun ilmu pengetahuan agama, karakter
dan kepribadian santri-santrinya sebagai generasi bangsa, maka pesantren
memiliki peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh santri dan seluruh
penghuni pesantren demi terwujudnya tujuan pesantren itu sendiri.
Pendidikan dan peraturan yang diterapkan dalam pondok pesantren sebagai
upaya untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan kedisiplinan dalam diri
santri yang tentunya juga diiringi dengan keteladan dari kyai dan para
pengurus.
PPTI Al-Falah Salatiga merupakan sebuah lembaga pendidikan yang
berbasis Islam yang berada di Kota Salatiga. Di pondok pesantren ini tokoh
pemimpinnya disebut dengan kyai, pembantu Kyai di pondok pesantren
disebut dewan pengurus yang terdiri dari asatidz dan pengurus harian yang terdiri dari santri-santri senior, dan peserta didiknya disebut dengan santri.
Sebagaimana lembaga pendidikan lainnya, pondok pesantren ini memiliki
peraturan yang harus ditaati, untuk melatih dan mendidik santri-santrinya
dalam keteraturan hidup kesehariannya dan memunculkan watak disiplin.
5
santri yang melanggar. Oleh karena itu, pondok pesantren ini menerapkan
hukuman ta‟zir(punishment)sebagai salah satu bentuk konsekuensinya. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai bahan
menyusun skripsi dengan judul “Implementasi Ta’zir dalam Menanamkan
Kedisiplinan Santri di PPTI Al-Falah Kota Salatiga Tahun 2017”
B. Fokus Penelitian
Kaitannya dengan judul penelitian di atas, maka ada beberapa hal yang
akan diungkap oleh penulis, yaitu:
1. Bagaimana penerapan ta‟zir di PPTI Al-Falah Salatiga tahun 2017?
2. Bagaimana kedisiplinan santri di PPTI Al-Falah Salatiga tahun 2017?
3. Apa saja kekurangan dan kelebihan penerapan ta‟zir di di PPTI Al-Falah
Salatiga tahun 2017?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang ada, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui penerapan ta‟zir di PPTI Al-Falah Salatiga tahun 2017.
2. Mengetahui kedisiplinan santri di di PPTI Al-Falah Salatiga tahun 2017.
3. Mengetahui kekurangan dan kelebihan penerapan ta‟zir di di PPTI
Al-Falah Salatiga tahun 2017.
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat teoritik
Manfaat yang dicapai dari hasil penelitian adalah sebagai bahan
6
dalam menanamkan kedisiplinan santri di kalangan pendidikan, khususnya
pondok pesantren.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi lembaga pendidikan dapat dijadikan sebagai masukan dalam
upaya meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di lembaga terkait.
b. Bagi para pengembang mutu pendidikan dapat menjadi bahan masukan
dalam meningkatkan kualitas pendidikan selanjutnya untuk
meningkatkan prestasi anak bangsa.
c. Bagi para pendidik bisa dijadikan sebagai bahan acuan untuk terus
berkarya dalam meningkatkan prestasi peserta didik.
d. Bagi siswa/santri sebagai pengalaman yang baru dalam proses belajar
sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar.
e. Bagi penulis dapat mengembangkan kemampuan meneliti suatu
permasalahan dan menemukan solusinya.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari timbulnya berbagai interpretasi dan membatasi ruang
lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa
pengertian yang terkandung dalam judul skripsi di atas, yaitu:
A.Implementasi
Kata Implementasi berasal dari bahasa inggris “implementation” yang
berarti pelaksanaan, penggunaan atau pemkaian sebagai alat (Shadily,
1976:207). Kemudian kata ini diserap dalam bahasa Indonesia menjadi
7
Menurut Echols (1992:313), implementasi berasal dari kata
“implementation” yang berarti suatu pelaksanaan atau penyelengaraan.
Jadi menurut bahasa, kata implementasi mengandung arti penerapan
suatu alat atau metode untuk mencapai tujuan tertentu.
Implementasi merupakan suatu proses side, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa
pengetahuan, keterampilan maupun sikap (Mulyas, 2001:93).
Hamalik (2013:237) mengatakan bahwa implementasi merupakan
suatu proses penerapn ide, atau inovasi dalam bentuk tindakan praktis
sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan,
ketrampilan, maupun nilai dn sikap.
Sedangkan menurut Abdul Majid (2014:70), implementasi adalah
usaha untuk mengubah pengetahuan, tindakan, dan sikap individu serta
interaksi proses antara mereka yang menciptakan program dan mereka
yang melaksanakannya.
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata
implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau mekanisme
suatu sistem. Implementasi tidak hanya mengandung arti aktivitas, namun
suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan dengan sungguh-sungguh
untuk mencapai tujuan kegiatan. Jadi implemetasi dalam skripsi ini adalah
pelaksanaan hukuman ta‟zir dalam menanamkan kedisiplinan santri PPTI
8
B. Ta‟zir
Kata ta‟zir berasal dari bahasa arab “‟azzara” yang berarti menegur
atau seseorang yang berarti mengajar (Al-Habsyi, 1991:252).
Menurut bahasa, kata ta‟zir adalah bentuk mashdar dari “„azzara”,
yang berarti menolak (raddu atau man‟u), ar Ramli menambahkan,
menurut ilmu bahasa (lughat), ta‟zir adalah kata nama yang bersifat
kebesaran (asmaul adhdad), karena kata tersebut secara mutlak menunjukkan kebesaran atau keagungan dan menunjukkan kepada
pengertian pengajaran (takdib), dan pada pukulan yang sangat keras dan kepada pukulan selain pukulan yang had (Haliman, 1971:458).
Lafaz ta‟zir berasal dari kata
َز َّصَع
yang memiliki sinonimد َّسلا
َّ
ُعٌَْوْلا
(mencegah dan menolak) danُتِْٗدْأَّزلا
(mendidik). Ta‟zirdiartikan mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar
tidak mengulangi perbuatannya. Ta‟zir diartikan mendidik, karena ta‟zir
dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari
perbuatan buruknya kemudian meninggalkan dan menghentikannya
(Muslich, 2005:248).
