• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Gambaran dan Karakteristik

Penggunaan Triheksifenidil pada

Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik

Rudy Wijono, Martina Wiwie Nasrun, Charles Evert Damping Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak

Pendahuluan: Efek samping ekstrapiramidal (EPS) pada pengobatan pasien psikotik merupakan penyebab ketidakpatuhan minum obat yang berakibat pasca munculnya kekambuhan. Pemberian obat triheksifenidil berguna untuk mencegah dan mengatasi EPS akibat penggunaan obat antipsikotik. Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat obat antipsikotik di Poliklinik Jiwa Dewasa (PJD) Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan desain potong lintang. Sampel berupa catatan medis pasien PJD RSCM yang mendapat terapi triheksifenidil. Jumlah sampel sebesar 97 dihitung berdasarkan rumus untuk studi deskriptif. Sampel dikumpulkan secara random samplingselama Agustus 2010-Juli 2011.

Hasil: Pola pemberian obat triheksifenidil langsung bersama dengan obat antipsikotik sejak awal pengobatan atau sebelum muncul EPS yaitu sebesar 91,8%.

Kesimpulan: Pasien langsung diberikan obat triheksifenidil tanpa pemeriksaan EPS terlebih dulu dan tidak dilakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan, sehingga pemberian obat triheksifenidil tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 dan konsensus WHO tentang penatalaksanaan EPS. J Indon Med Assoc. 2013;63:14-20.

Kata kunci: triheksifenidil, antipsikotik, efek samping ekstrapiramidal.

Korespondensi: Rudy Wijono,

(2)

J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 1, Januari 2013 1 5 Description and Characteristic of Trihexyphenidyl Use in Patients

Receiving Antipsychotic Therapy

Rudy Wijono, Martina Wiwie Nasrun, Charles E. Damping

Department of Psychiatry, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/ Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract

Background: Extrapyramidal side effects (EPS) in the treatment of psychotic patients contribute to poor compliance and exacerbation of psychiatric symptoms. The use of trihexyphenidyl is benefi-cial in preventing and treating neuroleptic-induced EPS. The aim of this research is to find the pattern and characteristic of trihexyphenidyl usage in patients receiving antipsychotic therapy at AdultPsychiatry Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital.

Method: This research is a descriptive cross sectional study. Samples used were medical records from patients who received trihexyphenidyl. Sample size of 97 subscrets was calculated from the formula for descriptive study. Samples were collected randomly from August 2010 to July 2011. Result: The most widely used pattern of trihexyphenidyl usage in patients receiving antipsychotic therapy was simultaneous use of trihexyphenidyl and antipsychotics since the beginning of treat-ment or prior to appearance of EPS at approximately 91.8%.

Conclusion: This research has shown the pattern of trihexyphenidyl usage in PJD RSCM, which was to give trihexyphenidyl directly to patients without EPS examination and without evaluation every three months. This finding is not in accordance with the 2007 medical care guidelines from the Department of Psychiatry RSCM and WHO consensus on the management of EPS. J Indon Med Assoc. 2013;63:14-20.

Keyword: trihexyphenidyl, antipsychotic, extrapyramidal side effects.

Pendahuluan

Perkembangan ilmu dan teknologi membawa dampak positif bagi penatalaksanaan gangguan psikotik yaitu dengan ditemukannya obat antipsikotik generasi pertama (APG-I) dan generasi kedua (APG-II). Obat APG-I mempunyai keterbatasan, berupa efek samping ekstrapiramidal (EPS), misalnya parkinsonisme, diskinesia, akatisia, dan distonia yang sangat mengganggu sehingga pasien tidak melanjutkan pengobatan. APG-II mempunyai risiko efek samping gangguan kardiovaskular, penambahan berat badan, dan diabetes melitus.1

