• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI

A. KONSEP DIRI

1. Pengertian Konsep Diri

Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep tentang diri sendiri. Konsep tentang diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi (Calhoun & Acoccela, 1990).

Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Dacey & Kenny, 1997), konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Keliat, 1992). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.

Penghargaan mengenai diri akan menentukan bagaimana individu akan bertindak dalam hidup. Apabila seorang individu berpikir bahwa dirinya bisa, maka individu tersebut cenderung sukses, dan bila individu tersebut berpikir bahwa dirinya gagal, maka dirinya telah menyiapkan diri untuk gagal. Jadi bisa dikatakan bahwa konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, baik itu pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu (Calhoun & Acoccela, 1990). Singkatnya, Calhoun & Acoccela mengartikan konsep diri sebagai gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan

(2)

tentang diri sendiri, pengharapan bagi diri sendiri dan penilaian terhadap diri sendiri.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pengintegrasian kepribadian, memotivasi tingkah laku sehingga pada akhirnya akan tercapai kesehatan mental. Konsep diri dapat didefinisikan sebagai gambaran yang ada pada diri individu yang berisikan tentang bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian diri sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan.

2. Jenis-Jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun & Acoccela (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

a. Konsep diri positif

Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang mempunyai kemungkinan besar

(3)

untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.

b. Konsep diri negatif

Calhoun & Acoccela membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu: 1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak

memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.

2) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

3. Aspek-Aspek Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu. Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek, yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang

(4)

dimiliki individu untuk dirinya sendiri, serta penilaian mengenai dirinya sendiri (Calhoun & Acoccela, 1990).

a. Pengetahuan

Dimensi pertama konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan mengenai individu adalah apa yang diketahui individu mengenai dirinya sendiri. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas, seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain dan sesuatu yang merujuk pada istilah kualitas, seperti individu yang baik hati, egois, tenang, dan bertemperamen tinggi. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara merubah kelompok pembanding.

b. Harapan

Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa mendatang (Rogers dalam Calhoun & Acoccela, 1990). Singkatnya, individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu.

c. Penilaian

Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri. Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari.

(5)

Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya. Ditambahkan pula menurut Centi (1993) bahwa penilaian yang dilakukan individu adalah bagaimana individu merasa tentang dirinya sebagai pribadi yang dipikirkannya.

B. PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian Penyesuaian Diri

Menurut Schneider (dalam Partosuwido, 1993) penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Menurut Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003), penyesuaian dapat didefenisikan sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu. Menurut pandangan para ahli diatas, ketiga faktor tersebut secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik mengingat individu secara konstan juga mempengaruhi kedua faktor lain.

Menurut Schneiders (1964), pengertian penyesuaian diri dapat ditiinjau dari tiga sudut pandang, yaitu :

a. Penyesuaian sebagai adaptasi

Menurut pandangan ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik, bukan penyesuaian dalam arti psikologis,

(6)

sehingga ada kompleksitas kepribadian individu dengan lingkungan yang terabaikan.

b. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas

Penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pengertian ini menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial maupun emosional. Menurut sudut pandang ini, individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan diri individu akan terancam tertolak jika perilaku individu tidak sesuai dengan norma yang berlaku.

c. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan

Penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan untuk merencakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi, dengan kata lain penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan diri sehingga dorongan emosi dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah.

Berdasarkan tiga sudut pandang tentang penyesuaian diri yang disebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari dunia luar atau lingkungan tempat individu berada (Ali & Asrori, 2004).

(7)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah proses dinamik dalam interaksi individu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang mencakup respon-respon mental dan perilaku untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik dan mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari luar diri individu.

2. Karakteristik Penyesuaian Diri

Tidak selamanya individu berhasil melakukan penyesuaian diri, karena terkadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Ada individu-individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif, namun ada pula individu-individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah (Sunarto & Hartono, 2006).

a. Penyesuaian Diri Secara Positif

Individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut (Sunarto & Hartono, 2006):

1) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional

2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis 3) Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi

4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri 5) Mampu dalam belajar

6) Menghargai pengalaman 7) Bersikap realistik dan objektif.

(8)

Individu akan melakukan penyesuaian diri secara positif dalam berbagai bentuk, antara lain (Sunarto & Hartono, 2006):

1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung, yaitu secara langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya dan melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi individu.

2) Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan), yaitu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalah individu.

3) Penyesuaian dengan trial and error (coba-coba), yaitu melakukan tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan.

4) Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti)

5) Penyesuaian dengan menggali kemampuan diri, yaitu individu menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam diri, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri.

6) Penyesuaian dengan belajar, yaitu menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari belajar untuk membantu penyesuaian diri.

7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri, yaitu memilih tindakan yang tepat dan mengendalikan diri secara tepat dalam melakukan tindakannya.

8) Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat, yaitu mengambil keputusan setelah dipertimbangkan segi untung dan ruginya.

(9)

b. Penyesuaian Diri yang Salah

Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah, yang ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu (Sunarto & Hartono, 2006):

1) Reaksi Bertahan (Defence reaction), yaitu individu berusaha untuk memperthankan dirinya, seolah-olah tidak mengahadapi kegagalan dan selalu berusaha untuk menunjukkan dirinya tidak mengalami kegagalan dengan melakukan rasionalisasi, represi, proyeksi, dan sebagainya.

2) Reaksi menyerang (Aggressive Reaction), yaitu menyerang untuk menutupi kesalahan dan tidak mau menyadari kegagalan, yang tampak dalam perilaku selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, kera kepala dalam perbuatan, menggertak baik dengan ucapan dan perbuatan, menunjukkan sikap permusuhan secra terbuka, dan sebagainya.

3) Reaksi Melarikan Diri, yaitu melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya, yang tampak dalam perilaku berfantasi, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, regresi, dan sebagainya.

3. Proses Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), proses penyesuaian diri setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu:

(10)

a. Motivasi

Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang berlebihan dan kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan konflik.

Respon penyesuaian diri, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya organisme untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon baik itu sehat, efisien, merusak, atau patologis ditentukan oleh kualitas motivasi, disamping hubungan individu dengan lingkungan.

b. Sikap terhadap realitas

Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu bereaksi terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang membentuk realitas. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan dan semaunya sendiri, emua itu dianggap sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas.

Berbagai tuntutan realitas, adanya pembatasan, aturan dan norma-norma menuntut individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan unternal yang

(11)

dimanifestasikan ke dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dari realitas. Situasi konflik, tekanan dan frustasi akan muncul jika individu tidak tahan terhadap tuntutan-tuntutan tersebut.

c. Pola dasar penyesuaian diri

Terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri dalam penyesuaian diri individu sehari-hari. Individu berusahan mencari kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan yang ditimbulkan sebagai akibat tidak terpenuhi atau terhambatnya kebuthan individu.

4. Aspek-Aspek penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

1. Mampu mengontrol emosionalitas yang berlebihan

Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak.individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya.

2. Mampu mengatasi mekanisme psikologis

Kejujuran dan keterusterangan terhadap adanya masalah atau konflik yang dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri

(12)

seperti rasionalisasi, proyeksi, atau kompensasi. Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada masalah.

3. Mampu mengatasi perasaan frustrasi pribadi

Adanya perasaan frustrasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustrasi.

4. Kemampuan untuk belajar

Mampu untuk mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

5. Kemampuan memanfaatkan pengalaman

Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. 6. Memiliki sikap yang realistis dan obyektif

Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

(13)

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (dalam Sobur, 2003), faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri adalah :

a. Kondisi Fisik

Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah:

1) Hereditas dan Konstitusi fisik

Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.

2) Sistem utama tubuh

System syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri.

3) Kesehatan fisik

Penyesuaian diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri.

b. Kepribadian

Unsur-unsur kepribadian yang penting pengauhnya terhadap penyesuaian diri adalah:

(14)

2) Pengaturan diri 3) Realisasi diri 4) Kecerdasan c. Edukasi/Pendidikan

Unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah:

1) Belajar 2) Pengalaman 3) Latihan

4) Determinasi diri d. Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi: 1) Lingkungan keluaga 2) Lngkungan masyarakat e. Agama dan budaya

Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Budaya juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan indiidu.

(15)

C. REMAJA 1. Defenisi Remaja

Menurut Hurlock (1999) istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Sedangkan Chaplin (1997) mengatakan bahwa adolescence merupakan masa remaja, yaitu periode antara pubertas dengan masa dewasa.

Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dalam masyarakat dewasa. Sedangkan, Hall (dalam Dacey & Kenny, 2004) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu tahap perkembangan yang dikarakteristikkan sebagai “storm and stress’, tahap dimana remaja sangat dipengaruhi oleh mood dan remaja tidak dapat dipercaya.

Menurut Calon (dalam Monks, 2001), masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Menurut Monks (2001), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Lebih lanjut, Hurlock (1999) mengatakan bahwa awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana

(16)

remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pada masa ini, individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas reproduktif.

2. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Havighurst (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa terdapat beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa remaja, yaitu:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis

(17)

3. Ciri-Ciri Masa Remaja

Semua periode selama rentang kehidupan adalah sama pentingnya. Namun kadar kepentingannya berbeda-beda dan mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum atau sesudahnya. Adapun ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1999), antara lain:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik disertai perkembangan mental yang cepat dan penting. Semua perkembangan ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Masa remaja merupakan periode dimana seorang anak-anak beralih menjadi dewasa. Remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang berbau kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan namun bukan juga orang dewasa.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perialku juga menurun. Selain itu, terdapat juga beberapa perubahan lain, seperti meningginya emosi, perubahan minat dan peran, nilai-nilai, dan bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

(18)

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah pada masa remaja menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dikarenakan dua alasan. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang dewasa.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Erikson mengatakan bahwa bagaimana individu mencari identitas mempengaruhi tingkah lakunya. Salah satu cara untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk pemilikan barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotipe yang ada dalam masyarakat cenderung akan menjadi cermin bagi citra diri remaja yang lambat laun remaja akan mengarah kepada stereotipe tersebut sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap konsep diri dan sikap remaja. Menerima stereotip ini dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

(19)

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat kehidupan melalui kacamata berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini tampak dari cita-cita yang diciptakan oleh remaja yang tidak realistik dan memandang diri dan orang lain tidak sebagaimana adanya.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin meningkatnya usia kematangan, remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, meminum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap perilaku ini memberikan citra yang mereka inginkan.

4. Perkembangan Sosial Remaja

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku

(20)

sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock 1999).

Dalam hidup bermasyarakat, remaja dituntut bersosialisasi. Sejak anak-anak, seseorang telah memasuki kelompok teman sebaya. Pada masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung terdiri atas satu jenis kelamin yang sama karena secara fisik mempunyai ciri yang berbeda, dan pada masa remaja sudah mulai timbul kesadaran terhadap dirinya (Rumini, 2004).

Dalam proses perkembangan sosial, remaja juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya (Ali, 2004).

Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir operasional formal, sudah menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan dengan lawan jenis, memiliki kohesivitas kelompok yang kuat, serta cenderung membangun budaya kelompoknya sendiri, akan sangat memberikan warna tersendiri terhadap dinamika penyesuaian diri remaja. Lingkungan sekolah dapat memungkinkan berkembangnya atau terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri (Ali & Asrori, 2004).

(21)

5. Perkembangan Konsep Diri Remaja

Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh pengalaman yang dijumpai dalam hubungannya dengan individu lain, terutama dengan orang-orang terdekat, maupun yang didapatkan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya memandang diri lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan sebenarnya (Centi, 1993).

Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep diri bertambah stabil pada periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja karena hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya. Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri.

Menurut Hurlock (1999), terdapat delapan kondisi-kondisi yang mempengaruhi konsep diri remaja, yaitu:

a. Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang terlambat matang, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.

b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Setiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri.

(22)

Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.

c. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.

d. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau mereka memberi nama julukan yang bernada cemooh. e. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasi diri dengan orang tersebut dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.

f. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok.

g. Kreativitas

Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dari identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya.

(23)

h. Cita-cita

Bagi remaja yang mempunyai cita-cita yang tidak relistik, akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya akan lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalan.

D. PANTI ASUHAN

Panti asuhan merupakan salah satu lembaga perlindungan anak yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlindungan terhadap hak-hak anak termasuk didalamnya adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan hak anak sehingga terjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya secara optimal baik jasmaniah, rohaniah, maupun sosial terutama melindungi anak dari pengaruh yang tidak kondusif terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya (Pedoman Perlindungan Anak, 1999).

Menurut Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak melalui Panti Asuhan Anak, disebutkan bahwa panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti orang tua / wali anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadian sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari

(24)

generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut aktif dalam bidang pembangunan nasional (Departemen Sosial RI, Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, 1997).

Menurut pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak usia dini (1999), yang termasuk sasaran pelayanan panti asuhan adalah:

a. Anak yatim, anak piatu, dan anak yatim piatu

b. Anak terlantar dan keluarganya yang mengalami perpecahan

Anak yang salah satu atau kedua orang tuanya sakit kronis, terpidana, korban bencana, dan lain-lain.