Dalam ranah pesantren, hukuman biasa disebut dengan ta‟zir.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan
sebagainnya” atau “keputusan yang dijatuhkan oleh hakim” . (Muslich,
2006:136) mengatakan bahwa, sesuatu disebut hukuman karena ia
merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah
9
Jadi, menurut bahasa pengertian ta‟zir adalah suatu tindakan atau
balasan terhadap perbuatan menyimpang yang telah dilakukan oleh si
pelaku, untuk mendidik pelaku agar ia menyadari perbuatan buruknya dan
mencegah pelaku agar tidak mengulangi dan menghentikannya.
Menurut pegertian hukum syari‟at, ta‟zir berarti pengajaran (takdib)
terhadap kesalahan yang tidak mempunyai ketentuan hukum had. Ta‟zir
dalam hukum syari‟at tidaklah dikhususkan dengan hukuman pemukulan,
tetapi dapat dilakukan dengan penamparan atau dengan menjentik telinga
atau degan perkataan yang keras, tergantung kepada pandangan hakim
mengenai hal ini (Haliman, 1971:458).
Pengertian ta‟zir atau hukuman adalah penderitaan yang diberikan
atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan lain
sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.
Dengan demikian hukuman itu pantas, bilamana nestapa yang ditimbulkan
itu mempunyai nilai positif atau mempunyai nilai pedagogis (Izzan,
2012:80).
Menurut istilah ta‟zir adalah hukuman yang belum ditentukan oleh
syara‟ dan untuk penetapan serta pelaksanaannya diserahkan kepada ulil
amri (penguasa) sesuai dengan bidangnya. Menurut hukum Islam
hukuman ta‟zir adalah hukuman yang ketentuannya tidak tercantumkan
dalam nash atau dalam Al-Qur‟an dan as Sunnah, dengan ketentuan yang
pasti dan terperinci. Hukuman ta‟zir dimaksudkan untuk mencegah
10
Pengertian ta‟zir sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al
Mawardi sebagai berikut:
ُد ُّْدُحْلا بَِِْ٘ف ْع َسْشُر ْنَل ِة ًُُْْذ َٔلَع ٌتِْٗدْأَر ُسْٗ ِصْعَّزلا َّ
“Ta‟zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang
belum ditentukan hukumannya oleh syara” (Muslich, 2005:249).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa istilah ta‟zir merupakan
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada
ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Yang mana dalam
pondok pesantren ketentuan hukuman dan pelaksanaannya diserahkan
kepada pengurus sebagai pembantu Kyai. Pengurus hanya menentukan
hukuman secara global saja, dari yang seringan-ringannya sampai yang
seberat-beratnya.
C.Kedisiplinan
Kata disiplin berasal dari bahasa Inggris yang berarti ketertiban
(Shadily, 1976:185). Yaitu menertibkan murid yang melanggar peraturan.
Kemudian kata ini diserap dalam bahasa Indonesia yang berarti kepatuhan
pada peraturan (KBBI, 2007).
Menurut bahasa, kedisiplinan berasal dari kata dasar disiplin, kata
disiplin berasal dari bahasa Latin discipulus yang berarti siswa atau murid.
Makna lain dari kata yang sama adalah “seseorang yang mengikuti
pemimpinnya”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini mengalami
11
pengajaran, mata pelajaran, dan perlakuan yang cocok bagi seorang murid
(Unaradjan, 2003:8).
Jadi, kedisiplinan adalah ketaatan murid terhadap guru atau pemimpin
dan peraturan yang ada.
Menurut istilah disiplin mengandung arti hukuman atau latihan yang
membetulkan serta kontrol yang memperkuat ketaatan. Disiplin juga
berarti latihan watak dan batin agar segala perbuatan seseorang sesuai
dengan peraturan yang ada (Unaradjan, 2003:9).
Marilyn E. Gootman, Ed. D., seoranng ahli pendidikan dari University
of Georgia di Athens, Amerika, berpendapat bahwa disiplin ialah
membantu anak untuk mengembangkan kontrol dirinya, dan membantu
anak mengenali perilaku yang salah lalu mengoreksinya (Nizar, 2009:22).
Untuk mencapai kematangan pribadi, seseorang harus berhasil melalui
beberapa tahapan, salah satunya yaitu disiplin diri. Karena disiplin
merupakan proses melatih watak dan batin untuk berbuat sesuai peraturan
dengan menyadari perbuatan yang kurang benar kemudian mengoreksi dan
mengendalikannya agar tidak tidak terjadi untuk kedua kalinya.
D.Santri
Istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji
(Dhofier, 1986:18). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia santri adalah
orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadah dengan
12
Jadi, kata santri memiliki arti seseorang yang bersungguh-sungguh
dalam mempelajari ilmu agama, agar bermanfaat bagi masyarakat dan
selmat dunia akhirat.
Menurut istilah, santri adalah peserta didik yang tinggal menetap di
pesantren (DEPAG, 2003:1). Dhofier mendefinisikan santri sebagai
berikut,”Santri adalah murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren” (Dhofier:51).
Kata santri mempunyai arti orang-orang yang tahu buku-buku suci,
buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Dhofier,
1986:18).
Dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Tentang Pendidikan Islam”,
Muhammad Tolhah Hasan menyebutkan bahwa santri merupakan salah
satu komponen yang ada dalam pesantren yang memiliki arti pencari ilmu
agama dan pendamba bimbingan kyai (Hasan, 2006).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata santri mengandung
arti seseorang yang tinggal/menetap di pondok pesantren untuk
mempelajari ilmu agama.
E. PPTI Al-Falah Salatiga
Kata Pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri (Muin, 2007:17). Para
peserta didik pada pesantren disebut santri yang umumnya menetap di
pesantren. Lingkungan pesantren disebut dengan istilah pondok. Dari
13
Pondok pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seseorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan
“kyai” (Dhofier:44).