EPS dapat muncul sejak awal pemberian obat anti-psikotik tergantung dari besarnya dosis. Untuk mengatasi EPS dapat diberikan obat antikolinergik, misalnya sulfas atropin, triheksifenidil, dan difenhidramin. Triheksifenidil merupakan obat antikolinergik yang banyak digunakan untuk mengatasi EPS.1-3 Konsensus dari WHO tahun 1990 mene-tapkan penggunaan obat triheksifenidil dalam mengatasi EPS.4

Penggunaan triheksifenidildapat menimbulkan efek antikolinergik perifer seperti mulut dan hidung kering,

pandangan kabur, konstipasi, dan retensi urin; serta efek antikolinergik sentral seperti mual, muntah, agitasi, halusinasi sampai mengeksaserbasi psikosis skizofrenia, kejang, demam tinggi, dilatasi pupil, dan gangguan kognitif seperti disorientasi terhadap waktu, orang dan tempat. Stupor dan koma juga dapat terjadi.5

Ada dua pendapat tentang penggunaan triheksifenidil, tidak diberikan secara rutin dan diberikan rutin untuk profilaksis sebelum timbul EPS.3 Alasan memberikan triheksifenidil profilaksis secara rutin adalah karena EPS merupakan sumber ketidakpatuhan minum obat yang berakibat pada munculnya kekambuhan.6,7 Dampak dari peng-gunaan triheksifenidilberpengaruh dalam penatalaksanaan pasien gangguan mental yang meng-gunakan antipsikotik, sehingga diperlukan suatu pedoman dalam penggunaan triheksifenidil. Pedoman penatalaksanaan EPS di PJD RSCM menggunakan konsensus dari WHO tahun 1990.6-14 Beberapa literatur menyatakan ada banyak faktor yang berpengaruh dalam menentukan penggunaan triheksifenidil, di antaranya usia, jenis kelamin, jenis APG yang diberikan, dan riwayat EPS sebelumnya.7 Karenanya diperlukan penelitian yang

(3)

dapat melihat gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasienyang mendapat terapi antipsikotik di PJD RSCM.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang deskriptif untuk melihat gambaran dan karakteristik peng-gunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi antipsikotik di PJD RSCM periode bulan Agustus 2010 sampai dengan Juli 2011. Penelitian ini dilakukan dengan melihat gambaran pasien PJD RSCM yang mendapat obat triheksi-fenidiluntuk mengetahui pola yang ada dalam satu waktu. Sampel yang digunakan adalah catatan rekam medis pasien rawat jalan yang mendapat obat triheksifenidil di PJD RSCM periode bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011. Sampel diambil dengan cara random sampling setiap bulan. Besar sampel ditentukan dengan rumus untuk studi deskriptif kategorik dan diperoleh hasil sebesar 97.15

Hasil

Didapatkan bahwa jumlah total kunjungan pasien di PJD RSCM selama bulan Agustus 2010 sampai akhir Juli 2011 adalah 4 721. Sedangkan total pemberian triheksifenidil di PJD RSCM selama bulan Agustus 2010 sampai akhir Juli 2011 adalah 2 124 (44,99%). Dari sampel penelitian diperoleh data pasien yang mendapat obat triheksifenidil berjenis kelamin laki-laki 57,7% dan perempuan 42,3%. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 31 sampai 40 tahun (35%), kelompok usia 21 sampai 30 tahun (32%) , kelompok usia 41 sampai 50 tahun (19%), dan kelompok usia 11-20 tahun (5,2%). Distribusi tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA yaitu sebanyak 76,3%, yang diikuti dengan SMP, SD, D3, dan S1, yang masing-masing sebesar 11,3%, 5,2%, 4,1%, dan 3,1%. Pada penelitian ini didapatkan empat diagnosis pada pasien PJD RSCM yang mendapat obat triheksifenidil (Tabel 1).

Data tentang lima diagnosis penyakit terbanyak di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan akhir Juli 2011 adalah sebagai berikut dijabarkan dalam Tabel 2.

Data tentang jenis suku atau etnis, status pernikahan, jenis pekerjaan, nomor telepon yang dapat dihubungi dan alamat pasien yang berobat ke PJD RSCM tidak tercatat dengan lengkap pada status rekam medis pasien.

