Statuta Roma
HUKUM ACARA DAN
PEMBUKTIAN
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Aturan 1
Pemakaian Istilah
Dalam dokumen ini:
• Kata “Pasal” mengacu pada pasal Statuta Roma [yang sejajar dengan kata
“Aturan” dalam dokumen Hukum Acara ini, penj.];
• Kata “Sidang” mengacu pada Sidang Mahkamah;
• Kata “Bagian” mengacu pada Bagian dari Statuta Roma [yang sejajar dengan
kata “Bab” dalam dokumen Hukum Acara ini, penj.];
• “Hakim Ketua” mengacu pada Hakim Ketua Sidang [Mahkamah];
• “Ketua” mengacu pada Ketua Mahkamah;
• “Peraturan” mengacu pada Peraturan Mahkamah;
• “Aturan” mengacu pada Aturan dalam dokumen Hukum Acara dan Pembuktian
ini.
Aturan 2 Naskah Autentik
Aturan-aturan dalam Hukum Acara ini telah diadopsi dalam bahasa-bahasa resmi Mahkamah sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 40, Ayat 1. Semua teks atau naskah yang tertulis dalam bahasa-bahasa tersebut sama autentiknya.
Aturan 3 Amandemen
1 Amandemen terhadap aturan dalam hukum acara ini sebagaimana telah ditegaskan
dalam Pasal 51, Ayat 2, harus diajukan kepada Ketua Biro Dewan Negara-Negara Pihak.
2 Ketua Biro Dewan Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa semua amandemen
yang diajukan telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa resmi Mahkamah dan disampaikan kepada Negara-Negara Pihak.
3 Prosedur yang telah digambarkan pada sub-aturan 1 dan 2 di atas berlaku juga bagi
aturan dalam hukum acara sementara sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 51, Ayat 3
BAB 2
SUSUNAN DAN ADMINISTRASI MAHKAMAH
Bagian IKetentuan Umum Berkaitan dengan Susunan dan Administrasi Mahkamah
Aturan 4 Sidang Umum
1. Para hakim harus mengadakan pertemuan dalam forum sidang umum tidak lebih dari
dua bulan terhitung sejak mereka dipilih. Pada sidang pertama tersebut, setelah mereka melakukan sumpah jabatan, dalam kesesuaiannya dengan aturan 5, para hakim harus:
(a) Memilih Ketua dan Wakil Ketua (Mahkamah)
(b) Membagi dan menempatkan para hakim berdasarkan divisi-divisinya
2. Para hakim harus mengadakan sidang umum, setelah sidang umum pertama, sekurang-
kurangnya sekali setahun untuk menguji apakah pelaksanaan tugas dan fungsi mereka sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta, aturan-aturan dalam Hukum Acara, dan peraturan-peraturan dalam Tata-Tertib (Tatib), dan, jika dianggap perlu, mengadakan sidang umum khusus yang dipimpin oleh Ketua atas mosinya sendiri atau atas permintaan setengah dari keseluruhan jumlah hakim Mahkamah.
3. Kuorum yang memenuhi syarat untuk setiap sidang umum adalah dua per tiga dari
keseluruhan jumlah hakim
4. Sepanjang tidak ditetapkan lain daripada yang telah termaktub dalam Statuta atau
Hukum Acara, keputusan dalam sidang umum harus diambil berdasarkan moyoritas jumlah hakim yang hadir. Jika terjadi kesamaan jumlah suara, Ketua, atau hakim yang bertindak atas nama Ketua, harus mengambil keputusan berdasarkan kewenangan yang ada padanya.
5. Tata Tertib harus diadopsi sesegera mungkin dalam sesi sidang umum.
Aturan 5
Sumpah Jabatan di Bawah Ketentuan Pasal 45
1. Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 45, sebelum melaksanakan tugas dan fungsi
mereka berdasarkan ketentuan Statuta, pengambilan sumpah jabatan harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan seperti berikut:
a. Untuk hakim, ia harus mengucapkan sumpah seperti ini:
“Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan menjalankan wewenang saya sebagai hakim Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan dan kerahasiaan pengambilan keputusan.”;
b. Untuk Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera dan Deputi Panitera dari
Mahkamah ini:
“Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan menjalankan wewenang saya sebagai (sebut sesuai jabatan masing-masing!) dari Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan
pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan.”
2. Sumpah, yang telah ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut dan
disaksikan oleh Ketua atau seorang Wakil Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak harus diarsipkan bersama Berita Acara dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah.
Aturan 6
Sumpah Jabatan oleh Staf Kantor Penuntut Umum, Kepaniteraan, Penafsir dan Penerjemah
1. Dalam kaitan dengan tugas sesuai jabatan masing-masing, setiap staf dari Kantor
Penuntut umum dan Kepaniteraan harus melakukan pengambilan sumpah sebagai berikut:
“Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dan menjalankan wewenang saya sebagai (sebut sesuai jabatan masing-masing!) dari Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan.”;
Sumpah, yang telah ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut dan disaksikan, sebagaimana seharusnya, oleh Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera, harus diarsipkan bersama Berita Acara di Kepaniteraan dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah.
2. Sebelum melaksanakan berbagai tugasnya, orang yang bertindak sebagai penafsir atau
penerjemah dalam sidang Mahkamah harus mengucapkan sumpah seperti berikut: “Dengan tulus saya menyatakan bahwa saya akan melaksanakan segala tugas saya dengan penuh pengabdian, tidak memihak dan dengan segala rasa hormat pada kewajiban menjalankan tugas dengan penuh kebenaran dan kesahihan.”;
Sumpah, yang ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah dan disaksikan oleh Ketua Mahkamah atau orang yang mewakilinya, harus diarsipkan bersama Berita Acara di Kepaniteraan dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah.
Aturan 7
Hakim Tunggal di Berdasarkan Ketentuan Pasal 39, Ayat 2 (b) (iii)
1. Jika Sidang Pra-peradilan menetapkan seorang hakim sebagai hakim tunggal sesuai
ketentuan pasal 39, ayat 2 (b) (iii), hal itu harus dilakukan dengan berdasarkan pada kriteria objektif yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Hakim yang telah ditentukan tersebut harus membuat keputusan yang tepat atas
pertanyaan yang diungkapkan dalam Sidang Pra-peradilan, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang di atasnya keputusan yang diambil oleh Sidang lengkap [Sidang yang terdiri dari seluruh hakim yang bertugas untuk persidangan suatu kasus] tidak secara tegas diungkapkan dalam ketentuan Statuta atau aturan Hukum Acara.
3. Sidang Pra-peradilan, berdasarkan mosinya sendiri atau, jika dipandang tepat, berdasarkan permintaan salah satu pihak, boleh memutuskan bahwa tugas hakim tunggal perlu diuji atau diperiksa oleh Sidang lengkap.
Aturan 8
Kode Etik Jabatan
1. Ketua, berdasarkan proposal yang dibuat oleh Panitera, harus menetapkan sebuah draf
Kode Etik Jabatan bagi jasa konsultasi hukum, setelah dimintakan persetujuan dari Penuntut Umum. Dalam penyiapan proposal tersebut, Panitera harus melakukan konsultasi dengan berbagai pihak sebagaimana ditetapkan dalam aturan 20, sub-aturan 3 dari Hukum Acara dan Pembuktian ini.
2. Draf Kode Etik tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Negara-Negara Pihak,
agar diadopsi, sesuai dengan ketentuan pasal 112, ayat 7.
3. Kode Etik tersebut harus mengandung ketentuan tentang prosedur yang bisa diambil
jika diperlukan adanya amandemen.
Bagian II
Kantor Kejaksaan (Penuntut Umum)
Aturan 9
Kegiatan Kantor Kejaksaan (Penuntut Umum)
Dalam menjalankan tugasnya dalam hal manajemen dan administrasi di Kantor Kejaksaan, Penuntut Umum harus menetapkan peraturan-peraturan untuk menjaga jalannya tugas institusi tersebut. Dalam penyiapan ataupun amandemen terhadap peraturan-peraturan tersebut, Penuntut Umum harus merundingkannya dengan Panitera terutama menyangkut hal-hal yang mungkin akan mempengaruhi kinerja kerja Kepaniteraan.
Aturan 10
Penahanan Informasi dan Bukti
Penuntut Umum harus bertanggung jawab terhadap penahanan, penyimpanan, dan keamanan informasi dan bukti-bukti fisik yang diperoleh selama penyelidikan oleh Institusi Kejaksaan tersebut.
Aturan 11
Pendelegasian Tugas Penuntut Umum
Kecuali wewenang inheren Penuntut Umum sebagaimana termaktub dalam Statuta, antara lain, ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal 15 dan 53, Penuntut Umum atau Deputi boleh menguasaan atau melimpahkan wewenang kepada seorang anggota staf Kantor Kejaksaan, di luar yang telah ditetapkan dalam pasal 44, ayat 4, untuk mewakilinya dalam menjalankan tugas [sejauh bisa diwakilkan].
