• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Pemasakan Terhadap Komposisi Kimia...Iis Nurmala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metode Pemasakan Terhadap Komposisi Kimia...Iis Nurmala"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH METODE PEMASAKAN TERHADAP KOMPOSISI

KIMIA DAGING ITIK JANTAN HASIL BUDIDAYA SECARA

INTENSIF

THE EFFECT OF COOKING METHOD ON CHEMICAL

COMPOSITION OF DRAKE MEAT IN INTENSIVE FARMING

Iis Nurmala*, Obin Rachmawan**, Lilis Suryaningsih**

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

*Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2014 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Unpad

e-mail: mala.nurmala90@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan dan Laboratorium Riset dan Pengujian Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang, mulai tanggal 27 Januari sampai 17 Februari 2014. Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui pengaruh berbagai metode pemasakan terhadap komposisi kimia (kadar air, kadar protein dan kadar lemak) daging itik jantan dan untuk mendapatkan metode pemasakan yang memberikan komposisi kimia (kadar air, kadar protein, dan kadar lemak) terbaik pada daging itik jantan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan metode pemasakan (P1= goreng, P2=oven, P3= rebus) dengan 6 ulangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan Analisis Sidik Ragam dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pemasakan berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Metode pemasakan daging itik dengan cara di goreng menghasilkan komposisi kimia terbaik dengan kadar air 54,95% dan kadar protein 23,63% serta kadar lemak terbaik pada metode pemasakan di rebus yaitu 12,78%.

Kata Kunci:daging itik, komposisi kimia, metode pemasakan Abstract

A research on the effect of cooking method on chemical composition was carried out at Technology Processing of Animal Husbandry Products Laboratory, and Research and Testing Laboratory, Faculty of Animal Husbandry, University of Padjadjaran Sumedang, on January 27th to February 17th 2014. The purpose of the research was know the effect of cooking method on chemical composition of meat duck male (water content, protein content, fat content) drake meat and to get a cooking method that gives the chemical composition (water content, protein content, and fat content) best on drake meat. The method of the research was an experiment, in Completely Randomized Design with three treatments cooking method (P1 = frying, P2 = roasting, P3 = boiling) and six replications. Annava Test were held to find out the treatment effect and Duncan Test were held to find out the difference beetwen any treatment in this research. The result showed that cooking method significantly of water content, protein content, and fat content. The best of cooking method that is frying in water content 54,95% and protein content 23,63% with the best fat content of boiling that is 12,78%.

(2)

Pendahuluan

Itik merupakan salah satu jenis unggas air yang kehadirannya telah lama menyatu dengan kehidupan penduduk Indonesia, sehingga populasinya tersebar merata di Indonesia. Pemanfaatan itik sebagai sumber protein sangat potensial mengingat itik lebih resisten terhadap penyakit dibanding ayam potong dan itik mampu mengolah makanan yang berkualitas jelek menjadi daging maupun telur. Mengingat potensi yang dimiliki itik, maka sangat disayangkan konsumsi terhadap daging itik memiliki peringkat yang jauh di bawah ayam potong. Sebagian besar daging itik yang dikonsumsi berasal dari hasil penggemukan itik jantan dan itik afkir.

Pemeliharaan itik secara intensif ditujukan untuk meningkatkan produktivitas itik dengan didukung pemberian pakan yang baik dan memadai dengan pakan yang mengandung protein kasar 15-17%, energi metabolisme 2.900 - 3.000 kcal/kg, serta kalsium dan fosfor 1,3%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemeliharaan secara intensif mampu menaikkan tingkat produksi itik sekitar 37,5% dibanding cara tradisional (Bambang Suharno dan Khairul Amri, 2009).

Komposisi daging itik yaitu kadar air 68,8%, kadar protein 21,4% dan kadar lemak 8,2% (Bambang Srigandono, 1997). Kandungan lemak yang tinggi merupakan salah satu faktor kurang tertariknya konsumen pada daging itik (Procula dan Suryana, 2010). Komposisi kimia daging dapat mengalami perubahan akibat proses pemasakan.

