• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perhatian khusus dunia medis. World Health Organization (WHO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perhatian khusus dunia medis. World Health Organization (WHO)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

A.Latar Belakang Masalah

Diabetes Melitus (DM) atau yang lebih dikenal masyarakat dengan

penyakit kencing manis adalah salah satu penyakit degeneratif yang mendapat

perhatian khusus dunia medis. World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa lebih dari 346 juta orang di seluruh dunia menderita DM.

Jumlah ini kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030

tanpa intervensi apapun (Shrivastava, 2013).

Diabetes melitus menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian.

Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4% meninggal sebelum usia

70 tahun. Diabetes melitus pada tahun 2030 diperkirakan akan menempati urutan

ke-7 penyebab kematian dunia dan di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 akan

memiliki penyandang DM (diabetisi) sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes, 2013).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan

penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Data

prevalensi menunjukkan penderita DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%

pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta

penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya,

berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan

ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi

DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta

(2)

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang dihasilkan dari

kerusakan pada sekresi insulin dan/atau aksi insulin, yang menghasilkan

hiperglikemia dengan gangguan karbohidrat, lemak dan protein metabolisme

(Heydari et al., 2009). Menurut American Diabetes Association (ADA), DM termasuk penyakit kronik yang membutuhkan pengobatan secara berkelanjutan.

Sampai saat ini DM termasuk suatu penyakit yang masih belum dapat

disembuhkan, tetapi sudah dapat dikendalikan agar tidak terjadi komplikasi dengan

dilakukan perawatan kontinyu selama hidupnya (Tjokroprawiro, 2003).

Angka kejadian diabetes melitus tipe 2 lebih tinggi dibandingkan DM tipe

lainnya, yaitu 90% dari seluruh kasus diabetes melitus. Menurut estimasi WHO,

prevalensi DMT2 (Diabetes Melitus Tipe 2) di Indonesia cenderung meningkat

154% dari 2000 prevalensi pada tahun 2030 (Widyahening & Soewondo, 2012).

Banyaknya jumlah kasus DM tipe 2 dipengaruhi oleh gaya hidup, kurangnya

aktivitas fisik, dan makanan yang dikonsumsi (Kurniawan, 2010).

Pengatasan DM dapat dilakukan melalui intervensi non farmakologis dan

intervensi farmakologis. Intervensi non farmakologis diantaranya perubahan pola

diet dan pelatihan jasmani secara teratur. Intervensi farmakologis diberikan jika

intervensi non farmakologis dirasa tidak cukup mampu mengatur kadar glukosa

darah pasien. Terdapat banyak pilihan intervensi farmakologis untuk pasien

diabetes diantaranya Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang meliputi pemicu sekresi

insulin (golongan sulfonilurea dan glinid), penambahan sensitivitas terhadap

insulin (golongan tiazolidindion), penghambatan glukoneogenesis (metformin),

(3)

(Perkeni, 2011). Adanya berbagai macam dan jenis obat tersebut memungkinkan

dokter mempunyai banyak alternatif dalam memilih obat yang dikehendaki dalam

menangani pasien. Banyaknya jenis obat yang tersedia ternyata juga memberikan

masalah tersendiri dalam praktik, terutama dalam memilih dan menggunakan obat

secara benar dan aman, sehingga para pemberi pelayanan (provider) atau para dokter (prescriber) harus mengetahui secara rinci obat apa yang sering digunakan dan dapat memberikan manfaat klinik yang optimal bagi pasien.

Gejala diabetes melitus yang tidak begitu khas menyebabkan banyak

penderita yang tidak menyadari bahwa dirinya mengidap diabetes melitus. Kerap

terjadi, penderita baru mengetahui bahwa dirinya mengidap diabetes melitus setelah

mengalami berbagai komplikasi. Pengidap diabetes melitus cenderung menderita

komplikasi akut maupun kronik. Kedua bentuk komplikasi tersebut tampaknya

bertalian erat dengan defisiensi insulin atau hiperglikemia (Asdie, 2000).

Komplikasi tersebut menyebabkan semakin kompleksnya regimen terapi yang

diperoleh pasien. Regimen terapi yang kompleks akan sebanding dengan resiko

terjadinya DRP. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2008) di RS Sardjito

Yogyakarta mengenai Drug Related Problems (DRPs) dan pengaruhnya terhadap kontrol kadar gula darah pada pasien DM tipe 2 rawat jalan yang diterapi dengan

insulin, menunjukkan bahwa DRPs yang terjadi sebesar 89% dari total kasus dalam

penelitian yang meliputi 4% dari total kasus pasien yang mengalami obat salah,

56% kasus dari total kasus pasien yang mengalami dosis terlalu rendah, 67% kasus

dari total kasus pasien yang mengalami advers drug reaction, 35% kasus dari total kasus ketidakpatuhan dan tidak ditemukan kejadian terapi tanpa indikasi dan dosis

(4)

terlalu tinggi.Ketidaktepatan pemilihan terapi akan mempengaruhi outcome terapi pasien. Penggunaan obat yang tidak tepat memberikan dampak negatif berupa

kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diharapkan, timbulnya resistensi

obat, interaksi obat, pemborosan anggaran, dan secara tidak langsung akan

menurunkan mutu pelayanan pengobatan dan pelayanan kesehatan (Dinkes Bali,

2011).