Bagian III Kepaniteraan
Ketentuan Umum Berkaitan dengan Kepaniteraan Aturan 12
Persyaratan dan Pemilihan Panitera dan Deputi Panitera
1. Segera setelah terpilih, Dewan Ketua harus menyusun daftar para kandidat yang
memenuhi kriteria sebagaimana ditegaskan dalam pasal 43, ayat 3, dan harus menyampaikan daftar tersebut kepada Dewan Negara-Negara Pihak disertai permintaan untuk mendapatkan rekomendasi.
2. Setelah menerima berbagai rekomendasi dari Dewan Negara-Negara Pihak, Ketua
harus segera, tanpa penundaan dengan alasan apa pun, menyerahkan daftar tersebut bersama dengan rekomendasinya ke hadapan sidang umum.
3. Sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 43, ayat 4, Mahkamah, yang mengadakan
rapat dalam sidang umum, harus, sesegera mungkin, memilih Panitera dengan sistem pemilihan mayoritas absolut, dengan mempertimbangkan segala rekomendasi yang telah diberikan oleh Dewan Negara-Negara Pihak. Dalam hal bahwa tiada satu pun kandidat yang mendapatkan suara mayoritas absolut pada pemilihan pertama, maka pemilihan susulan harus segera diadakan lagi sampai seorang kandidat mendapatkan suara mayoritas absolut.
4. Jika ternyata ada kebutuhan kuat akan seorang Deputi Panitera, maka Panitera bisa
membuat rekomendasi kepada Ketua untuk maksud tersebut. Ketua kemudian harus meminta diadakannya sidang umum untuk membahas dan memutuskan hal tersebut. Jika Mahkamah, yang mengadakan rapat atau sidang umum tersebut, memutuskan dengan suara mayoritas absolut bahwa seorang Deputi Panitera akan dipilih, maka Panitera harus mengusulkan atau menyerahkan daftar sejumlah kandidat deputi tersebut kepada Mahkamah.
5. Deputi Panitera harus dipilih oleh Mahkamah, yang mengadakan sidang umum
tersebut, dengan cara yang sama seperti pemilihan Panitera.
Aturan 13 Tugas Panitera
1. Tanpa melanggar wewenang Penuntut Umum sesuai ketentuan Statuta untuk
menerima, memperoleh dan menyediakan informasi dan untuk membangun saluran- saluran komunikasi untuk tujuan ini, Panitera harus menjalankan tugas sebagai saluran komunikasi itu sendiri kepada Mahkamah.
2. Panitera juga harus bertanggung jawab untuk keamanan internal Mahkamah
berdasarkan hasil kesepakatan atau konsultasi dengan Dewan Ketua dan Penuntut Umum, juga dengan Negara tuan rumah.
Aturan14
Kegiatan Kepaniteraan
1. Dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk organisasi dan manajemen
Kepaniteraan, Panitera harus menetapkan peraturan-peraturan untuk menjaga jalannya kegiatan Kepaniteraan. Dalam menyiapkan atau melakukan amandemen terhadap berbagai peraturan ini, Panitera harus mengkonsultasikan dengan Penuntut Umum berbagai hal yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan tugas Kantor Kejaksaan. Peraturan-peraturan termaksud harus disahkan oleh lembaga Dewan Ketua.
2. Peraturan-peraturan tersebut harus memberikan kemungkinan dan kemudahan bagi tim pembela untuk memiliki akses terhadap bantuan administratif yang tepat dan masuk akal dari Kepaniteraan.
Aturan 15 Rekaman
1. Panitera harus menyimpan database yang berisikan semua hal khusus dari masing-
masing kasus yang dibawa ke hadapan Mahkamah, hal-hal yang melahirkan keputusan hakim atau Sidang menyangkut berbagai dokumen atau informasi yang belum diungkapkan, dan hal-hal yang menyangkut perlindungan data personal yang sensitif. Informasi tentang database harus tersedia bagi publik dalam bahasa kerja Mahkamah.
2. Panitera juga harus membuat berbagai rekaman lainnya dari kerja Mahkamah.
Sub-bagian 2
Unit Korban dan Saksi Aturan 16
Tanggung Jawab Panitera Berkaitan dengan Korban dan Saksi
1. Dalam kaitannya dengan korban, Panitera harus bertanggung jawab terhadap beberapa
kegiatan berikut sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta dan aturan-aturan Hukum Acara ini:
(a) Menyediakan catatan atau pemberitahuan kepada korban atau kuasa hukum
mereka.
(b) Membantu mereka [para korban] dalam memperoleh nasihat hukum dan
mengorganisir pemwakilan kuasa hukum mereka, dan memberikan kuasa hukum mereka dukungan, bantuan dan informasi yang tepat dan sesuai, termasuk fasilitas- fasilitas yang secara langsung dianggap penting bagi pelaksanaan kewajiban mereka, dan bagi perlindungan hak-hak mereka selama berlangsungnya tahap-tahap persidangan sesuai dengan aturan 89 sampai 91 dari Hukum Acara ini;
(c) Membantu mereka untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai fase berbeda dari
proses persidangan sesuai dengan aturan 89 sampai 91;
(d) Mengedepankan pertimbangan sensitif jender dalam memfasilitasi keterlibatan atau
partisipasi korban-korban kekerasan seksual pada semua tahap proses persidangan.
2. Berkaitan dengan korban, saksi dan pihak lainnya lagi yang sama-sama menduduki
posisi riskan karena kesaksian yang mereka berikan, Panitera harus bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan berikut sesuai dengan ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini:
(a) Memberikan informasi kepada mereka tentang hak-hak mereka yang termaktub
dalam ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini, selain juga tentang eksistensi, tugas dan ketersediaan Unit untuk Urusan Korban dan Saksi;
(b) Menjamin bahwa mereka sadar, dalam setiap tahap dan sepanjang proses
persidangan, terhadap keputusan Mahkamah yang mungkin mendatangkan dampak bagi kepentingan mereka, sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku.
3. Sebagai bagian dari pemenuhan tugas dan tanggung jawabnya, Panitera boleh membuat
dan menyimpan sebuah daftar khusus bagi korban yang telah mengekspresikan maksud mereka untuk berpartisipasi dalam dan kalau ada kasus-kasus khusus.
4. Persetujuan terhadap relokasi dan ketentuan soal pelayanan pendukung di wilayah
terancam, para saksi dan pihak lain yang riskan oleh kesaksian yang diberikan para saksi tersebut bisa dinegosiasikan dengan Negara-Negara Pihak oleh Panitera yang bertindak atas nama Mahkamah. Persetujuan seperti ini boleh saja diperlakukan sebagai hal yang rahasia.
Aturan 17 Tugas Unit
1. Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan pasal 43, ayat 6.
2. Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus, antara lain, menjalankan tugas-tugas,
sesuai dengan ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara, dan dirundingkan dengan Sidang, Penuntut Umum dan pembela, seperti secara tepat digambarkan berikut ini:
(a) Berkenaan dengan para saksi, korban yang dihadirkan di hadapan Mahkamah, dan
pihak lain yang menanggung risiko yang mungkin oleh kesaksian yang diberikan oleh saksi, dalam kaitan dengan kebutuhan dan lingkungan atau kondisi khas mereka:
(i) Menyediakan mereka fasilitas [berupa peraturan atau standar lainnya]
perlindungan dan keamanan yang tepat dan memformulasikan rencana jangka panjang dan jangka pendek untuk perlindungan mereka itu;
(ii) Memberikan rekomendasi kepada badan-badan Mahkamah untuk mengadopsi
berbagai standar atau peraturan yang memberikan perlindungan kepada korban dan saksi dan pihak yang terkena risiko atas kesaksian yang disampaikan itu dan juga memberikan nasihat yang relevan kepada Negara- Negara Pihak menyangkut standar semacam itu;
(iii) Memberikan bantuan kepada mereka dalam memperoleh bantuan medis,
psikologis, dan bantuan lainnya yang tepat dan relevan;
(iv) Menyediakan bagi Mahkamah dan para pihak training menyangkut isu
trauma, kekerasan seksual, keamanan dan kerahasiaan;
(v) Memberikan rekomendasi, setelah berkonsultas dengan Penuntut Umum,
tentang elaborasi kode etik jabatan, memberikan tekanan pada hakikat vitalnya keamanan dan kerahasiaan bagi para penyelidik dari Mahkamah dan tim pembela dan semua organisasi pemerintahan maupun non-pemerintahan yang bertindak atas permintaan Mahkamah, dengan cara yang setepat mungkin;
(vi) Bekerja sama dengan Negara-Negara [Pihak], sejauh dipandang penting dan
perlu, dalam menyediakan berbagai fasilitas atau pertimbangan sebagaimana ditetapkan secara stipulatif dalam aturan ini;
(b) Berkenaan dengan para saksi:
(i) Memberikan nasihat kepada mereka di mana bisa memperoleh bantuan
hukum berupa nasihat atau pertimbangan hukum lainnya untuk melindungi hak-hak mereka, khususnya berkaitan dengan kesaksian yang mereka berikan;
(ii) Membantu mereka ketika mereka dipanggil untuk dimintakan keterangan atau
kesaksiannya oleh Mahkamah;
(iii) Mengedepankan pertimbangan yang sensitif gender ketika memfasilitasi
kesaksian korban kekerasan atau kejahatan seksual pada setiap tahap proses persidangan.