Pemasakan menggunakan panas sebagai proses dalam mengolah bahan pangan. Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan dengan mencairnya lemak, hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produk volatil, seperti aldehid, keton, alkohol, asam-asam, dan hidrokarbon (Deddy dan Nurhaeni, 1992). Proses pemanasan dapat mendenaturasi protein miofibrilar. Kerusakan tersebut mempengaruhi sifat-sifat struktur asam aminonya, sifat-sifat hidropilik protein yang terdenaturasi karena pemasakan dapat menurunkan kandungan air pada serabut otot, sehingga menurunkan kandungan air pada daging (Nuhriawangsa dan Pudjomartatmo, 2002). Pemanasan dapat menurunkan kandungan protein akibat terjadinya hidrolisis protein karena denaturasi, yang ditandai dengan terbentuknya reaksi maillard (Nuhriawangsadan Sudiyono, 2007).

Pemasakan diatas temperatur pasteurisasi akan mengubah fisik dan kimia daging termasuk penurunan kelezatan daging (Soeparno, 2009). Beberapa proses yang menggunakan panas akhir-akhir ini banyak diterapkan pada bahan pangan. Beberapa diantaranya bertujuan untuk menaikkan kelezatan makanan tesebut. Contohnya adalah pemasakan, termasuk

(3)

pembakaran dalam oven atau langsung diatas arang atau api, pendidihan, penggorengan, dan perebusan (Harris dan Karmas, 1989).

Bahan dan Metode

Bahan Penelitian

Bahan utama dalam penelitian adalah daging itik bagian paha (Biceps femoris) yang berasal dari itik lokal jantan hasil budidaya secara intensif umur 60 hari dengan bobot rata-rata 1,2 kg sebanyak 18 ekor yang didapat dari peternakan itik desa Cikuda, kecamatan Jatinangor, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Bahan penunjang yang digunakan dalam penelitian adalah air untuk merebus daging sebanyak 9 liter dan minyak goreng untuk menggoreng daging sebanyak 3 liter. Bahan uji kimia yaitu kadar air (silika gel dan H2SO4 pekat untuk pengering eksikator), kadar protein (H2SO4 pekat, HCL 0,1 N, Natrium Hidroxsida 40%, katalis campuran, asam borax 5%, indikator campuran), kadar lemak (heksana, kloroform, petroleum benzen, eter).

Metode Penelitian

Prosedur penelitian

1) Persiapan Sampel Daging Itik

Penyembelihan itik dengan menggunakan metode Islam sampai darah keluar dengan sempurna. Kemudian dilakukan proses scalding. Selanjutnya dilakukan pemotongan kepala, leher, dan kaki dan dilakukan proses eviscerating. Kemudian karkas dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan darah dan kotoran yang melekat pada karkas. Pengambilan sampel dilakukan pada bagian paha tanpa kulit dan lemak (Soeparno, 2009).

2) Perlakuan Metode Pemasakan pada Sampel Daging Itik

a. Goreng (P1): daging itik digoreng secara deep frying dalam minyak goreng sebanyak 500 ml dengan suhu internal daging 150ºC selama 6 menit (Rini Mastuti, 2008). b. Oven (P2): daging itik dioven dengan oven listrik (oxone ox-898) pada suhu internal

daging 90ºC selama 45 menit (Nuhriawangsa dan Lilik, 2005).

c. Rebus (P3): daging itik direbus dengan air sebanyak 1,5 liter dengan suhu internal daging 80ºC selama 30 menit (Harapin dan Adnan, 2009).

3) Pengujian Komposisi Kimia

Masing-masing perlakuan tersebut dilakukan pengujian untuk mengetahui komposisi kimia (kadar air, kadar lemak, dan kadar protein) dari setiap daging itik.

(4)

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air Daging Itik

Hasil penelitian pengaruh metode pemasakan terhadap kadar air daging itik disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air Daging Itik

Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 ---%--- 1 56,21 67,03 66,38 2 58,15 63,53 66,92 3 51,06 59,91 66,77 4 54,59 56,93 67,01 5 55,70 61,31 62,16 6 53,99 59,08 70,52 Total 329,70 367,79 399,76 Rataan 54,95 61,30 66,63

Keterangan: P1 = Metode pemasakan dengan cara di goreng P2 = Metode pemasakan dengan cara di oven P3 = Metode pemasakan dengan cara di rebus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air daging itik berbeda pada setiap perlakuan, dimulai dari kadar air terendah (54,95%) pada perlakuan di goreng (P1), kemudian 61,30% pada perlakuan di oven (P2) dan tertinggi (66,63%) pada perlakuan di rebus (P3). Analisis sidik ragam menunjukkan metode pemasakan daging itik berpengaruh nyata terhadap kadar air. Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tingkat perbedaan kadar air antar perlakuan yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air Daging Itik.

