• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rawa lebak adalah suatu wilayah yang terdepresi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rawa lebak adalah suatu wilayah yang terdepresi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009

Kebutuhan Hara Padi di Lahan Rawa Lebak

Endang Suhartatik dan Abdul Karim Makarim

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat

ABSTRACT. Nutrient Requirement for Rice on Fresh Water Swamp Land (Lebak). The main problems of rice cultivation in the lebak are (1) the uncertainties of water depth and flood duration, (2) low soil fertility, and (3) local variety with low yield frequently planted by farmers. The aims of this study were to improve nutrient management and rice cultivation on the lebak system. Field experiments were conducted during dry season of 2004 in Kayu Agung Experimental Station, South Sumatera and in a farmer’s field. The design of the experiment was a split plot with four replications. The main plots were three fertilizer applications, namely (1) local farmers’ practices, without fertilizer application, (2) granule urea (90 kg N/ha) applied once + SP36 (36 kg P2O5/ha) + KCl (60 kg K2O/ha); and (3) treatment 2 + liquid fertilizer. Subplots were two varieties, namely Siputih (a local variety) and Widas (high yielding variety). The subplot size was 8 m x 5 m, plant spacing was pair-rows of 2:1 (20-40 cm) x 10 cm. Grain yield of Widas variety was low, namely 2.3-3.8 t/ha at farmer’s field and 2.3-3.7 t/ha at the experimental station. Local variety Siputih produced higher grains, namely 5.4-6.3 t/ha at farmer’s field and 2.3-5.1 t/ha at the experimental station. Siputih local variety has longer panicles than Widas, while Widas has more panicles per hill than Siputih. Widas variety planted at lebak land was sensitive to the neck blast, and was frequently submerged due to short stature. Increased of 1 ton dry grain/ha of Siputih variety required 31.8 kg N/ha, whereas that of Widas 52.4 kg N/ha. Fertilizer requirement to obtain a yield of 5.5 ton dry grains/ha is 89.8 kg N/ha for Siputih and 204.5 kg N/ha for Widas. However, yield of 5.5 ton dry grains/ha using Widas variety on lebak land could not be reached at Kayu Agung. Application of liquid fertilizer only increased plant height.

Keywords: Lebak system, rice, nutrient, variety, fertilizer ABSTRAK. Rawa lebak merupakan alternatif bagi perluasan areal pertanaman padi. Masalah budi daya padi rawa lebak adalah (1) tinggi dan lama genangan air sulit diduga, (2) kesuburan tanah rendah, dan (3) varietas lokal dengan produktivitas rendah masih umum ditanam petani. Tujuan percobaan ini adalah untuk memperbaiki cara pengelolaan hara dan budi daya padi rawa lebak. Percobaan dilaksanakan pada MK 2004 di KP Kayu Agung dan lahan petani di Desa Celikah. Rancangan percobaan pada kedua lokasi adalah petak terpisah dengan empat ulangan. Petak utama terdiri atas tiga macam pemupukan, yaitu (1) cara petani atau tanpa pemberian pupuk (P0), (2) urea granul (90 kg N/ha) + pupuk P (36 kg P2O5/ha) + pupuk K (60 kg K2O/ha) diberikan sekali (P1); dan (3) perlakuan 2 + PPC (P2). Anak petak adalah dua varietas, yaitu lokal Siputih dan varietas unggul Widas. Ukuran anak petak 8 m x 5 m. Sistem tanam adalah jajar legowo 2:1 (20-40 cm)x 10 cm. Hasil varietas Widas relatif rendah, berkisar antara 3,8 t/ha di lahan petani dan 2,3-3,7 t/ha di kebun percobaan. Varietas lokal Siputih menghasilkan gabah lebih tinggi dibanding Widas, yaitu 5,4-6,3 t/ha di lahan petani dan 2,3-5,1 t/ha di kebun percobaan. Varietas lokal Siputih memiliki malai sedikit lebih panjang (23,9 cm) dibandingkan dengan Widas (22,4 cm), sedangkan Widas memiliki jumlah malai yang lebih banyak dibanding Siputih. Varietas Widas lebih banyak tertular penyakit

neck blast dan sering terendam air karena tanaman lebih pendek.

Setiap kenaikan hasil (GKG) 1 ton untuk varietas Siputih diperlukan

31,8 kg N/ha, sedangkan untuk Widas 52,4 kg N/ha. Untuk mencapai target hasil 5,5 t GKG/ha diperlukan 89,8 kg N/ha untuk varietas Siputih dan 204,5 kg N/ha untuk Widas. Namun, target hasil 5,5 t GKG/ha untuk varietas Widas belum dapat dicapai pada lahan rawa lebak Kayu Agung. Pemberian pupuk cair hanya menambah tinggi tanaman padi.

Kata kunci: Padi rawa lebak, hara, varietas, pemupukan

R

awa lebak adalah suatu wilayah yang terdepresimenjadi cekung dan memungkinkan terjadinya genangan air pada periode cukup lama, bahkan hampir sepanjang tahun (Ar-Riza dan Jumberi 2008). Kondisi genangan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan setempat dan wilayah sekitarnya. Lahan lebak ditinjau dari aspek tanah maupun air mempunyai daya dukung yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman padi sawah, dengan produktivitas sedang sampai tinggi, asal diterapkan teknologi budi daya yang sesuai dengan kondisi lokasi setempat (Ar-Riza dan Jumberi 2008). Oleh sebab itu, rawa lebak merupakan alternatif bagi perluasan areal pertanaman padi sawah.