3. Dalam menjalankan tugas atau fungsinya, Unit ini harus menyediakan kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak, para manusia lanjut usia (manula), dan orang- orang tertentu yang cacat fisik. Dalam dan untuk memfasilitasi partisipasi dan perlindungan terhadap anak-anak sebagai saksi, Unit ini boleh meminta atau membuat usulan mendesak, sebagai mana seharusnya, dan dengan persetujuan orang tua atau pemegang hak asuh, untuk menghadirkan orang yang bertugas membantu anak-anak (saksi anak) tersebut pada seluruh tahap proses persidangan.
Aturan 18
Tanggung Jawab Unit
Agar bisa menjalankan tugas dan pekerjaannya secara efektif dan efisien, Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus:
(a) Menjamin bahwa staf dalam Unit tersebut tetap menjaga kerahasiaan sepanjang waktu;
(b) Sembari tetap mengakui kepentingan khusus dari Kantor Kejaksaan, pembela dan
saksi, harus menghormati kepentingan saksi, termasuk, sejauh dipandang perlu, mengupayakan pemisahan yang tepat dari pelayanan yang ditujukan bagi penuntutan dan pelayanan bagi saksi-saksi yang membela, dan juga harus bertindak tidak memihak ketika menjalin kerja sama dengan semua pihak dan ketika menjalankan tugas yang bersinggungan dengan berbagai peraturan dan keputusan Mahkamah;
(c) Harus memiliki bantuan administratif dan teknikal yang tersedia bagi saksi, korban
yang hadir di persidangan Mahkamah, dan pihak lain yang berisiko oleh adanya kesaksian yang diberikan oleh para saksi, selama semua tahap proses persidangan dan seterusnya, sebagaimana seharusnya;
(d) Menjamin diadakannya pelatihan bagi para stafnya berkenaan dengan keamanan,
integritas dan martabat korban dan saksi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sensitivitas gender dan kultural;
(e) Selain itu, kapan dan di mana perlu dan dipandang tepat, harus bekerja sama dengan
organisasi-organisasi antar-pemerintahan maupun organisasi non-pemerintah.
Aturan 19
Keahlian dalam Unit
Sebagai tambahan bagi staf seperti yang disebutkan dalam pasal 43, ayat 6, dan mengikuti ketentuan pasal 44, Unit untuk Urusan Korban dan Saksi boleh mempekerjakan, sejauh dipandang tepat, orang-orang dengan keahlian, antara lain, dalam hal-hal berikut:
(a) Perlindungan dan keamanan saksi;
(b) Hal-hal yang berkenaan dengan hukum dan administratif, termasuk bidang hukum
humanitarian dan hukum pidana;
(c) Administrasi logistik;
(d) Psikologi yang berkenaan dengan proses atau acara persidangan tindak pidana;
(e) Keanekaragaman gender dan kultural;
(f) Masalah anak-anak, khususnya masalah anak-anak yang mengalami trauma;
(g) Masalah orang tua atau manusia lanjut usia, khususnya berkenaan dengan masalah
orang tua yang mengalami trauma karena konflik bersenjata dan pembuangan atau pengasingan;
(h) Masalah orang-orang yang cacat atau tidak mampu melakukan hal-hal yang seharusnya
mampu ia lakukan;
(j) Masalah pemeliharaan kesehatan;
(k) Penafsiran (interpretasi) dan penerjemahan.
Sub-bagian 3 Tim Pembela Aturan 20
Tanggung Jawab Panitera Berkaitan dengan Hak atas Pembelaan
1. Berkenaan dengan ketentuan pasal 43, ayat 1, Panitera harus mengorganisir staf
Kepaniteraan dengan cara yang mengedepankan promosi hak-hak pembela, yang
konsisten atau sejalan dengan prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial)
sebagaimana ditegaskan dalam Statuta. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Panitera harus, antara lain:
(a) Memfasilitasi perlindungan kerahasiaan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 67,
ayat 1 (b);
(b) Memberikan dukungan, bantuan, dan informasi kepada semua tim penasihat hukum
atau pembela yang hadir di hadapan Mahkamah dan, sejauh dipandang tepat, memberikan dukungan bagi penyelidikpenyelidik profesional yang perlu bagi efisiensi dan efektivitas kinerja pembela;
(c) Membantu orang-orang yang ditahan, orang-orang yang sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 55, ayat 2, dan orang-orang yang didakwa untuk mendapatkan bantuan hukum baik berupa nasihat maupun bimbingan;
(d) Memberikan nasihat kepada Penuntut Umum dan Sidang Mahkamah, sejauh
dianggap perlu, tentang isu-isu yang berkaitan dengan pembelaan;
(e) Menyediakan bagi pembela semua fasilitas sepanjang dianggap perlu bagi
kemudahan kerja dan kegiatan yang menjadi kewajiban pembela;
(f) Memfasilitasi diseminasi atau penyebaran informasi dan berbagai keputusan
Mahkamah [yang bisa dijadikan sebagai preseden bagi keputusan hakim dalam perkara selanjutnya] kepada dewan penasihat atau pembela terdakwa dan, sejauh dipandang tepat, bekerja sama dengan asosiasi pembela dan advokat tingkat nasional atau badan-badan perwakilan independen lainnya dari berbagai asosiasi bantuan hukum yang dirujuk pada sub-aturan 3 untuk mempromosikan spesialisasi dan pelatihan para pengacara dalam hal prosedur hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta dan Hukum Acara ini.
2. Panitera harus menjalankan tugas sebagaimana termaktub dalam sub-aturan 1,
termasuk administrasi keuangan Kepaniteraan, dengan suatu cara yang sebisa mungkin menjamin kebebasan profesional dari dewan penasihat hukum atau tim pembela.
3. Untuk tujuan semacam manajemen bantuan hukum dalam kaitan dengan aturan 21 dan
pengembangan suatu Kode Etik Jabatan dalam kaitan dengan aturan 8, Panitera harus membicarakannya dengan, sebagaimana seharusnya, berbagai badan perwakilan independen dari asosiasi-asosiasi lembaga bantuan hukum atau asosiasi pembela, termasuk berbagai badan serupa yang didirikan atau dimaksudkan memang untuk tujuan seperti itu oleh Dewan Negara-Negara Pihak.
Aturan 21
1. Berdasarkan ketentuan pasal 55, ayat 2 (c), dan pasal 67, ayat 1 (d), kriteria dan prosedur untuk penyediaan bantuan hukum harus ditetapkan dalam Tata Tertib, berdasarkan proposal yang dibuat oleh Panitera, dengan mengedepankan konsultasi atau perundingan dengan badan-badan perwakilan independen baik dari dewan pembela maupun dari asosiasi bantuan hukum lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam aturan 20, sub-aturan 3.
2. Panitera harus membuat dan menyediakan sebuah daftar kumpulan para pembela atau
pengacara yang memenuhi kriteria sebagaimana digariskan dalam aturan 22 dan Tata Tertib. Orang [yang menjadi terdakwa atau tertuduh] harus diberi kebebasan untuk memilih pengacara atau pembelanya dari daftar tersebut atau dari referensi lain yang memenuhi kriteria yang diperlukan dan yang tidak berkeberatan dicantumkan dalam daftar pengacara atau pembela untuk tujuan ini.
3. Seseorang [terdakwa atau tertuduh] boleh meminta dari Dewan Ketua suatu tinjauan
ulang atas sebuah keputusan untuk menolak permintaan akan penyediaan jasa pengacara atau pembela. Keputusan dari Dewan Ketua harus bersifat final. Jika sebuah permohonan ditolak, maka dimungkinkan pengajuan permohonan lebih lanjut oleh orang tersebut kepada Panitera, dengan memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam situasi atau keadaan yang berkembang.
4. Seorang yang memilih hadir sendiri tanpa bantuan kuasa hukum atau pihak lain harus
memberitahukan hal itu kepda Panitera secara tertulis pada kesempatan pertamanya.
5. Jika terjadi seseorang menyatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan yang memadai
untuk membayar jasa bantuan hukum dan kemudian hal itu diketahui ternyata tidak benar, maka Sidang (Mahkamah) yang menangani kasus tersebut bisa membuat perintah kepadanya untuk memberikan kontribusi menutupi biaya penyediaan jasa bantuan hukum atau pengacara selama kasus itu diproses hingga selesai.