Menurut Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan Sosial (BPKPKS), panti asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan pada anak dengan tujuan agar menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas diri sendiri dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari (Dinas Sosial RI, Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, 1997).

Menurut Pedoman Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Usia Dini (1999), jenis-jenis pelayanan yang diberikan di panti asuhan:

1. Perawatan (care) 2. Makanan (food)

3. Tempat tinggal (shelter) 4. Pakaian (clothing) 5. Kesehatan (health) 6. Pendidikan (schooling)

(25)

7. Pelayanan perlindungan (protection), meliputi upaya-upaya perlindungan hukum dab advokasi atas:

a. Identitas anak secara jelas b. Kerahasiaan (privasi)

c. Kebebasan dari diskriminasi (freedom for discrimination) d. Penelantaran dan perlakuan salah (abuse and neglect) e. Eksploitasi dalam segala hal (exploitation of all types) f. Media yang berbahaya (harmful media)

g. Perlindungan dari kondisi-kondisi khusus, seperti pengangkatan (adoption), kecacatan (disability), dan lingkungan keluarga yang tidak mendukung (deprivation of family environment)

8. Kebebasan untuk menyatakan diri (affermative freedom), yang meliputi: a. Kebebasan mengemukakn pendapat (free expression of opinion) b. Kebebasan untuk mendapatkan informasi (freedom of information) c. Hak atas waktu bermain dan waktu luang (leisure and recreation) d. Hak atas kerahasiaan (privacy)

e. Hak untuk berkumpul (freedom of association)

f. Kebebasan untuk memeluk agama (freedom of conscience / religion)

E. PENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA PENGHUNI PANTI ASUHAN

Hendroyuwono (dalam Partosuwido, 1993) mengatakan bahwa peran kontrol dan pertahanan ego merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri pada

(26)

remaja, apabila unsur-unsur tersebut mendapat pelatihan akan dapat meningkatkan kepribadiannya sehingga mereka lebih mampu menyesuaikan diri. Demikian juga diungkapkan Ali & Asrori (2004) yang mengatakan bahwa remaja yang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah remaja yang telah belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat serta dapat mengatasi konflik mental, frustrasi, kesulitan pribadi dan sosial. Sedangkan remaja memiliki reaksi yang tidak memuaskan, tidak efektif, dan tidak efisisen sering diartikan sebagai penyesuaian yang kurang baik, buruk atau dikenal dengan istilah malasuai (maladjustment).

Partosuwido (1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri tinggi lebih mampu untuk menyesuaikan diri, dimana individu dapat menempatkan dirinya di masyarakat maka individu itu akan diterima dengan baik oleh masyarakat, begitu juga sebaliknya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya.

Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa individu. Banyak individu tidak merasa bahagia dan menderita dalam hidupnya karena tidak mampu menyesuaiakan diri, baik dengan kehidupan keluarga dan sekolah, maupun lingkungan masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui orang-orang mengalami stress dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Mu’tadin, 2002)

(27)

F. HIPOTESA

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “konsep diri memiliki pengaruh positif terhadap penyesuaian diri remaja”. Hipotesis ini mengandung pengertian bahwa apabila konsep diri yang dimiliki remaja penghuni panti asuhan semakin tinggi, maka penyesuaian diri remaja semakin positif, dan begitu sebaliknya.

Referensi

Dokumen terkait

Bila pasien pulang diluat jam kerja untuk urusan administrasi akan dilakukan di hari berikutnya Untuk Jam pulang pasien rawat inap hanya bisa dilakukan di jam kerja kasir :. -

Kompetensi yang tercakup dalam unit kompetensi ini harus diujikan secara konsisten pada seluruh elemen dan dilaksanakan pada situasi pekerjaan yang sebenarnya ditempat kerja

- “kota Salatiga adalah Sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah / kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang // Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, Kota

Pemahaman seseorang akan suatu informasi atau kejadian yang diterima dari seseorang atau media akan mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk bertindak. Pemahaman yang baik

Materi pelatihan adalah berupa modul dengan judul meningkatkan kemampuan guru sd dalam menyajikan presentasi atraktif melalui media microsoft power point.. Dokumnetasi

Dalam penulisan ini, penulis membuat batasan yaitu penulisan ini hanya sebatas meneliti tentang strategi Public Relations Hotel Le Meridien Jakarta dalam melakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh likuiditas, kualitas aset, sensitivitas pasar, dan efisiensi secara simultan, parsial terhadap ROA pada Bank Umum

out the world looked to East Asia as a model for leveraging integration into the global economy toward poverty-reducing growth, are there lessons to be learned by developing