Pengertin pondok pesantren adalah suatu komunitas tersendiri, di
dalamnya hidup bersama-sama sejmlah orang yang dengan komitmen hati
dan keikhlasan atau kerelaan mengikat diri dengan kyai, tuan guru, buya,
abu, atau nama lainnya, untukhidup bersama dengan standard moral
tertentu, membentuk kultur atau budaya tersendiri (DEPAG, 2003:7).
Pada dasarnya pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok), kyai (encik,
ajengan atau tuan guru sebagai tokoh utama), dan masjid atau mushola
sebagai pusat lembaganya (Haryanto, 2012:39).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok
pesantren merupakan tempat tinggal santri, yaitu tempat para santri belajar
dan mengaji. Atau suatu tempat pendidikan yang menekankan pada
pelajaran agama Islam serta didukung dengan asrama, sebagai tempat
tinggal santri yang bersifat permanen.
PPTI Al-Falah Salatiga merupakan sebuah lembaga pendidikan yang
berbasis Islam yang berada di Kota Salatiga. Pondok Pesantren yang
diasuh oleh KH. Zoemri RWS dan istri beliau Hj. Nyai Latifah ini
diresmikan pada tahun 1986 Departemen Agama daerah Salatiga.
14
akan melakukan penelitian di PPTI Al-Falah. Karena santri yang tinggal di
Pondok tersebut berkisar sekitar 400 sampai 450 orang dan terdiri dari
anak usia SD sampai usia remaja. Yang mana di usia tersebut anak-anak
mengalami masa pubertas, pencarian jati diri, keingintahuan yang luar
biasa, dan tak jarang melanggar peraturan yang ada. Sehingga
diterapkannya ta‟zir (hukuman) bagi santri yang tidak menaati peraturan.
Hal ini bertujuan untuk melatih kedisiplinan dan pengendalian diri pada
diri santri.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan karena meneliti
fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan memusatkan
perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci mengenai latar
belakang keadaan sekarang yang dipermasalahkan (Asmani, 2011:66).
Sebagaimana yang terjadi dalam PPTI Al-Falah, pondok pesantren ini
memiliki lebih dari 400 santri dengan karakter yang bermacam-macam.
Jadi tidak dielakkan, apabila tidak semua santri dapat menaati peraturan
sesuai yang telah disepakati. Sehingga, pondok pesantren ini menerapkan
ta‟zir untuk meminimalisir santri-santri yang kurang disiplin.
Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
15
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Penelitian kualitatif mengunakan pendekatan naturalistik untuk mencari
dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam
suatu layar yang berkonteks khusus (Moleong, 2008:5). Untuk mengetahui
lebih lanjut tentang fenomena ta‟zir yang terjadi di PPTI Al-Falah, peneliti
terjun langsung untuk mendiskripsikan apa yang terjadi dilapangan.
2. Kehadiran Peneliti
Jadi pada penelitian kualitatif ini, kehadiran peneliti mutlak
diperlukan. Hal ini dikarenakan instrumen penelitian dalam penelitian
kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Moleong (2008:168) mengemukakan
kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, ia sekaligus
merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis penafsiran
data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Dalam
penelitian ini, peneliti merencanakan, melaksanakan penelitian dengan
terjun langsung ke dalam PPTI Al-Falah untuk mengamati, melakukan
pendekatan naturalistik, dan mengumpulkan beberapa data yang
diperlukan kemudian menganalisisnya sebagai bahan laporan.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada santri PPTI Al-Falah Salatiga. Penelitian
16
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini meliputi:
a. Data utama atau data primer yakni data yang diperoleh langsung dari
tempat penelitian. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong,
2011:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata
dan tindakan. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai. Data utama dalam penelitian ini didapatkan peneliti dari
pengasuh, asatidz, pengurus, wali santri dan santri PPTI Al-Falah Salatiga.
b. Data ke dua atau data sekunder yakni data tambahan yang berasal dari
sumber tertulis, buletin pondok pesantren dan berbagai sumber lainnya
yang berkaitan dengan PPTI Al-Falah Salatiga. Data ke dua ini
digunakan peneliti untuk memperkuat dan melengkapi informasi yang
didapat dari data utama.
5. Metode Pengumpulan Data
Salah satu tahapan yang penting dalam penelitian adalah alat
pengumpulan data (instrumen penelitian). Karenanya diperlukan istrumen
pengumpulan data yang sesuai dengan jenis penelitian yang akan
dilakukan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
17
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2004:186).
Wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara terstruktur
yakni peneliti melakukan wawancara dengan membawa sederetan
pertanyaan yang lengkap dan terperinci sesuai dengan informasi yang
ingin didapatkan.
Pada penelitian ini, peneliti akan memberikan wawancara kepada
pengasuh Pondok Pesantren, asatidz (dewan keamanan pusat dan dewan penasehat), pengurus bagian keamanan dan diklat, wali santri
dan beberapa santri untuk mendapatkan informasi terkait fenomena
ta‟zir dan kedisiplinan yang ada di PPTI Al-Falah.
b. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan secara
sistemik terhadap gejala sosial maupun psikologik melalui penglihatan
dan pencatatan secara langsung (Sabari, 2010:380).
Untuk mengetahui pengembangan sikap disiplin santri PPTI
Al-Falah, peneliti menggunakan observasi nonpartisipan karena peneliti
tidak ikut dalam kegiatan pondok pesantren atau kelompok komunitas
sasaran penelitian. Namun, peneliti terjun langsung ke pondok
pesantren untuk mengamati beberapa fenomena yang berkaitan dengan
18
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274).
Dalam penelitian kualitatif, dokumentasi dilaksanakan untuk
memperoleh data tambahan, seperti profil pondok pesantren, brosur
pondok pesantren, visi misi, gambar, dan lain sebagainya.