Aturan 22
Penunjukkan dan Syarat-Syarat bagi [Dewan] Pembela
1. Orang yang menjalankan tugas pembelaan harus sudah memiliki kompetensi dalam
hukum internasional atau hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk juga berbagai pengalaman relevan lainnya, entah sebagai hakim, Penuntut Umum, advokat atau pengacara dan pembela yang sudah bisa disetarakan dengan advokat, dalam proses acara persidangan kasus kejahatan pidana. Pembela harus memiliki pengetahuan yang baik tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya, Mahkamah, berbagai ketentuan hukum dan sistem hukum yang relevan dengan kasus yang ditangani Mahkamah itu, dan pengetahuan lainnya yang relevan, dan harus lancar dalam paling kurang salah satu dari bahasa kerja Mahkamah. Pembela boleh dibantu oleh orang lain, termasuk profesor di bidang hukum, dengan keahlian yang relevan.
2. Pembela yang diminta oleh seseorang yang sedang berupaya memenuhi haknya
berdasarkan ketentuan Statuta untuk mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan pilihannya sendiri harus memasukkan bukti kewenangannya sebagai pengacara kepada Panitera pada kesempatan paling pertama.
3. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pembela harus tunduk pada ketentuan
Statuta, aturan Hukum Acara, Tata Tertib, Kode Etik Jabatan bagi Pembela yang diadopsi berkenaan dengan aturan 8 dan berbagai dokumen lain yang juga diadopsi oleh Mahkamah yang berkemungkinan relevan bagi pelaksanaan tugas dan kewajiban mereka.
Bagian IV
Keadaan-Keadaan yang Bisa Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas Mahkamah
Sub-bagian 1
Pemberhentian Jabatan dan Sanksi Disipliner Aturan 23
Prinsip Umum
Seorang hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera dan Deputi Panitera harus segera dipindahkan dari kantor atau dilepas dari jabatannya atau harus dikenakan sanksi disipliner berkenaan dengan kasus-kasus yang membuat mereka harus dikenakan tindakan seperti itu sesuai ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini dan harus disertai dengan jaminan sebagaimana digariskan juga dalam Statuta dan Hukum Acara ini.
Aturan 24
Batasan Pelecehan Berat dan Penyelewengan Berat terhadap Kewajiban
1. Sesuai ketentuan pasal 46, ayat 1 (a), “pelecehan berat” harus dinyatakan demikian jika
memenuhi kriteria berikut:
(a) Jika hal itu terjadi dalam kaitan dengan tugas-tugas jabatan, maka hal itu berarti
tidak sesuai dengan fungsi jabatan, dan menyebabkan atau sepertinya menyebabkan pelanggaran serius terhadap proses pencarian keadilan di hadapan Mahkamah atau melanggar tugas-tugas internal Mahkamah, seperti:
(i) Membongkar fakta atau informasi yang ia perlukan dalam kaitan dengan
tugasnya atau berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sub judice, di mana
pembongkaran tersebut akan memberikan dampak prejudisial yang serius terhadap proses peradilannya atau terhadap orang lain;
(ii) Menutupi informasi atau keadaan-keadaan dari suatu hal yang sangat serius
yang menghalangi dia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya;
(iii) Penyelewengan terhadap kegiatan lembaga peradilan supaya mendapatkan
perlakuan menyenangkan yang tak ada jaminannya dari berbagai pemegang otoritas, pemegang jabatan atau para profesional; atau
(b) Jika hal itu terjadi di luar tugas-tugas jabatan, maka itu berarti suatu pelecehan
serius yang menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran serius pada keberadaan Mahkamah.
2. Sesuai ketentuan pasal 46, ayat 1 (a), suatu “penyelewengan berat terhadap tugas dan
kewajiban” terjadi ketika seseorang secara nyata-nyata menolak atau mengabaikan kewajibannya untuk menjalankan tugasnya atau diketahui bertindak justru bertentangan dengan kewajiban-kewajiban atau tugasnya itu. Ini bisa mencakupi, antara lain, situasi- situasi di mana orang tersebut:
(a) Gagal memenuhi kewajiban untuk meminta pengampunan, kendatipun ia tahu
bahwa ada dasar atau alasan untuk melakukan hal itu;
(b) Berulang-ulang menyebabkan penundaan tanpa jaminan dalam hal inisiasi
(memulai), penuntutan atau pengadilan sebuah kasus, atau dalam hal penggunaan kewenangan judisial.
Aturan 25
1. Sesuai ketentuan pasal 47, “pelecehan terhadap hal yang kurang serius” harus dinyatakan demikian jika memenuhi kriteria berikut atau jika melakukan hal-hal berikut:
(a) Jika hal itu terjadi dalam kaitan dengan tugas-tugas jabatan, maka hal itu akan
menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran terhadap proses pencarian keadilan di hadapan Mahkamah atau melanggar tugas-tugas internal Mahkamah, seperti:
(i) Mencampuri pelaksanaan tugas seseorang yang ditunjukkan dalam pasal 47;
(ii) Berulang-ulang gagal memenuhi atau mengabaikan permintaan yang diajukan
oleh Hakim Ketua atau oleh Dewan Ketua berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan hukum mereka;
(iii) Gagal melaksanakan ketentuan disipliner yang kepadanya Panitera atau
Deputi Panitera dan pejabat-pejabat lainnya dalam tubuh Mahkamah tunduk
ketika seorang hakim mengetahui atau seharusnya mengetahui
penyelewengan serius terhadap tugas yang menjadi bagian dari
kewajibannya; atau
(b) Jika hal itu terjadi di luar tugas-tugas jabatan, maka hal itu menyebabkan atau
berkemungkinan menyebabkan pelanggaran serius terhadap keberadaan
Mahkamah.
2. Tak satu pun dari aturan dalam Hukum Acara ini mencegah kemungkinan terjadinya
tindakan sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 1 (a) yang menetapkan “pelecehan serius” atau “penyelewengan berat terhadap kewajiban” sesuai dengan maksud yang termaktub dalam pasal 46, ayat 1 (a)
Aturan 26
Penerimaan Pengaduan
1. Sesuai dengan ketentuan pasal 46, ayat 1, dan pasal 47, berbagai pengaduan mengenai
berbagai tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam aturan 24 dan 25 harus mencakupi dasar-dasar yang menjadi alasan pengaduan tersebut, identitas pengadu dan, jika tersedia, berbagai bukti yang relevan. Pengaduan tersebut harus tetap dijaga kerahasiaannya.
2. Semua pengaduan harus diajukan kepada Dewan Ketua, yang bisa juga memulai
dilakukannya persidangan atas mosinya sendiri, dan yang akan, mengikuti ketentuan dalam Tata Tertib, mengesampingkan pengaduan yang tidak jelas siapa pengadunya atau pengaduan yang tidak jelas pendasarannya dan menyerahkan pengaduan lainnya kepada badan yanag lebih berkompeten. Dewan Ketua harus dibantu dalam menjalankan tugas ini oleh seorang atau lebih hakim, yang ditunjuk berdasarkan rotasi jabatan yang automatis, sesuai dengan ketentuan Tata Tertib.
Aturan 27
Ketentuan Umum tentang Hak atas Pembelaan
1. Dalam hal adanya pertimbangan untuk pemberhentian jabatan berdasarkan ketentuan
pasal 46 atau adanya sanksi disipliner berdasarkan ketentuan pasal 47, maka orang yang dimaksud harus dipastikan mendapatkan pemberitahuan resmi melalui pernyataan tertulis.
2. Orang yang dimaksud harus diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menghadirkan atau menerima bukti, membuat pengajuan tertulis dan memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diarahkan kepadanya.
3. Orang yang dimaksud boleh diwakili oleh pengacara selama berlangsungnya proses
penerapan ketentuan sebagaimana dimaksudkan aturan ini.
Aturan 28
Pembebastugasan dari Kewajiban
Jika sebuah tuduhan terhadap seseorang yang menjadi alamat atau sasaran pengaduan ternyata sangat serius, maka orang tersebut boleh dibebastugaskan dari kewajiban dengan menunda keputusan final dari badan yang berkompeten.
Aturan 29
Prosedur dalam Hal Adanya Permintaan Pemberhentian Jabatan
1. Dalam hal seorang hakim, Panitera atau seorang Deputi Panitera, persoalan
pemberhentian jabatan harus diambil dengan pemungutan suara di sidang umum.
2. Dewan Ketua harus memberi nasihat Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak
dalam menulis berbagai rekomendasi yang diadopsi dalam hal untuk seorang hakim, dan berbagai keputusan yang diadopsi dalam hal untuk seorang Panitera atau Deputi Panitera.
3. Penuntut Umum harus memberi nasihat Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak
dalam menulis berbagai rekomendasi yang ia buat dalam hal untuk seorang Deputi Penuntut Umum.
4. Jika sebuah tindakan ditemukan ternyata bukanlah sebuah tindakan pelecehan serius
atau bukan sebuah penyelewengan serius terhadap kewajiban, maka hal itu boleh diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 47 bahwa orang yang dimaksud telah dimasukkan dalam kategori melakukan pelecehan yang kurang serius dan telah dikenakan sanksi disipliner.