Perlakuan Kadar Air

(%)

Signifikansi

P3 66,63 a

P2 61,30 b

P1 54,95 c

Keterangan: Huruf yang berbeda ke arah vertikal dalam kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata.

Metode pemasakan dengan cara di rebus (P3) menghasilkan kadar air yang tertinggi (66,63%) dibanding perlakuan metode pemasakan lainnya. Hal ini disebabkan pada saat perebusan, air sebagai media penghantar panas masuk ke dalam jaringan daging itik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1997), bahwa proses perebusan, ketika media air menjadi panas, maka panas ini akan dipindahkan kepada bahan makanan yang menyebabkan

(5)

perubahan jaringan pada bahan makanan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya kadar air pada perlakuan metode pemasakan dengan cara di rebus.

Kadar air daging itik dengan metode pemasakan di oven (P2) juga mengalami penurunan kadar air tetapi tidak sebanyak pada proses penggorengan dan tidak sedikit pada perebusan. Hal ini disebabkan suhu internal daging itik yang digunakan dalam pengovenan lebih rendah dari suhu goreng dan lebih tinggi dari suhu rebus. Pengolahan bahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penguapan air pada bahan pangan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1997) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan semakin banyak pula molekul-molekul air yang keluar dari permukaan dan menjadi gas. Air yang terdapat dalam bahan pangan yang mudah hilang dengan cara penguapan atau pengeringan disebut air bebas.

Metode pemasakan dengan cara di goreng (P1) menghasilkan kadar air daging itik paling rendah (54,95%). Hal ini disebabkan suhu internal daging berdasarkan standar suhu dan waktu pemasakan dalam menggoreng sangat tinggi yaitu 150ºC dalam waktu 6 menit, sedangkan metode pemasakan lainnya memiliki standar suhu yang lebih rendah yaitu 80ºC selama 30 menit (rebus) dan 90ºC selama 45 menit (oven). Hal ini didukung oleh pernyataan Ketaren (1986), jika bahan segar digoreng maka kulit bagian luar dapat mengkerut. Kulit atau kerak tersebut dihasilkan akibat proses dehidrasi bagian luar bahan pangan pada waktu menggoreng. Pembentukannya terjadi akibat panas dari lemak panas (diatas 155,5ºC) sehingga terjadi penguapan air dan komponen lainya pada bagian luar bahan pangan. Selama proses menggoreng berlangsung, sebagian minyak masuk ke bagian kerak dan bagian luar bahan pangan kemudian mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Protein Daging Itik

Hasil Penelitian pengaruh metode pemasakan terhadap kadar protein daging itik disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Protein Daging Itik

Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 ---%--- 1 21,57 17,76 18,67 2 23,17 20,77 17,21 3 29,15 21,04 17,01 4 26,06 25,11 18,20 5 20,25 19,57 21,91 6 21,57 25,09 13,67 Total 141,77 129,34 106,67 Rataan 23,63 21,56 17,78

(6)

Hasil penelitian menunjukkan kadar protein daging itik berbeda pada setiap perlakuan pemasakan, dimulai dari kadar protein terendah (17,78%) pada metode pemasakan di rebus (P3), kemudian diikuti 21,56% pada metode pemasakan di oven (P2) dan tertinggi pada metode pemasakan di goreng (P1) yaitu 23,63%. Analisis sidik ragam menunjukkan metode pemasakan daging itik berpengaruh nyata terhadap kadar protein. Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tingkat perbedaan kadar protein antar perlakuan yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Metode Pemasakan Terhadap Kadar Protein Daging Itik

Perlakuan Kadar Protein

(%)

Signifikansi

P1 23,63 a

P2 21,56 a

P3 17,78 b

Keterangan: Huruf yang berbeda ke arah vertikal dalam kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata.

Tabel 4 menunjukkan metode pemasakan dengan cara di goreng (P1) dan di oven (P2) memberikan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan metode pemasakan dengan cara di rebus (P3). Hal ini disebabkan oleh pemanasan pada setiap metode pemasakan daging itik menyebabkan terjadinya perubahan komponen-komponen yang terkandung dalam daging itik tesebut. Perubahan yang terjadi yaitu menurunnya kadar air bahan yang menyebabkan bahan kering seperti protein dapat meningkat secara proposional. Hal inilah yang menyebabkan kadar protein pada metode pemasakan dengan cara di goreng (P1) dan di oven (P2) lebih tinggi dan seolah-olah mengalami peningkatan. Metode pemasakan di rebus (P3) kadar protein daging itik paling rendah dan mengalami penurunan. Hal ini diduga adanya proses leaching senyawa bernitrogen ke dalam air perebusan, karena adanya protein yang mudah larut di dalam air.