6. Analisis data
Menurut Bogdan dan Briklen (dalam Moleong, 2011:248) analisis
data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Adapun tujuan utama analisis data dalam penelitian kualitatif ialah
mencari makna di balik data melalui pengakuan subyek pelakunya
(Kasiram, 2010:355).
Ada tiga macam kegiatan dalam analisis data kualitatif menurut Miles
dan Huberman (dalam Emzir, 2011:129), yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
19
reduksi data dapat dilakukan dengan cara menyusun ringkasan,
membuang yang tidak perlu, memberi kode bagian yang penting dan
sebagainya hingga laporan penelitian ini selesai. Langkah ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya.
Pada tahap ini, peneliti akan mengumpulkan semua data yang
berkaitan dengan ta‟zir dan kedisiplinan yang diperoleh selama
penilitian di PPTI Al-Falah, menyusunnya secara ringkas, kemudian
memilih dan mengambil data yang akan digunakan, menambahkan
beberapa deskripsi agar lebih jelas hingga laporan penelitian selesai.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah kegiatan menyusun sekumpulan data dan
informasi, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Peneliti harus menyusun data secara teliti, agar tepat dalam
memberikan kesimpulan dan mengambil langkah selanjutnya.
c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan bagian dari satu kegiatan
konfigurasi yang utuh. Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti
secara terus menerus selama proses penelitian. Sehingga verifikasi
kesimpulan yang pada mulanya belum jelas meningkat menjadi lebih
20
Peneliti akan memberikan kesimpulan secara bertahap, sesuai
dengan data sementara yang didapat. Sehingga, peneliti dapat
memberikan kesimpulan yang jelas dan tepat mengenai fenomena ta‟zir
dan kedisiplinan di PPTI Al-Falah seiring terkumpulnya seluruh data
penelitian.
7. Pengecekan Keabsahan data
Pengecekan keabsahan data (Moleong, 2011:324) merupakan upaya
agar hasil penelitian yang disajikan valid dan dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan
teknik pemeriksaan yang didasarkan atas sejumlah kriteria yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (comfirmability). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik ketekunan pengamatan peneliti dan
triangulasi.
a. Ketekunan Pengamatan Peneliti
Ketekunan pengamatan bertujuan untuk menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau
isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal
tersebut secara rinci. Teknik ini menuntut agar peneliti mampu
menguraikan secara rinci bagaimana proses penemuan secara tentatif
dan penelaahan secara rinci tersebut dapat dilakukan. Melalui teknik
ini, peneliti berusaha setekun mungkin untuk mengamati setiap unsur
21
berkesinambungan. Misalnya peneliti sering ke lokasi penelitian untuk
mendapatkan data-data yang dibutuhkan.
b. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data-data itu untuk pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data-data yang ada. Dalam penelitian
ini menggunakan teknik triangulasi dengan sumber data, yakni
membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
metode kualitatif. Hal itu dicapai dengan:
1) Membandingkan data hasil wawancara dengan hasil wawancara
informan lain. Misalnya membandingkan hasil wawancara kepala
sekolah dengan kaur kesiswaan.
2) Membandingkan data hasil wawancara dengan hasil pengamatan.
Misal membandingkan hasil wawancara guru kesiswaan dengan
pengamatan yang dilakukan peneliti.
3) Membandingkan data wawancara dengan dokumen. Peneliti
membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang didapat.
Melalui teknik triangulasi setiap data yang didapatkan akan
dibandingkan dengan data-data lainnya sehingga menjadi suatu data
22
8. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap penelitian secara umum terdiri atas tahap pra lapangan, tahap
pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data (Moleong, 2011:127).
a. Tahap Pra-lapangan
Tahap pra lapangan adalah tahap di mana ditetapkannya apa saja
yang harus dilakukan sebelum seorang peneliti masuk ke lapangan
obyek studi (Kasiram, 2010:281). Ada tujuh hal yang harus dilakukan
dan dimiliki peneliti dalam tahap pra lapangan yakni:
1. Menyusun rancangan penelitian.
2. Memilih lapangan penelitian.
3. Mengurus perijinan.
4. Menjajaki dan menilai keadaan lapangan.
5. Memilih dan memanfaatkan informan.
6. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
7. Persoalan etika penelitian.
Tabel 1.1 Tahap Pra Lapangan
Waktu Kegiatan
Juli Menyusun proposal penelitian
September Mengurus perijinan
Oktober Observasi
23
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap pekerjaan lapangan, peneliti mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi lapangan penelitian dengan mamahami latar
penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan, berperan sambil
mengumpulkan data.
Tabel 1.2 Tahap Pekerjaan Lapangan
Waktu Kegiatan
Oktober Memasuki lapangan
Februari Mengumpulkan data
c. Tahap Analisis Data
Tahap analisis data bermaksud mengorganisasikan data dalam hal
ini mengatur urutan data, memberikan kode, dan mengkategorikannya.
Analisis ini bertujuan untuk menemukan tema dan hipotesis kerja yang
akhirnya diangkat menjadi konsep, proposisi, kategori atau variabel
yang berguna untuk membangun teori subtantif.
Tabel 1.3 Tahap Analisis Data
Waktu Kegiatan
Februari Menemukan dan menyajikan data
24
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penjelasan, pemahaman dan penelaahan terhadap
pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji maka perlu adanya sistematika
penulisan sehingga pembahasan akan lebih sistematis dan runtut.
Bab I : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian dan sistematika
penulisan skripsi.
Bab II : Kajian Pustaka
Berisi tentang pembahasan mengenai penerapan ta‟zir dalam
menanamkan kedisiplinan.
Bab III : Paparan Data dan Temuan Penelitian
Bab ini berisi tentang kondisi umum PPTI Al-Falah Salatiga dan
penyajian data.
Bab IV: Pembahasan
Bab ini berisi pembahasan tentang penerapan ta‟zir, penanaman
kedisiplinan, kekurangan dan kelebihan dari penerapan ta‟zir dalam
menanamkan kedislipinan di PPTI Al-Falah Salatiga.