Aturan 30
Prosedur dalam Hal Adanya Permintaan untuk Dikenakan Sanksi Disipliner
1. Dalam hal seorang hakim, Panitera atau seorang Deputi Panitera, berbagai keputusan
untuk menjatuhkan sanksi disipliner harus diambil oleh Dewan Ketua.
2. Dalam hal Penuntut Umum, berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi disipliner
harus diambil dengan suara mayoritas absolut oleh Biro Dewan Negara-Negara Pihak.
3. Dalam hal seorang Deputi Penuntut Umum:
(a) Berbagai keputusan untuk memberikan teguran keras harus dilakukan oleh
Penuntut Umum;
(b) Berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi denda harus diambil dengan suara
mayoritas absolut oleh Biro Dewan Negara-Negara Pihak berdasarkan rekomendasi dari Penuntut Umum.
4. Teguran keras harus direkam dalam tulisan dan harus diserahkan kepada Ketua dari
Biro Dewan Negara-Negara Pihak.
Aturan 31
Sekali pemberhentian jabatan diumumkan, maka hal itu akan berlaku segera setelah atau sejak saat diumumkannya. Orang yang dimaksud (yang terkena pemberhentian jabatan) harus menghentikan diri menjadi bagian dari Mahkamah, termasuk dari kasus-kasus yang belum terselesaikan di mana ia sebelumnya ia mengambil bagian di dalam prosesnya.
Aturan 32 Sanksi Disipliner
Sanksi disipliner yang boleh diberikan adalah berupa:
(a) Teguran keras; atau
(b) Sanksi berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak boleh melebihi enam bulan
gaji yang dibayar oleh Mahkamah kepada orang yang terkena hukuman tersebut.
Sub-bagian 2
Pembebastugasan, Pemberhentian, Meninggal Dunia dan Pengunduran Diri Aturan 33
Pembebastugasan Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum
1. Seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum yang meminta
pengunduran diri dari tugasnya atau meminta pembebastugasan harus membuat permintaan tertulis kepada Dewan Ketua, dengan mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar atau alasan mengapa ia mengundurkan diri.
2. Dewan Ketua harus memperlakukan permintaan-permintaan pengunduran diri tersebut
secara rahasia dan tidak boleh mengatasnamakan kepentingan umum sebagai landasan penyebaran kepada publik tanpa izin atau persetujuan dari orang yang dimaksud.
Aturan 34
Pemberhentian Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum
1. Sebagai tambahan pada dasar yang termaktub dalam pasal 41, ayat 2, dan pasal 42, ayat
7, dasar pendiskualifikasian seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum harus mencakupi, antara lain, hal-hal seperti berikut ini:
(a) Adanya kepentingan atau hubungan pribadi dalam penanganan suatu kasus,
termasuk hubungan suami dan istri, hubungan orang tua dan anak atau hubungan keluarga lainnya, hubungan pertemanan atau hubungan kerja (profesional), atau hubungan bawahan dan atasan, dengan pihak-pihak mana pun yang terlibat dalam kasus yang sedang ditangani itu;
(b) Adanya keterlibatan, dalam kapasitas pribadinya, dalam berbagai tahapan upaya
hukum yang dimulai jauh sebelum ia dilibatkan dalam penanganan kasus tersebut, atau yang kemudian dimulai olehnya, di mana orang yang sedang diselidiki atau dituduh adalah pihak yang musuh;
(c) Adanya pelaksanaan tugas, sebelum memangku jabatan, selama ia diharapkan telah
membentuk opini terhadap kasus yang sedang ditangani, terhadap pihak-pihak atau terhadap wakil atau kuasa hukum mereka yang, secara nyata-nyata, sangat mempengaruhi atau mengganggu sikap ketidakberpihakan dari orang yang dimaksud;
(d) Adanya ekspresi pemikiran, melalui media komunikasi, dalam bentuk tertulis atau bentuk publikasi lainnya, yang, secara nyata-nyata, sangat mempengaruhi atau mengganggu sikap ketidakberpihakan dari orang yang dimaksud.
2. Tunduk pada ketentuan yang digariskan dalam pasal 41, ayat 2, dan pasal 42, ayat 8,
permintaan pendiskualifikasian harus dibuat dalam bentuk tertulis segera setelah diketahuinya ada dasar atau alasan cukup untuk melakukan hal itu. Permintaan itu harus menyertakan dasar atau alasan dan dilampiri dengan bukti-bukti relevan, dan harus diberikan kepada orang yang dimaksud, yang kemudian diharuskan mengajukan surat pengunduran diri.
3. Berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan pendiskualifikasian Penuntut Umum atau
seorang Deputi Penuntut Umum harus diputuskan dengan suara mayoritas oleh hakim- hakim di Tingkat Sidang Banding.
Aturan 35
Kewajiban Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum untuk Meminta Pengampunan
Jika seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum memiliki alasan untuk percaya bahwa ada suatu dasar atau alasan bagi pendiskualifikasian terhadapnya, maka ia harus segera membuat permohonan untuk dibebastugaskan dan sebaiknya tidak boleh menunggu permintaan untuk didiskualifikasi oleh pihak lain sesuai ketentuan pasal 41, ayat 2, atau pasal 42, ayat 7, dan aturan 34. Permohonan tersebut harus dibuat dan Dewan Ketua harus mempertimbangkan hal itu sesuai dengan ketentuan aturan 33.
Aturan 36
Kematian Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera
Dewan Ketua harus menginformasikan, secara tertulis, kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak tentang kematian seorang hakim, Penuntut Umum, seorang Deputi Penuntut Umum, Panitera atau seorang Deputi Panitera.
Aturan 37
Pengunduran Diri dari Jabatan Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera
1. Seorang Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi
Panitera harus mengkomunikasikan kepada Dewan Ketua, secara tertulis, tentang pengunduran dirinya. Kemudian, Dewan Ketua harus menginformasikan, secara tertulis pula, hal tersebut kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak.
2. Seorang hakim, Penuntut Umum, seorang Deputi Penuntut Umum, Panitera atau
seorang Deputi Panitera harus berupaya optimal untuk memberitahukan waktu atau tanggal persisnya pengunduran dirinya itu mulai berlaku untuk sekurang-kurangnya enam bulan ke depan. Sebelum keputusan tentang pengunduran diri seorang hakim mulai berlaku, ia harus membuat segala upaya untuk tetap menjalankan tanggung jawabnya sesuai tugas dan jabatannya itu.
Sub-bagian 3
Aturan 38 Penggantian
1. Seorang hakim dapat diganti dengan alasan yang objektif dan sah, seperti antara lain:
(a) Pengunduran diri;
(b) Diterimanya permintaan pembebastugasan;
(c) Diskualifikasi;
(d) Pemberhentian jabatan;
(e) Kematian.
2. Penggantian harus dilakukan dengan tetap memperhatikan prosedur yang telah
ditetapkan sebelumnya dalam ketentuan-ketentuan Statuta, aturan dalam Hukum Acara, dan Tata Tertib.
Aturan 39 Hakim Pengganti
Jika seorang hakim pengganti telah ditetapkan oleh Dewan Ketua untuk suatu Sidang Pengadilan dengan mengikuti ketentuan pasal 74, ayat 1, maka ia harus menduduki jabatannya sebagai hakim dalam persidangan tersebut pada keseluruhan proses dan pertimbangan untuk mencapai keputusan terhadap sebuah kasus yang disidangkan itu. Akan tetapi, dalam posisi sebagai hakim pengganti seperti itu, ia tidak boleh mengambil bagian apa pun dan tidak boleh melakukan fungsi apa pun yang merupakan wewenang dari anggota Sidang Pengadilan yang seharusnya menangani persidangan kasus tersebut [hakim yang digantikannya], kecuali dan jika ia memang diperlukan untuk menggantikan seorang anggota Sidang Pengadilan jika anggota Sidang tersebut tetap tidak bisa hadir untuk seterusnya. Hakim pengganti harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan prosedur sebagaimana telah diputuskan atau digariskan oleh Mahkamah.
Bagian V
Publikasi, Bahasa dan Terjemahan
Aturan 40
Publikasi Keputusan dalam Bahasa Resmi yang Digunakan Mahkamah
1. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 50, ayat 1, maka keputusan-keputusan berikut
harus dipertimbangkan sebagai pemecahan terhadap isu-isu fundamental:
(a) Semua keputusan dari Divisi Banding;
(b) Semua keputusan dari Mahkamah menyangkut jurisdiksinya atau menyangkut
dapat diterimanya sebuah perkara sesuai dengan ketentuan pasal 17, 18, 19, dan 20.
(c) Semua keputusan dari suatu Sidang Pengadilan atas bersalah atau tidak bersalahnya
terdakwa, pemberian hukuman terhadap terdakwa, dan pemulihan kepada korban sesuai dengan ketentuan pasal 74, 75, dan 76;
(d) Semua keputusan dari Sidang Pra-peradilan sesuai dengan ketentuan pasal 57, ayat
3 (d).