Permasalahan utama dalam budi daya padi rawa lebak adalah tinggi genangan air yang sulit diduga, sehingga waktu tanam sering tidak menentu. Kekurangan O2 dan CO2 pada tanaman dalam kondisi terendam menjadi penyebab utama rusaknya tanaman karena terhambatnya respirasi dan fotosintesis. Sebaliknya, hormon tanaman seperti etilen dalam bentuk gas yang diproduksi oleh tanaman dilaporkan (Jackson et al. 1987) terakumulasi dalam jaringan hingga konsentrasi 0,49 µM pada varietas IR42 pada umur 12 HST setelah terendam selama 55 jam. Etilen berpengaruh terhadap (1) pemanjangan batang padi (elongation) selama tanaman terendam (Lee and Lin 1996); dan (2) menguningnya daun tanaman (senescene) (Jackson et al. 1987; Ella et al. 2003) yang akan menghambat fiksasi karbon dalam fotosintesis pada saat maupun setelah terendam. Menunggu turunnya air genangan hingga permukaan, lahan dapat ditanami seperti pada kondisi sawah biasa. Hal ini menyebabkan waktu tanam mundur dan pertanaman nantinya akan mengalami kekeringan. Oleh sebab itu, petani biasanya memilih tanam padi pada saat lahan masih tergenang 2-3 cm, yang berarti bibit harus cukup tinggi atau sudah berumur tua, dengan konsekuensi hasil rendah. Selain itu, aplikasi pemupukan

(2)

sering terganggu akibat genangan air yang tidak menentu.

Salah satu cara pemanfaatan lahan dalam upaya peningkatan produktivitas padi rawa adalah dengan pengelolaan hara yang tepat, yaitu berdasarkan tingkat hasil yang diinginkan (target hasil), kebutuhan hara tanaman, dan tingkat kesuburan tanah. Produktivitas padi di rawa lebak pada umumnya masih rendah (<4 t/ha) (Ar-Riza dan Jumberi 2008). Sebenarnya, rawa lebak mempunyai kelebihan dibanding lahan kering dan sawah tadah hujan, karena memiliki cukup air hampir sepanjang tahun, termasuk pada musim kemarau. Pada musim kemarau, rawa lebak hanya berubah statusnya, dari lebak dalam menjadi lebak tengahan atau lebak dangkal.

Penyebab rendahnya produktivitas padi di lahan rawa lebak adalah tinggi genangan air yang tidak menentu. Sewaktu-waktu air merendam pertanaman padi, sehingga gagal panen atau hasil sangat rendah. Pada saat tertentu rawa lebak juga dapat menjadi kering, dan apabila hal ini terjadi pada fase generatif maka gabah hampa meningkat dan hasil turun. Oleh sebab itu, petani di lahan rawa lebak umumnya menanam varietas lokal berumur panjang dan relatif tinggi agar pertanaman tidak sering terendam meskipun hasilnya relatif rendah.

Varietas unggul toleran rendaman, tahan hama penyakit, dan disukai petani diperlukan oleh petani sehingga mudah dikembangkan. Varietas padi umur pendek (genjah) memberikan peluang yang lebih tinggi untuk dikembangkan (Ar-Riza 2000). Para pemulia tanaman padi sudah memperoleh galur padi toleran rendaman dengan tingkat persentase hidup 85-100%, dan beberapa galur yang mempunyai kemampuan hidup kembali (recovery) setelah terendam (Khairullah dan Subowo 2008).

Menurut Ar-Riza dan Jumberi (2008), lahan lebak umumnya mempunyai kandungan hara N-total sedang, P-tersedia rendah, K-tersedia rendah, C-organik tinggi dengan pH 4,0-4,2, tingkat kesuburan termasuk kurang sampai sedang, sehingga pupuk perlu diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kesuburan tanah yang rendah, keracunan Al dan/atau Fe menambah sulitnya meningkatkan hasil padi di lahan rawa lebak.

Pemberian pupuk dengan dosis tinggi pada varietas lokal yang umumnya bertajuk menyebar, memicu per-tumbuhan vegetatif tetapi tidak terjadi peningkatan hasil yang nyata, bahkan hasil sering turun (Ar-Riza 2000). Pada wilayah lebak di Kayu Agung, Sumatera Selatan, takaran pupuk yang dianjurkan adalah 45 kg N; 45-90 kg P2O5; 60 kg K2O/ha, dengan hasil 4,7-4,9 t/ha (Ismail et al. 1993).

Oleh karena itu perbaikan varietas dan cara pengelolaan hara yang tepat diharapkan dapat meningkatkan hasil padi di lahan rawa lebak.

Kebutuhan pupuk berdasarkan status hara tanah (Mombiela et al. 1981) kurang sesuai untuk padi rawa lebak, karena adanya perbedaan produksi biomas dan keperluan hara varietas yang digunakan. Nampaknya penetapan kebutuhan pupuk berdasarkan kebutuhan hara tanaman (Dobermann et al. 1996; 1999; Makarim et al. 1992; 1993) akan lebih baik, mengingat besarnya perbedaan antara penampilan tanaman padi di lahan lebak dengan di lahan sawah irigasi (tipe IR64). Namun, kebutuhan hara padi rawa lebak masih belum banyak diketahui, sehingga memerlukan penelitian untuk beberapa musim atau beberapa lokasi.