Bab V : Penutup
25
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ta’zir (Hukuman)
1. Pengertian Ta’zir (Hukuman)
Dalam kamus Arab Indonesia yang ditulis oleh Mahmud Yunus, kata
ta‟zir berasal dari bahasa Arab
" َز َّصَع"
yang berarti memukul (Yunus, 2007:267). Munawwir (1997:925) menuliskan bahwa, kata ta‟zir berasaldari kata dasar „azzara yang berarti menghukum. Secara bahasa kata ta‟zir
adalah bentuk mashdar dari „azzara, yang berarti menolak (raddu atau
man‟u). Menurut ilmu bahasa (lughat), ta‟zir adalah kata nama yang
bersifat kebesaran (asmaul adhdad), karena kata tersebut secara mutlak menunjukkan kebesaran atau keagungan dan menunjukkan kepada
pengertian pengajaran (takdib), dan pada pukulan yang sangat keras dan kepada pukulan selain pukulan yang had.
Menurut pegertian hukum syari‟at ta‟zir berarti pengajaran (takdib)
terhadap kesalahan yang tidak mempunyai ketentuan hukum had. Kata
ta‟zir dalam hukum syari‟at tidaklah dikhususkan degan hukuman
pemukulan, tetapi dapat dilakukan dengan penamparan atau dengan
menjetik telinga atau dengan perkataan yang keras, tergantung kpd
26
Lafaz ta‟zir berasal dari kata
َزَّصَع
yang memiliki sinonimُعٌَْوْلا
َّ
د َّسلا
(mencegah dan menolak) danُتِْٗدْأَّزلا
(mendidik). Ta‟zir diartikan mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidakmengulangi perbuatannya. Ta‟zir diartikan mendidik, karena ta‟zir
dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari
perbuatan buruknya kemudian meninggalkan dan menghentikannya
(Muslich, 2005:248).
Menurut Muslich juga, ta‟zir adalah hukuman yang belum ditentukan
oleh syara‟ dan untuk penetapan serta pelaksanaannya diserahkan kepada
ulil amri (penguasa) sesuai dengan bidangnya. Menurut hukum Islam
hukuman ta‟zir adalah hukuman yang tidak tercantumkan nash atau
ketentuannya dalam Al-Qur‟an dan as Sunnah, dengan ketentuan pasti dan
terperinci. Hukuman ta‟zir dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dan
menolak timbulnya bahaya (2006:10).
Menurut hukum pidana Islam, pengertiaan hukuman adalah:
ِع ِزبَّسلا ِسْهَأ ِىبَْ٘صِع َٔلَع ِخَعبَوَجْلا ِخَحَلْصَوِل ُزَّسَقُوْلا ُءاَصَجْلا َُِٖ ُخَث ُْْقُعْلَا
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara
kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentun-ketentuan syara‟” (Muslich, 2005:252).
Muhammad (2012:1150) mengatakan bahwa, ta‟zir adalah hukuman
yang tidak ditentukan kadarnya terhadap orang yang berbuat kemaksiatan
27
Hukuman tiada lain adalah pengahan hati atau membangkitkan kata
hati. Hukuman yang baik dapat menampar diri orang yang dihukum
terutama mengeni moralnya, dan dapat dirasakannya sebagai duka cita
karena ia berbuat demikian kemudian menyesal (Purwanto, 2007:193).
Hukuman dalam pengertian pendidikan Islam adalah hukuman yang
memiliki tujuan mendidik dan mengarahkan. Jadi, tujuan dari hukuman
bukanlah pembalasan terhadap pelaku kesalahan, atau menimpakan bahaya
terhadapnya (Muhammad, Raqith, 2011:220).
Istilah ta‟zir juga diartikan sebagai suatu pelajaran atau pendidikan
dalam bentuk hukuman tertentu terhadap peserta didik/santri, karena suatu
sebab. Sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan pemberian
pengajaran terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah
dilakukannya, ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan setelah perbuatan
itu dilakukan. Dalam makna lain, hukuman adalah penderitaan, atau
nestapa atau akibat yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan
sengaja oleh seseorang yang berwenang kepada murid/santri yang telah
melanggar peraturan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan
masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
Demikian juga dengan ta‟zir, hukuman ta‟zir dapat berupa hukuman
badan/pukulan, hukuman harta, atau hukuman jiwa. Dalam pondok
pesantren hukuman ini digunakan untuk mencengah santri yang
28
pengajaran agar dirinya menyadari kesalahannya kemudian bertekad untuk
menghentikannya.
2. Dasar Hukum Disyari’atkannya Ta’zir
Hukum ta‟zir diwajibkan bagi tiap kemaksiatan yang tidak ada sanksi
dan kafaratnya, baik berupa tindakan melakukan hal yang haram atau
meninggalkan kewajiban. Allah SWT mensyari‟atkan berbagai jenis
hukuman dengan kadar tertentu, tidak boleh ditambah atau dikurangi
karena perbuatan tersebut dapat merusak pilar-pilar keamanan umat,
seperti konsep melindugi agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal.
Hukum-hukum tersebut mempunyai syarat dan aturan main, terkadang
hukum tersebut tidak bisa diterapkan, sehingga beralih dari hukuman yang
telah ditentukan kadarnya menjadi hukuman yang tidak ditentukan
kadarnya.
Di dalam Al-Qur‟an hukuman biasanya disebutkan dalam berbagai
bentuk kata lain, seperti lafadz „iqab, „adzab, rijz ataupun keterangan
lainnya. Hukuman merupakan akibat dari suatu perbuatan manusia sendiri,
sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan
29
Begitu juga dalam surah An-Najm ayat 31:
ِٰ ِلِل َّ
berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebihbaik (surga).” (QS. An-Najm:31)
Hukum disyari‟atkannya ta‟zir juga terdapat dalam hadist Nabi saw, yang
berbunyi:
“(7)Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya. (8) Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula.”(Qs. Al-Zalzala:7-8)
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwasannya setiap
perbuatan pasti ada konsekuensinya, baik itu perbuatan baik maupun
perbuatan buruk. Akibat perbuatan baik atau perbuatan buruk yang
dilakukan seseorang pasti akan merugikan dirinya sendiri, bahkan
terkadang dapat merugikan orang lain juga.