Pola pemberian antipsikotik di PJD RSCM, tergambar pada Tabel 3.

Tabel 1. Jenis Diagnosis Pada Pasien yang Mendapat Trihe-k s i f e n i d i l

Diagnosis n=97 %

F20: Skizofrenia paranoid 8 0 82,5

F25: Skizoafektif 9 9,3

F3: Gangguan afektif bipolar 7 7,2 F06: Gangguan mental lainnya akibat kerusakan 1 1,0

dan disfungsi otak dan penyakit fisik

Tabel 4 menggambarkan tipe terapi dan jenis anti-psikotik yang digunakan pada pasien di PJD RSCM yang mendapat triheksifenidil.

Tabel 2. Lima Diagnosis Penyakit Terbanyak di PJD RSCM Periode Bulan Agustus 2010 Sampai Dengan Bulan Juli 2011 Diagnosis n=4721 % Skizofrenia paranoid 2501 52,98 Depresi 708 14,99 Bipolar 472 9,99 Skizoafektif 283 5,99 Gangguan penyesuaian 188 3,98 Lain-lain 569 12,05

Tabel 3. Jenis Terapi dengan Obat Antipsikotik

Jumlah Antipsikotik n=97 %

Satu Jenis Antipsikotik 6 6 68,04

Dua Jenis Antipsikotik 3 0 30,93

Tiga Jenis Antipsikotik 1 1,03

Tabel 4. Kombinasi Jenis Antipsikotik yang Digunakan Ber-sama dengan Triheksifenidil

Jenis kombinasi Jenis antipsikotik n=97 %

Satu jenis antipsikotik Haloperidol 3 3,1

CPZ 1 1

Trifluoperazin 1 1 Risperidon 5 5 56,7

Quetiapin 1 1

Klozapin 5 5,2

Dua jenis antipsikotik Haloperidol dan CPZ 5 5,2 Haloperidol dan risperidon 6 6,2 Haloperidol dan klozapin 4 4,1 Haloperidol dan quetiapin 1 1 CPZ dan trifluoperazin 2 2,1 Risperidon dan CPZ 3 3,1 Risperidon dan quetiapin 1 1 Risperidon dan klozapin 8 8,2 Tiga jenis antipsikotik Risperidon, CPZ dan 1 1

trifluoperazin

Jenis antipsikotik terbanyak yang digunakan ber-samaan dengan triheksifenidil adalah risperidon sebesar 58,4%, sedangkan yang menempati posisi kedua terbanyak adalah haloperidol sebesar 15,2%.

Pola Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Men-dapat Terapi Antipsikotik di PJD RSCM.

Tabel 5 menggambarkan tentang pola penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi antisikotika di PJD RSCM.

Dari Tabel 5, diketahui bahwa pemeriksaan EPS sebelum diberikan triheksifenidil hanya dilakukan pada 8,2% kasus. Sebagian besar pasien tidak diperiksa tanda dan gejala EPS

(4)

J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 1, Januari 2013 1 7 Tabel 5. Pemeriksaan EPS Sebelum Diberikan Triheksifenidil

Pemeriksaan EPS n=97 %

Ya 8 8,2

Tidak 8 9 91,8

sebelum diberikan obat triheksifenidil.

Dari data ini juga dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pola penggunaan triheksifenidil pada pasien PJD RSCM yang mendapat terapi obat antipsikotik di bulan Agustus 2010 sampai bulan Juli 2011, yaitu:

1. Pemberian obat triheksifenidil setelah didapatkan adanya EPS akibat pemberian obat antipsikotik. 2. Pemberian obat triheksifenidil langsung diberikan

ber-sama dengan obat antipsikotik sejak awal pengobatan atau sebelum muncul EPS.