Penelitian bertujuan untuk mempelajari kebutuhan hara varietas lokal dan varietas unggul padi di lahan rawa lebak.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan di lahan rawa lebak Kayu Agung, Sumatera Selatan, pada tahun 2004. Satu unit percobaan dilaksanakan di KP Kayu Agung dan satu unit di lahan petani di Desa Celikah, masing-masing dengan rancangan petak terpisah empat ulangan. Petak utama adalah tiga cara pemupukan, yaitu (P0) cara petani setempat, yaitu tanpa pupuk; (P1) urea granul (90 kg N/ha) diberikan satu kali pada saat tanam; dan (P2) urea granul (90 kg N/ha) diberikan satu kali pada saat tanam + PPC pada saat primordia. Anak petak terdiri atas dua macam varietas, yaitu (V1) varietas lokal Siputih; dan (V2) varietas unggul Widas. Ukuran petak 8 m x 5 m. Takaran pupuk SP36 dan KCl masing-masing 36 kg P2O5 dan 60 kg K2O/ha diaplikasikan satu kali dengan cara disebar dan dibenam ke dalam tanah.

Pematang tidak dibuat, tetapi antarpetak percobaan dibuat areal pertanaman buffer/penyangga selebar 2 m untuk memisahkan perlakuan pemupukan (petak utama). Pada rawa lebak sulit mengatur air, sehingga penanaman dilakukan terlebih dahulu, setelah air mulai surut (tinggi genangan 2-3 cm) baru diaplikasikan pupuk. Sistem tanam adalah jajar legowo 2:1 (20-40 cm) x 10 cm. Pengamatan meliputi: (1) hasil gabah dan komponen hasil; (2) konsentrasi N tanaman, bobot tanaman, dan serapan hara N pada saat tanaman berumur 30, 42, 70 HST dan saat panen; (3) sifat dan ciri kimia tanah dari tiap petak untuk dianalisis; dan (4) curah hujan.

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Curah Hujan

Pola curah hujan bulanan di Kayu Agung selama lima tahun disajikan pada Gambar 1. Kayu Agung memiliki rata-rata tujuh bulan basah (>200 mm) dan empat bulan kering (<100 mm). Bulan basah terjadi antara Oktober-April dengan puncaknya pada bulan Desember. Bulan Mei sampai September termasuk bulan kering. Pada bulan Mei percobaan dimulai, di mana air sudah mulai surut dan dapat ditanami padi. Hal yang menyulitkan dalam budi daya padi di lahan lebak adalah besarnya keragaman curah hujan antarwaktu dan tahun, yang juga ikut menyumbang terhadap keragaman tingkat genangan air.

Kondisi Tanah

Hasil analisis tanah lahan petani dan KP Kayu Agung sebelum percobaan disajikan pada Tabel 1. Tekstur tanah umumnya liat hingga liat berlempung dengan kandungan liat 52-53%, debu 36-44%, dan sisanya pasir. Tanah di kedua lokasi ini termasuk masam dengan kejenuhan Al rendah-sedang (5-8%) dan kandungan C organik termasuk tinggi (5,8-6,4%). Ditinjau dari aspek kimia tanah, faktor yang menjadi masalah bagi pertumbuhan tanaman padi di lahan rawa lebak adalah kemasaman (pH rendah), kahat P, keracunan besi dan Al. Kondisi tanah sawah lebak sebelum tanam dan setelah panen di lokasi percobaan disajikan pada Tabel 2. Nampaknya sulit membandingkan nilai analisis tanah sebelum tanam dan sesudah panen, baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk. Setelah panen, tingkat kemasaman tanah (pH) sedikit lebih tinggi, N-total, P-total, dan C-organik sedikit menurun, P-tersedia naik, dan K turun drastis. Besarnya keragaman sifat tanah ini (dilihat dari besarnya standar deviasi) menyebabkan sulit

untuk mendeteksi perubahan tingkat kesuburan, apalagi antara sebelum tanam dan sesudah panen yang waktunya relatif singkat (4-5 bulan). Nilai analisis kimia tanah setelah panen juga merupakan rata-rata dari enam petak perlakuan.

Pertumbuhan Tanaman Tanggap Varietas

Keragaan tanaman padi di lahan petani di kawasan rawa lebak di Desa Celikah dan KP Kayu Agung disajikan pada Gambar 1. Pola curah hujan di kawasan rawa lebak Kayu Agung,

Sumatera Selatan.

Tabel 2. Sifat dan ciri tanah sebelum tanam dan setelah panen padi pada lahan lebak di KP Kayu Agung dan lahan petani Desa Celikah.