3. Tujuan Ta’zir atau Hukuman
Hukuman ta‟zir merupakan tindakan edukatif dari orang
dewasa/pendidik yang dilakukan secara sadar kepada anak didiknya
dengan memberikan peringatan/pelajaran kepadanya atas pelanggaran
30
didik menjadi menyadari kesalahannya dan menghentikan perbuatan
buruknya serta berhati-hati dalam setiap melakukan sesuatu.
Menurut Durkheim (1961:126), hukuman dapat memberi otoritas pada
peraturan, sehingga hukuman diterapkan untuk mencegah agar peraturan
tidak kehilangan otoritasnya yang akan digerogoti oleh pelanggaran
sehari-hari. Hukuman juga diterapkan sebagai pendidikan kepada anak agar
mencegah (tidak mengulangi) kesalahannya lagi.
Menurut Hurlock (1978:152), hukuman memiliki 3 tujuan, yaitu:
a Sebagai Penghalang/Pencegahan
Hukuman diharapkan dapat menghalangi pengulangan tindakan
yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
b Sebagai Pendidikan
Peserta didik dapat menyadari perbuatan salahnya dan segera
memperbaikinya.
c Sebagai motivasi
Hukuman dapat menjadi motivasi bagi anak untuk menghindari
perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
Pendapat tersebut hampir sama dengan tujuan utama dari penerapan
ta‟zir atau hukuman yang dikemukakan oleh Muslich (2006: 137), antara
lain:
a Pencegahan
Penerapan ta‟zir atau hukuman bertujuan untuk pencegahan, yaitu
31
dan tidak mengulanginya lagi. Disamping itu, ta‟zir atau hukuman juga
dapat mencegah orang lain agar tidak ikut-ikutan melakukan perbuatan
buruk tersebut. Karena ia mengetahui bahwa ta‟zir atau hukuman
tersebut akan dikenakan juga kepada mereka yang melakukan perbuatan
yang sama. Sehingga, kegunaan pencegahan ini adalah menahan si
pelaku untuk tidak mengulangi perbuatan buruknya dan menahan orang
lain untuk tidak melakukan hal yang sama serta menjauhkan dari
lingkungan yang tidak baik.
b Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan kedua dari penerapan tazir atau hukuman adalah mendidik
pelaku agar menyadari kesalahannya dan menjadi orang baik. Dengan
adanya ta‟zir atau hukuman, diharapkan dapat menimbulkan suatu
kesadaran dalam diri pelaku bahwa ia menjauhi perbuatan buruk bukan
karena takut hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan
kebenciannya pada perbuatan tersebut serta dengan mengharap ridha
Allah SWT.
Pada hakikatnya, melanggar peraturan merupakan perbuatan buruk
yang dapat merugikan banyak pihak dan tidak disenangi. Ta‟zir atau
hukuman merupakan salah satu cara menyatakan reaksi terhadap perbuatan
buruk santri. Hal ini dimaksudkan untuk pemberian pelajaran kepada santri
sebagai konsekuensi dan imbangan atas perbuatan buruk yang telah
32
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa tujuan diadakannya ta‟zir adalah
untuk kepentingan pribadi santri (si pelaku) dan masyarakat sekitarnya.
Untuk pribadi diri santri, dengan adanya ta‟zir, ia tercegah dari perbuatan
buruk dan terhindar serta selamat dari penderitaan hukuman, sedangkan
untuk masyarakat sekitarnya, tercegahnya pelaku dari perbuatan buruk
dapat membuat masyarakat sekitar menjadi tenteram dan damai, sehingga
terbentuk lingkungan pondok yang baik yang diliputi rasa saling
menghormati dan menghargai antara sesama dengan mengetahui
batas-batas hak dan kewajibannya.
4. Syarat-syarat Ta’zir atau Hukuman
Manusia diciptakan untuk hidup dalam lingkungan tertentu, hampir
seluruh kegiatan hidupnya melibatkan orang lain dan ditujukan pada
penyesuaian diri terhadap kebutuhan hidup dan lingkungannya. Begitu
juga tingkah lakunya, hal ini untuk mendukung terciptanya lingkungan
nyaman dan damai. Untuk membantu mengendalikan sesuatu yang tidak
diinginkan agar tidak terjadi, maka digunakanlah beberapa alat/metode
untuk mencegahnya, salah satunya adalah hukuman. Beberapa lembaga
pendidikan pun menerapkan hukuman untuk membantu peserta didik
dalam mengontrol perilakunya. Namun, ada beberapa pihak yang kurang
setuju dengan diadakannya hukuman (ta‟zir) dalam dunia pendidikan,
karena mereka menganggap bahwa hukuman identik dengan kekerasan.
33
beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi layaknya
hukuman ta‟zir.
Menurut Purwanto (2007:191) Sarat-syarat hukuman yang pedagogis
adalah sebagai berikut:
a Setiap hukuman hendaklah dapat dipertanggungjawabkan, hukuman
tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.
b Bersifat memperbaiki.
c Tidak boleh bersifat mengancam atau balas dendam yang bersifat
perseorangan.
d Tidak boleh menghukum dalam kedaan marah.
e Setiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah
dipertimbangkan terlebih dahulu.
f Bagi peserta didik, hukuman hendaklah dirasakannya sebagai duka cita
dan penyesalan.
g Jangan melakukan hukuman badan, kecuali disaat hukuman lainnya
sudah tidak mempan lagi.
h Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara pendidik dengan
peserta didiknya.