Pengolahan panas yang tinggi pada bahan makanan akan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Protein akan terdenaturasi oleh panas pada suhu diatas 65ºC (Slamet Sudarmadji, et al., 1996). Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa

(7)

karbonil (Anton Apriantono, et al., 1986). Reaksi yang terjadi pada saat pemanasan protein tersebut dapat merusak struktur protein, sehingga kadar protein dapat menurun.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Lemak Daging Itik

Hasil Penelitian pengaruh metode pemasakan terhadap kadar lemak daging itik disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Lemak Daging Itik

Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 ---%--- 1 20,32 14,01 6,75 2 16,48 13,99 14,77 3 16,29 16,95 14,14 4 17,05 14,68 7,59 5 22,85 16,92 18,84 6 23,28 12,63 14,61 Total 116,27 89,18 76,70 Rataan 19,37 14,86 12,78

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak daging itik berbeda pada setiap perlakuan, dimulai dari kadar lemak terendah (12,78%) pada perlakuan di rebus (P3), kemudian 14,86% pada perlakuan di oven (P2) dan tertinggi (19,37) pada perlakuan di goreng (P1). Analisis sidik ragam menunjukkan metode pemasakan daging itik berpengaruh nyata terhadap kadar lemak daging itik. Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tingkat perbedaan kadar lemak antar perlakuan yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Metode Pemasakan Terhadap Kadar Lemak Daging Itik.

Perlakuan Kadar Lemak

(%)

Signifikansi

P1 19,37 a

P2 14,86 b

P3 12,78 b

Keterangan: Huruf yang berbeda ke arah vertikal dalam kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata.

Metode pemasakan dengan cara di goreng (P1) menghasilkan kadar lemak paling tinggi yaitu 19,37%. Hal ini dikarenakan proses penggorengan menggunakan minyak goreng sebagai media penghantar panas sehingga terjadi penetrasi minyak goreng kedalam daging itik sehingga air yang terdapat pada daging itik menguap, kemudian celah atau pori-pori yang tadinya berisi air diganti dengan minyak goreng. Oleh karena itu kandungan lemak yang terdapat pada daging itik yang di goreng ini bertambah banyak karena penyerapan minyak goreng tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Damayanthi (1994), bahwa proses

(8)

penggorengan berbeda dengan pengolahan pangan lainnya, selain berfungsi sebagai media penghantar panas minyak juga akan diserap oleh pangan.

Metode pemasakan dengan cara di rebus (P3) menghasilkan kadar lemak paling rendah yaitu 12,78%. Hal ini dikarenakan proses perebusan menggunakan air sebagai media penghantar panas, sehingga lemak akan dikeluarkan akibat pemanasan, hal ini juga yang menyebabkan kadar air pada metode di rebus (P3) menjadi tinggi. Hal ini sejalan dengan Rini Mastuti (2008), menyatakan bahwa kandungan air yang tinggi pada produk akhir biasanya menghasilkan kandungan lemak yang rendah. Didukung pula oleh Winarno (1997), yang menyatakan bahwa dengan adanya air, lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Deddy dan Nurhaeni (1992) menyatakan bahwa pemanasan dapat menyebabkan lemak mencair yang disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produk volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam-asam dan hidrokarbon, yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor.

Semua perlakuan dapat meningkatkan kandungan lemak pada daging itik. Hal ini dikarenakan keluarnya air akibat pemasakan menyebabkan kadar air berkurang sehingga dapat meningkatkan kadar lemak dan kadar protein, karena apabila ada salah satu komponen proksimat suatu bahan pangan menurun maka komponen proksimat lainnya akan meningkat untuk mencapai keseimbangan. Bambang Srigandono (1997) menyatakan bahwa kandungan lemak yang tinggi dalam daging dianggap tidak menguntungkan, terutama dari segi kesehatan bagi sebagian anggota masyarakat konsumen yang sudah tidak memerlukan lemak ekstra dalam gizi mereka.