Melihat angka kejadian DM yang tinggi serta bahayanya komplikasi yang

ditimbulkan, perlu dilakukan penanganan DM secara rasional baik dengan terapi

farmakologis maupun terapi non farmakologis. Untuk mencapai pengobatan yang

rasional perlu dilakukan identifikasi pola penggunaan obat antidiabetika di suatu

lokasi. Dari hasil identifikasi tersebut kemudian dibandingkan dengan standar yang

berlaku kemudian dilihat kesesuaiannya. Data tersebut kemudian dapat digunakan

sebagai bahan evaluasi dalam penanganan penyakit DM.

Rumah Sakit Umum Negara merupakan Rumah Sakit milik pemerintah

Kabupaten Jembrana Provinsi Bali yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan

kesehatan berupa rawat jalan, rawat inap dan rawat darurat yang mencakup

pelayanan medis dan penunjangnya. Berdasarkan data Profil Rumah Sakit Umum

Negara Tahun 2013, diabetes melitus tipe 2 menduduki peringkat no 2 dari 10 besar

penyakit instalasi rawat inap pada tahun 2013. Berdasarkan data tersebut dapat

disimpuklan bahwa prevalensi diabetes melitus tipe 2 di daerah tersebut cukup

tinggi, sehingga diperlukan pengkajian mengenai pola penggunaan obat yang

digunakan dan outcome terapinya sehingga akan diperoleh gambaran keadaan pasien DM tipe 2 di kota Negara. Selain itu hasil dari penelitian dapat digunakan

(5)

atau diterapkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum

Negara, Bali.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat inap

Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember 2014 ?

2. Bagaimana pola penggunaan antidiabetika pada pasien diabetes melitus tipe 2

di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember

2014 ?

3. Apakah terdapat hubungan antara ketepatan pengobatan dan outcome terapi penggunaan obat antidiabetika pada pasien diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat

inap Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember 2014 ?

C.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat inap

Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember 2014.

2. Mengetahui pola penggunaan antidiabetika pada pasien diabetes melitus tipe 2

di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember

2014.

3. Mengetahui hubungan antara ketepatan pengobatan dan outcome terapi penggunaan obat antidiabetika pada pasien diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat

(6)

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat memberikan

pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis, meliputi :

1. Sebagai penyedia informasi atau data tambahan mengenai pola penggunaan

obat diabetes melitus tipe 2 sehingga dapat digunakan sebagai dasar pembanding

dalam pengambilan keputusan terapi DM selanjutnya.

2. Sebagai bahan evaluasi terhadap pemberian obat antidiabetika pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara sehingga

dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi rumah sakit untuk menyusun standar

terapi dan peningkatan mutu pelayanan medis khususnya pada penyakit diabetes

melitus tipe 2 di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara.

3. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.

4. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti.

E.Tinjauan Pustaka 1. Definisi diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya (Perkeni, 2011). WHO mendefinisikan DM sebagai kelainan

metabolik yang memiliki karakter hiperglikemia kronik sebagai akibat dari

penurunan sekresi insulin, penurunan aksi insulin, atau keduanya. Gangguan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang terjadi pada penderita DM

(7)

2. Epidemiologi diabetes melitus

Prevalensi terjadinya diabetes melitus di dunia tergolong tinggi. Tahun

1995 terdapat sekitar 135.000.000 orang menderita diabetes dan peningkatan 300

juta kasus diperkirakan terjadi pada tahun 2025. Akhir tahun 2012 diperkirakan

sejumlah 347 juta menderita diabetes, dan diprediksikan pada tahun 2030 akan

terdapat 552 juta kasus diabetes yaitu 9,9% dari orang dewasa di dunia (Vlad &

Remus, 2012). Prevalensi diabetes untuk semua kelompok umur di seluruh dunia

diperkirakan menjadi 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada 2030. Jumlah penderita

diabetes diperkirakan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta

tahun 2030. Sebagian besar penderita diabetes di negara berkembang berada pada

pada rentang usia 45-64 tahun sebaliknya pada negara maju berada pada usia >64

tahun (Wild et al., 2004).

WHO memprediksikan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes

yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Kenaikan jumlah penyandang DM

di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun

2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009

menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,

laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM

sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).