i Adanya kesanggupan memberi maaf dari pendidik sesudah memberikan
hukuman dan setelah anak mengakuinya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muslich (2006:141), agar ta‟zir
atau hukuman tersebut dapat diterapkan, maka harus memenuhi tiga
34
a Harus ada dasarnya
Ta‟zir atau hukuman dianggap mempunyai dasar, apabila ia
didasarkan kepada sumber-sumber syara‟, seperti Al-Qur‟an, as
Sunnah, ijma‟, undang-undang atau ketentuan yang ditetapkan oleh ulil
amri. Hukuman yang ditetapkan oleh ulil amri tidak boleh didasarkan
pada kesewenang-wenangan. Hal ini dikarenakan penetapan hukuman
ta‟zir dengan cara menetapkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang
paling ringan sampai yang berat. dalam konteks ini, pengurus yang
berwenang diberi keleluasan untuk memilih hukuman mana yang paling
sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan dan kondisi pelaku.
b Hukuman harus bersifat pribadi
Hukuman diisyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan, yaitu
hukuman harus diberikan kepada pelaku yang melakukan perbuatan
buruk atau santri yang melanggar tata tertib sebagai
pertanggungjawaban atas tindakannya, bukan santri lain yang tidak
bersalah.
c Hukuman harus berlaku umum
Selain dua syarat yang telah disebutkan di atas, hukuman juga
harus berlaku umum. Yaitu hukuman harus berlaku untuk semua santri
tanpa memandang status, kedudukan, jabatan orangtua dan lain halnya.
Namun hukuman ta‟zir berlaku untuk santri sesuai dengan peraturan
35
Adapun hukuman fisik, Al Hamd dan Raqith (2011:224) memberikan
ketentuan sebagai berikut:
a Telah diterapkan sarana-sarana pendidikan sebelumnya, seperti nasihat,
pengarahan, bermuka masam, pencegahan, pemboikotan, dan celaan.
b Pukulan hendaknya sesuai dengan hukuman.
c Seorang pendidik hendaknya tidak memukul lebih dari sepuluh
pukulan. Berdasarkan riwayat Bukhari sebagaimana berikut ini:
ِّى ِراَصْن َ ْلْا َةَد ْرُب ْىِبَا ْنَع
َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله َل ْوُس َر َعِمَس ُهَّنَا ،
.ِالله ِد ْوُدُح ْنِم ٍّدَح ْىِف َّلِْا .ٍطا َوْسَا ِةَرَشَع َق ْوَف ٌدَحَا ُدِلْجُي َلْ : ُل ْوُقَي
“Dari Abu Burdah Al Anshari; sesungguhnya dia pernah mendengar Rasulallah shollaallahu „alaihi wa sallam bersabda: Seseorang tidak akan didera sampai di atas sepuluh cambukan kecuali dalam
hukuman-hukuman Allah.”(HR. Muslim)
d Sebagaimana yang dikatakan pada ulama, alat pemukul harus:
1) Berukuran sedang, tidak terlalu kecil atau terlalu besar.
2) Dengan tingkatkan kebasahan sedang, sehingga terasa di kulit karena
berat bobotnya.
3) Tidak dalam satu bentuk tertentu, boleh berupa cambuk, ranting
pohon dan lain-lain.
e Para ulama berpendapat berpendapat tentang tata cara pemukulan
sebagai berikut:
1) Memukul pada tempat-tempat terpisah.
2) ada jeda waktu antara dua pukulan, sehingga rasa sakit akibat
36
3) Pemukul hendaknya mengangkat tangannya dalam membawa alat
pukul, lalu mengangkat lengan atasnya hingga terlihat putih
ketiaknya, tidak boleh lebih dari itu, agar pukulannya tidak
menimbulkan sakit yang berlebihan.
f Hendaknya seorang pendidik menghindari dari memukul wajah,
kemaluan, kepala dan organ vital. Di dalam hadits yang diriwayatkan
bu Daud disebutkan:
ْنُكُدَحأ َة َسَض اَذِا :َلبَق َنَّلَس َّ ََِْ٘لَع ُالله َّٔلَص ِِّٖجٌَّلا ْيَع ,َحَسَْٗسُُ ِٖثَأ ْيَع
.ََْج َْْلا ِقَّزَْ٘لَف
“Dari Abu Hurairah radhiyaallahu‟anhu, dari Nabi shollaallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda: Jika seseorang di antara kalian
memukul, maka hindarilah bagian wajah (muka)” (HR. Abu Daud).
Para ahli berpendapat, bagian tubuh yang paling tepat untuk pemukulan
adalah dua tangan dan kedua kaki.
g Para ulama berpesan agar ketika memukul hendaknya seseorang
menjauhkan diri dari kata-kata kotor.
Choiriyah dan al-Atsary juga mengemukakan dalam bukunya bahwa
Rasulullah saw tidak pernah memukul anak (2010:220) . Selanjutnya
beliau menjelaskan kepada kita prinsip dan kaidah dalammemukul anak:
a Tidak dilakukan sebelum anak berusia 10 tahun.
b Meminimalisir pukulan, sehingga laksana garam bagi makanan.
c Pukulan itu hanya mengenai kulit luarnya saja, tidak boleh sampai ke
37
d Alat yang digunakan untuk memukul tidak boleh dari jenis yang keras
atau tajam, ataupun dari benda-benda yang menghinakan seperti sandal,
sepatu, dan lain sebagainya.
e Ketika memukul, tidak boleh mengangkat tangan tinggi-tinggi sehingga
pukulan itu tidak melukai, tidak terlalu keras.
f Menghentikan pukulan bila anak meminta pertolongan kepada Allah
SWT.
g Tidak boleh memukul pada bagian tubuh yang vital seperti kepala,
wajah, leher, dada, perut, ataupun kemaluan.
h Jangan memukul ketika marah, Sebagaimana hadis yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhori dan Ahmad:
ُالله َّٔلَص ِِّٖجٌَّلِل َلبَق ًلًُج َز َّىَأ :ٌََُْع ُالله َٖ ِضَز َحَسَْٗسُُ ِٖثَأ ْيَع
ََِْ٘لَع
. ْتَضْغَر َلا :َلبَق ,ا ًزا َسِه َدَّد َسَف . ْتَضْغَر َلا :َلبَق .ٌِٖ ِص َّْأ :َنَّلَس َّ
“Dari Abu Hurairah radhiyaallahu‟anhu: bahwa seorang lelaki
berkata kepada Nabi shollaallahu „alaihi wa sallam, “Berilah aku
nasihat.” Beliau pun bersabda, “Janganlah engkau marah.” Orang itu berkata lagi beberapa kali, beliau pun (tetap) berkata, “Janganlah engkau marah”(HR. Bukhari).