Sebelum tanam Setelah panen Ciri tanah

Kebun Petani Kebun Petani pH-H2O 4,85 4,68 4,96+0,09 5,08+0,04 pH-KCl 4,53 4,42 4,39+0,10 4,59+0,04 Total P (mg P/100 g) 126 76 74+12 89+4 Total N (%) 1,15 0,73 0,73+0,09 0,57+0,04 C-organik (%) 6,4 5,8 6,0+0,4 4,6+0,2 P-Bray 1 (ppm P) 5,9 4,2 10,3+5,2 5,3+2,5 K-dd (me/100 g) 0,50 0,55 0,13+0,02 0,20+0,07 Total K (mg K/100 g) 83 137 102+48 84+25 Tabel 1. Sifat dan ciri tanah lahan lebak di Kayu Agung, MK 2004. Parameter KP Kayu Agung Lahan petani

(Desa Celikah) Pasir (%) 11,6 3,4 Debu (%) 35,6 44,2 Liat (%) 52,8 52,4 pH-H2O 4,85* 4,68* pH-KCl 4,53 4,42 Total P (mg P2O5/100 g) 289 174 Total N (%) 1,15 0,73* C-organik (%) 6,4 5,8 P-Bray 1 (ppm P) 5,91* 4,21* KTK (me/100 g) 41,2 40,7 KTKE (me/100 g) 5,72 7,71 Ca-dd (me/100 g) 3,29 3,94 Mg-dd (me/100 g) 0,85 2,09 K-dd (me/100 g) 0,50 0,55 Na-dd (me/100 g) 0,62 0,75 Total K (mg K2O/100 g) 102 168 Al-dd (me/100 g) 0,36 0,28 H-dd (me/100 g) 0,10 0,10 Kejenuhan Al (%) 8,04+ 4,93 Fe (ppm) 387** 426** Mn (ppm) 18,9 42,6 Zn (ppm) 10,5 25,4 Cu (ppm) 0,33 0,61

*, ** kemungkinan bermasalah bagi tanaman padi dengan tingkat keparahan masing-masing kecil dan besar.

0 100 200 300 400 500 600

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des

C u ra h h u ja n (m m ) 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata 0 100 200 300 400 500 600

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des

C u ra h h u ja n (m m ) 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata

(4)

Tabel 3. Terdapat perbedaan mencolok penampilan tanaman varietas Siputih (lokal) dengan Widas (varietas unggul) di kedua lokasi pengujian. Di lahan petani di Desa Celikah, tinggi tanaman padi Siputih berkisar antara 101-138 cm, lebih tinggi dibanding varietas Widas yang hanya 60-74 cm. Jumlah anakan varietas Widas antara umur 30 HST dan 70 HST 10-11 batang/rumpun, lebih banyak dibanding varietas lokal Siputih, 9-10 batang/ rumpun. Bobot akar kering varietas lokal Siputih lebih tinggi dibanding varietas unggul Widas, masing-masing 3,2 g, 6,6 g dan 6,4 g/rumpun pada umur 30, 42, dan 70 HST, sedangkan pada varietas Widas hanya 2,8 g, 4,5 g, dan 3,9 g/rumpun. Hal ini menunjukkan perakaran varietas lokal Siputih lebih intensif dibanding Widas. Varietas lokal memiliki perakaran yang lebih baik, lebih panjang, dan besar. Hal ini menyebabkan varietas lokal lebih toleran kekeringan dan dapat memanfaatkan hara yang tersedia di tanah.

Tinggi tanaman antara varietas Siputih dan Widas juga berbeda. Tinggi tanaman varietas lokal Siputih di KP Kayu Agung berkisar antara 75-108 cm, lebih pendek daripada di lahan petani, yang mencapai 101-138 cm. Sebaliknya, tinggi tanaman varietas Widas di KP Kayu Agung berkisar antara 62-80 cm sedikit lebih tinggi dibanding di lahan petani, yaitu 60-74 cm. Hal ini disebabkan oleh genangan air di lahan petani lebih dalam daripada KP Kayu Agung, sehingga untuk varietas lokal terjadi pemanjangan tanaman. Sebaliknya, varietas Widas yang lebih pendek mengalami depresi yang lebih

sering dan lebih lama terendam di lahan petani dibanding di kebun percobaan, sehingga tanaman lebih pendek di lahan petani.

Di Kayu Agung, jumlah anakan kedua varietas antara umur 30 HST hingga stadia primordia, yaitu 8-10 per rumpun. Namun pada saat keluar malai, jumlah anakan varietas Widas lebih banyak dibanding varietas lokal Siputih, masing-masing 12,6 batang dan 10,0 batang/ rumpun.

Bobot akar varietas lokal Siputih lebih tinggi dibanding varietas unggul Widas, rata-rata 1,3-1,9 g/ rumpun untuk varietas Siputih pada umur 30, 42, dan 70 HST dan 1,2-1,6 g/rumpun untuk Widas. Pada kedua varietas terjadi penyusutan bobot akar hingga saat panen.

Tanggap Pemupukan

Pemberian pupuk di Desa Celikah nyata pengaruhnya terhadap tinggi tanaman, terutama pada varietas lokal. Pada umur 30 HST beda tinggi tanaman antara tanpa pupuk dengan dipupuk rata-rata 13 cm. Pada 42 HST dan 70 HST, tinggi tanaman yang diberi pupuk lebih tinggi masing-masing 9 cm dan 10 cm. Pengaruh pemberian PPC terhadap tinggi tanaman cukup besar yaitu 10 cm, 14 cm, dan 6 cm masing-masing pada 30 HST, 42 HST, dan 70 HST. Untuk varietas Widas, pemberian pupuk hanya menambah tinggi tanaman 3 cm, 7 cm, dan 4 cm masing-masing pada 30 HST, 42 HST, dan 70 HST. Pada