3. Tanda dan gejala diabetes melitus

Gejala diabetes melitus tidak begitu khas sehingga banyak penderita yang

(8)

Diabetes Association (ADA), gejala yang sering muncul pada penderita diabetes melitus adalah poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), polifagia

(cepat merasa lapar), penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya,

penglihatan kabur, badan terasa lemah, dan iritabilitas. International Diabetes Federation (IDF) juga menyebutkan gejala yang sama pada penderita DM (kecuali iritabilitas), ditambah penyembuhan luka yang lambat/lama dan terjadinya infeksi

berulang. Walaupun gejala-gejala tersebut dapat terlihat pada penderita DM tipe 1,

namun munculnya satu atau beberapa gejala belum tentu dapat digunakan untuk

diagnosis awal DM tipe 2. Pasien DM tipe 2 pada umumnya tidak menyadari bahwa

pasien tersebut terkena DM sampai komplikasi DM muncul (Clark et al., 2007). Perkeni (2011) mengklasifikasikan gejala DM menjadi dua yakni keluhan klasik

dan keluhan lain. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat

berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,

serta pruritis vulvae pada wanita.

4. Klasifikasi diabetes melitus

American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan DM berdasarkan etiologinya menjadi empat tipe:

a. Diabetes melitus tipe 1

Terjadinya DM tipe 1 diakibatkan karena kerusakan sel beta pankreas yang

menyebabkan kekurangan insulin absolut. Kerusakan sel beta pankreas dapat

(9)

1) Sistem imun (immune-mediated diabetes)

Diabetes melitus yang dipengaruhi oleh sistem imun dikenal dengan istilah

Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM). DM ini terjadi pada 5-10 % dari kasus DM. Immune-mediated diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada berbagai tingkat usia.

Penderita juga rentan terhadap gangguan autoimun lain seperti Grave’s disease, tiroiditis Hashimoto, dan Addison’s disease (ADA, 2010).

2) Idiopatik

Etiologi diabetes tipe ini tidak diketahui. Beberapa pasien berada dalam

kondisi kekurangan insulin yang permanen dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi

tidak terbukti disebabkan oleh autoimun (ADA, 2010).

b. Diabetes melitus tipe 2

DM tipe 2 atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) terjadi pada 90-95% kasus diabetes dan ditandai dengan resistensi insulin ataupun defisiensi insulin. Sebagian besar pasien DM tipe 2

mengalami obesitas yang akan memicu resistensi insulin. DM tipe ini sering kali

tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara

bertahap dan dalam tahap awal gejala yang ditimbulkan tidak cukup berat dirasakan

oleh pasien sehingga pasien kurang peka terhadap kemungkinan terjadinya diabetes

(10)

c. Diabetes melitus tipe spesifik

Beberapa kasus diabetes terkait dengan penurunan fungsi sel beta. Tipe

diabetes ini dikarakterisasi dengan onset hiperglikemia pada usia dini (kurang dari

25 tahun). Beberapa penyebab DM tipe spesifik diantaranya:

1) Penyakit pankreas eksokrin

Gangguan pada pankreas dapat menjadi penyebab terjadinya diabetes,

misalnya pankreatitis, trauma, infeksi, pankreatektomi, dan kanker pankreas (ADA,

2010).

2) Paparan kimia atau obat

Obat atau senyawa kimia dapat menyebabkan diabetes pada individu yang

mengalami resistensi insulin. Contoh obat dan senyawa kimia yang menginduksi

DM antara lain glukokortikoid, agonis β-adrenergik, thiazid, asam nikotinik (ADA, 2010).

3) Infeksi

DM tipe ini terjadi karena paparan virus. Virus tersebut antara lain

cytomegalovirus dan adenovirus. Virus tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas (ADA, 2010).

4) Endokrinopati

Beberapa hormon seperti growth hormone, kortisol, glukagon, dan epinefrin merupakan antagonis aksi insulin. Kelebihan hormon-hormon tersebut

seperti pada akromegali dan Cushing’s syndrome dapat memicu terjadinya diabetes. Hal ini terjadi pada individu yang mengalami kekurangan sekresi insulin dan

(11)

d. Diabetes melitus gestasional

Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa

dimana onset atau deteksi awal terjadinya DM pada masa kehamilan. Sebanyak 7%

dari seluruh kehamilan terjadi komplikasi DM gestasional (ADA, 2010).

5. Etiologi dan patofisiologi diabetes melitus

a. Diabetes melitus tipe 1

Pada pulau langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu

sel α yang memproduksi glukagon, sel β yang memproduksi insulin, dan sel γ yang memproduksi hormon somatostatin. Serangan autoimun secara langsung pada

kelenjar pankreas terutama pulau langerhans mengakibatkan defisiensi sekresi

insulin yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe 1.