Setelah pemberian triheksifenidil selama tiga bulan, seharusnya dilakukan evaluasi ulang dengan penghentian pemberian secara bertahap, sesuai panduan pelayanan medis departemen Psikiatri RSCM tahun 2007. Setelah dievaluasi, diketahui bahwa selama bulan Agustus 2010 sampai Juli 2011 tidak ada penghentian pemberian obat triheksifenidil walaupun sudah mencapai tiga bulan pengobatan tanpa ada gejala EPS lagi.

Data tentang evaluasi ulang pemberian obat triheksi-fenidil, data jenis EPS yang terjadi akibat pemberian obat antipsikotik, dan data gejala sisa EPS serta data tentang riwayat terjadinya EPS sebelumnya akibat pemberian obat anti-psikotik pada pasien di PJD RSCM tidak tercatat di rekam medis pasien.

Diskusi

Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan jumlah total kunjungan pasien di PJD RSCM dari bulan Agustus 2010 sampai dengan Juli 2011 adalah 4 721 kunjungan, sedangkan pemberian triheksifenidil selama periode tersebut sebesar 2 124 (44,99%) kali pemberian. Lima diagnosis terbanyak selama periode bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011 adalah skizofrenia paranoid sebesar 52,98%, gangguan depresi (14,99%), gangguan bipolar (9,99%), skizo-afektif (5,99%), dan gangguan penyesuaian (3,98%). Diagnosis terbanyak pada pasien yang diberikan triheksifenidil adalah F20 skizofrenia paranoid sebesar 82,5%, disusul oleh F25 skizoafektif sebesar 9,3%; dan F31 gangguan afektif bipolar sebesar 7,2%.

Berdasarkan jenis kelamin, pasien yang mendapat terapi antipsikotik dan obat triheksifenidil di PJD RSCM terbanyak adalah pasien laki-laki sebesar 57,7%, sedangkan untuk kelompok usia pasien yang mendapat terapi antipsikotik dan obat triheksifenidil di PJD RSCM yang terbanyak di kelompok usia 31-40 tahun sebesar 35% serta kelompok usia 21-30 tahun

sebesar 32%. Hasil ini tidak secara khusus menun-jukkan hubungan usia dengan terjadinya EPS, karena penelitian ini memang tidak menganalisis hubungan antara jenis kelamin dan usia dengan timbulnya EPS maupun pemberian obat triheksifenidil. Beberapa penelitian meenunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan untuk mengalami EPS dibandingkan perempuan.8,16 Pada penelitian Sramek dilaporkan bahwa usia yang berisiko timbulnya EPS pada kelompok usia kurang dari 35 tahun serta berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti merasa perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan di masa yang akan datang tentang hubungan antara jenis kelamin, usia, timbulnya EPS, dan pemberian obat triheksifenidil.

Tingkat pendidikan pasien yang mendapat terapi antipsikotik dan obat triheksifenidil di PJD RSCM yang terbanyak adalah tingkat SMA, sebesar 76,3%. Peneliti belum men-jumpai adanya literatur yang membahas tentang hubungan antara tingkat pendidikan pasien dengan pemberian triheksifenidil. Peneliti juga merasa perlu bahwa di waktu yang akan datang dapat dilakukan suatu penelitian tentang hubungan antara tingkat pendidikan pasien dengan pemberian terapi triheksifenidil pada pasien yang mendapat obat antipsikotik.

Pada panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 dan konsensus WHO disebutkan bahwa pemilihan jenis obat antipsikotik juga mempengaruhi timbulnya EPS. Obat dari psikotik Growson I menilai APG-I lebih sering menimbulkan EPS dibandingkan APG-II. Macam terapi antipsikotik juga mempengaruhi timbulnya EPS. Pemberian lebih dari satu macam antipsikotik (kombinasi dua atau tiga obat antipsikotik), lebih sering menimbulkan EPS dibandingkan dengan monoterapi (satu jenis antipsikotik).6 Peneliti menilai bahwa telah terjadi ketidaksesuaian antara panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis antipsikotik yang digunakan terbanyak adalah obat antipsikotik APG-II risperidon (56,7%) dengan cara pemberian monoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pemberian triheksifenidil berlebihan dan tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis di PJD RSCM tahun 2007. Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya hal tersebut, antara lain adanya ketidaktahuan petugas kesehatan di PJD RSCM tentang panduan penggunaan triheksifenidil tersebut. Kemungkinan lainnya adalah kurangnya sosialisasi tentang panduan pelayanan medis PJD RSCM tersebut pada petugas kesehatan yang bertugas di PJD RSCM.