Simpulan

1. Metode pemasakan berpengaruh terhadap komposisi kimia (kadar air, kadar protein, dan kadar lemak) daging itik.

2. Metode pemasakan daging itik dengan cara di goreng menghasilkan komposisi kimia terbaik dengan kadar air 54,95% dan kadar protein 23,63% serta kadar lemak terbaik pada metode pemasakan di rebus yaitu 12,78%.

Saran

1. Metode pemasakan dengan cara di goreng disarankan untuk diaplikasikan dalam pengolahan daging itik.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai daya awet dan akseptabilitas daging itik.

(9)

Daftar Pustaka

Anton Apriyantono, Dedi Fardiaz, Sedarnawati, Slamet Budiyanto, dan Ni luh Puspitasari. 1986. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 99.

Bambang Srigandono. 1997. Produksi Unggas Air. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 67.

Bambang Suharno dan Khairul Amri. 2009. Beternak Itik Secara Intensif Cet.19. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 6.

Damayanthi, E. 1994. Pengaruh Pengolahan terhadap Zat Gizi Bahan Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 35.

Deddy Muchtadi dan Nurhaeni, S.P. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 119-121.

Deman, John M. 1997. Kimia Makanan Edisi Kedua diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hal 103, 112.

Harapin Hafid dan Adnan Syam. 2009. Kualitas Organolpetik Daging Kambing Lokal Dengan Lama Pelayuan dan Cara Pemasakan yang Berbeda. Buletin Peternakan Vol. 33(3); 178-182. Hal 179.

Harris, R.S dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan: Suminar Achmadi. Institut Teknologi Bandung (ITB). Bandung. Hal 229. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia

(UI-Press). Jakarta. Hal 130-138.

Nuhriawangsa, A.M.P dan Pudjomartatmo. 2002. Kegunaan Enzim Papain dan Pemanggangan untuk Meningkatkan Kualitas Daging Itik Afkir. Laporan Penelitian Dosen Muda. Fakultas Pertanian, UNS, Surakarta. Hal 8.

_____________________dan Lilik R.K. 2005. Kegunaan Pemotongan Daging dan Pemanggangan Untuk Meningkatkan Kualitas Daging Itik Afkir. Laporan Penelitian Dosen Muda. Fakultas Pertanian, UNS, Surakarta. Hal 9.

_____________________dan Sudiyono. 2007. Kegunaan Pemasakan untuk Meningkatkan Kualitas Daging Itik Afkir. Laporan Penelitian Dosen Muda. Fakultas Pertanian, UNS, Surakarta. Hal 6.

Procula R.M dan Suryana 2010. Karakteristik Daging Itik dan Permasalahan Serta Upaya Pencegahan Off- Falvor Akibat Oksidasi Lipid. Wartazoa Vol. 20 No.3 Th.2010. Hal 130, 133-134.

(10)

Rini Mastuti. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Waktu Menggoreng Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Daging Kambing Restukturisasi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Vol. 3, No. 2, Hal 23-31.

Slamet Sudarmadji, Bambang H, dan Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ke 2. Liberty Yogyakarta. Hal 59.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakata. Hal 176, 225, 228, 247.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air Daging Itik
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Protein Daging Itik
Tabel 4. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Metode Pemasakan Terhadap     Kadar Protein Daging Itik
Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Lemak Daging Itik

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Schermerhorn Jr et al (2010), cara yang lain selain diferensiasi kontekstual adalah mengandalkan manajer menengah untuk

Seperti yang telah disimpulkan bahwa interval Sembilan tahun memiliki MAPE terkecil, maka dari itu interval ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan proyeksi

c) Meletakkan table asesories (flower vase, ashtray, table number). Dengan ketentuan flower vase diletakkan tepat ditengah meja makan sebagai patokan untuk meletakkan

Sehubungan dengan hal tersebut, mendasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tatacara Perencanaan, Pengendalian, dan Evalusi

Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan- sedang, anti-piretik.. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema,

Sastra tulisan dalam penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca banyak orang.Sastra tulisan ini banyak yang berasal dari sastra lisan

Guru mempersilakan setiap peserta didik untuk menunjukan sikap-sikap berdoa yang baik dan benar. mereka boleh memilih sikap yang paling disukainya. Baik sekali apabila mereka

4.4.1 Hubungan pola asuh ibu bekerja dan ibu tidak bekerja dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi dengan status gizi anak usia 1 – 5 tahun di Dusun Randuares Kelurahan