Tabel 3. Keragaan pertumbuhan tanaman padi di lahan petani Desa Celikah dan di KP Kayu Agung, Sumatera Selatan, MK 2004. Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan/rumpun Bobot akar (g/rumpun) Perlakuan 30 HST 42 HST 70 HST 30 HST 42 HST 70 HST 30 HST 42 HST 70 HST Desa Celikah PoV1 89,1 108,8 128,8 7,2 7,5 7,2 2,2 5,3 2,9 P1V1 101,7 117,7 138,5 9,9 10,3 9,8 3,4 6,9 7,3 P2V1 112,0 132,4 145,4 10,6 11,1 10,1 3,8 7,7 8,9 Rata-rata 100,9 119,6 137,6 9,2 9,6 9,0 3,2 6,6 6,4 PoV2 57,8 66,9 70,0 9,7 8,5 8,8 1,7 3,0 2,5 P1V2 61,2 74,0 73,9 12,3 12,3 11,5 3,2 4,7 3,6 P2V2 62,6 77,2 77,9 11,9 13,2 12,2 3,4 5,8 5,6 Rata-rata 60,5 72,7 73,9 11,3 11,3 10,8 2,8 4,5 3,9 KP Kayu Agung P0V1 71,8 91,2 100,0 7,8 8,4 8,5 1,7 1,4 1,2 P1V1 76,1 99,8 106,6 9,4 9,8 10,4 1,9 1,4 1,4 P2V1 78,4 110,5 116,2 8,8 9,9 11,1 2,2 1,5 1,4 Rata-rata 75,4 100,5 107,6 8,7 9,4 10,0 1,9 1,5 1,3 P0V2 60,9 73,8 75,9 7,1 9,5 11,1 1,5 1,5 1,2 P1V2 63,1 86,8 85,8 8,5 10,8 12,4 1,8 1,3 1,3 P2V2 61,6 79,8 79,4 8,0 10,5 14,4 1,6 1,3 1,0 Rata-rata 61,9 80,1 80,4 7,9 10,3 12,6 1,6 1,4 1,2

V1= Lokal (Siputih) V2= Widas; P0 = pemupukan cara petani; P1= dipupuk anjuran; P2= P1 + pupuk cair

(5)

lahan lebak, tinggi tanaman penting artinya agar tidak mudah terendam. Untuk varietas lokal dengan postur tanaman yang tinggi, pemberian pupuk bahkan menambah tinggi 9-10 cm sehingga tanaman tidak seluruhnya terendam air pasang.

Di KP Kayu Agung, pemberian pupuk juga nyata meningkatkan tinggi tanaman, sama dengan di lahan petani (Tabel 3). Peningkatan tinggi tanaman nyata pada varietas lokal. Pada varietas Siputih, beda tinggi tanaman antara tanpa pupuk dengan yang diberi pupuk pada umur 30 HST adalah 4,3 cm di KP Kayu Agung, sedikit lebih rendah daripada lahan petani. Pada umur 42 HST dan 70 HST, tinggi tanaman varietas lokal yang diberi pupuk dengan cara petani (tanpa pupuk) masing-masing 8,6 cm dan 6,6 cm.

Pengaruh pemberian PPC terhadap tinggi tanaman varietas lokal cukup besar yaitu 2,3 cm, 10,7 cm, dan 9,6 cm masing-masing pada 30 HST, 42 HST, dan 70 HST. Untuk varietas Widas, pemberian PPC tidak nyata menambah tinggi tanaman. Pada lahan lebak, tanaman yang tinggi penting artinya agar tidak mudah terendam seluruh bagian tanaman. Untuk varietas lokal yang sudah tinggi, pemberian pupuk bahkan menambah tinggi tanaman, sehingga tidak seluruhnya terendam air pasang.

Pengaruh pemupukan nyata terhadap jumlah anakan kedua varietas. Di Desa Celikah, tanpa pemupukan jumlah anakan varietas Siputih 7,2-7,5

batang/rumpun, sedangkan dengan pemberian pupuk (P1) meningkat menjadi 9,8-10,3 batang/rumpun. Pada varietas Widas tanpa pemupukan, jumlah anakan aktif 8,5-9,7 batang/rumpun, sedangkan dengan pemberian pupuk meningkat menjadi 11,5-12,3 batang/rumpun. Pengaruh pemberian PPC (P2) tidak nyata terhadap pertambahan jumlah anakan kedua varietas tersebut. Selain nyata pengaruhnya terhadap tinggi dan jumlah anakan, pemupukan juga meningkatkan bobot kering akar tanaman, terutama pada varietas lokal. Berdasarkan kenyataan ini maka pemupukan paling tidak berpengaruh terhadap penampilan tanaman, yang pada akhirnya meningkatkan toleransinya terhadap genangan air pasang di lahan lebak.

Hasil dan Komponen Hasil

Hasil dan komponen hasil padi di kawasan rawa lebak di Desa Celikah dan KP Kayu Agung untuk keenam perlakuan disajikan pada Tabel 4.