Fungsi dari sel α juga menjadi tidak normal (sekresi glukagon berlebihan).

Normalnya jika terjadi hiperglikemia maka sekresi glukagon akan menurun, namun

pada DM tipe 1 tidak terjadi demikian sehingga manifestasi klinik penderita DM

tipe 1 ini adalah ketoasidosis diabetik jika tidak segera diberikan insulin (Rodboard

et al., 2007).

b. Diabetes melitus tipe 2

Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum pernah sepenuhnya

terungkap jelas. Faktor genetik dan lingkungan yang cukup besar mempengaruhi

munculnya DM tipe 2 ini, diantaranya obesitas, diet tinggi lemak dan sedikit serat,

(12)

c. Diabetes melitus tipe spesifik

Penyebab DM tipe spesifik antara lain faktor genetik (ketidakmampuan

genetik untuk mengonversi proinsulin menjadi insulin akibat kelainan fungsi sel β-pankreas atau kelainan insulin), penyakit eksokrin pada β-pankreas, dan paparan

kimia seperti pada pengobatan HIV/AIDS atau transplantasi organ. DM tipe

spesifik dikarakterisasi dengan gangguan sekresi insulin dengan minimal atau tanpa

resistensi insulin (Trplitt et al., 2009). d. Diabetes gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang terdiagnosis selama masa

kehamilan. DM tipe ini bersifat sementara dan dapat kembali normal setelah

melahirkan. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) biasanya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Terjadinya GDM dapat berakibat buruk pada janin yang

dikandung antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi saat

lahir, dan meningkatkan resiko mortalitas perinatal (Depkes, 2005).

6. Faktor resiko diabetes melitus

Seseorang yang memiliki faktor resiko DM harus waspada terhadap

kemungkinan menderita diabetes melitus. Semakin cepat kondisi diabetes melitus

diketahui dan diatasi, semakin mudah untuk mengontrol kadar glukosa darah dan

mencegah komplikasi yang dapat terjadi. Faktor resiko untuk DM adalah (Depkes,

2005):

a. Riwayat meliputi diabetes dalam keluarga, diabetes gestasional, melahirkan

bayi dengan berat badan (BB) > 4 kg, PCOS (Polycystic Ovary Syndrome), IFG atau IGT

(13)

b. Obesitas, jika berat badan > 120% BB ideal

c. Usia, usia yang rentan terkena DM adalah 20-59 tahun sebesar 8,7%,

sedangkan usia >65 tahun sebesar 18%

d. Ras

e. Hipertensi, jika nilai tekanan darah >140/90 mmHg

f. Hiperlipidemia, jika kadar HDL <35 mg/dL atau kadar lipid >250 mg/dL

Faktor lain, kurang olah raga dan pola makan rendah serat.

7. Diagnosis diabetes melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosauria. Guna penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Diagnosis DM dapat

ditegakkan dalam 3 cara (Parkeni, 2011) :

a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g

glukosa lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun

pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan

berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan

(14)

8. Penyulit diabetes melitus

Penyulit memiliki definisi yang sama dengan komplikasi yaitu penyakit

yang timbul sebagai tambahan penyakit lain yang sudah ada. Komplikasi pada DM

dapat berupa akut maupun kronis. Komplikasi ini akan berpengaruh pada pemilihan

terapi antidiabetika. Secara umum, komplikasi DM dibagi menjadi komplikasi

makrovaskuler (penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan

mikrovaskuler (diabetes nefropati, neuropati, dan retinopati). Kontrol gula darah

dan modifikasi gaya hidup dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi tersebut

(Marshall et al., 2006).

9. Penatalaksanaan diabetes melitus

Tujuan umum penatalaksanaan penyakit diabetes melitus adalah

meningkatkan kualitas hidup penyandang DM. Tujuan tersebut dijabarkan menjadi

3 bagian yakni tujuan jangka pendek, tujuan jangka panjang dan tujuan akhir.

Tujuan jangka pendek diantaranya menghilangkan keluhan dan tanda DM,

mempertahankan rasa nyaman, serta tercapainya target pengendalian glukosa

darah. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegah dan terhambatnya

progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan

akhir berupa turunnya morbiditas dan mortalitas (Perkeni, 2006).

Tabel I. Target terapi DM

Parameter Target kadar

Kadar glukosa darah puasa 90-130 mg/dL

Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dL Kadar HbA1c <7% Kadar HDL Pria > 45 mg/dL Wanita > 55 mg/dL Kadar trigliserida < 200 mg/dL Tekanan darah < 130/80 mmHg

(15)

Pendekatan utama dalam tata laksana terapi DM adalah tanpa obat dan

farmakologi (dengan obat). Diutamakan tanpa obat terlebih dahulu dengan

modifikasi gaya hidup dan olah raga, jika target belum tercapai baru ditambahkan

obat (Depkes, 2005). Pilar penatalaksanaan DM adalah edukasi, terapi gizi medis,

latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Terapi tanpa obat (pengaturan makan

dan olah raga) dilakukan selama 2-4 minggu. Jika target kadar glukosa darah belum

tercapai, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antidiabetika oral dan/atau

insulin (Perkeni, 2006).