2. Keputusan-keputusan menyangkut konfirmasi atas dakwaan sesuai ketentuan pasal 61,
ayat 7, dan menyangkut pelanggaran terhadap administrasi pengadilan [Mahkamah] sesuai dengan ketentuan pasal 70, ayat 3, harus dipublikasikan dalam semua bahasa
resmi Mahkamah ketika Dewan Ketua menentukan bahwa keputusan-keputusan tersebut merupakan isu-isu fundamental.
3. Dewan Ketua bisa memutuskan untuk mempublikasikan keputusan-keputusan lain
dalam semua bahasa resmi Mahkamah jika keputusan-keputusan tersebut menyangkut isu-isu utama yang berkaitan dengan penafsiran atau implementasi Statuta atau jika menyangkut suatu isu utama dari kepentingan umum.
Aturan 41
Bahasa Kerja Mahkamah
1. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 50, ayat 2, Dewan Ketua harus menetapkan dan
mengesahkan penggunaan salah satu bahasa resmi Mahkamah sebagai bahasa kerja jika:
(a) Bahasa tersebut dimengerti dan bisa digunakan sebagai bahasa lisan oleh mayoritas
semua orang yang terlibat dalam proses sebuah perkara di hadapan Mahkamah dan berbagai peserta dalam proses persidangan perkara yang dimaksud; atau
(b) Penuntut Umum dan pembela yang menangani perkara tersebut.
2. Dewan Ketua bisa menetapkan dan mengesahkan penggunaan suatu bahasa resmi
Mahkamah sebagai bahasa kerja jika Dewan Ketua menganggap bahwa bahasa kerja tersebut akan membantu meningkatkan efisiensi proses persidangan sebuah perkara.
Aturan 42
Layanan Penerjemahan dan Penafsiran
Mahkamah harus mengatur adanya layanan penerjemahan dan penafsiran yang perlu untuk menjamin pengimplementasian kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan- ketentuan Statuta dan aturan-aturan Hukum Acara ini.
Aturan 43
Prosedur yang Dapat Diterapkan untuk Publikasi Dokumen-Dokumen Mahkamah
Mahkamah harus menjamin atau memastikan bahwa semua dokumen yang akan diterbitkan sesuai ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara tetap menghargai kewajiban untuk melindungi kerahasiaan dan keterpercayaan proses persidangan dan keamanan korban dan saksi.
BAB 3
JURISDIKSI DAN SOAL DAPAT DITERIMANYA SUATU PERKARA
Bagian IDeklarasi dan Penyerahan Berkaitan dengan Pasal 11, 12, 13, dan 14
Aturan 44
Deklarasi yang Dibolehkan dalam Pasal 12, Ayat 3
1. Panitera, atas permintaan Penuntut Umum, bisa menanyakan pendapat sebuah Negara
yang bukan merupakan Negara Pihak dari Statuta atau yang sudah menjadi Negara Pihak dari Statuta setelah mempunyai kekuatan berlaku, dengan dasar argumentasi yang sahih, tentang apakah Negara tersebut bermaksud menyatakan deklarasi sebagaimana diatur dalam pasal 12, ayat 3.
2. Ketika sebuah Negara mengajukan, atau menyatakan kepada Panitera tentang
maksudnya untuk mengajukan, suatu deklarasi kepada Panitera sesuai dengan ketentuan pasal 12, ayat 3, atau ketika Panitera bertindak mengikuti ketentuan sub- aturan 1 dari Hukum Acara ini, Panitera harus memberitahukan kepada Negara termaksud bahwa deklarasi berdasarkan ketentuan pasal 12, ayat 3 tersebut berlaku baginya, dalam arti mendatangkan konsekuensi diterimanya jurisdiksi berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 tentang relevansinya dengan situasi dan ketentuan Bagian 9 Statuta, dan berbagai aturan lain berkaitan dengan Negara- Negara Pihak.
Aturan 45
Penyerahan Kasus kepada Penuntut Umum
Penyerahan kasus kepada Penuntut Umum harus dalam bentuk tertulis.
Bagian II
Dimulainya Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15
Aturan 46
Informasi-Informasi yang Perlu Disediakan bagi Penuntut Umum Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 1 dan 2
Jika suatu informasi diserahkan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 1, atau ketika kesaksian lisan atau tertulis diterima dengan mengikuti ketentuan pasal 15, ayat 2, di hadapan Mahkamah, maka Penuntut Umum harus melindungi kerahasiaan informasi dan kesaksian semacam itu atau mengambil langkah-langkah yang perlu, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan Statuta.
Aturan 47
Kesaksian (Testimoni) Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 2
1. Ketentuan aturan 111 dan 112 dari Hukum Acara ini harus berlaku, secara mutatis
mutandis, untuk kesaksian yang diterima oleh Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 2.
2. Jika kemudian Penuntut Umum mempertimbangkan bahwa akan ada risiko yang sangat serius yang membuat tidak mungkin dilakukannya dengar kesaksian (testimoni), maka ia boleh meminta Sidang Pra-peradilan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin efisiensi dan integritas proses penanganan perkara tersebut dan, secara khusus, untuk menunjuk seorang penasihat hukum atau seorang hakim dari Sidang Pra- peradilan tersebut untuk hadir selama dilakukannya dengar kesaksian untuk melindungi hak-hak tertuduh. Jika kesaksian tersebut kemudian dihadirkan dalam acara persidangan, maka kedapat-diterimaannya harus diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 69, ayat 4, dan harus diberikan bobot semacam itu sebagaimana ditentukan oleh Sidang yang bersangkutan.
Aturan 48
Pembatasan Dasar yang Masuk Akal untuk Melanjutkan Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 3
Dalam menentukan apakah ada suatu dasar yang masuk akal untuk memproses sebuah perkara dengan melakukan penyelidikan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 3, Penuntut Umum harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana termaktub dalam pasal 53, ayat 1 (a) sampai (c).
Aturan 49
Keputusan dan Catatan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 6
1. Jika suatu keputusan berdasarkan ketentuan pasal 15, ayat 6, diambil, Penuntut Umum
harus serta merta mengeluarkan pemberitahuan atau pengumuman, termasuk alasan atas keputusannya itu, dengan suatu cara yang bisa mencegah adanya ancaman atas keselamatan, keamanan, dan kerahasiaan pribadi dari orang-orang yang telah memberikan informasi kepadanya berdasarkan ketentuan pasal 15, ayat 1 dan 2, atau integritas penyelidikan atau proses penanganan perkara.
2. Pengumuman tersebut juga harus berisikan ketentuan tentang kemungkinan
dibolehkannya pengajuan informasi lebih lanjut tentang hal atau kasus yang sama jika terdapat fakta-fakta dan bukti-bukti baru.
Aturan 50
Prosedur Otorisasi oleh Sidang Pra-peradilan tentang Mulai Dilaksanakannya Penyelidikan
1. Jika Penuntut Umum bermaksud mencari atau mendapatkan otorisasi dari Sidang Pra-
peradilan untuk memulai dilakukannya penyelidikan sesuai ketentuan pasal 15, ayat 3, maka Penuntut Umum harus memberitahukan kepada korban, yang dia kenal, atau kepada Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, atau kepada wakil atau kuasa hukum mereka. Akan tetapi, Penuntut Umum dibolehkan untuk tidak mengambil langkah seperti itu jika ia berkeyakinan bahwa mengambil tindakan seperti itu justru mendatangkan bahaya atau ancaman bagi integritas penyelidikan atau keamanan dan kenyamanan hidup dari korban dan saksi. Penuntut Umum boleh mengeluarkan pemberitahuan dengan cara-cara umum supaya mudah mencapai kelompok-kelompok korban jika ia berkeyakinan bahwa, terutama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan khusus atas kasus yang sedang ditangani, pemberitahuan seperti itu tidak akan mendatangkan bahaya atau ancaman pada integritas dan efektivitas pelaksanaan
penyelidikan atau pada keamanan dan kenyamanan korban dan saksi. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini, Penuntut Umum boleh meminta bantuan dari Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, sejauh dipandang perlu.
2. Permintaan Penuntut Umum untuk mendapatkan otorisasi dari Sidang Pra-peradilan
harus dalam bentuk tertulis.
3. Mengikuti informasi yang diberikan dalam kaitannya dengan sub-aturan 1 di atas,
korban boleh membuat pernyataan atau kesaksian secara tertulis pada Sidang Pra- peradilan dalam waktu yang sangat terbatas sebagaimana diatur dalam Tata Tertib.
4. Sidang Pra-peradilan, dalam membuat keputusan terhadap prosedur yang harus diikuti,
bisa meminta informasi tambahan dari Penuntut Umum dan dari para korban yang sudah membuat pernyataan tertulis di hadapan Sidang Pra-peradilan tersebut, dan, jika dianggap perlu dan tepat, boleh meminta diadakannya acara dengar pendapat.