Ada beberapa data penting yang tidak tercatat pada rekam medis pasien yang berobat ke PJD RSCM, antara lain data tentang evaluasi ulang pemberian triheksifenidil, data tentang jenis EPS yang terjadi akibat pemberian antipsikotik, data tentang gejala sisa EPS, serta data tentang riwayat terjadinya EPS sebelumnya akibat pemberian obat antipsikotik pada pasien di PJD RSCM. Data-data tersebut penting untuk dilaporkan karena berguna untuk evaluasi pengobatan pasien.

(5)

1. Anamnesis : riwayat pemakaian antipsikotika, dosis dan lamanya 2. Riwayat kondisi medis umum.

3. Pemeriksaan fisik dan gejala sindrom ekstrapiramidal ( instrumen Skala Penilaian Gejala Ekstrapiramidal/SPGE) 4. Pemeriksaan penunjang lain : Lab dll.

Riwayat EPS sebelumnya Predisposisi terjadi EPS Gejala sisa EPS

Pemberian anti EPS atau triheksifenidil profilaktik Antipsikotik saja

Distonia Parkinsonisme Akatisia Diskinesia tardif

Ya

Tidak

Terjadi EPS Difenhidramin 2 ml im atau Injeksi Benzodiazepin (diazepam 10 mg im) atau Sulfas Atropin 1-2 amp im Turunkan dosis antipsikotik Turunkan dosis antipsikotik Beta bloker : Propanolol 3 x 10-40 mg/hr per-oral atau Klonidin 3x0,1 mg/hr per-oral Difenhidramin 25-100 mg/hari atau Triheksifenidil 1-3 x 2 mg/hari Ganti Antipsikotik

Diazepam injeksi atau Lorazepam oral

Ganti Antipsikotik

1. Lanjutkan pengobatan gejala EPS

2. Turunkan/stop pengobatan EPS jika selama 14 hari tidak ada gejala

1. Pengobatan EPS 2. Observasi 3

bulan

Antipsikotik saja

EPS muncul kembali Tidak ada EPS

Gejala EPS tidak ada Gejala EPS tidak ada Ganti antipsikotika Diskinesia tardif Ringan Olanzapin/Quetiapin Diskinesia tardif Berat klozapin Triheksifenidil 1-3 x 2 mg

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan EPS Di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM Diambil dari: RS Cipto Mangunkusumo. Panduan Pelayanan Medis Departemen Psikiatri. RSCM 2007.

(6)

J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 1, Januari 2013 1 9

Pola Penggunaan Triheksifenidil Pada Pasien yang Men-dapat Terapi Antipsikotik di PJD RSCM

Ditemukan dua pola penggunaan triheksifenidilpada pasien yang mendapat terapi antipsikotik di PJD RSCM, yakni pemberian triheksifenidil setelah didapatkan adanya EPS dan pemberian triheksifenidil langsung bersama dengan antipsikotik sejak awal pengobatan atau sebelum muncul EPS. Pola yang terbanyak digunakan adalah pola yang kedua yaitu sebesar 91,8%. Beberapa penelitian mendukung pola kedua ini dengan alasan meningkatkan kepatuhan berobat karena beberapa obat antipsikotik menimbulkan EPS yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan pasien menolak meneruskan pengobatannya. Untuk pasien rawat inap, kejadian EPS dapat diatasi dengan segera; sedangkan dengan EPS yang terjadi pada pasien rawat ijalan tidak dapat segera diatasi karena memang ada hambatan untuk mengenali tanda EPS bagi keluarga atau pendamping pasien. Dengan diberi-kannya obat triheksifenidil bersama dengan obat anti-psiko-tiksecara langsung pada saat pertama berobat diharapkan tidak muncul EPS sehingga pasien dapat dengan sukarela meneruskan pengobatannya.11,12