Diagnosis

Intervensi pola hidup+metformin

A1≥7% Ya*

Tidak

Tambah insulin basal – paling efektif

A1≥7%

Tidak Ya* Tidak A1≥7% Ya*

Tambah sulfonilurea – kurang efektif Intensifkan insulin Intensifkan insulin Tambah glitazon Tambah sulfonilurea

Tidak A1≥7% Ya*

Tambah glitazon – tanpa hipolikemia

Tidak A1≥7% Ya* Tidak A1≥7% Ya*

Tambah insulin basal atau intensifkan insulin

Insulin intensif + metformin +/- glitazon

Gambar 1. Algoritma pengelolan DM tipe 2 (Perkeni, 2011)

(16)

a. Edukasi

Terjadinya DM tipe 2 disebabkan gaya hidup dan perilaku kurang sehat

yang dilakukan secara berulang-ulang. Edukasi perlu dilakukan dalam upaya

mengubah perilaku dan gaya hidup menjadi lebih sehat untuk meningkatkan

motivasi penderita. Edukasi bertujuan untuk promosi hidup sehat sebagai bentuk

usaha pencegahan DM dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam

penanganan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat

awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi tingkat awal berisi tentang

(Perkeni, 2006):

1) Perjalanan penyakit DM

2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

3) Penyulit DM dan resikonya

4) Intervensi farmakologis, non farmakologis, dan target perawatan

5) Interaksi antara makanan, aktivitas fisik, obat hipoglikemik oral, insulin, dan

obat lain

6) Cara pemantauan kadar glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah dan

urin mandiri

7) Mengatasi sementara keadaan gawat darurat (rasa sakit atau hipoglikemia)

8) Latihan jasmani rutin

9) Perawatan kaki

Materi edukasi tingkat lanjut meliputi (Perkeni, 2006):

1) Mengenal dan mencegah penyulit akut dan menahun DM

(17)

3) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,

keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (Liebman, 2008).

b. Terapi gizi medis (pengaturan diet)

Pengaturan diet merupakan salah satu pilar pengelolaan diabetes,

walaupun sampai saat ini tidak ada satupun pengaturan diet yang sesuai untuk

semua pasien diabetes. Prinsip pengaturan makan yang seimbang pada penyandang

diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu

makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu. Perlu ditekankan pada penyandang diabetes mengenai pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama

pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni,

2011).

Komposisi makanan yang dianjurkan untuk penyandang diabetes terdiri

dari (Perkeni, 2011) :

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

2) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

3) Protein yang dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi. Pada pasien

dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari atau

(18)

4) Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran

untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram

(1 sendok teh) garam dapur.

5) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

6) Olah raga

Pasien diabetes melitus dianjurkan melakukan latihan jasmani teratur 3-4

kali dalam seminggu selama 30 menit. Latihan jasmani mempunyai efek positif

untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin.

Pelaksanaan latihan jasmani seperti jalan, sepeda santai, joging, berenang tentunya

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien (Nathan et al., 2009). 7) Intervensi farmakologi

Intervensi farmakologis diberikan apabila sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan diet dan latihan jasmani. Terapi farmakologis diberikan

bersama dengan pengaturan diet dan latihan jasmani.

1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dapat diberikan tunggal maupun

kombinasi disesuaikan dengan tingkat keparahan diabetes, penyakit penyerta, dan

komplikasi yang ada (Depkes, 2005).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, OHO dibagi menjadi:

a) Pemicu sekresi insulin

(1) Sulfonilurea

Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea adalah merangsang sekresi

(19)

berproduksi (Sukandar et al., 2008). Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama

untuk pasien dengan berat badan normal atau kurang, namun masih boleh diberikan

pada pasien dengan berat badan berlebih (Perkeni, 2011).

Golongan sulfonilurea dibagi menjadi 2, yaitu generasi 1 dan generasi 2.