Tanggap Varietas

Varietas lokal Siputih di Celikah memiliki malai yang sedikit lebih panjang (23,9 cm) dibandingkan dengan Widas (22,4 cm), sedangkan Widas memiliki jumlah malai yang lebih banyak dibanding varietas Siputih. Varietas Widas di lahan lebak lebih banyak tertular

Tabel 4. Komponen hasil dan hasil dua varietas padi dengan tiga tingkat pemupukan di kawasan lebak di Desa Celikah dan KP Kayu Agung, Sumatera Selatan, MK 2004

Perlakuan Panjang malai Jumlah malai/ Jumlah Jumlah gabah Bobot 1.000 butir Hasil

(cm) rumpun* gabah isi (%) per malai (g) (t GKG/ ha)

Desa Celikah P0V1 21,5 7,8 (1,5) 89.7 126 26,0 5,41 P1V1 24,0 10,8 (2,0) 88.8 118 26,5 6,27 P2V1 26,2 12,2 (2,0) 87.0 148 27,4 6,08 Rata-rata 23,9 10,3 (1,8) 88,5 131 26,6 5,92 P0V2 20,3 11,4 (2,0) - - 26,7 2,27 P1V2 22,4 17,4 (3,1) - - 27,5 3,39 P2V2 24,5 16,4 (3,5) - - 28,7 3,85 Rata-rata 22,4 15,1 (2,8) - - 27,6 3,17 KP Kayu Agung P0V1 - 8,3 84,0 138 20,6 2,32 P1V1 - 10,2 87,8 143 23,6 5,13 P2V1 - 10,3 86,9 122 25,9 4,80 Rata-rata - 9,6 86,2 134 23,4 4,08 P0V2 - 11,1 81,8 76 15,8 2,83 P1V2 - 12,2 86,4 78 17,0 3,54 P2V2 - 13,0 87,6 87 19,7 3,71 Rata-rata - 12,1 85,3 80 17,5 3,36

V1= Lokal (Siputih) V2= Widas; P0 = pemupukan cara petani; P1= dipupuk anjuran; P2= dipupuk + pupuk cair

* = Angka dalam kurung, jumlah malai terkena blas - = Tidak dilakukan pengamatan

(6)

penyakit blas leher (neck blast), dan sering terendam air (karena lebih pendek) pada saat tanaman masih muda, sehingga hasil Widas jauh lebih rendah dibandingkan dengan varietas Siputih, masing-masing 3,17 t dan 5,92 t/ha. Neck blast merupakan penyakit utama padi di lahan rawa lebak, sehingga varietas unggul yang peka akan tertular, yang berdampak terhadap penurunan hasil.

Hasil varietas Siputih di KP Kayu Agung juga lebih tinggi dibanding Widas, masing-masing 4,08 t dan 3,36 t/ha. Perbedaan hasil ini akan lebih besar apabila tanaman diberi pupuk. Varietas Siputih, meskipun memiliki jumlah malai yang lebih sedikit dibanding Widas, jumlah gabah per malai dan bobot 1.000 butir gabah lebih tinggi, sehingga hasilnya juga lebih tinggi. Kelemahan utama varietas Widas di sini adalah bobot 1.000 butir yang ringan, hanya 15,8-19,7 g sedangkan Siputih 20,6-25,9 g. Hal ini mungkin terkait dengan penularan penyakit pada varietas Widas sehingga pengisian gabahnya kurang sempurna.

Data ini menunjukkan bahwa varietas Widas kurang sesuai dikembangkan pada rawa lebak, terutama di Kayu Agung, dibanding varietas lokal yang telah ber-adaptasi dengan baik. Seperti telah dibahas sebelumnya, lahan lebak di Kayu Agung mengandung besi terlarut yang cukup tinggi selain bereaksi masam, yang menjadi kendala bagi pertumbuhan varietas Widas.

Tanggap Pemupukan

Di Desa Celikah, pemberian pupuk hanya mampu meningkatkan hasil varietas Siputih 0,85 t/ha, sedangkan pada varietas Widas 1,12 t/ha. Namun pemberian pupuk mampu memberikan hasil 6,27 t/ha pada varietas Siputih, lebih tinggi dibanding Widas yang hanya 3,39 t/ ha. Pemberian pupuk menambah jumlah malai, panjang malai, dan bobot 1.000 butir kedua varietas.

Di KP Kayu Agung, pemupukan nyata menaikkan hasil kedua varietas. Hasil varietas Siputih pada perlakuan P0 dan P1 masing-masing 2,32 t dan 5,13 t/ha, sedangkan hasil Widas masing-masing 2,83 t dan 3,54 t/ha.

Lahan lebak di Kayu Agung berdasarkan analisis tanah ternyata kahat P tersedia, sehingga pengaruh pemberian pupuk, terutama P, meningkatkan hasil gabah. Dengan demikian dapat disarankan bahwa pemberian pupuk atau perbaikan pengelolaan hara diperlukan pada lahan lebak Kayu Agung.

Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa perbaikan cara budi daya di lahan lebak dapat dilakukan melalui pengelolaan hara dengan pemberian pupuk urea, SP36, dan KCl. Varietas lokal Siputih memiliki beberapa keunggulan: (1) lebih tahan terhadap penyakit blas/neck blast, (2) tanaman lebih tinggi sehingga dapat ditanam pada saat air genangan masih cukup tinggi, (3)

perakaran lebih intensif atau bobot akar lebih tinggi, dan (4) responsif terhadap pemupukan. Namun kelemahannya adalah berumur panjang (140 hari) sehingga dikhawatirkan sewaktu-waktu akan terjadi kekeringan di akhir pertumbuhannya. Varietas unggul baru yang dintroduksikan harus memiliki sifat tahan blas/ neck blast, tanaman tinggi, dan umur lebih pendek (<140 cm), selain potensi hasil tinggi.