sebab dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Hukuman menjadi kurang terpuji
2) Dapat melahirkan kebencian pada diri anak
3) Dalam kondisi marah, pukulan bukan lagi sebagai pendidikan tapi
sebagai pelampiasan yang akan menimbulkan rasa dendam di hati
anak
38
Dari beberapa pendapat di atas, dapat kita pahami bahwa ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan hukuman/ta‟zir kepada
anak didik agar hukuman yang diberikan sesuai dengan porsinya dan tidak
melewati batas. Jadi, dalam menerapkan hukuman ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, diantaranya adalah:
a Ada landasannya (nash Al-Qur‟an, hadits, atau ketetapan ulil amri).
b Berlaku bagi seluruh anak didik yang berbuat salah dan tidak diberikan
secara sewenang-wenang.
c Bersifat mendidik.
d Tidak boleh menghukum dalam keadaan marah.
e Hukuman melalui pukulan hanya boleh diberikan setelah hukuman
lainnya sudah tidak mempan lagi.
f Tidak memutus hubungan baik antara pendidik dengan anak didiknya.
Adapun syarat-syarat pemberian pukulan adalah sebagai berikut:
a Pukulan hanya boleh diberikan setelah hukuman lainnya sudah tidak
mempan lagi.
b Tidak boleh memukul lebih dari 10 kali.
c Alat yang digunakan untuk memukul tidak boleh tajam, terlalu ringan,
terlalu berat, atau dengan benda-benda yang menghinakan.
d Tidak memukul pada bagian organ vital.
39
f Tidak boleh memukul saat marah.
g Menghentikan pukulan bila anak meminta pertolongan kepada Allah
SWT.
Itulah beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan
hukuman. Sebagaimana hukuman ta‟zir di PPTI Al-Falah diterapkan
sesuai hasil mufakat ulil amri dan para pengurus, hukuman ini hanya
diberikan kepada santri yang melanggar aturan. Seberapa besar tingkat
kesalahannya, maka hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat
kesalahannya, hal ini berlaku bagi seluruh santri putri yang melanggar
peraturan pondok.
5. Macam-macam Hukuman Ta’zir
Mengingat hukuman ta‟zir tidak boleh diberikan secara
sewenang-wenang dan harus sesuai dengan kesalahan yang diperbuat oleh anak
didik. Maka ada beberapa bentuk hukuman ta‟zir dari hukuman yang
ringan sampai yang berat, hal tersebut dimaksudkan agar hukuman yang
diberikan atas kesalahan yang diperbuat peserta didik sesuai dengan
porsinya.
Menurut Muslich (2005:255), hukuman ta‟zir ini jenisnya beragam,
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
a Hukuman ta‟zir yang mengenai badan, seperti hukuman push up, lari
dan lain-lain.
b Hukuman ta‟zir yang berhubungan dengan kemerdekaan seseorang,
40
c Hukuman ta‟zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan
dan penghancuran barang.
d Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi
kemaslahatan umum.
Hukuman hanyalah salah satu sarana diantara sekian banyak sarana
pendidikan Islam, tujuannya utuk kebaikan dan kesalihan anak. Dalam
penerapannya, hukuman dilakukan secara bertahap, dimulai dengan
hukuman yang lebih ringan, kemudian meningkat hingga yang lebih berat
(Mhammad, Raqith, 2011:220). Hukuman juga memiliki beberapa bentuk
sebagai berikut:
a Nasihat, arahan dan peringatan
Rasulullah saw pernah menggunakan metode ini terhadap salah
seorang anak yang melakukan kesalahan. Suatu kali beliau melihat
seorang anak yang tangannya bergerak ke sana ke mari pada makanan,
lalu beliau bersabda kepadanya untuk mengajarkan tata cara makan:
ُالله َّٔلَص ِِّٖجٌَّلا ُج َّْش َخَوَلَس ِّمُأ ُيْثا َُُْ َّ( َخَوَلَس ِْٖثَأ ِيْث َسَوُع ْيَع
Salamah, istri Rasulullah shollaallahu „alaihi wa sallam) ia berkata,
“Aku adalah seorang anak kecil pada waktu berada dalam asuhan Rasulullah shollaallahu „alaihi wa sallam (Dalam riwayat lain: Suatu ketika, Nabi shollaallahu „alaihi wa sallam diberi makanan, saat itu
41
Salamah), tanganku bergerak kesana kemari pada (Dalam riwayat lain: Kemudian aku segera makan dari beberapa arah) nampan.
Rasulullah shollaallahu „alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Hai
nak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan
makanlah apa yang ada di sisimu. “Setelah itu, aku pun selalu makan dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shollaallahu „alaihi wa sallam itu” (HR. Bukhari)
b Berpaling
Berpaling dapat juga dijadikan salah satu bentuk hukuman. Dengan
memalingkan muka atau pandangan dari orang yang berbuat salah dapat
menimbulkan kesadaran pada dirinya, sehingga orang tersebut dapat
mengoreksi dan memperbaiki kesalahannya.
c Bermuka masam
Terkadang hal ini berpengaruh pada sebagian orang, sehingga
dapat membuat mereka jera dari kesalahan yang mereka perbuat.
d Pencegahan
Contohnya saat Rasulullah saw mencegah Hasan bin Ali as
sebagaimana yang diriwiyatkan oleh Bukhari:
ُيْث ِالله ُدَْ٘جُع بٌََثَدَح
“Telah menceritakan kepada kami (Ubaidullah bin Mu‟adz Al „Anbari)
telah menceritakan kepada kami (bapakku) telah menceritakan kepada