Generasi 1 meliputi klorpropamid, tolbutamid, dan tolazamid. Generasi 2 meliputi

glimepirid, gliburid, dan glipizid. Sulfonilurea generasi 1 memiliki potensi yang

lebih rendah dibandingkan dengan sulfonilurea generasi 2 (Triplitt et. al., 2009). (2) Glinid

Sama halnya dengan sulfonilurea, mekanisme aksi glinid juga merangsang

sekresi insulin, meskipun glinid mengikat reseptor di sisi yang berbeda dengan

sulfonilurea. Glinid memiliki waktu paruh lebih pendek dibandingkan sulfonilurea

dan harus diberikan lebih sering. Golongan ini terdiri dari repaglinid (derivat asam

benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Replaginid hampir sama efektifnya

dengan metformin dan sulfonilurea dalam mengurangi level A1C. Nateglinid agak

kurang efektif dalam menurunkan A1C daripada repaglinid bila digunakan sebagai

monoterapi atau terapi kombinasi. Resiko berat badan mirip dengan sulfonilurea,

tapi hipoglikemia sering terjadi dengan nateglinid dibandingkan dengan beberapa

sulfonilurea (Nathan et. al., 2009).

b) Penambahan sensitivitas terhadap insulin (golongan tiazolidindion)

Tiozolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

(20)

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di

perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas

I-IV karena dapat memperberat edema/resistensi cairan dan juga pada gangguan

faal hati. Pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal

hati secara berkala (Perkeni, 2011).

c) Penghambatan glukoneogenesis (metformin)

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >

1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin

dapat memberikan efek samping mual. Metformin dapat diberikan pada saat atau

sesudah makan untuk mengurangi keluhan tersebut. Selain itu harus diperhatikan

bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan

memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut (Perkeni, 2011).

d) Penghambatan absorpsi glukosa (penghambat alfa glukosidase)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang

(21)

e) Penghambat DPP-4

Obat golongan baru ini mempunyai cara kerja menghambat suatu enzim

yang mendegredasi hormon inkretin endogen, hormon GLP-1 dan GLP yang

berasal dari usus sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin, mengurangi sekresi

glukagon dan memperlambat pengosongan lambung (Perkeni, 2011).

Glukagon Like Peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan

perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, GLP-1 secara cepat akan diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-IV) menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif (Perkeni, 2011).

Pada DM tipe 2, sekresi GLP-1 menurun, sehingga sangat rasional jika

diberikan obat yang dapat menghambat kinerja enzim DPP-IV, atau langsung

diberikan hormon asli/analognya (analog inkretin = GLP-1 agonis). Obat golongan

ini mempunyai profil keamanan yang cukup tinggi tanpa efek samping yang berat,

walaupun pernah dilaporkan adanya urtikaria atau angioedema. Contoh obat

(22)

Tabel II. Farmakokinetika insulin

Insulin or Insulin Analog Nama dan Tempat Pabrik Profil Kerja (jam)

Awal Puncak

Kerja sangat cepat

(ultra-rapid-acting)

Insulin lispro (Humalog) Insulin aspart (Novorapid) Insulin glulisin (Apidra)

Eli Lilly Novo Nordisk

Aventis Pharmaceuticals. Inc

0,2-0,5 0,2-0,5 0,2-0,5 0,5-2 0,5-2 0,5-2 Kerja pendek (short-acting)

Reguler (Human) Humulin R/ Actrapid

Kerja menengah

(intermediate-acting)

NPH (Human) Humulin N/ Insulatard

Eli Lilly/ Novo Nordisk

Eli Lilly/ Novo Nordisk

0,5-1 1,5-4 2-3 4-10 Kerja panjang (long-acting)

Insulin glargine (Lantus) Insulin detemir (Levemir)

Aventis Pharmaceuticals. Inc Novo Nordisk 1-3 1-3 Tanpa puncak Tanpa puncak Campuran (mixtures, manusia) 70/30 Humulin/Mixtard (70% NPH, 30% regular) 50/50 Humulin (50% NPH, 50% regular)* Campuran

(mixtures, insulin analog)

75/25 Humalog (75% NPL, 25% lispro) 50/50 Humalog (50% NPL, 50% lispro) 70/30 Novomix 30 (70% protamine aspart, 30% aspart) 50/50 Novomix (50% protamine aspart, 50% aspart)*

Eli Lilly/ Novo Nordisk Eli Lilly/ Novo Nordisk

Eli Lilly Eli Lilly Novo Nordisk 0,5-1 0,5-1 0,2-0,5 0,2-0,5 0,2-0,5 3-12 2-12 1-4 1-4 1-4 (Sumber : Perkeni 2011)

NPH netral protamine Hagedon ; NPL netral protamine lispro, Insulin manusia (human insulin). Dimodifikasi sesuai dengan nama dan sediaan yang ada di Indonesia.