Konsentrasi N Tanaman, Serapan N, dan Pengelolaan Hara

Konsentrasi hara N tanaman padi di lahan rawa lebak pada setiap perlakuan varietas dan pemupukan disajikan pada Gambar 2. Konsentrasi N tanaman cenderung menurun dengan bertambahnya umur tanaman pada semua perlakuan, kecuali perlakuan cara petani (P0V1 dan P0V2).

Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk tumbuh lebih cepat (akumulasi biomas), bahkan melebihi kecepatan penyerapan hara oleh tanaman, sehingga terjadi pengenceran (penurunan) konsentrasi hara dalam jaringan tanaman. Sebaliknya, pertumbuhan tanaman yang tidak dipupuk lebih lambat, sehingga kecepatan penyerapan hara N juga lambat yang mengakibatkan konsentrasi hara relatif tetap.

Jumlah hara N yang diserap tanaman padi pada umur 30, 42, dan 70 HST pada keenam perlakuan disajikan pada Gambar 3. Varietas Siputih tanpa pupuk (P0) menyerap hara N pada umur 72 HST sebanyak 85,2 kg N/ha, sedangkan Widas hanya 38,2 kg N/ha. Hal ini menunjukkan bahwa varietas lokal memiliki perakaran yang lebih mampu menyerap hara dari dalam tanah dibanding varietas Widas. Hal ini juga didukung oleh bobot akar tanaman varietas Siputih pada umur 30, 42, dan 70 HST yang selalu lebih tinggi dibanding Widas (Tabel 3).

Gambar 2. Perubahan konsentrasi hara N tanaman padi berdasar-kan umur tanaman. Kayu Agung, MK 2004.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 PoV1 P1V1 P2V1 PoV2 P1V2 P2V2 % N t a n a m a n 30 HST 42 HST 70 HST 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 PoV1 P1V1 P2V1 PoV2 P1V2 P2V2 % N t a n a m a n 30 HST 42 HST 70 HST

(7)

Pemberian pupuk urea hanya menambah serapan hara N varietas Siputih 22,7 kg N/ha hingga umur 70 HST, sedangkan serapan varietas Widas mencapai 45,8 kg N/ha. Namun total serapan N varietas Siputih pada perlakuan pemberian pupuk tetap lebih tinggi (107,9 kg N/ha) dibanding Widas (84,1 kg N/ha), sehingga hasilnya juga berbeda. Hubungan antara hasil gabah (kg GKG/ ha = y) dan serapan N (kg N/ha = x) untuk kedua varietas adalah sbb:

Varietas Siputih: y = 31,772 x – 84.972 (R2 = 0,7909**)

Varietas Widas: y = 52,381 x – 83,582 (R2 = 0,9586**)

Persamaan ini menunjukkan bahwa tiap kenaikan 1 t GKG/ha untuk varietas Siputih diperlukan 31,8 kg N/ha, sedangkan untuk Widas 52,4 kg N/ha. Artinya varietas lokal Siputih lebih efektif menggunakan hara yang telah diserap tanaman dibandingkan dengan Widas. Untuk mencapai target hasil 5,5 t GKG/ha diperlukan pupuk urea dengan dosis 89,8 kg N/ha untuk varietas Siputih dan 204,5 kg N/ha untuk Widas. Namun, target hasil 5,5 t GKG/ha untuk varietas Widas belum dapat dicapai pada lahan rawa lebakKayu Agung.

Berdasarkan data penelitian dapat dirumuskan waktu dan dosis pemberian pupuk N sebagai berikut: (1) aplikasi urea tahap pertama setengah dosis dilakukan pada saat lahan macak-macak setelah tanam (7-14 HST, bergantung pada lama genangan), termasuk pemberian seluruh pupuk SP36 (100 kg/ha) dan KCl (75 kg/ha); (2) sisa urea diberikan pada fase primordia. Alternatif kedua, pemberian urea briket diberikan satu kali pada saat lahan mulai macak-macak (7-14 HST), sedangkan pupuk P dan K sama seperti cara pertama. Dinaikkannya dosis pupuk K berkaitan dengan kemungkinan tanaman keracunan besi dan tertular penyakit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penyebab rendahnya produktivitas padi di lahan rawa lebak Kayu Agung adalah sebagai berikut: (1) rendahnya tingkat kesuburan tanah, seperti pH rendah, keracunan besi, Mn, Al, dan kahat P, (2) genangan air pada saat tanam, sehingga perlu menggunakan bibit yang lebih tua dan lebih tinggi, (3) pemberian pupuk tidak optimal, dan (4) varietas unggul yang digunakan peka penyakit neck blast, hasil rendah, dan tidak toleran rendaman.