Pemberian obat triheksifenidil dapat menimbulkan efek samping yang serius, seperti munculnya kembali gejala psikotik berupa halusinasi, agresif, kebingungan (psikosis toksik). selain efek samping dari triheksifenidil yang bekerja menghambat reseptor asetilkolin muskarinik dapat berupa gejala-gejala sebagai berikut: pandangan mata menjadi kabur, konstipasi, produksi air liur berkurang, fotofobia, ber-kurangnya produksi keringat, hipertermia, sinus takikardi, retensi urin, penurunan daya ingat, mencetuskan asma, mencetuskan glaukoma sudut sempit, menimbulkan hambatan ejakulasi, menimbulkan retrograt ejakulasi dan dapat menimbulkan delirium hingga koma. Dengan diketahuinya berbagai efek samping yang dapat timbul akibat penggunaan obat triheksifenidil, maka WHO mengeluarkan sebuah konsensus yang memberi panduan tentang peng-gunaan triheksifenidil tersebut.6,13

Pada panduan pelayanan medis departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 dan konsensus WHO disebutkan bahwa pemberian obat triheksifenidil bersama dengan obat antipsikotik untuk mencegah munculnya EPS harus diawasi dengan melakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan dengan mengurangi dosis triheksifenidil tersebut sampai hilang. Bila timbul EPS akibat pengurangan dosis triheksifenidil, dosis dikembalikan ke dosis terapi dan tiap enam bulan dievaluasi ulang. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pemberian triheksifenidil di PJD RSCM dilakukan tanpa prosedur ini. Semua pasien yang mendapat obat triheksifenidil tetap diteruskan pemberiannya sampai melewati waktu tiga bulan serta tidak ada evaluasi ulang pemberian obat tersebut.

Pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapatkan obat antipsikotik di PJD RSCM periode bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011 adalah dengan pemberian langsung obat triheksifenidil lalu tanpa disertai

pemeriksaan EPS terlebih dulu. Selain itu, tidak dilakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan, sehingga pemberian obat triheksifenidil tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 serta dalam konsen-sus WHO tentang penatalaksanaan EPS.

Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini tidak ditampilkan data tentang dosis obat yang digunakan, baik besar dosis obat antipsikotika maupun obat triheksifenidil. Peneliti mengalami kesulitan dalam mencatat dan menyusun data tentang dosis obat. Beberapa dosis ditulis secara tidak konsisten, seperti penu-lisan dosis ditulis dengan satuan miligram yang kemudian berubah menjadi satuan bagian obat (setengah tablet). Pemberian yang tidak lazim seperti titrasi dosis yang tidak seragam juga mengakibatkan dalam proses pengelompokkan. Banyak data yang dicari tidak tercatat dan tidak dapat dikonfirmasi langsung ke orang yang mengumpulkan data primernya, misalnya tentang alasan pemberian obat anti-psikotik jenis tertentu dan beratnya gejala EPS yang timbul. Kesimpulan

Pola yang terbanyak digunakan adalah pemberian obat triheksifenidil langsung bersama dengan obat antipsikotik sejak awal pengobatan atau sebelum muncul EPS yaitu sebesar 91,8%.

Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Konsensus penatalaksanaan gangguan skizofrenia. Jakarta: PDSKJI; 2011. p. 1-10.

2. Guthrie SK, Manzey L, Scott D, Giordani B, Tandon R. Compari-son of central and peripheral pharmacologic effects of biperiden and trihexyphenidyl in Human volunteers. J Clin Psychophar-macol. 2000;20(1):77-83.

3. McInnis M, Petursson H. Withdrawal of trihexyphenidyl. Acta Psychiatr Scand. 1985;71(3):297-303.

4. Bazire S. Psychotropic drug directory 2000 (the professionals’ pocket handbook & aide-mémoire). London: Quay Books; 1999. p. 79-85.