(23)

2) Insulin

Insulin merupakan hormon anabolik dan katabolik yang memiliki peran

dalam metabolisme protein, karbohidrat, serta lemak. Produksi insulin endogen

berasal dari pemecahan peptida proinsulin yang besar di sel beta menjadi bentuk

peptida insulin yang aktif dan C-peptida yang dapat digunakan sebagai marker

produksi insulin endogen (Triplitt et. al., 2009). Mekanisme aksi insulin dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan memicu pengambilan glukosa perifer dan

menghambat produksi glukosa hepatik (Sukandar et. al., 2008). Insulin yang disekresi terdiri dari insulin basal dan insulin prandial. Defisiensi insulin basal akan

menyebabkan hiperglikemia pada kondisi puasa, sedangkan defisiensi insulin

prandial akan meyebabkan hiperglikemia setelah makan (Perkeni, 2006).

Terapi insulin merupakan terapi utama yang harus diberikan kepada

penderita DM tipe 1. Pasien DM tipe 1 dengan sel beta langerhans yang rusak, tidak

dapat memproduksi insulin sehingga diperlukan pasokan insulin eksogen (Depkes,

2005). Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin), dan insulin campuran tetap (premixed insulin). Pemberian insulin bisa secara tunggal maupun kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respon individu terhadap

insulin. Insulin kerja cepat dan insulin kerja pendek digunakan untuk mengoreksi

defisiensi insulin prandial, sedangkan insulin kerja menengah dan insulin kerja

(24)

3) Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,

untuk kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa

darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan

dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi

dengan OHO kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang

mempunyai mekanisme kerja berbeda. Kombinasi tiga OHO dari kelompok yang

berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin dapat dilakukan apabila sasaran

glukosa darah belum tercapai (Perkeni, 2011). Kombinasi OHO dan insulin basal

(insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur

memberikan efek kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup

kecil. Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang diberikan

sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar

glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti diatas kadar

glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkontrol maka OHO dihentikan dan

diberikan insulin saja (Perkeni, 2011).

10. Rasionalitas pengobatan

Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang menunjukan

bahwa pasien menerima terapi yang sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis

yang memenuhi kebutuhan masing-masing, selama periode waktu yang memadai,

dan penggunaan biaya terendah bagi pasien dan lingkungan sekitarnya (Quick et al., 1997). Beberapa komponen yang terkait dengan pengobatan rasional diantaranya diagnosis, pemilihan dan penentuan dosis obat, penyediaan dan

(25)

pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara

pengemasan, pemberian label, serta kepatuhan penggunaan obat oleh penderita

(Segeran Sugendiren, 2009).

Kriteria obat rasional menurut INRUD (International Network Rational Use of Drug) tahun 1999 adalah sebagai berikut:

a. Tepat indikasi (indication appropriate), keputusan dalam memberikan suatu obat harus didasarkan bahwa terapi yang diberikan efektif dan aman.

b. Tepat obat (drug appropriate), seleksi obat didasarkan pada efikasi, keamanan, kecocokan, dan pertimbangan biaya.

c. Tepat dosis, durasi, dan cara pemberian (administration, dosage, and duration appropriate).

d. Tepat pasien (patient appropriate), tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan efek samping yang minimal, serta obat tersebut cocok untuk pasien.

e. Tepat informasi pada pasien (information appropriate), ketepatan pemberian informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien, cara pemakaian

obat, efek samping, dan sebagainya.

f. Tepat evaluasi atau monitoring (evaluation appropriate), monitoring tentang efek yang tidak diharapkan dari pengobatan.

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi

tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari pemberian suatu obat. Dengan

(26)

a. Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru.

b. Pemilihan obat tidak tepat, artinya yang dipilih bukan obat terbukti paling

bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis.

c. Cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian,

frekuensi pemberian dan lama pemberian.

d. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secraa cermat, penyesuaian dosis atau

keadaan yang akan meningkatkan kemungkinan tidak dapat menggunakan suatu

obat, mengharuskan resiko efek samping obat.

e. Pemberian obat tidak disertai penjelasan yang sesuai kepada pasien atau

keluarganya.

f. Pengaruh pemberian obat baik yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan,

tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung

atau tidak langsung.

Akibat yang dapat timbul dari penggunaan obat yang tidak rasional antara

lain berkurangnya kualitas pengobatan yang akhirnya dapat menyebabkan kenaikan

mortalitas dan morbiditas pasien, mengurangi availabilitas obat vital yang akhirnya

menyebabkan kenaikan biaya pengobatan, meningkatkan resiko terjadinya efek

yang tidak diinginkan seperti reaksi efek samping obat dan resistensi obat, serta

psikososial pada pasien yang menyebabkan sugesti untuk selalu menggunakan obat

(27)