Perbaikan cara budi daya disarankan dengan (1) penggunaan varietas unggul hasil tinggi, postur tanaman tinggi, tahan penyakit neck blast, toleran rendaman; (2) dosis pupuk ditetapkan berdasarkan target hasil yang dapat dicapai, kebutuhan hara varietas, dan kesuburan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Riza, I. 2000. Prospek pengembangan lahan rawa Kalimantan Selatan dalam mendukung peningkatan produksi padi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19(3):92-97. Ar-Riza, I. dan A. Jumberi. 2008. Padi di lahan rawa dan peranannya

dalam sistem produksi padi nasional. Dalam: A.A. Daradjat, et al. (Eds.). Padi, inovasi teknologi produksi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Dobbermann, A., K.G. Cassman, S. Peng, Pham Sy Tan, Cao Vhan Phung, P.C. Sta Cruz, J.B. Bajita, M.A.A. Adviento, and D.C. Olk. 1996. Precision nutrient management in intensive irrigated rice systems. Proceeding International Symp. Maximizing Sustainable Rice Yield through Improved Soil and Environmental Management. Khon-Kaen, Thailand p.133-154.

Dobermann, A. and P.F. White. 1999. Strategies for nutrient management in irrigated and rainfed lowland rice systems. In: V. Balasubramanian, J.K. Ladha, G.L. Denning (Eds.). Resource management in rice systems: nutrients. Kluwer Academic Publisher-IRRI. p.1-26.

Ella E.S. and A. M. Ismail. 2006. Seedling nutrient status before submergence affects survival after submergence in rice. Crop Sci. 46:1673-1681.

Ismail, I.G. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa (1985-1993). Kontribusi dan prospek pengembangan. Dalam: M. Syam et al. (Eds.). Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Sur ut dan Rawa Swamps II. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Jackson, M.B., I. Waters, T. Setter, and H. Greenway. 1987. Injury to rice plants caused by complete submergence: contribution of ethylene (ethane). J. Exp. Bot. 38:1826–1838.

Khairullah, I. dan S. Subowo. 2005. Galur-galur padi toleran terhadap rendaman. Dalam: I. Ar-riza et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumber Daya L ahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Balai Penelitian Pertanaian L ahan Rawa. Banjarbaru. p. 114-115.

Gambar 3. Serapan hara N padi sawah lebak pada tiga fase tumbuh tanaman untuk keenam perlakuan. Kayu Agung, MK 2004

P o V 1 P 1 V 1 P 2 V 1 P o V 2 P 1 V 2 P 2 V 2 0 20 60 80 100 120 140 S e ra p a n N ( k g N /h a ) 30 42 70 40 P o V 1 P 1 V 1 P 2 V 1 P o V 2 P 1 V 2 P 2 V 2 0 20 60 80 100 120 140 S e ra p a n N ( k g N /h a ) 30 42 70 40

(8)

Las, I. 2007. Grand design lahan rawa. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Revitalisasi Kawasan PLG dan Lahan Rawa Lainnya untuk Membangun Lumbung Pangan Nasional. Kuala K apuas: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Pemerintah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. p. 29-48.

Lee, T., and Y. Lin. 1996. Peroxidase activity in relation to ethylene-induced rice (Oryza sativa L.) coleoptile elongation. Bot. Bull. Acad. Sin. 37:239-245.

Makarim, A.K., A. Hidayat, S. Roechan, I. Nasution, M.F. Muhadjir, S. Ningrum, M. Djazuli, dan Murtado. 1992. Status P dan

pendugaan keperluan pupuk P pada padi sawah. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus Vol.III:199-209.

Makarim, A.K., Ponimin Pw., S. Roechan, Sutoro, O. Sudarman, dan A.Hidayat. 1993. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pemupukan N pada padi sawah berdasarkan analisis sistem. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/ Bogor. p.675-681.

Mombiela, F., J.J. Nicholaides, and L.A.Nelson. 1981. A method to determine the appropriate mathematical form for incorporating soil test levels in fertilizer response models for recommendation purposes. Agron. J. 73:937-941.

Gambar

Tabel 1. Sifat dan ciri tanah lahan lebak di Kayu Agung, MK 2004.
Tabel  3.  Terdapat  perbedaan  mencolok  penampilan tanaman varietas Siputih (lokal) dengan Widas (varietas unggul) di kedua  lokasi pengujian
Tabel 4. Komponen hasil dan hasil dua varietas padi dengan tiga tingkat pemupukan di kawasan lebak di Desa Celikah dan KP Kayu Agung, Sumatera Selatan, MK 2004
Gambar 2. Perubahan konsentrasi hara N tanaman padi berdasar- berdasar-kan umur tanaman
+2

Referensi

Dokumen terkait

 b. Prosedur @ mengikuti protokol pada konsul MRI yang sudah tersedia di alat atau pada phantom /CR dilakukan pemasangan di senter koil dan magnet alat

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh pergantian manajemen, opini audit,

Wireless Fidelity, teknologi ini pada awalnya untuk menghilangkan keruwetan kabel dalam membangun sebuah jaringan computer, Wi-Fi bekerja pada frekuensi sama dengan Bluetooth

Untuk itulah menarik untuk melihat bagaimana merancang arsitektur yang tak hanya kontekstual akan iklim lingkungannya namun juga jamannya melalui arsitektur De Driekleur,

Kepada dosen pembimbing sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Ibu Yuli Nugraheni, S.Sos, M.Si dan Ibu Maria

Kemudian dengan menggunakan pembagian batuan berdasarkan kekuatan batuan, yaitu berdasarkan RQD dan PLI, maka dari perhitungan tersebut diperoleh biaya total pengeboran per

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa Penggunaan metode Discovery Learning Berbasis Schoology (1) dapat meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa MA; (2) dapat