5. Sidang Pra-peradilan harus mengumumkan keputusannya secara resmi, termasuk
alasan-alasannya, tentang, misalnya, entah untuk mengotorisasi soal mulai
dilaksanakannya penyelidikan dalam kaitan dengan pasal 15, ayat 4, yang bersesuaian dengan semuanya atau hanya pada bagian tertentu dari permintaan Penuntut Umum.
6. Prosedur di atas harus juga berlaku jika ada permintaan baru kepada Sidang Pra-
peradilan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 5.
Bagian III
Keberatan-Keberatan dan Keputusan Pendahuluan Berdasarkan Ketentuan Pasal 17, 18, dan 19
Aturan 51
Informasi-Informasi yang Perlu Disediakan Berdasarkan Ketentuan Pasal 17
Dalam mempertimbangkan masalah-masalah yang dimaksudkan dalam pasal 17, ayat 2, dan dalam hal konteks dari kasusnya, Mahkamah boleh mempertimbangkan, antara lain, informasi yang dirujuk oleh Negara dalam pasal 17, ayat 1, boleh memilih untuk meminta perhatian Mahkamah atas kasus tersebut yang memperlihatkan bahwa pengadilan di Negaranya telah menerapkan norma-norma dan standar-standar yang diakui secara internasional dalam hal penuntutan yang independen dan tidak memihak atas tindakan yang sama, atau memperlihatkan bahwa Negaranya telah memberikan konfirmasi secara tertulis kepada Penuntut Umum bahwa terhadap kasus tersebut telah dilakukan penyelidikan dan penuntutan.
Aturan 52
Pemberitahuan Sesuai Ketentuan Pasal 18, Ayat 1
1. Tunduk kepada pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18, ayat 1,
pemberitahuan harus mengandung informasi tentang ketentuan-ketentuan hukum yang menetapkan batasan kejahatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 5, sesuai dengan tujuan dari ketentuan dalam pasal 18, ayat 2.
2. Suatu Negara boleh meminta informasi tambahan dari Penuntut Umum untuk
membantunya dalam hal penerapan pasal 18, ayat 2. Permintaan semacam itu tidak boleh berakibat pada terlanggarnya ketentuan tentang batasan waktu satu bulan sebagaimana disebutkan dalam pasal 18, ayat 2, dan harus diberikan jawaban oleh Penuntut Umum dengan mengedepankan pertimbangan kesegeraan juga.
Aturan 53
Penangguhan Sesuai Ketentuan Pasal 18, Ayat 2
Ketika sebuah Negara meminta penangguhan sesuai ketentuan pasal 18, ayat 2, maka Negara tersebut harus membuat permintaan tersebut secara tertulis dan menyertakan informasi berkaitan dengan penyelidikannya, dengan memasukkan ketentuan pasal 18, ayat 2, sebagai dasar pengajuannya. Penuntut Umum boleh meminta informasi tambahan dari Negara tersebut.
Aturan 54
Pengajuan Permohonan oleh Penuntut Umum Berdasarkan Ketentuan Pasal 18, Ayat 2
1. Permohonan yang diajukan oleh Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan dalam
kaitan dengan ketentuan pasal 18, ayat 2, harus dalam bentuk tertulis dan harus berisikan dasar atau alasan mengapa permohonan tersebut dibuat. Informasi yang diberikan oleh Negara sesuai ketentuan pasal 53 harus dikomunikasikan oleh Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan.
2. Penuntut Umum harus menginformasikan secara tertulis juga kepada Negara tersebut
ketika ia [Penuntut Umum tersebut] mengajukan permohonan kepada Sidang Pra- peradilan sesuai dengan ketentuan pasal 18, ayat 2, dan harus menyertakan juga di dalam pemberitahuan itu ringkasan atau uraian singkat tentang alasan dibuatnya permohonan tersebut.
Aturan 55
Prosedur Beracara Berkaitan dengan Ketentuan Pasal 18, Ayat 2
1. Sidang Pra-peradilan harus memutuskan tentang prosedur yang akan diikuti dan bisa
mengambil langkah-langkah yang sesuai dalam pelaksanaan proses persidangan secara tepat. Sidang tersebut bisa melakukan acara dengar pendapat.
2. Sidang Pra-peradilan harus memeriksa permohonan Penuntut Umum tersebut dan
berbagai hasil observasi yang diajukan oleh suatu Negara yang meminta dilakukan
penangguhan berkaitan dengan ketentuan pasal 18, ayat 2, dan harus
mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana tersebutkan dalam pasal 17 dalam memutuskan apakah akan memberikan otorisasi atau tidak terhadap suatu hasil penyelidikan.
3. Keputusan dan alasan dikeluarkannya keputusan tersebut oleh Sidang Pra-peradilan
harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepda Penuntut Umum dan kepada Negara yang meminta penangguhan terhadap suatu penyelidikan.
Aturan 56
Pengajuan Permohonan oleh Penuntut Umum yang Menindaklanjuti Peninjauan Berdasarkan Ketentuan Pasal 18, Ayat 3
1. Mengikuti peninjauan yang dilakukan oleh Penuntut Umum sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 18, ayat 3, Penuntut Umum bisa meminta kepada Sidang Pra-peradilan untuk mendapatkan otorisasi berkaitan dengan pasal 18, ayat 2. Permohonan kepada Sidang Pra-peradilan harus dilakukan secara tertulis dan harus memuat dasar atau alasan bagi diajukannya permohonan tersebut.
2. Berbagai informasi lebih lanjut yang diberikan oleh Negara sesuai ketentuan pasal 18, ayat 5, harus dikomunikasikan oleh Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan.
3. Prosedur beracaranya harus dilakukan sesuai ketentuan aturan 54, sub-aturan 2, dan
aturan 55 dari Hukum Acara ini.
Aturan 57
Tindakan-Tindakan yang Khusus Berkaitan dengan Ketentuan Pasal 18, Ayat 6
Surat permohonan dari Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan berkaitan dengan
hal-hal yang terkena ketentuan pasal 18, ayat 6, harus dipertimbangkan secara ex parte
[secara sepihak oleh Sidang tersebut] dan secara in camera [rahasia atau tertutup]. Sidang
Pra-peradilan harus memperlakukan permohonan dari Penuntut Umum itu dengan mengedepankan aspek atau dasar kesegeraan.
Aturan 58
Prosedur Beracara Berdasarkan Ketentuan Pasal 19
1. Suatu permintaan atau permohonan yang dibuat atau diajukan sesuai ketentuan pasal 19
harus dalam bentuk tertulis dan mengandung alasan diajukannya permohonan tersebut.
2. Ketika sebuah Sidang [Mahkamah] menerima permintaan atau permohonan yang
berisikan pengajuan keberatan atau pertanyaan menyangkut jurisdiksinya atau soal dapat diterimanya sebuah perkara berkenaan dengan ketentuan pasal 19, ayat 2 atau 3, atau jika Mahkamah melakukanny atas mosinya sendiri sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19, ayat 1, maka Mahkamah [dalam hal ini Sidang yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut] harus memutuskan prosedur yang akan diikuti dan bisa mengambil langkah-langkah yang sesuai bagi pelaksanaan proses beracara secara tepat. Sidang tersebut boleh melakukan acara dengar pendapat. Sidang tersebut juga bisa ikut mengajukan keberatan atau pertanyaan terhadap sebuah konfirmasi atau proses sidang pengadilan selama hal tersebut tidak menyebabkan penundaan yang tidak dibolehkan, dan dalam hal seperti itu Sidang tersebut harus mendengarkan dan memutuskan soal keberatan atau pertanyaan tersebut lebih dahulu.
3. Mahkamah harus meneruskan permintaan atau permohonan yang diterima berdasarkan
ketentuan sub-aturan 2 di atas kepada Penuntut Umum dan kepada orang sebagaimana ditunjuk dalam pasal 19, ayat 2, yang telah diajukan ke Mahkamah atau yang telah datang secara suka-rela atau datang karena mengikuti perintah pemanggilan, dan harus memberikan mereka kesempatan untuk mengajukan observasi secara tertulis atas permintaan atau permohonan dalam suatu jangka waktu yang ditentukan oleh Sidang yang menangani perkara tersebut.
4. Mahkamah harus menangani pengajuan keberatan atau pertanyaan soal jurisdiksi
tersebut lebih dahulu dan kemudian baru menangani keberatan atau pertanyaan menyangkut dapat diterimanya perkara tersebut oleh Mahkamah.
Aturan 59
Peran-serta dalam Beracara Berdasarkan Ketentuan Pasal 19, Ayat 3
1. Sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pasal 19, ayat 3, Panitera harus
menginfomasikan kepada pihak-pihak tersebut di bawah ini tentang pertanyaan atau keberatan soal jurisdiksi atau dapat diterimanya sebuah perkara yang muncul mengikuti ketentuan pasal 19, ayat 1, 2, dan 3:
(a) Mereka yang telah merujuk pada keadaan yang sesuai dengan ketentuan pasal 13;
(b) Para korban yang telah melakukan komunikasi dengan Mahkamah berkaitan
dengan kasus tersebut atau, kalau tidak kepada korban, kepada kuasa hukum korban.