F. Landasan Teori

DM merupakan penyakit kronis yang dapat dialami oleh setiap lapisan

masyarakat dari segi usia maupun sosioekonomi. Angka kejadian DM tipe 2

mencapai 90% lebih tinggi daripada DM tipe lainnya. Menurut ADA (2013) pasien

DM tipe 2 banyak terjadi saat usia dewasa, namun beberapa tahun terakhir

ditemukan peningkatan kejadian DM tipe 2 pada anak dan remaja. Penelitian yang

dilakukan oleh Dabelea et al., (2014) menyebutkan pada tahun 2001, 588 dari 1,7 juta remaja didiagnosis dengan DM tipe 2 (prevalensi 0,34 per 1000) dan

mengalami peningkatan pada tahun 2009 dimana 819 dari 1,8 juta remaja

didiagnosis DM tipe 2 (prevalensi 0,46 per 1000). DM tipe 2 pada remaja terjadi

pada fase kedua hidup dengan usia rata-rata 13 tahun yang bertepatan dengan

resistensi insulin pada puncak pubertas yang dapat menyebabkan timbulnya

diabetes pada remaja (Rosenbloom, 2009). Menurut Scott (2007), prevalensi DM

tipe 2 meningkat seiring dengan peningkatan usia, walaupun pada usia muda atau

bahkan anak-anak yang obesitas sudah mengalami diabetes, namun insidensi DM

tipe 2 paling banyak terjadi tetap pada usia 40 tahun keatas.

Penatalaksanaan DM tipe 2 dapat dilakukan dengan terapi OHO, insulin

ataupun kombinasi keduanya. Untuk meningkatkan outcome terapi pasien penatalaksanaan terapi yang dilakukan haruslah tepat sehingga diperlukan

ketelitian dalam pemilihan intervensi. Penelitian pola penggunaan obat pada pasien

DM tipe 2 di Rumah Sakir Dr. Sardjito yang dilakukan oleh Tisom pada tahun 2009

(28)

berupa insulin (79%), OHO (3%), kombinasi insulin dan OHO (4%) dan non obat

(14%).

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang membutuhkan

terapi secara berkelanjutan. Glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM

dapat menimbulkan komplikasi yang menyebabkan semakin kompleksnya terapi

yang diperoleh pasien. Banyaknya pilihan terapi dan kompleksnya terapi kerap

menjadi penyebab ketidakrasionalan dalam pengobatan DM. Penelitian yang

dilakukan oleh Hongdiyanto et al., (2014) mengenai rasionalitas pengobatan DM tipe 2 di RSUP PROF. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 menunjukkan

terapi tepat pasien sebesar 100%, terapi tepat indikasi 86,96%, terapi tepat obat

100% dan terapi tepat dosis 97,32%. Ketepatan dalam pemilihan terapi diharapkan

mampu meningkatkan outcome terapi pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Isnaini pada tahun 2012 yang melihat hubungan antara kepatuhan dan rasionalitas

penggunaan terapi kombinasi oral insulin (TKOI) terhadap kontrol gula darah pada

pasien diabetes melitus rawat jalan di RSUD “X” menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara kepatuhan pasien dan rasionalitan penggunaan

TKOI secara bersama-sama terhadap kontrol gula darah dengan nilai Fhitung (82,09)

(29)

G.Kerangka Konsep

H.Hipotesis

Terdapat hubungan antara ketepatan pengobatan dengan outcome terapi penggunaan obat antidiabetika pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di instalasi

rawat inap Rumah Sakit Umum Negara, Bali pada periode Januari-Desember 2014. Pasien DM Tipe 2 Pola pengobatan Ketepatan pengobatan 1. Tepat indikasi 2. Tepat pasien 3. Tepat obat 4. Tepat dosis Outcome terapi : Kadar glukosa darah Karakteristik pasien 1. Jenis kelamin 2. Usia

3. Length of Stay 4. Penyakit penyerta

Gambar

Tabel I. Target terapi DM
Gambar 1. Algoritma pengelolan DM tipe 2 (Perkeni, 2011)
Tabel II. Farmakokinetika insulin
Gambar 2. Kerangka konsep

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan merumuskan judul “ Meningkatkan

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan

Pengertian respirasi secara umum merupakan salah satu gejala fisiologis makhluk hidup untuk memperoleh energi dengan cara pembongkaran sari makanan

Berbagi pengalaman persalinan juga merupakan hal penting untuk dilakukan, dengan hal ini para ibu dan suami merasa terbantu dalam menjalani proses persalinan nantinya, untuk

Adapun dengan pertimbangan biaya produksi, biaya operasional, serta besarnya RAP yang dapat di recycle maka variasi Bitumen Murni Ex-RAP 30% + Bitumen Fresh 70% + Additive

Nanang Shonhadji, S.E., M.Si., Ak., CA selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, membagi ilmu yang beliau miliki dan mendukung saya sampai bisa menyelesaikan skripsi saya

Berdasarkan hasil dari simulasi, dari 100 citra yang diujikan terdiri dari 50 mata glaukoma dan 50 mata normal didapatkan akurasi terbaik 96% yang dapat dilihat dari hasil