5. Bratti IM, Kane JM, Marder SR. Chronic restlessness with antipsychotics. Am J Psychiatry. 2007;164:1648-54.

6. Stanilla JK, Simpson GM. Drugs to treat extrapyramidal side effects. In: Schatzberg AF, Nemeroff CB, editors. The American Psychiatric Publishing textbook of psychopharmacology 3rd ed. Arlington; The American Psychiatric Publishing; 2004. p. 519 -37.

7. Marder SR, Kane JM. Schizophrenia. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, editors. Kaplan and Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. 8th ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins;

2005. p. 1467-76.

8. Marder SR, Van Kammen DP. Dopamine receptor antagonists. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, editors. Kaplan and Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. 8th ed. New York:

Lippincott Williams and Wilkins; 2005. p. 2817-38.

9. van Harten PN, Hoek HW, Kahn RS. Acute dystonia induced by drug treatment. BMJ. 1999;319(7210):623-6.

10. RS Cipto Mangunkusumo. Panduan Pelayanan Medis Departemen Psikiatri. RSCM 2007. Jakarta: RS Cipto Mangunkusumo; 2007. 11. MR Lavin, A Rifkin. Prophylactic antiparkinson drug use: I. Initial prophylaxis and prevention of extrapyramidal side

(7)

ef-fects. J Clin Pharmacol. 1991;31(8):763-8.

12. MR Lavin, A Rifkin. Prophylactic antiparkinson drug use: II. Withdrawal after long-term maintenance therapy. J Clin Pharmacol. 1991;31(8):769-77.

13. WHO. Prophylactic use of anticholinergics in patients on long-term neuroleptic treatment. A consensus statement. World Health Organization heads of centres collaborating in WHO co-ordinated studies on biological aspects of mental illness. Br J Psychiatry. 1990;156:412.

14. Keepers GA, Clappison VJ, Casey DE. Initial anticholinergic prophylaxis for neuroleptic-induced extrapyramidal syndromes. Arch Gen Psychiatry. 1983;40(10):1113-7.

15. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2002.

16. Agashe M, Dhawale DM, Cozma G, Mogre V. Risperidone in schizophrenia. Indian J Psychiatry. 1999; 41(1):54-9.

Gambar

Tabel 4 menggambarkan tipe terapi dan jenis anti- anti-psikotik yang digunakan pada pasien di PJD RSCM yang mendapat triheksifenidil.
Gambar 1.  Algoritma Penatalaksanaan EPS Di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM Diambil dari: RS Cipto Mangunkusumo

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan penggunaan obat dengan keberhasilan terapi pada pasien hipertensi di Rumah Sakit “X” Surakarta bulan

Mengetahui profil terapi yang diberikan pada pasien diabetes mellitus dengan komplikasi stroke yang meliputi kelas terapi, jenis obat, dosis obat, frekuensi pemberian dan

Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode prospektif agar peneliti dapat mengamati secara langsung kondisi pasien dan terapi obat yang diberikan

Mengetahui profil terapi yang diberikan pada pasien diabetes mellitus dengan komplikasi stroke yang meliputi kelas terapi, jenis obat, dosis obat, frekuensi pemberian dan

penggunaan obat yang diberikan kepada 41 pasien dengan diagnosa penyakit ginjal kronik di RS PKU Muhammadiyah Gamping terdapat total 11 golongan terapi, 66 jenis obat dengan

Pada pemeriksaan TADIR kedua setelah terapi wicara sekurangnya 3 bulan, terdapat 5 pasien (35,71%) yang mengalami perubahan sindrom afasia yaitu 2 pasien afasia global

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan November 2014 yaitu observasi langsung dengan melakukan pemeriksaan tekanan darah pada pasien hipertensi sebanya 10 orang dari

GAMBARAN PEMBERIAN TERAPI GENERALIS PADA PASIEN SKIZOFERNIA TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGONTROL HALUSINASI DENGAN MASALAH UTAMA GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI DI