2. Panitera harus menyediakan bagi orang atau pihak-pihak yang ditunjukkan dalam sub-
aturan 1 di atas, dalam cara yang tetap konsisten dengan kewajiban Mahkamah dalam hal kerahasiaan informasi, perlindungan atas siapa pun dan pengamanan atas bukti- bukti, dengan suatu penjelasan singkat tentang dasar atau alasan yang mengesahkan jurisdiksi Mahkamah atau dapat diterimanya sebuah perkara yang terhadapnya telah diajukan keberatan.
3. Pihak-pihak yang telah menerima informasi tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam
sub-aturan 1 di atas, bisa membuat pernyataan tertulis kepada Sidang yang berkompeten dalam jangka waktu terbatas yang ditetapkan oleh Sidang yang bersangkutan.
Aturan 60
Badan-Badan yang Berkompeten untuk Menerima Keberatan
Jika suatu keberatan terhadap jurisdiksi Mahkamah atau terhadap dapat diterimanya sebuah perkara dibuat atau diajukan setelah adanya konfirmasi soal tuduhan atau tuntutan tetapi sebelum pembentukan atau penentuan sebuah Sidang Pengadilan [yang akan menangani perkara tersebut], maka keberatan tersebut harus diajukan kepada Dewan Ketua, yang kemudian akan meneruskan pengajuan keberatan tersebut kepada Sidang Pengadilan segera setelah Sidang Pengadilan tersebut dibentuk atau ditentukan sesuai dengan ketentuan aturan 130 dari Hukum Acara ini.
Aturan 61
Tindakan-Tindakan yang Khusus Berkaitan dengan Ketentuan Pasal 19, Ayat 8
Ketika Penuntut Umum membuat permohonan kepada Sidang yang berkompeten dalam hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19, ayat 8, maka aturan 57 dari Hukum Acara ini berlaku.
Aturan 62
Prosedur Beracara Berdasarkan Ketentuan Pasal 19, Ayat 10
1. Jika Penuntut Umum mengajukan permintaan berdasarkan ketentuan pasal 19, ayat 10,
maka ia harus mengajukan permintaan tersebut kepada Sidang yang membuat keputusan paling akhir tentang hal dapat diterimanya sebuah perkara. Dalam hal ini pula, ketentuan-ketentuan dari aturan 58, 59, dan 61 dalam Hukum Acara ini harus diberlakukan atau diterapkan.
2. Negara, baik satu maupun lebih dari satu, yang keberatannya terhadap soal dapat
diterimanya sebuah perkara sesuai ketentuan pasal 19, ayat 2, dengan didorong oleh adanya keputusan tidak dapat diterimanya sebuah perkara berdasarkan ketentuan pasal 19, ayat 10, harus diberitahu berdasarkan permintaan Penuntut Umum dan harus diberikan kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk membuat representasi atau pernyataan di hadapan Mahkamah.
BAB 4
KETENTUAN-KETENTUAN BERKAITAN DENGAN BERBAGAI
TAHAP ACARA PERSIDANGAN
Bagian I Pembuktian
Aturan 63
Ketentuan Umum Berkaitan dengan Pembuktian
1. Aturan tentang pembuktian yang digariskan dalam bab ini, bersama dengan pasal 69
Statutaa, harus berlaku dalam prosedur beracara di hadapan semua Sidang.
2. Suatu Sidang harus mempunyai kewenangan, dalam kaitan dengan keleluasaan untuk
memutuskan sebagaimana termaktub dalam pasal 64, ayat 9, untuk melakukan penilaian dengan bebas terhadap semua bukti yang diajukan untuk menentukan relevansinya atau soal dapat diterimanya dalam kaitan dengan pasal 69.
3. Suatu Sidang harus memutuskan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak atau
berdasarkan mosinya sendiri, yang dilakukan dengan mengikuti ketentuan pasal 64, ayat 9 (a), hal yang berkaitan dengan soal dapat diterimanya sebuah perkara ketika perkara tersebut didasarkan di atas alasan-alasan sebagaimana digariskan dalam pasal 69, ayat 7.
4. Tanpa melanggar ketentuan pasal 66, ayat 3, suatu Sidang tidak boleh memaksakan
persyaratan-persyaratan legal bahwa dukungan atau kesepakatan diperlukan untuk membuktikan berbagai kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah, khususnya, kejahatan berupa kekerasan seksual.
5. Sidang tidak boleh menerapkan hukum-hukum nasional [negara manapun] menyangkut
pembuktian, selain daripada yang telah ditetapkan dalam pasal 21.
Aturan 64
Prosedur Berkaitan dengan Soal Relevansi atau Dapat Diterimanya Bukti
1. Persoalan atau pembahasan menyangkut soal relevansi atau dapat diterimanya bukti
atas suatu perkara harus dikemukakan pada saat ketika bukti-bukti diajukan ke hadapan Sidang. Perkecualiannya, jika persoalan-persoalan tersebut tidak diketahui pada saat ketika bukti-bukti diajukan, maka persoalan tersebut bisa dikemukakan segera setelah masalahnya telah diketahui. Sidang bisa meminta supaya hal tersebut diajukan secara tertulis. Mosi tertulis harus dikomunikasikan oleh Mahamah kepada semua orang yang berpartisipasi dalam acara atau prosesnya, kecuali jika tidak diputuskan oleh Mahkamah.
2. Suatu Sidang harus memberikan alasan untuk berbagai tindakan hukum yang
diambilnya terhadap masalah-masalah bukti dan pembuktian. Alasan-alasan tersebut harus ditempatkan dalam rekaman proses persidangan jika belum dimasukkan dan disatukan di dalam catatan lengkap mengenai proses persidangan tersebut dalam kaitannya dengan pasal 64, ayat 10, dan aturan 137, sub-aturan 1.
3. Bukti-bukti yang dinyatakan tidak relevan atau tidak dapat diterima tidak boleh
dipertimbangkan lebih lanjut lagi oleh Mahkamah.
Penghadiran Saksi
1. Seorang saksi yang dihadirkan di hadapan Mahkamah diharuskan oleh Mahkamah
untuk memberikan kesaksian, kecuali jika tidak ditentukan dalam Statuta dan Hukum Acara ini, khususnya aturan 73, 74, dan 75.
2. Aturan 171 berlaku untuk seorang saksi yang hadir di hadapan Mahkamah yang
diharuskan untuk memberikan kesaksian dengan mengikuti ketentuan sub-aturan 1 di atas.
Aturan 66
Pengambilan Sumpah
1. Selain seperti yang dinyatakan dalam sub-aturan 2 di bawah ini, setiap saksi harus,
berkaitan dengan pasal 69, ayat 1, melakukan pengambilan sumpah seperti berikut ini sebelum memberikan kesaksian:
“Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan bicara tentang kebenaran, kebenaran seutuhnya dan tiada lain selain kebenaran.”
2. Seseorang yang berusia di bawah umur 18 tahun atau seseorang yang sudah lemah
secara mental dan yang, menurut pendapat Sidang, tidak memahami nilai hakiki pengambilan sumpah yang tulus dapat dibiarkan untuk memberikan kesaksiannya tanpa perlu mengucapkan sumpah jika Sidang berpandangan bahwa orang tersebut dapat menggambarkan masalahnya yang ia ketahui itu dan bahwa orang tersebut memahami makna kewajiban untuk berbicara tentang kebenaran.
3. Sebelum memberikan kesaksian, saksi harus diinformasikan tentang pelanggaran
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 70, ayat 1 (a).
Aturan 67
Kesaksian secara Langsung dengan Menggunakan Peralatan Teknologi Audio atau Video
1. Sesuai dengan ketentuan pasal 69, ayat 2, suatu Sidang bisa mengizinkan seorang saksi
untuk memberikan kesaksiannya secara viva voce (lisan) di hadapan Mahkamah
dengan menggunakan media teknologi audio atau video, dengan asumsi bahwa teknologi semacam itu bisa memudahkan saksi diperiksa oleh Penuntut Umum, pembela, dan oleh Sidang itu sendiri, pada saat bersamaan ketika saksi memberikan kesaksian.
2. Pemeriksaan saksi dengan mengikuti ketentuan aturan ini harus dilakukan dengan tetap
melihat kesesuaiannya dengan aturan-aturan relevan lainnya dalam bab ini.
3. Sidang, dengan bantuan dari Panitera, harus menjamin bahwa tempat yang dipilih
untuk pelaksanaan dengar kesaksian dengan menggunakan hubungan audio atau video memang kondusif bagai tercapainya pengungkapan kebenaran dan kesaksian yang jujur dan terbuka serta kondusif pula bagi keamanan, kenyamanan fisik dan ketenangan jiwa,
tetap terjaganya martabat dan hal-hal pribadi (privacy) saksi.
Aturan 68